BAB VII


MALATIA—KOTA MATI


Tujuh hari usai pembantaian di Ngarai Divrig, beberapa orang dari kami yang selamat dari kekejaman para pengawal kami di sepanjang jalan, menyaksikan mereka di minaret-minaret Malatia, salah satu titik menonjol untuk ratusan ribu orang Armenia yang dideportasi dalam perjalanan mereka ke gurun Suriah yang, pada waktu itu, aku ketahui merupakan tempat tujuan orang-orang yang diperbolehkan untuk tinggal. Ketika minaret-minaret tersebut memperlihatkan pemandangan, aku sangat terpukai oleh garapan bahwa rombongan ibuku dapat mencapai kesana dan berhenti, dan bahwa aku dapat menemukannya disana.

Ketika mereka mendekat kota tersebut, mereka melintasi sepanjang jalan yang sebelumnya dipijak oleh para pengasingan yang tak terhitung jumlahnya. Di pinggir jalan, dalam menghina Penyaliban dan peringatan terhadap gadis-gadis Kristen yang mencapai Malatia, pasukan Turki menyalib enam belas gadis pada kayu kasar. Aku tak tahu berapa lama jasad-jasad tersebut ada disana, namun burung-burung bangkai telah berkumpul.

Setiap gadis dipaku hidup-hidup di salibnya, yang secara sangat kejam dipaku pada kaki dan tangan mereka. Hanya rambut mereka, yang tertiup oleh angin, menutupi tubuh mereka. “Lihat,” kata para pengawal kami dengan sangat puas; “lihat apa yang terjadi kepadamu di Malatia jika kamu tidak penurut.”

Di sekitaran Malatia, dan didalam kota itu sendiri, terdapat lebih dari dua puluh ribu pengungsi yang menunggu untuk dikirimkan. Orang-orang Kurdi berkemah di luar dalam kelompok kecil, masing-masing dengan "pemimpin cakar"nya, menunggu untuk perjalanan dan menjarah para pengasingan. Orang-orang Arab berkendara di sekitaran perbukitan pada jarak yang jauh, yang menggerayangi orang-orang Kristen pada malam hari dan menculik wanita dan gadis terkuat untuk memanen di ladang. Para bey dan agha Turki, yang berada di sini dan terdiri dari pasha, berkendara di sepanjang perjalanan untuk memeriksa setiap kelompok pengasingan ketika berada di kota tersebut. Mata jelalatan kejam mereka berupaya untuk melucuti kerudung-kerudung para gadis muda yang menutupi sekitaran wajah mereka untuk memeriksa kemudaan dan kecantikan mereka.

Dari Sivas, Tokat, Egin, Erzindjan, Kerasun, Samsoun dan kota-kota kecil yang tak dapat dihitung di utara, tempat orang-orang Armenia bermukim selama berabad-abad, mereka semua mulai mencapai Malatia. Seluruh sungai di sekitarnya mengalirkan darah merah; lembah-lembah menjadi makam-makam terbuka tempat ribuan jasad ditinggalkan tanpa dikebumikan. Gunung yang dilintasi dipenuhi dengan jasad, dan setiap orang Turki kaya yang memiliki harem di antara Laut Hitam dan Sungai Tigris, memiliki satu atau lebih, terkadang beberapa, gundik baru—gadis-gadis Armenia yang diculik di sepanjang jalan menuju kota tersebut.

Aku seringkali takjub jika orang-orang baik Amerika mengetahui apa sifat orang-orang Armenia. Aku terkadang mengkhawatirkan orang-orang Amerika yang berpikir bahwa kami adalah orang-orang pengembara, atau orang kelas rendah. Mereka sangat sangat berbeda. Orang-orangku adalah salah satu orang-orang pertama yang percaya akan Kristus. Mereka adalah ras bangsawan, dan memiliki sastra yang lebih tua ketimbang sastra suku bangsa lain di dunia.

Sangat sedikit orang Armenia yang menjadi petani. Nyaris semuanya adalah pedagang, peniaga, besar dan kecil, ahli keuangan, bankir atau pengajar. Di kotaku sendiri, terdapat banyak pengusaha atau guru yang mendapatkan pendidikan mereka di perguruan-perguruan tinggi Amerika. Ratusan orang Armenia masuk universitas-universitas Eropa besar. Pendidikanku sendiri sebagian diraih di perguruan tinggi Amerika di Marsovan dan sebagian dari pengajar-pengajar privat. Kebanyakan orang Armenia sangat kaya. Sedikit orang Turki yang beruntung sebagaimana para peniaga Armenia besar.

Dari dua puluh ribu orang Kristen yang digiring ke Malatia, di kemah-kemah luar kota, di lapangan umum atau di rumah-rumah yang dirancang oleh serdadu Turki untuk tujuan tersebut, aku pikir lebih dari setengah anggota keluara kaya, gadis-gadis yang dididik di Eropa atau perguruan-perguruan Kristen besar di dalam negeri, seperti di Marsovan, Sivas atau Harpout, atau sekolah-sekolah yang dijalankan oleh Swiss, Amerika, Inggris dan Prancis. Gadis-gadis tersebut mengajari musik, sastra dan seni.

Aku ingin berkata apa yang terjadi pada satu kelompok gadis sekolah dekat Malatia, sebagaimana yang dikisahkan kepadaku oleh salah satu dari mereka.

Di Kirk-Goz, sebuah kota kecil di luar Malatia, terdapat sekolah Jerman, di tempat wanita Armenia muda dari seluruh belahan distrik tersebut dikirim untuk diajari oleh para guru Jerman. Aturan sekolah menyatakan bahwa uang yang didapat dari para gadis Armenia kaya untuk pengajaran mereka dipakai untuk disumbangkan ke gadis-gadis miskin. Terdapat lebih dari enam puluh murid di sekolah tersebut ketika serangan terhadap orang-orang Armenia dimulai. Karena sekolah tersebut berada di bawah perlindungan Jerman, gadis-gadis tersebut menganggap diri mereka sendiri aman, dan keluarga-keluarga mereka bahagia dengan berpikir bahwa mereka terlindungi. Namun, Aziz Bey, sang Kaimakam, mengirim para prajurit dengan perintah untuk mengirim semua gadis ke Malatia, untuk dideportasi atau lebih buruk lagi.Mme. Roth, sang kepala sekolah, enggan membuka gerbangnya. Ia menyatakan bahwa Eimen Effendi, agen konsuler Jerman di distrik tersebut, akan menuntut ganti rugi jika serangan apapun terhadap murid-murid sekolah tersebut dilakukan.

Mme. Roth—yang merupakan orang Jerman dan tua—sendiri, datang ke Malatia untuk memohon kepada Eimen Effendi. Ia berkata kepadanya bahwa Turki adalah sekutu Jerman, bahwa Turki menyatakan bahwa orang-orang Armenia menjengkelkan, sementara Jerman harus mendukung Sultan. Ia berkata kepada para murid agar menyerahkan diri. Kemudian, para prajurit membawa mereka pergi. Setiap gadis diijinkan untuk memiliki seekor keledai, yang para guru bawa ke kota untuk mereka. Mereka mengarah ke arah barat, menuju Mezre, di tempat otoritas menjanjikan bahwa para gadis tersebut akan dirawat dalam sebuah biara.

Mme. Roth sendiri menghadap Aziz Bey dan memohon untuk gadis-gadis tersebut. Ia berkata kepadanya bahwa ia malu menjadi orang Jerman karena Eimen Effendi telah mengijinkan hal mengerikan semacam itu dilakukan atas izin Jerman. Ia menawarkan seluruh harta pribadinya kepada Bey, semua uang yang dimiliki olehnya di Kirk-Goz, jika ia akan mengembalikan para siswi dan membolehkannya untuk menjaga mereka. Mme. Roth sangat kaya. Ia memiliki lebih dari 1.000 lira, dan perhiasan yang sangat berharga. Aziz Bey menerima suap tersebut dan mengirimnya, dengan kawalan serdadu, kepada wanita muda.

Dua hari kemudian, Mme. Roth dan pengawalnya mencapai perlintasan sungai Tokma-Su, di desa kecil Keumer-Khan. Terdapat jalan rintang pada dataran tersebut yang memperlihatkan rombongan yang berusaha melintasi jalan tersebut namun memendek ketimbang sebelumnya. Mendadak pada perjalanan tersebut, mereka didatangi gadis tanpa busana, berlari tak beraturan dan menjerit ketakutan. Ketika ia mendekati Mme. Roth dan mengenalnya, gadis tersebut menangis, “Guru, guru, selamatkan aku! Selamatkan aku!”

Gadis tersebut, yang bernama Martha, dan orangtuanya adalah orang kaya di Zeitoun, mensujudkan dirinya sendiri ke tanah di kaki gurunya dan menggenggamnya. “Selamatkan aku! Selamatkan aku!” ia terus menjerit. Mme. Roth memberikannya botol bermerek yang dibawanya, dan berupaya untuk menenangkannya. Dua zaptieh dari para pengawal dikirim oleh bey untuk mengantar gadis-gadis sekolah tersebut. Ketika Martha menyaksikan mereka, ia kembali menggila dan tak sadarkan diri. Para zaptieh berniat untuk memegangi badan lemasnya, namun Mme. Roth menentang mereka. Upayanya mendorong para zaptieh untuk pergi. Ketika Mme. Roth menyujudkan lagi gadis tersebut, ia meninggal. Tanda-tanda pada tubuhnya serta memar dan luka dan rambut berantakannya membuktikan perjuangan yang dilakukan olehnya untuk menyelamatkan dirinya sendiri.

Mme. Roth menjadi khawatir. Ia mendengar lebih banyak jeritan ketika ia mendekati tepi sungai. Ia datang dengan dua zaptieh, duduk di pasir, dengan batang runcing yang di bawah di pundak gadis yang telah dikebumikan mereka ke tanah di atas pundaknya. Ini adalah hiburan kesukaan para zaptieh dari provinsi-provinsi Efrat. Mereka memerintahkan gadis tersebut untuk menyerahkan diri mereka dengan cepat dan ia menyerang mereka. Untuk menghukumnya dan mengambil jiwanya, mereka menguburnya pada jalan tersebut dan menyiksanya. Ia menjerit keras dan kesakitan, dan ini sangat menghibur mereka. Ketika mereka meminta para zaptieh untuk mengeluarkannya, dan kemudian menguburkannya lagi. Penyiksaan ini juga sempat dialami oleh Martha yang melarikan diri.

Para serdadu yang mengawal Mme. Roth menyelamatkan gadis tersebut, atas permintaannya. Mme. Roth meninggalkannya dengan tiga prajurit tersebut dan melintasi sungai. Ia dapat mendengar jeritan dari sisi yang lain. Sesekali para zaptieh menaiki rakit untuk membawa mereka menyeberangi sungai sampai tertawa terbahak-bahak. Pendayung mengarahkan rakit untuk menghindari dua obyek mengambang, dan ini menghibur mereka. Roth melihat dua jasad siswinya mengambang di sungai tempat jeritan tersebut datang.

“Lihat—lihat disana,” teriak seorang zaptieh yang tertawa; “dua orang Kristen lain yang melupakan Kristus mereka!” Di sisi lain, Mme. Roth menemukan semua orang yang hengkang dari enam puluh muridnya atau lebih—hanya tujuh belas orang. Nyawa mereka selamat hanya karena para zaptieh telah kelelahan. Mereka juga kurang cantik dari rombongan awal. Mme. Roth mengambil mereka semua kembali ke Malatia, di tempat yang diijinkan oleh Kaimakam untuk menempatkan mereka. Mereka tinggal disana dengan kekhawatiran akan diambil lagi ketika aku dibawa dari kota tersebut.

Orang-orang yang dikatakan mengenalnya menyatakan bahwa Mme. Roth enggan menerima Eimen Effendi ketika ia memanggilnya setelah ia pulang dengan para muridnya yang tersisa. Ia dikatakan mengirimkan perkataan kepadanya bahwa ia tak lagi orang Jerman, dan tak akan meminta perlindungan kecuali ia dapat membeli lira emas sepanjang ia dapat mendapatkannya dari para kerabatnya.

Di setiap ruang terbuka di kota tersebut dan di setiap bangunan kosong, para pengungsi Armenia dikemahkan, lapar, kelelahan dan sekarat, dengan sedikit makanan atau air. Di seluruh rombongan kami, tak ada sepuluh potongan roti ketika kami memasuki kota tersebut. Ketika kami meminta air kepada serdadu Turki, mereka meludah, dan jika prajurit berada di dekat pasukan Turki akan menyerukan mereka untuk mengantar kami. Setiap hari, ribuan pengungsi diambil, dan setiap hari, ribuan orang lain didatangkan dari utara.

Di dalam kota, tak ada upaya untuk merawat para pengasingan yang datang. Beberapa pria dalam rombongan kami akhirnya dibawa ke bangunan besar yang dijadikan barak, selain sekitar ribuan Kristen diungsikan. Kami menyusuri jalanan, dengan para pemuda Turki dan orang-orang Kurdi dan Arab berjejalan di jalanan dan melempar batu atau batang ke kami, atau, dalam kasus para gadis semuda aku, membawa kami ke toko-toko atau rumah-rumah rendah Turki, dan memarahi kami.

Ketika kami menjalani hari kedua di Malatia, tak tak dapat rehat lebih lama lagi tanpa mencari ibuku—berharap agar ia dan orang-orang Armenia dari Tchemesh-Gedzak berada pada rombongan pengungsi lainnya. Aku menyusuri jalanan di malam hari dan datang dari tempat ke tempat di tempat para pengungsi ditempatkan. Kini aku dapat menemukan wajah-wajah familiar—orang-orang dari kotaku sendiri.

Ketika pagi datang, aku tak dapat menemukan jalan kembali ke bangunan yang aku tinggalkan. Pagi datang dengan cepat di tengah dataran, dan kemudian menyinar, dan aku berada pada bagian kota di tempat tidak ada pengungsi. Jalan-jalan Malatia sangat sempit, dan hanya ada sedikit persimpangan. Kakiku yang tak berkasut berjalan sepanjang malam pada bebatuan dan trotoar. Aku merasa sangat lelah—karena tak menyadari jika aku berusia sedikit di atas empat belas tahun. Aku mengetahui bahwa aku tak lama lagi akan dibawa ke salah satu rumah Turki dan menghilang, mungkin selamanya, jika para prajurit atau gendarme kemungkinan besar dapat menangkapku. Aku bersembunyi di tempat kecil.

Mendadak, aku menyadari bahwa aku memeluk tembok rumah yang menggantung bendera Amerika. Aku merasa terselamatkan. Bendera Amerika sangat indah bagi mata seluruh orang Armenia! Selama beberapa tahun, mereka menjanjikan perdamaian dan kebahagiaan kepada bangsaku. Aku mendengar banyak hal menakjubkan yang dikisahkan. Armenia selalu berpikir Amerika Serikat sebagai teman yang siap menolongnya.

Ketika jalanan tersebut kosong, aku meninggalkan tempat persembunyianku dan mendatangi pintu rumah itu. Aku mengetuk, namun orang-orang Turki melewati jalan tersebut dan mengamatiku. Mereka adalah warga biasa, bukan prajurit, namun mereka berteriak dan mulai lari ke arahku, mengenaliku mungkin dari potongan-potongan kain yang aku kumpulkan untuk menutupi tubuhku, sebagai orang Armenia.

Aku berteriak dan mendorong pintu tersebut. Pintu tersebut terbuka, dan aku dipeluk seorang wanita yang mempersilahkanku masuk.

Aku terlalu ketakutan untuk menjelaskan. Orang-orang Turki berada di pintu. Aku berpikir aku akan dibawa. Salah satu dari mereka mendorong dirinya sendiri ke dalam pintu. Yang lainnya menyusul, dan mereka menghampiri kami untuk mengambilku. Wanita tersebut, yang bukan orang Turki, berdiri di depanku. “Apa yang kau inginkan?—Kenapa kau disini?” tanyanya dalam bahasa Turki. “Gadis itu — Kami menginginkannya. Ia kabur,” kata mereka.

Wanita tersebut mengejutkanku dengan enggan mengijinkan mereka untuk mengambilku. Ia berkata kepada orang-orang Turki bahwa mereka tak memiliki otoritas. Ketika pria tersebut bergerak untuk mengambilku dengan paksa, ia maju ke depanku dan berkata kepadanya untuk menyatakan bahwa aku adalah tamunya. Salah satu pria berkata:

“Gadis itu orang Armenia. Ia lari dari rombongannya yang lain. Ia tak punya hak atas kota ini. Kaimakam telah memerintahkan warga untuk mengambil seluruh orang Kristen yang ditemukan di luar wilayah yang disiapkan untuk mereka untuk singgah sesambil mencegah mereka berjalan ke bagian kota yang lain.”

“Perintah Kaimakam-mu tak berlaku padaku. Aku harus melindungi gadis tersebut. Kau tak dapat mengusik orang Amerika!” kata teman baruku. Orang-orang Turki mengerumuti diri mereka sendiri, dan mengancam untuk keluar.

Wanita muda tersebut berkata kepadaku bahwa ia adalah Puan McLaine, seorang misionaris Amerika. Rumah tersebut adalah rumah konsul Amerika di Malatia, namun ia telah mengambil istrinya, yang sakit, ke Harpout. Puan McLaine menjaga bendera berkibar ketika mereka pergi. Ia berusaha untuk membujuk para perwira untuk tak bertindak kejam kepada para prajurit, namun diabaikan. Ia adalah murid Dr. Clarence Ussher, dokter bedah sekaligus misionaris Amerika terkenal asal New York, dan Puan Ussher, keduanya dikenal di seluruh belahan Amerika karena kemurahan hati mereka kepada bangsa kami pada masa pembantaian di Van. Puan Ussher kehilangan nyawanya di Van.

Pada hari berikutnya, segerombolan serdadu datang dari Kaimakam ke rumah konsul tersebut dan menuntut agar aku diserahkan. Puan McLaine kembali menolak untuk menyerahkanku. Para serdadu menyatakan bahwa mereka diperintahkan untuk mengambilku dengan paksa. Puan McLaine meminta agar mereka mengambilnya kepada Kaimakam agar ia dapat meminta perlindungannya untukku. Para serdadu sepakat, dan aku ditinggal sendiri di rumah tersebut.

Ketika Puan McLaine kembali, ia menangis. Para serdadu kembali dengannya. Kaimakam berkata bahwa aku harus digabungkan kembali ke para pengasingan, namun aku dibawa ke rumah dimana serombongan besar wanita yang telah menjadi Muslim, dengan anak-anak mereka. Kata walikota, rombongan tersebut dilindungi sampai merek dibawa ke tempat yang ditentukan oleh pemerintah.

Sehingga, Miss McLaine tak dapat melakukan hal lain. Ia menciumku, dan para serdadu membawaku ke rumah tempat para wanita murtad dengan anak mereka ditempatkan.

Orang-orang murtadin Armenia tersebut nyaris semuanya adalah wanita dari kota-kota kecil antara Malatia dan Sivas. Tidak ada dari mereka yang benar-benar menyangkal Kekristenan, namun mereka berpikir bahwa mereka melakukan hal baik, karena nyaris semua wanita adalah ibu dari anak-anak kecil yang bersama dengan mereka. Mereka ingin menyelamatkan anak-anak kecil mereka. Mereka tak tahu apa yang bahkan terjadi pada mereka, namun para bey telah berjanji bahwa mereka akan dirawat oleh pemerintah.

Rombongan pengasingan tersebut diberi makan oleh serdadu Turki—roti, air dan kue. Mereka tak boleh keluar dari rumah, namun orang-orang Turki tak meninggalkan kami. Aku kemudian memiliki kesempatan untuk menyadari bahwa Kaimakam benar-benar memberikanku setidaknya beberapa perlindungan ketika ia membolehkanku untuk bergabung dengan rombongan tersebut.

Di beberapa rombongan yang menanti di Malatia, para pria tidak dibunuh. Suatu hari, para serdadu mengumpulkan kami semua dalam satu rombongan besar. Walikota menginginkan kami untuk mendaftar, kata para serdadu, sehingga pemberian lahan dapat dilakukan mereka di tempat ujuan kami di selatan. Karena para prajurit yang menyatakan, para pria mempercayainya. Kebanyakan orang datang tanpa menempatkannya di jubah mereka. Kami dibawa ke bangunan yang mula-mula aku lalui, dan dari situ rombongan pengungsi lain diambil semalam sebelumnya.

Nyaris 3,000 pria dikumpulkan. Di bagian luar, para prajurit ditugaskan ditempatkan di pintu dan jendela. Para prajurit lain kemudian merampas uang dan benda-benda berharga dari para pria—seperti ketika mereka diselamatkan dari pasukan Kurdi di sepanjang jalan, dan kemudian mulai membantai mereka. Ketika jasad-jasad bergelimpangan, para prajurit tak dapat menentukan orang yang masih hidup tanpa lumuran darah, kemudian mereka memakai senapan mereka, dan membantai orang-orang yang tersisa dengan peluru.

Siang itu, para serdadu mengunjungi seluruh kemah pengungsi dan mengambil anak berusia lebih dari lima tahun. Aku pikir terdapat delapan atau sembilan ribu anak yang diambil. Para prajurit bahwa mendatangi rumah tempat aku bersama dengan orang-orang Armenia yang “beralih keyakinan”, dan terhindari dari janji walikota mengambil seluruh pemuda dan pemudi kami. Ketika para ibu memegang erat para anak kecil mereka dan memohon agar para prajurit tak memukuli mereka. “Jika mereka mati, Tuhanmu tak dapat ikut campur dengan melihat setelah mereka dibesarkan,” kata para prajurit—dan seringkali dengan tawa yang brutal.

Mereka membawa anak-anak ke tepi kota, dimana segerombolan Kurdi Aghja Daghi menunggu. Disana, para prajurit memberikan anak-anak tersebut kepada gerombolan Kurdi, yang membawa mereka menuju Sungai Tokma, tepat di luar kota. Orang-orang Kurdi membawa anak-anak kecil tersebut seperti kawanan domba. Di tepi sungai, para anak laki-laki dilempar ke sungai. Para anak perempuan dibawa ke kota-kota Turki, untuk dibesarkan sebagai Muslim