Iklan Pagi di Kereta

IKLAN PAGI DI KERETA API

Oleh: Yuli Faiqoh Himmah


Malam sudah kian larut. Suasana terasa kian sunyi dan sepi. Aku masih saja terjaga seorang diri. Dentingan suara jarum jam itu beradu dengan putaran baling-baling kipas angin, menemaniku dalam kesunyian malam ini. Otak dan pikiranku masih terus terpacu untuk mempersiapakan segala pernak pernik yang aku butuhkan esok hari.

Jarum jam sudah menunjuk di angka 11. Itu artinya sudah dua setengah jam aku duduk disini, di tikar biru bergambar doraemon ini. Beberapa lama menyelonjorkan kaki, kulipat kaki dan duduk bersila dengan punggung kutempelkan pada tembok. Begitu terus dari tadi. Bergonta ganti posisi.

Kini otak, pikiran dan mataku sudah mulai tidak bisa berkompromi. Aku harus segera memejamkan mata setelah ini. Sebab esok jam setengah empat pagi aku harus sudah terbangun agar tidak ketinggalan kereta pemberangkatan paling pagi.

Berkas-berkas itu masih tak karuan. Aku harus memastikan itu tertata dengan baik dan rapi sebelum aku membaringkan tubuh.” bisikku dalam hati sembari melirik berkas-berkas yang berserakan di atas tikar ini.

Setelah empat jam mengistirahatkan tubuh, aku terbangun dari tidurku. Tepat pukul 03.00 pagi, ku bangkitkan tubuhku dari tempat tidur dan beranjak menuju kamar mandi. Ku ambil air wudhu untuk mendirikan dua rakaat sholat malam. Usai salam dan berdoa, aku keluar kamar. Di depan pintu terlihat Sinta (teman sebelah kamar) keluar dari kamarnya.

“Laila jadi berangkat pagi ini ya?” tanyanya.

“Iya, Sin..”

“Gimana jadi aku antar aja ya ke stasiun? Biar kamu enggak sendirian gitu berangkatnya..” bujuknya dengan penuh perhatian

“Enggak ah Sin. Aku berangkat naik sepedaku aja sendiri. Entar sore kalau aku pulang kan jadi lebih enak, leluasa gitu.”

“Oh gitu ya…Kalau entar sore emang aku ada kuliah sampai jam lima. Terus lanjut rapat di ormawa.”pungkasnya.

“Iya Sin… fine aja kok berangkat sendirian.”

Selesai berpakaian, berkerudung dan bermake-up, aku cek lagi isi tasku. Aku pastikan semua barang, berkas dan segala yang aku perlukan selama di Kediri nanti sudah terbawa seluruhnya. Laptop dan media oke, berkas-berkas penelitian siap, alat sholat tak ketinggalan plus snack dan air minum selama di perjalanan nanti.

ku tutup dan kunci kamar kostku. Dengan mengucap basmallah kulangkahkan kaki dengan pasti.

“La… sini ku bantu buka gerbang La..” terdengar suara Sinta berjalan dari kamar kecil menuju ke arahku.

“Iya Sin… Makasih….” sahutku sambil membuka pintu depan kost.

Kuambil sepeda ontelku dari garasi, sedang Sinta membuka kunci gerbang dan mendorongnya.

“Hati-hati ya La. Selamat jalan ya..” ucap Sinta

“Makasih banyak ya Sin udah bantu aku bukain gerbang. Entar langsung kamu kunci lagi ya.” Ucapku sambal bersalaman dan cium pipi kanan kiri.

Kukayuh sepedah ontelku dengan penuh kemantapan hati, sembari berdoa, “Bismillah, tawakkaltu ‘alallaah, laa haula wa laa quwwata illa billaah.” Dan bermohon, “Yaa Allah permudahkan lah dan berkahilah segala urusan saya.”

Aku terus berjalan, menyusuri jalanan yang masih sangat sepi. Rumah-rumah, toko, warung, bengkel, tempat foto copy, ataupun studio foto semuanya masih tutup. Tidak ada pengguna jalan lain, kecuali hanya satu dua saja.

Kira-kira setelah dua kilometer berjalan, sampai lah di jalanan besar. Jalan raya kota Surabaya. Ada kendaraan motor roda dua maupun roda empat yang berlalu lalang, tapi tidak banyak. Mulai kudapati traffic light yang secara otomatis terus menerus beroperasi. Pada saat giliranku lewat, tepat lampu hijau yang menyala.

Aku pun terus melajukan sepeda ontelku. Sampai di satu pasar besar  dan terkenal itu, disini cukup banyak orang-orang sudah memulai aktivitas kesibukannya terutama untuk para pedagang yang berjualan disana dan para tengkulak. Di seberang jalan sana terlihat sudah stasiun kereta api yang menjadi tempat aku memulai perjalanan pagi ini.

Setelah mengayuh sepedah sepanjang hampir tiga kilometer, sampai lah aku di stasiun kereta. Tempat parkir menjadi yang pertama aku singgahi, untuk meletakkan sepeda. Sepeda ontelku menjadi satu-satunya yang ada disana. Nampaknya mereka yang sudah menunggu di depan stasiun itu pada diantar. Kuletakkan sepedahku di tempat paling ujung. Tak ada tukang parkir apalagi karcis.

Kulirik jam di tangan kiriku, masih pukul 04.10 pagi. Gerbang besar depan stasiun itu masih belum terbuka. Beberapa calon penumpang yang suda tiba ada yang memilih berdiri, ada pula yang jongkok. Aku sendiri memilih untuk berdiri sembari mengamati ponsel—memantau pesan WA maupun melihat-lihat status kawan-kawan.

Sekitar dua puluh menit menunggu, akhirnya terbuka lah gerbang besar itu. Kami semua langsung masuk dan memilih duduk di kursi yang tersedia. Setelah itu pegawai yang bertugas mempersilakan kami untuk masuk. Calon penumpang satu per satu antri masuk dengan menunjukkan tiket yang sudah dibeli itu.  Ada deretan kursi kosong, aku pun memilih duduk lagi.

Tuuuutttt….. tuuuuttttt….. jesss……. Jeessssss…….. tuuuuuttt…. Jeesss

Kereta api eksekutif Gajayana tujuan Jakarta kota sedang melintas di stasiun saat aku duduk di kursi tunggu.  Lima belas menit kemudian terdengar siaran dari yang bertugas bahwa kereta api lokal tujuan akhir Blitar akan segera tiba. Itu berarti kereta yang akan aku naiki.

Yaa Allah…. Alhamdulillah akhirnya…….” Ucapku lirih sambil memasukkan ponsel ke dalam tas.

“Perhatian untuk seluruh penumpang KA Lokal. Mohon untuk segera mempersiapkan diri.” Himbauan petugas yang berdiri di depan peron. Seluruh penumpang berdiri dan berjalan mendekati tempat pemberhentian kereta itu.

Tuuuutttt….. tuuuuttttt….. jesss……. Jeessssss…….. weess.

Kereta sudah berhenti di depan mata. Penumpang bergiliran masuk, termasuk juga aku. Kebetulan aku masuk melewati gerbong satu, sedang nomor kursiku 11C berada di gerbong tiga. Aku pun berjalan menyusuri gerbong kereta. Sampai di gerbong tiga, langsung dengan mudah ku temukan nomor kursiku. Kursi masih pada kosong. Dan aku memilih kursi dekat dengan jendela.

Sudah memasuki waktu shubuh. Masih ada wudhu, aku pun bersegera mengenakan mukena, duduk dengan kaki selonjor menghadap ke arah berjalannya kereta api ini, “Ushallii fardash-shubhi………………”

Shalat subuh tertunaikan. Hati terasa tenang dan lega. Alhamdulillah.

Setelah beberapa waktu tiba lah di stasiun kecil. Berhenti sejenak, menjemput penumpang baru. Satu persatu  orang masuk melewati gerbong mencari kursi seperti yang tertera di tiket masing-masing. Dua kursi di depanku terisi sekaligus, dua orang pria muda yang mengenakan kemeja lengan pendek, bercelana panjang dan bersepatu. Penampilan dan rambutnya rapi. Barangkali sales atau apa. Tak ada obrolan diantara kami. Aku lebih memilih melihat ke luar jendela. Kulihat lalu lintas di jalanan raya, juga hijaunya sawah yang mulai bisa dinikmati, karena matahari sudah mulai meninggi. Sambil sesekali melihat ponsel.

Setelah sekitar dua puluh menit berjalan kereta Kembali berhenti, menambah jumlah penumpang lagi. Ada dua orang perempuan. Seorang perempuan paruh baya dan seorang anak gadis. Nampak seperti ibu dan anak gadisnya. Sang ibu duduk di kursi tengah terlebih dulu, sementara sang anak masih berupaya meletakkan dengan baik barang-barang bawaan mereka di tempat peletakan barang yang berada diatas itu.

Oh..ya.. mbak nomer kursinya ini ya.” Ucapku setelah tersadar.

Iya mbak… 11A ya…” Jawab gadis itu.

Yuk monggo duduk sini. Saya memang yang seharusnya duduk paling pinggir ya.” Ucapku dengan tegas.”

Hendak pergi kemana, Ibu?” sapaku kepada ibu yang duduk tepat di sebelahku.

Ini dek, ibu dan anak ibu yang paling kecil ini (sambil memegang bahu si anak gadis) mau bertandang ke rumah kakaknya di Kediri.”

“Oh… tujuan kita sama ibu. Saya juga nanti turun stasiun Kediri.” Balasku.

“Hendak kemana dek?”

“Ini Bu … saya sedang mau meakukan penelitian skripsi di SMK Kota.”

“Ooh.. Jadi adek ini sudah skripsi. Sudah akan lulus ya?”

“Benar Ibu. Tinggal penyelesaian Bab V dan IV. Lalu siding akhir. Dan kalau tidak ada kendala in sya Allah akhir tahun ini juga bisa lulus dan wisuda.”

“Aamiin… Semoga lancar dan dimudahkan semuanya ya.”

“Aamiin…..” sahutku sambil mengusap tangan ke wajah

Tetiba aku teringat ada snack yang sudah aku persiapkan sedari kemarin. Kuambil dari tas lalu kubuka. Kutawarkan kepada mereka yang duduk di depan dan ibu beserta anak gadisnya yang berada di sampingku. Ada yang menyambutnya. Ada juga yang menolak dengan sangat sopan. Sembari menikmati camilan, obrolan kami berlanjut.

“Anak saya yang di Kediri itu dek, bekerja di BUMN. Dia itu selama kuliah enggak pernah bayar. Lulus kuliah tiga setengah tahun saja dengan predikat cumlaude.”

“Waahh.. Masya Allah. Hebat sekali ya Bu.”

“Dia itu setiap ada acara tertentu, mau ujian, atau mau menghadap dosen pembimbingnya, dia itu selalu telfon mengabari ibu. Minta doa sama ibu. Dan emang bener doa ibu selalu menyertainya. Dia lulus, langsung kerja. Enggak lama ketemu jodohnya.”

Andai saja aku menjadi ibu itu pasti aku akan sangat bahagia dan bangga memiliki anak seperti itu. Masih sebatas mendengar saja sudah sangat senang rasanya. Aku terus mendengar dan memperhatikan apa yang ibu ceritakan. Secara tidak langsung aku jadi diingatkan untuk menjadikan orangtua pihak pertama yang harus kita minta doa baiknya. Teringat dari kemarin sampai pagi ini aku belum berkabar ke ayah mama jika aku akan melakukan penelitian ke luar kota.

“Aah..ibu.. secara tak langsung ibu telah menasehatiku. Terimakasih Bu.”

Dreeettt……dreeeeettttt……..dreeeetttttttt

Terdengar ponselku bergetar dari dalam tas. Kuambil dan kubuka. Ada satu pesan dari ibu guru mata pelajaran  yang akan aku ambil data nantinya.

Mbak. Seluruh siswa sudah saya beritahu jika nanti jam 09.00 mereka akan belajar bersama mbak. Sudah saya jelaskan juga agar anak-anak tetap disiplin dan mengikuti dengan tertib. Karena bagaimanapun hasilnya nanti akan dijadikan dasar untuk data penelitian.

Begitu senang sekali rasanya mendapat pesan semacam ini. Aku pun langsung membalas pesan itu

Baik ibu, terimakasih yang teramat saya sampaikan atas bantuannya. In sya Allah saya tiba di tempat tepat waktu. (dengan menyertakan emoticon senyum)

Pikiranku langsung kembali melayang pada media pembelajaranku. Rasanya ingin membukanya kembali. Rasanya masih sangat ingin memantapkan lagi. Waktu terus bergulir dan semakin mendekati praktik pengajaran pembelajaran yang sebetulnya.

Kubuka tas ranselku. Kuletakkan laptop di pahaku dan kubuka dengan perlahan persis saat kereta berhenti kembali. Seperti sebelum-sebelumnya, kereta akan berhenti sekitar delapan sampai sepuluh menit untuk menunggu penumpang yang akan naik ke dalam kereta.

Kupandangi laptop dengan serius. Kuamati dengan teliti satu per satu slide media pembelajaranku. Sesekali mengangkat kepala melihat sekitaran. Ada yang berbeda. Jika sebelumnya penumpang biasa yang kulihat, kali ini ada seorang perempuan pengamen dengan penampilan yang tak biasa. Rambutnya acak-acakan. Bajunya lusuh compang-camping.

Sepertinya ini emang orang gilak kayaknya. (bisik dalam hatiku)

Aku masih terus berusaha fokus dan serius mengamati media di laptopku. Semakin lama, semakin dekat jarak antara aku dan pengamen itu. Sampai berdiri tepat di depanku, kulihat ia, ia pun melihatku. Perasaanku mulai tak enak, mulai cemas, dan focus pikiranku mulai buyar.

“Hey..kamu orang sombong sekali. Iya mentang-mentang kamu orang kaya. Bawa barang mahal macam ini ke kereta. Kamu buka kamu pamerin ini ke semua orang?” ucap si pengamen itu dengan intonasi suara yang sangat keras dan mata membelalak.

Aku hanya bisa diam dan tak mampu berkata-kata. Dadaku berdegup kencang. Aku sungguh takut. Seluruh pasang mata yang berada di gerbong itu menuju kepadaku. Sekali aku melirik si pengamen itu, dan aku memilih lebih banyak menunduk. Hatiku terus berbisik

Ada apa ini? Kenapa kejadian aneh ini menimpaku? Mimpi apa aku semalam? Yaa Allah tolong lindungi hamba.

Tak cukup dengan kata-katanya yang tajam menusuk itu. Aku yang menunduk pasrah masih ditambahi dengan aksinya memaksa menutup laptopku. Aku mencoba menahan, sedikit melawan dan berdiri menepi ke pinggir jendela. Ibu yang duduk disebelahku ikut berdiri memelukku, melindungiku. Pria muda yang duduk di depanku langsung mengambil berdiri, memberi sedikit ancaman dengan mengepalkan tangan kanannya pada si pengamen itu. Ia pun lari terbirit dan berlalu.

Astaghfirullah……Astaghfirullah…….

Kucoba terus mengulang ulang istighfar. Dengan perlahan aku berjalan kembali menempati kursiku. Ibu terus menyemangati dan menenangkanku. “Sudah dek.. tenang ya…”

“Sudah mbak ….mbak jangan khawatir. Dia enggak bakal Kembali lagi. Dia enggak akan berani kok.” Ucap pria muda itu dengan sedikit membungkukkan punggungnya untuk meyakinkanku.

Meski si pengamen itu telah berlalu. Meski orang-orang di sekitar sudah berupaya menenangkanku. Namun ada sisa ketakutan dalam diri, dadaku pun masih berdegup kencang. Kutarik nafas perlahan, kulepaskan. Kutarik nafas lagi, kulepas lagi. Demikian hingga beberapa kali. Dan aku merasa lebih baik. Terlebih pada saat aku tahu pasti si pengamen itu telah turun saat kereta berhenti di suatu stasiun.

“Alhamdulillah…. Alhamdullilah. Semoga tidak akan kutemui lagi sosok dan kejadian aneh seperti tadi.” ucapku dalam hati sembari mengelus dadaku..

“Nah kan mbak… udah turun kan tuh perempuan aneh itu.” Ucap si pria muda itu

“Iya mas. Alhamdulillah.” Pungkasku.

Perjalanan tiga setengah jam terlewati. Kini kereta berhenti tepat di stasiun tujuan, Kediri. Aku dengan rasa percaya diri dan semangat tinggi membawa tas ranselku. Mengayunkan langkah melewati pintu keluar stasiun. Di depan pintu keluar aku dan ibu beserta anak gadisnya itu saling mengucapkan terimakasih, berjabat tangan dan saling mendoakan kebaikan. Dan kami melanjutkan ke tujuan masing-masing.

Pak… ke SMK ya..” ucapku sambil langsung menaiki becak mangkal dekat stasiun

“Baik, neng….”sahut si tukang becak.

Becak langsung berbelok dan berjalan ke arah yang menjadi tujuanku, SMK Kota.

Sesampai di SMK, aku langsung masuk, berjalan menuju ruang guru menemui Bu Minuk, ibu guru yang berkirim pesan kepadaku saat di kereta tadi. ibu langsung mempersilakanku duduk dan menyiapakan apa saja yang akan aku butuhkan. Setelah semua oke, aku dan beliau berjalan menuju kelas.

Seluruh siswa sudah berada di kelas. Tidak ada satupun yang ijin keluar. Seluruhnya tertib di dalam ruangan dan siap menerima materi pengajaran pembelajaran dengan media ini.

“Assalamualaikum anak anak…..bagaimana kabarnya hari ini?”

“Walaikumasalam…alhamdulillah, sehat semangat dan ceria….” Seluruh siswa kompak menjawab demikian.

“Baik seperti yang sudah dijelaskan ibu Minuk ya. Hari ini kita akan ada pembelajaran pembuatan pola dengan media. Anak-anak sudah siap semua?”

“Siap ibu..” seluruhnya kompak

“Oke…kita mulai…”