DIDIK MENDADAK MENDIDIK

Prakata sunting

Dalam cerpen (cerita pendek) ini, penulis ingin menyampaikan pesan kepada pembaca bagaimana kehidupan di Desa yang sangat terbatas dengan kemajuan teknologi, namun seketika mendapatkan akses terhadap media sosial seperti Youtube, Facebook dan lainnya melalui perangkat yang dimiliki, maka tidak salah ketika si DIDIK yang awalnya hanya seorang petani di kampungnya, tiba-tiba menjadi Konten Kreator yang MENDADAK MENDIDIK.

Dalam cerita pendek ini, penulis memilih kategori Fiksi, artinya menarasikan apa yang sedang terlintas di benak penulis dan di tuangkan dalam sebuah catatan-catatan hingga menjadi rangkaian cerita yang pendek secara nama tetapi panjang dalam pesan. Tidak luput juga penulis juga terlibat dalam cerita ini, memfasilitasi si DIDIK dan teman-temannya ikut menjadi tokoh dalam kompetisi salah satu komunitas menulis cerpen di dunia maya. Bila dalam kisah ini, kedapatan nama tokoh, tempat, dan lainnya yang sama dengan catatan di tempat lain, ini adalah sebuah kebetulan saja, mohon untuk di pahami semoga menjadi inspirasi, bagi seluruh pembacanya.

Tokoh dalam kisah ini adalah DIDIK, dan dua temannya yang bernama DEDE dan DUDUNG. Selamat membaca.

Terima Kasih

Isi sunting

Malam itu, gelisah yang tak terbendung, di suasana cuaca yang sedikit tidak bersahabat. Sesekali ke ruang tamu, namun handphone yang masih terkoneksi dengan kabel charge, masih menunjukan 45% pengisian daya. Karena tidak ada kegiatan, akhirnya saya cabut dan mulai membuka aplikasi WhatsApp, yang merupakan aplikasi terpopuler di handphoneku. Paling banyak di akses, melihat notifikasi dari androidku. Tanpa sengaja, mulai saya scroll deretan pesan, dan terlihat satu grup yang memberi notifikasi pesan baru, dan di pesan itu, disampaikan bila ada lomba atau jelasnya kompetisi menulis cerpen oleh sebuah komunitas di dunia Maya. Teringat kalau DIDIK yang dulu teman mainku di sebuah desa kecil, di sebelah barat pulau Sumatera, tepatnya di sebuah pulau, bahkan termasuk jajaran pulau terluar sebelah barat Nusantara. Dialah pulau Nias, tempat kelahiran penulis, DIDIK dan teman-temannya. Iseng, saya mengirim pesan kepada narahubung acara tersebut, tetapi awalnya responnya agak lama, bisa dimaklumi sedang sibuk dengan aktifitasnya. Tetapi si DIDIK tidak bisa menunggu lama, yang sedang melakukan panggilan On Cam di Handphoneku. Dengan sedikit ragu, ku angkat panggilannya, dan kaget sekaget-kagetnya saya. Apa yang terjadi?

"Halo, jawabku"
"Hei, brother,... sok gaul gitu!". "sahut si DIDIK". Apa kabar?

Saya terdiam beberapa detik, saya terpana melihat penampilannya yang sedikit kece, dengan dasi dan Jas-nya. Namun saya lanjutkan pembicaraan.

"Kabar baik, bro. Bagaimana kabar di Kampung?, Tanyaku"
"Kabar baik, bro, hanya sedikit sibuk dengan jadwal podcast dan beberapa produksi konten."

Sumpah, saya setengah sadar, tidak percaya dengan ucapannya barusan. Bagaimana tidak, si DIDIK ini adalah seorang petani yang biasa-biasa saja, yang menikah di usia muda karena tidak bisa melanjutkan studinya saat itu. Tetapi, keadaan orang siapa yang tau. Sayapun, ikuti perbincangan dengan santai, dan terjadilah obrolan yang sangat bersahabat malam itu, sampai-sampai ponselku kepanasan, kesedot daya oleh panggilan on cam, namun saya layani apalagi teman lama yang sempat juga loss contact, namun berkat selebaran yang sempat saya kirim ke Nias hari itu tentang sebuah proyek Wikipedia Bahasa Nias, dia mendapat nomor kontak saya. Karena mungkin dia masih ada kerjaan, maka dia mengakhiri panggilan itu.

"Terima kasih, brother. Saya masih ada kerjaan nih, senang bisa ngobrol dengan bro."

Sayapun mengakhiri perbincangan tersebut melihat ponselku sudah mulai bunyi ingin di sambungkan ke pengisian daya.

Keesokan harinya, mulailah menulis kisah ini dalam catatan-catatan kecil yang harapannya bisa menginspirasi. Di desa kecil yang terpencil, terletak sekitar 9 km dari kota Gunungsitoli di Pulau Nias, hidup seorang petani bernama DIDIK. Desa ini adalah seperti potret dari masa lalu yang tetap terjaga keasliannya di tengah hiruk pikuk perkembangan zaman. Rumah-rumah kayu berjajar rapat, dan jalan setapak yang berliku membawa kita ke ladang-ladang hijau yang luas.

Hari-harinya, DIDIK mengarungi sawahnya dengan perasaan bangga. Di bawah langit biru dan angin yang berbisik di telinga, dia menyusun irigasi dan merawat tanaman dengan penuh kehati-hatian. Desanya adalah dunianya, dan tanah tempat kakinya berpijak adalah kebun kenangan masa kecilnya.

Namun, ketika sinar matahari perlahan menyingkap keindahan Gunungsitoli di kejauhan, sesuatu yang luar biasa terjadi dalam hidup DIDIK. Sebuah smartphone, yang dipinjamkan oleh tetangganya yang bekerja di kota, membuka jendela ke dunia maya. Tiba-tiba, Desa DIDIK, yang tersembunyi di pulau terluar, bergetar dengan kemungkinan baru. Aplikasi konten kreator di smartphone itu menjadi pintu gerbang bagi DIDIK untuk menggali lebih dalam. Dengan mata penuh semangat, dia mulai memotret momen-momen sehari-hari di desanya. Keceriaan anak-anak yang bermain di tepian sungai, keindahan matahari terbenam di atas bukit-bukit hijau, semua diabadikan melalui kamera smartphone sederhana.

DIDIK tidak hanya berhenti pada itu. Dia mulai bercerita melalui kata-kata bijak tentang kehidupan di desanya. Cerita tentang kesederhanaan hidup, nilai-nilai kearifan lokal, dan kerja keras di ladang menjadi daya tarik bagi mereka yang melihatnya melalui layar gadget mereka. Sebuah desa kecil di Nias, yang sebelumnya hanya dikenal oleh warga setempat, tiba-tiba menjadi sorotan dunia maya.

Kemudian, DIDIK mengambil langkah lebih jauh dengan merintis podcast sederhana. Suaranya yang hangat menciptakan ruang di mana pendengarnya merasa seolah-olah mereka duduk di bawah pohon rindang di desanya. Podcastnya menjadi tempat bagi DIDIK untuk berbagi cerita, nilai-nilai hidup, dan keindahan desa terpencilnya. Walaupun kita harus menyimak kalimat demi kalimat yang diucapkan dengan tata bahasa yang dipengaruhi oleh bahasa daerah. Tetapi tidak mengurangi nilai inspirasi di dalamnya.

Desa kecil DIDIK, yang hanya berjarak 9 km dari kota Gunungsitoli di Nias, tiba-tiba menjadi pusat inspirasi bagi banyak orang. Setiap postingan dan setiap episode podcastnya menjadi tayangan positif yang disukai penonton media sosial, mungkin sisi dari sentuhan masyarakat yang berada dari pulau terluar sebelah barat Sumatera.

DIDIK, petani yang menemukan suaranya lewat pixel layar di desa terpencil, membuktikan bahwa keindahan dan kearifan bisa dijumpai di setiap sudut kehidupan. Melalui platform konten kreator, dia bukan hanya menemukan suara, tetapi juga merangkul dunia maya untuk membawa keajaiban desanya ke mata dunia.

Peribahasa yang biasa kita temukan di masyarakat Nusantara, di Kepulauan Nias menjadi filosofi yang melekat pada setiap masyarakat dan di sampaikan di setiap pertemuan-pertemuan adat, budaya dan lainnya. Mungkin bila di samakan dengan keadaan di masyarakat luas, kurang lebih pantun, hanya namanya di masyarakat sana adalah Amaedola.

Saya belum begitu yakin, masih ada keraguan dalam hati, jangan-jangan ada orang di belakang si DIDIK ini, pikirku yang memberi dukungan moral dan lainnya. Namun, pandangan saya tentang DIDIK ternyata meleset. Menghindari kegelisahan yang membuatku terus penasaran dengan sosok si DIDIK, kali ini saya menghubungi DEDE yang juga teman sepermainan dimasa kecil dulu. Saya langsung menghubungi DIDIK, hendak meminta nomor kontak si DEDE.

 Halo, brother. Apa kabar nih, sedang sibuk kah? Begitulah sapaan-sapaan kami di wilayah barat ini dengan sedikit logat sumateranya keluar. Dan dia langsung menjawab dengan sangat antusias.
"Kabar baik, saudaraku. Bagaimana kabar disana?"
Saya tanpa basa basi, berniat tidak mengganggu aktivitasnya, saya langsung ke topiknya.
"Bro, kalau tidak begitu sibuk, boleh kirimkan nomor kontaknya si DEDE, sudah lama tidak berbicara dengan beliau"
"Ok, bro segera saya kirim", "jawabnya."
"Siap, bro. Thanks dulu ya, saya ada kegiatan nih, nanti saya hubungi lagi." Alasan saya aja untuk tidak mau mengganggu aktifitas dia.

Beberapa saat kemudian, saya melihat notifikasi WhatsApp ku bunyi, dan benar saja, saya dapat nomor kontak si DEDE.

Dan tidak membuang waktu saya langsung hubungi si DEDE, dan diapun mengangkat telepon.

"Halo, DEDE! Apa kabar?"
"Hai! Kabar baik, nih. Ada yang bisa saya bantu?", "Jawabnya: masih belum mengenali suara saya, maklum sudah lama gak berkomunikasi"
Sayapun, sedikit kaku, saya jawab:
"Iya, DEDE. Terima kasih. Saya sebenarnya ingin bertanya tentang DIDIK. Saya baru saja berbicara dengannya, dan dia bercerita bahwa dia mulai menjadi konten kreator dengan fokus pada kata-kata bijak dalam Bahasa Nias (Amaedola).

Terhenti beberapa saat, dan dia baru nebak, euy, brother, ini Santo yang di Wikipedia, kan?"

"Ya, betul sekali, De", "sahutku"
"Oh, ya? Bagaimana kabarnya DIDIK?, "Lanjutnya"
"Dia baik-baik saja. Tapi saya penasaran, apakah Anda memberikan dukungan atau terlibat dalam proyek konten-konten AMAEDOLA milik DIDIK?"
"Dede menjawab: (Jujur) Sebenarnya, tidak. Saya tidak terlalu terlibat dalam proyek tersebut. Dia benar-benar mengambil inisiatif sendiri."
"Oh, begitu ya. Saya hanya ingin memastikan, karena sepertinya dia sangat antusias dengan proyek ini. Apakah Anda tahu lebih banyak tentang konten yang dia buat?
"Jawab Dede lagi: Iya, saya tahu. Dia bercerita tentang mengabadikan kata-kata bijak tradisional dalam Bahasa Nias dan membagikannya secara online. Saya pikir itu proyek yang menarik."

Sayapun lanjutkan pembicaraan tersebut, dengan memastikan bahwa sangat bermanfaat bagi penonton saat ini, "Tentu, itu sangat menarik. Saya hanya ingin memastikan bahwa semuanya berjalan dengan lancar. Dia sudah merintis podcast juga, kan?"

DEDE menjawab dengan semangat, "Ya, benar. Dia sungguh bersemangat untuk membagikan kearifan lokal dan nilai-nilai hidup dari desa kami."

Mengingat juga Dede sedang mengerjakan sesuatu saat itu, terlihat dari Video Call kami, saya tidak mau mengganggunya terlalu lalu. Dan saya langsung mengakhiri pembicaraan.

"Terima kasih banyak, DEDE."
"Saya hanya ingin memastikan bahwa semuanya berjalan baik dan bahwa dia mendapatkan dukungan yang diperlukan.
"Tidak masalah. Jika ada yang bisa saya bantu, beri tahu saya, sambung DEDE"

"Tentu, terima kasih atas waktunya, DEDE. Semoga semuanya berjalan lancar untuk kalian di sana."
"Sama-sama. Semoga proyek DIDIK sukses. Sampai jumpa!"

Sambungan telpon terputus. Dan saya sangat percaya bahwa dengan salah satu yang disampaikan DIDIK dalam kontennya dia bilang begini:

"Setiap Masa, Ada Orangnya, dan Setiap Orang Ada Masanya"

bukan kebetulan bisa melakukan hal-hal kecil tetapi bermanfaat bagi masyarakat luas, terlebih terkait dengan bahasa suatu daerah, dimana hanya dengan cara ini, menjadi salah satu dari sekian banyak cara bisa menunda atau setidaknya memperlambat punahnya suatu bahasa.

Dukungan DEDE dan DUDUNG kepada DIDIK sunting

Suatu hari, DIDIK merasa semakin tertantang untuk mengembangkan proyek kontennya, AMAEDOLA, yang fokus pada kata-kata bijak dalam Bahasa Nias. Namun, dia sadar bahwa untuk membuat konten yang lebih dalam dan autentik, dia perlu mendapatkan informasi langsung dari para tua-tua di desanya, maklum ragam tulis tentang budaya dan bahasa Nias masih sangat minim, beruntung ada satu komunitas, yang menamakan dirinya Komunitas Wiki Nias, berjuang keras untuk mengembangkan atau mendigitalisasi bahasa Nias di dunia maya sesuai perkembangan saat ini.

Tanpa ragu, DEDE langsung menyatakan dukungan penuh terhadap inisiatif DIDIK. Dengan semangat membara, DEDE memutuskan untuk membantu DIDIK mengumpulkan informasi dari para tua-tua di kampung. Dia percaya bahwa kearifan lokal dan kata-kata bijak yang diwariskan oleh generasi sebelumnya adalah harta karun yang patut dijaga dan dibagikan.

DEDE mulai melakukan langkah pertama dengan mengunjungi para tua-tua di desa. Dengan penuh rasa hormat, dia duduk bersama mereka di bawah pohon rindang atau di ruang tamu tradisional. DEDE mendengarkan dengan penuh perhatian saat para tua-tua menceritakan kata-kata bijak dan kearifan lokal yang telah menjadi bagian dari budaya Nias. Sementara itu, DUDUNG, teman karib DIDIK yang juga memiliki keahlian dalam menulis, ikut terlibat dalam proyek ini.

DIDIK dan DUDUNG duduk bersama untuk menyusun ide dan menyelaraskan informasi yang dikumpulkan oleh DEDE. DUDUNG membantu DIDIK dalam mengatur kata-kata bijak tersebut agar dapat diungkapkan dengan indah dalam tulisan. Mereka bertiga membentuk tim yang solid dan saling melengkapi. DEDE sebagai jembatan dengan generasi sebelumnya, DIDIK sebagai penggerak utama, dan DUDUNG sebagai tangan kreatif dalam menuliskan kata-kata bijak tersebut dengan keterampilan bahasa yang memikat.

Proses kreatif ini tidak hanya menghasilkan konten yang kaya akan kearifan lokal, tetapi juga membangkitkan semangat masyarakat di desa. Seiring waktu, AMAEDOLA menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang, baik di dalam maupun di luar desa. Kata-kata bijak itu menjadi suara yang menggetarkan hati, membawa pesan kearifan hidup dari pulau terluar Nusantara.

Melalui dukungan penuh dari DEDE dan kontribusi berharga dari DUDUNG, DIDIK berhasil menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar konten. Mereka menciptakan warisan kebijaksanaan yang mengalir melalui generasi, mengajarkan pentingnya melestarikan bahasa dan budaya lokal.

Bersama-sama, DEDE, DUDUNG, dan DIDIK membuktikan bahwa ketika sahabat-sahabat sejati bersatu untuk sebuah tujuan mulia, mereka mampu menciptakan perubahan positif yang membawa dampak jauh ke masa depan.

Sebuah kutipan yang masih di ingat penulis dari apa yang DIDIK sampaikan, dia bilang begini:

Alölö nafo na no munganga,
ahori gö na no mu'a,
awai zi lö mondröi zi lö taya
ha taroma li si sambua.
Amaedola Nono Niha

Wow, saya jadi tidak ingin berhenti menulis kisah ini, tapi sementara, saya harus berhenti sejenak karena kuota internetku sudah mulai menipis, semoga para pembaca sabar menunggu kelanjutan kisah ini.

Di keesokan harinya, sayapun sudah mengisi paket data internetku dan kembali saya melanjutkan kisah cerita pendek yang sering disebut cerpen ini, dan penulis ingin menggambarkan bagaimana perasaan emosional yang begitu mengharukan di kala karya DIDIK yang dipandang sebelah mata, mendapat perhatian dari warga di desanya.

Momen Emosional: DIDIK Menerima Sorotan Hangat dari Desanya sunting

Malam itu, saat DIDIK duduk di balai desanya, dihampiri oleh tetangga dan teman-teman sejak kecil. Ruang itu penuh dengan senyum hangat dan raut wajah yang penuh kasih. Mereka berkumpul untuk memberikan penghargaan dan dukungan kepada DIDIK yang telah menjadi sorotan desa.

DIDIK, sang petani yang kini juga menjadi konten kreator, merasa haru dimana bisa dilihat dari wajah-wajah yang dulu bersama-sama bermain di sawah dan berbagi cerita di bawah pohon rindang. Momen ini bukan hanya penghargaan atas kerja kerasnya, tetapi juga bentuk dukungan yang tulus dari komunitasnya.

Penulis, yang ikut merasakan emosi mendalam DIDIK, yang tanpa sengaja melakukan panggilan video call di kala itu dan menyaksikan detik demi detik suasana haru yang penuh bahagia, sekalipun hanya dalam waktu yang singkat, maklum signal provider di daerah ini, sangat terbatas, sehingga terkadang harus berjuang untuk melakukan sambungan telepon selular. Dan di ujung pembicaraan, si DIDIK memberi pesan singkat yang menurut penulis menjadi perhatian besar:

"Mas, bro. Sahutnya, dengan penuh kegembiaraan"
"Bila punya kesempatan, sampaikan kepada pengambil kebijakan di kepulauan kita ini, agar memperhatikan fasilitas provider dengan tower-tower yang bisa memancarkan signal yang cukup di tempat kita."

Sayapun, terdiam tak berkata-kata, hanya saya memberi jempol tanda setuju dari apa yang disampaikan oleh DIDIK.

Penulis terus melibatkan diri secara personal dalam kisah ini. Dia merenung pada setiap kata-kata bijak yang dikumpulkan oleh DIDIK dan menyadari bahwa kebijaksanaan itu juga menciptakan ikatan emosional di hati masyarakat desa.

Dalam momen pemberian penghargaan, ini bukan piala yang dibayangkan oleh pembaca, namun berupa pembicaraan-pembicaraan kecil dengan ucapan:

"Selamat ya mas, bro"
"Kita jadi terinspirasi dari apa yang di awali oleh DIDIK"

Dan penulis berimajinasi seakan mencium aroma tanah basah setelah hujan yang masih melekat di balai desa. Suara gemerisik daun dan canda tawa anak-anak yang memenuhi ruang, semuanya menjadi bagian dari emosi yang terasa begitu dekat dan bermakna.

Sebagai penulis, kisah ini memberikan pengalaman pribadi yang memperkaya jiwa. Ketika mata DIDIK berbinar-binar menerima ucapan terima kasih dan pujian, penulis merasakan kehangatan persahabatan yang mendalam. Ini bukan hanya kisah tentang DIDIK, melainkan juga tentang bagaimana setiap orang di desa itu merasakan koneksi yang mendalam satu sama lain.

Seiring matahari terbenam, penulis merenung pada kisah ini dengan haru. Momen emosional itu tidak hanya melibatkan DIDIK, tetapi juga menggetarkan hati penulis sebagai saksi dan penghayat setia kisah yang membawa kehangatan ke dalam dinginnya malam. Dan di bawah langit Nias yang penuh bintang, penulis merasa bersyukur menjadi bagian dari kisah yang mengajarkan bahwa penghargaan dan dukungan sejati berasal dari tulusnya hubungan manusia dengan manusia.

Akhir kata penulis,

Mana na zalaŵa, mana na gere,
fakaole li na muhede.
Amaedola Nono Niha

yang artinya :

Bila ada salah-salah kata,
Mohon di maklumi.
Bila di artikan secara umum dalam bahasa Indonesia

Penulis melihat notifikasi WhatsApp, dan ada tanda pesan masuk dari DIDIK, dengan pesan:

"Mas, bro, "Bila nanti ada kesempatan, apalagi dapat fasilitas peralatan seperti Laptop, Tab dan lainnya, jangan lupa membantu kami dalam editing video-video yang akan di upload di platform media sosial."
"Baik, mas bro."Jawabku, aman mas bro karena kebetulan saya juga sedang ikut kompetisi di salahsatu komunitas, menulis cerpen cerita nusantara, dengan penghargaan yang memuaskan, bisa saja nanti kita mendapatkan kategori yang baik dari salahsatu kategori yang di persyaratkan, doakan saja"

Dan cerpen DIDIK MENDADAK MENDIDIK pun :

T A M A T