Pembelajaran Berbasis Blended Learning

Templat:Copyvio Oleh: Wasis D. Dwiyogo

Sekarang ini, kita telah memasuki masa yang disebut sebagai abad pengetahuan (knowledge age). Tahapan perkembangan budaya manusia terdiri atas empat tahap, yaitu: abad agraris (sebelum tahun 1880), abad industri (1880–1985), abad informasi (1955–2000), dan abad pengetahuan (1995–sekarang) (Galbreth, 1999). Tahapan tonggak-tonggak sejarah peradaban manusia tersebut dilalui melalui belajar sepanjang hayat. Pada abad pengetahuan, berbagai karakteristik yang melingkupi kehidupan sangat berbeda dengan karakteristik kehidupan pada abad industri dan abad pertanian. Pada abad pengetahuan teknologi utama yang menjadi landasannya adalah komputer, pada abad industri berupa mesin, sedangkan pada abad pertanian adalah bajak. Galbreth (1999) lebih lanjut mengidentifikasi karakteristik perkem-bangan ekonomi berdasarkan teknologi utama, ilmu yang digunakan, tujuan, keluaran, bentuk organisasi, pekerja utama, dan sifat-sifat produksinya disajikan pada tabel 1.

Gambar 1. Transormasi utama ekonomi dan pendidikan (Adaptasi dari Galbreth, 1999)

Tahapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu berjalan mengikuti rumus deret hitung kemudian, pada periode belakangan berjalan menurut rumus deret ukur. Mula-mula lambat, makin lama makin cepat, dan sekarang ini, percepatan revolusi peradaban manusia dalam belajar sangat mengagumkan, yang belum pernah ditemui pada abad sebelumnya. Tabel 1. Karakteristik perkembangan ekonomi (Galbreth, 1999)

DIMENSI PERTANIAN INDUSTRI INFORMASI/ PENGETAHUAN

Teknologi utama Bajak Mesin Komputer Ilmu Teknik sipil Teknik Mekanik Bio Teknik Tujuan Kelangsungan hidup Kebendaan Perkembangan personal Keluaran Makanan Barang Informasi Sumber Tanah Modal Pengetahuan Bentuk organisasi Keluarga Perusahaan Jaringan Sumber energi Binatang Minyak fosil Pikiran Perkerja utama Petani Laboran Kewirausahaan Sifat produksi Diri sendiri Masal Individu

Kecenderungan pembelajaran masa depan telah mengubah pendekatan pembelajaran tradisional ke arah pembelajaran masa depan –yang disebut sebagai pembelajaran abad pengetahuan–, bahwa orang dapat belajar: di mana saja, artinya orang dapat belajar di ruang kelas/kuliah, di perpustakaan, di rumah, atau di jalan; kapan saja, tidak sesuai yang dijadwalkan bisa pagi, siang sore atau malam; dengan siapa saja, melalui guru, pakar, teman, anak, keluarga atau masyarakat; melalui sumber belajar apa saja, melalui buku teks, majalah, koran, internet, CD ROM, radio, televisi, dan sebagainya.

Ciri-ciri pembelajaran pada abad pengetahuan, yaitu: guru sebagai fasilitator, pembimbing dan konsultan, guru sebagai kawan belajar, belajar diarahkan oleh orang yang belajar, belajar secara terbuka, fleksibel sesuai keperluan, belajar terutama berdasarkan proyek dan masalah, berorientasi pada dunia empirik dengan tindakan nyata, metode penyelidikan dan perancangan, menemukan dan menciptakan, kolaboratif, berfokus pada masyarakat, hasilnya terbuka, keanekaragaman yang kreatif, komputer sebagai peralatan semua jenis belajar, interaksi multimedia yang dinamis, serta komunikasi yang tidak terbatas.

Untuk merekayasa sistem pembelajaran pada abad pengetahuan ini, perlu pula dipahami hakikat, terminologi atau pengertian tentang pembelajaran. Kata pembelajaran, sekarang ini, lebih banyak digunakan untuk mengganti kata pengajaran. Padahal, pembelajaran memiliki makna yang berbeda dibandingkan dengan pengajaran. Pembelajaran merujuk ke memfasilitasi belajar, sedangkan pengajaran merujuk ke arah mengajar (interaksi dengan pengajar sebagai sumber belajar utama). Pembelajaran lebih menekankan pada upaya menata lingkungan di luar diri pebelajar (faktor eksternal), agar terjadi proses belajar (faktor internal). Sedangkan pengajaran lebih menekankan pada proses mengajar-belajar dengan pengajar (guru) sebagai aktor utama, atau dibarengi dengan media sebagai alat bantu atau alat peraga lainnya. Orang yang belajar disebut pebelajar (learner). Siapa saja orang yang belajar, disebut pebelajar, entah itu siswa, mahasiswa, taruna AKABRI, dosen, manajer, atau siapa saja. Sumber belajar merupakan sumber utama untuk menstimulasi terjadinya proses belajar sedangkan proses agar terjadi belajar disebut pembelajaran. Sasaran utama pembelajaran adalah merekayasa faktor-faktor eksternal dan lingkungan sebagai sumber belajar agar mendorong prakarsa belajar.

Dengan demikian, pembelajaran adalah upaya menata lingkungan sebagai sumber belajar agar terjadi proses belajar pada diri si pebelajar. Upaya menata lingkungan dilakukan dengan menyediakan sumber-sumber belajar, misalnya: guru, buku teks, bahan pembelajaran, orang sumber, televisi, VCD, radio-kaset, majalah, koran, internet, CD ROM, lingkungan dan bahkan juga temannya sendiri. Ukuran keberhasilan pembelajaran adalah proses terjadinya interaksi antara pebelajar yang belajar dengan pembelajar. Bukan terletak pada pengajar yang menyampaikan informasi (mengajar?). Dengan demikian, rekayasa pembelajaran yang utama adalah penyediaan sumber-sumber belajar. Guru bukan satu-satunya sumber belajar, ia hanya salah satu bagian dari sumber belajar. Semua sumber-sumber belajar dirancang agar dapat mendorong prakarsa dan proses belajar menjadi lebih efektif, efisien, dan menarik, agar pebelajar tetap “betah” untuk terus belajar. Oleh karena itu, fungsi guru akan berubah ke arah guru sebagai pengelola pembelajaran. Fungsi guru yaitu merancang penyediaan sumber-sumber belajar agar belajar menjadi lebih mudah, lebih cepat, lebih menarik, dan lebih menyenangkan.

Dalam merekayasa sistem pembelajaran yang optimal, ada delapan faktor yang saling berinteraksi, yaitu: (1) pebelajar (siswa, mahasiswa, santri, karyawan, masyarakat?), (2) isi (apa isi yang diajarkan: fakta, konsep, prinsip, pemecahan masalah dsb?), (3) tujuan (pengetahuan, sikap, perilaku?), (4) lingkungan belajar (di kelas, laboratorium, perpustakaan, lapangan?), (5) pembelajar (siapa pembelajaranya?), (6) sumber belajar (buku, majalah, koran, VCD, komputer, radio?), (7) strategi (pengelolaan, penyampaian, organisasi), dan (8) evaluasi (tes lisan, tes tertulis, menyusun karya tulis, porto folio, dan memecahkan masalah?). Pada setiap peristiwa pembelajaran baik yang di lakukan di sekolah maupun di luar sekolah, kedelapan faktor ini harus menjadi pertimbangan utama.

Dalam berbagai kajian dan penelitian dinyatakan bahwa pendidikan merupakan indikator kejayaan bangsa, demikian pula guru memegang peran penting dalam membelajarkan para peserta didik (learner). Oleh karena itu, pembelajaran yang dilakukan guru menjadi indikator kunci keberhasilan pendidikan. Memasuki abad dua puluh satu ini, guru sebagai sumber belajar utama dirasa tidak memadai lagi, sumber belajar guru harus terintegrasi dengan sumber belajar lain, yaitu sumber belajar cetak, audia, audio visual, dan komputer. Bahkan perlu juga memanfaatkan handphone sebagai mobile learning.

Guru masa depan dalam kegiatan pembelajaran dapat berfungsi sebagai seniman (artist) dan ilmuwan (scientist) dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran dan mengelola sumber-sumber belajar yang sengaja dirancang dan dimanfaatkan. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan, sikap, dan keterampilan guru dalam merancang pembelajaran terutama dalam upaya memecahkan masalah atau mengaplikasikan dalam rancangan pembelajaran mata pelajaran agar kualitas pembelajaran meningkat yang sensitif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang di kenal dengan Pembelajaran Berbasis Blended Learning (PPBL). Dengan PBPL maka pembelajaran bukan hanya berbasis pada tatap muka, tetapi dikombinasikan dengan sumber yang bersifat Offline maupun Online.

Agar para pengajar di Indonesia sensitif terhadap perkembangan pengetahuan tentang pembelajaran masa depan, diperlukan serangkaian kegiatan secara inklusif maupun eksklusif, massal maupun terbatas oleh pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat dalam upaya meningkatkan kualitas pengajar. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat dilakukan melalui seminar, pelatihan, dan lokakarya dengan baik secara sentralisasi maupun desentralisasi.


Gambar 2. Modus Pembelajaran

Blended Learning Blended learning terdiri dari kata blended (kombinasi/ campuran) dan learning (belajar). Istilah lain yang sering digunakan adalah hybrid course (hybrid = campuran/kombinasi, course = mata kuliah). Makna asli sekaligus yang paling umum blended learning mengacu pada belajar yang mengkombinasi atau mencampur antara pembelajaran tatap muka (face to face = f2f) dan pembelajaran berbasis komputer (online dan offline). Thorne (2003) menggambarkan blended learning sebagai "It represents an opportunity to integrate the innovative and technological advances offered by online learning with the interaction and participation offered in the best of traditional learning. Sedangkan Bersin (2004) mendefinisikan blended learning sebagai: “the combination of different training “media” (technologies, activities, and types of events) to create an optimum training program for a specific audience. The term “blended” means that traditional instructor-led training is being supplemented with other electronic formats. In the context of this book, blended learning programs use many different forms of e-learning, perhaps complemented with instructor-led training and other live formats”. Istilah blended learning pada awalnya digunakan untuk menggambarkan mata kuliah yang mencoba menggabungkan pembelajaran tatap muka dengan pembelajaran online. Saat ini istilah blended menjadi populer, maka semakin banyak kombinasi yang dirujuk sebagai blended learning. Dalam metodologi penelitian, digunakan istilah mixing untuk menunjukkan kombinasi antara penelitian kuantitatif dan kualitatif. Adapula yang menyebut di dalam pembelajaran adalah pendekatan eklektif, yaitu mengkombinasi berbagai pendekatan dalam pembelajaran. Namun, pengertian pembelajaran berbasis blended learning adalah pembelajaran yang mengkombinasi strategi penyampaikan pembelajaran menggunakan kegiatan tatap muka, pembelajaran berbasis komputer (offline), dan komputer secara online (internet dan mobile learning). Pembelajaran berbasis Blended learning berkembang sekitar tahun 2000 dan sekarang banyak digunakan di Amerika Utara, Inggris, Australia, kalangan perguruan tinggi dan dunia pelatihan. Melalui blended learning semua sumber belajar yang dapat memfasilitasi terjadinya belajar bagi orang yang belajar dikembangkan. Pembelajaran blended dapat menggabungkan pembelajaran tatap muka (face-to-face) dengan pembelajaran berbasis komputer. Artinya, pembelajaran dengan pendekatan teknologi pembelajaran dengan kombinasi sumber-sumber belajar tatap muka dengan pengajar maupun yang dimuat dalam media komputer, telpon seluler atau iPhone, saluran televisi satelit, konferensi video, dan media elektronik lainnya. Pebelajar dan pengajar/fasilitator bekerja sama untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Tujuan utama pembelajaran blended adalah memberikan kesempatan bagi berbagai karakteristik pebelajar agar terjadi belajar mandiri, berkelanjutan, dan berkembang sepanjang hayat, sehingga belajar akan menjadi lebih efektif, lebih efisien, dan lebih menarik.


Gambar 3. Pembelajaran Berbasis Blended Learning (Kombinasi tatap muka, offline, dan online) Walaupun masih terjadi perdebatan ekstrim antara pembelajaran tatap muka dengan pembelajaran berbasis komputer, buku ini tidak berpretensi untuk melemahkan salah satu di antaranya, tetapi justru ingin memadukan atau mengkombinasikan berbagai modus belajar yang telah berkembang sampai saat ini. Hasil penelitian yang dilakukan Dziuban, Hartman, dan Moskal (2004) menemukan bahwa program blended learning memiliki potensi untuk meningkatkan hasil belajar siswa dan juga menurunkan tingkat putus sekolah dibandingkan dengan pembelajaran yang sepenuhnya pembelajaran online. Demikian juga ditemukan bahwa model pembelajaran berbasis blended lebih baik daripada pembelajaran tatap muka (Face to face). Berdasarkan temuannya yang disajikan dalam Tabel 1 menunjukkan perbandingan tingkat keberhasilan (bagi siswa mencapai nilai A, B, atau C) selama dua tahun persembahan Web. Pada tabel 2.1. disajikan hasil penelitian pembelajaran yang dilakukan melalui tatap muka (face to face), pembelajaran kombinasi (blended) dan pembelajaran melalui internet (online) penuh. Tabel 1. Persentase nilai hasil belajar antara pembelajaran tatap muka (face to face), pembelajaran kombinasi (blended) dan pembelajaran melalui internet (online) (Dziuban, Hartman, & Moskal, 2004)

Pembelajaran Musim Semi 2001 Panas 2001 Dingin 2001 Semi 2002 Panas 2002 Dingin 2002 Semi 2003 Tatap Muka (Face to Face) 91 93 91 90 94 91 91 Kombinasi (Blended) 91 97 94 91 97 92 91 Internet (Online) penuh 89 93 90 92 92 92 91 Pembelajaran berbasis blended learning, di samping untuk meningkatkan hasil belajar, bermanfaat pula untuk meningkatkan hubungan komunikasi pada tiga mode pembelajaran yaitu lingkungan pembelajaran yang berbasis ruang kelas tradisional, yang blended, dan yang sepenuhnya online. Para peneliti memberikan bukti yang menunjukkan bahwa blended learning menghasilkan perasaan berkomunitas lebih kuat antar mahasiswa daripada pembelajaran tradisional atau sepenuhnya online (Rovai dan Jordan, 2004). Dalam penelitian pengembangan SDM di perusahaan, Barbian (2002) menyimpulkan bahwa metode blended learning meningkatkan produktivitas karyawan lebih besar daripada metode pembelajaran tunggal. Komposisi blended yang sering digunakan yaitu 50/50, artinya dari alokasi waktu yang disediakan, 50% untuk kegiatan pembelajaran tatap muka dan 50% dilakukan pembelajaran online. Atau ada pula yang menggunakan komposisi 75/25, artinya 75% pembelajaran tatap muka dan 25% pembelajaran online. Demikian pula dapat dilakukan 25/75, artinya 25% pembelajaran tatap muka dan 75% pembelajaran online.

Pertimbangan untuk menentukan apakah komposisinya 50/50, 75/25 atau 25/75 bergantung pada analisis komptensi yang ingin dihasilkan, tujuan mata pelajaran, karakteristik pebelajar, interaksi tatap muka, strategi penyampaian pembelajaran online atau kombinasi, karakteristik, lokasi pebelajar, karakteristik dan kemampuan pengajar, dan sumber daya yang tersedia. Berdasarkan analisis silang terhadap berbagai pertimbangan tersebut, pengajar akan dapat menentukan komposisi (presentasi) pembelajaran yang paling tepat. Namun demikian, pertimbangan utama dalam merancang komposisi pembelajaran adalah penyediaan sumber belajar yang cocok untuk berbagai karakteristik pebelajar agar dapat belajar lebih efektif, efisien, dan menarik. Dalam skenario pembelajaran berikutnya tentu saja harus memutuskan untuk tujuan mana mana yang dilakukan dengan pembelajaran tatap muka, dan bagian mana yang offline dan online. Misalnya dalam pembelajaran pendidikan jasmani, pada saat menjelaskan pengetahuan dan teknik gerak dapat dilakukan melalui pembelajaran berbasis komputer (offline), untuk melihat aplikasi gerakan dalam suatu pertandingan dapat dilakukan melalui akses internet (online), dan pada saat menjelaskan dan mendemonstrasikan, melatih keterampilan, melatih disiplin, dan sportivitas lebih cocok dilakukan dengan tatap muka. Demikian pula dalam pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di mana guru atau instruktur  semua kegiatan berbasis audio (pemahaman pendengaran, ekspresi oral) akan berlangsung di ruang kelas, sedangkan kegiatan berbasis teks akan dilakukan secara online.
	Yang penting, pembelajaran berbasis blended learning bertujuan untuk memfasilitasi terjadinya belajar dengan menyediakan berbagai sumber belajar dengan memperhatikan karakteristik pebelajar dalam belajar. Pembelajaran juga dapat mendorong peserta untuk memanfaatkan sebaik-baiknya kontak face-to-face dalam mengem-bangkan pengetahuan. Lalu, persiapan dan tindak-lanjutnya dapat dilakukan secara offline dan online. Program belajar yang total online tidak dianjurkan untuk pembelajaran yang masih mempertimbangkan perlunya kontak tatap muka antara pebelajar dan pengajar. Namun, dalam pembelajaran ada kalanya pebelajar tidak dapat datang karena berbagai kendala, misalnya di jurusan pendidikan jasmani ada sebagian mahasiswa yang aktif sebagai olahragawan yang mempunyai jadwal latihan dan pertandingan yang ketat dan tidak sinkron dengan jadwal perkuliahan, maka pembelajaran berbasis offline dan online menjadi memungkinkan untuk dilakukan pada kelas reguler mahasiswa. 

Pembelajaran berbasis blended learning merupakan pilihan terbaik untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan daya tarik yang lebih besar dalam berinteraksi antar manusia dalam lingkungan belajar yang beragam. Belajar blended menawarkan kesempatan belajar untuk menjadi baik secara bersama-sama dan terpisah, demikian pula pada waktu yang sama maupun berbeda. Sebuah komunitas belajar dapat dilakukan oleh pelajar dan pengajar yang dapat berinteraksi setiap saat dan di mana saja karena memanfaatkan yang diperoleh komputer maupun perangkat lain (iPhone) sebagai fasilitasi belajar. Blended learning memberikan fasilitasi belajar yang sangat sensitif terhadap segala perbedaan karakteristik pskiologis maupun lingkungan belajar.

Gambar 4. Rata-Rata Persentasi Hasil Belajar Tatap Muka Dan Blended Berdasarkan Etnis (Rovai Dan Jordan, 2004) Hasil penelitian Karen Precel, Yoram Eshet-Alkalai, and Yael (2009) terkait dengan kontribusi komponen-komponen dalam blended learning menunjukkan bahwa komponen pembelajaran yang dianggap paling berkontribusi belajar adalah tugas-tugas (rerata = 4,72), buku cetak (rerata = 4,54), presentasi pertemuan (rerata = 4,42), dan pertemuan kuliah tatap muka dengan instruktur (rerata = 4,15). Video online kuliah memberikan kontribusi terhadap belajar (rerata = 3,83), buku pelajaran online memiliki kontributsi rata-rata untuk belajar (rerata = 3.32), walaupun kontribusinya rendah hampir setengah dari peserta (46,5%) menyatakan sering menggunakannya.

Sejarah Blended Learning Pembelajaran berbasis blended learning dimulai sejak ditemukan komputer, walaupun sebelum itu juga sudah terjadi adanya kombinasi (blended). Terjadinya pembelajaran awalnya karena adanya tatap muka dan interaksi antara pengajar dan pebelajar, setelah ditemukan mesin cetak maka guru memanfaatkan media cetak. Pada saat ditemukan media audio visual, sumber belajar dalam pembelajaran mengkombinasi antara pengajar, media cetak, dan audio visual. Namun terminologi blended learning muncul setelah berkembangkanya teknologi informasi sehingga sumber dapat diakses oleh pebelajar secara offline maupun online. Saat ini, pembelajaran berbasis blended learning dilakukan dengan menggabungkan pemb elajaran tatap muka, teknologi cetak, teknologi audio, teknologi audio visual, teknologi komputer, dan teknologi m-learning (mobile learning). Bersin (2004) menggambarkan sejarah blended learning yang berkembang di dunia pelatihan pada awalnya juga seperti yang dilakukan pada lembaga pendidikan yaitu sumber belajar utama adalah pelatih/fasilitator. Dengan ditemukannya teknologi komputer, pelatihan dilakukan menggunakan mainframe based yang dapat melakukan kegiatan pelatihan secara individual tidak bergantung pada waktu dan materi yang sama (tidak sinkron). Perkembangan berikutnya pembelajaran yang tetap mengguna-kan basis komputer tetapi daya jangkaunya menjadi lebih luas melintasi pulau dan benua karena perkembangan teknologi satelit. Demikian pula, isi pelatihan dilakukan pengebarannya melalui CD ROM dan internet. Saat ini pelatihan menggabungkan semua itu agar pembelajaran menjadi lebih efektif, efisien dengan konsep kombinasi (blended).

Gambar 5. Perkembangan Pembelajaran di Dunia Pelatihan (Bersin, 2004)

Pelatihan oleh Instruktur Dalam kegiatan ini peran instruktur/fasilitator sangat penting dalam membangun pengetahuan para peserta pelatihan. Interaksi yang dibangun oleh instruktur dan peserta menjadi hubungan antar manusia. Kelebihan-kelebihan yang dimiliki instruktur, misalnya profesor, doktor, guru, ahli materi atau praktisi dapat dilakukan di ruang kelas, misalnya instruktur dapat menjelaskan sambil bercerita lucu dan menarik sehingga tidak membosankan. Mereka dapat menarik antusias untuk belajar lebih lanjut berdasarkan pengalaman belajar yang diangun dikaitkan dengan pengalaman yang telah dimiliknya. Mereka dapat mengajukan dan menjawab pertanyaan serta mengkondisikan kelas berdasarkan keadaan. Bahkan lebih penting lagi ─yang tidak bisa kita pelajari dari e-learning─ pembelajaran yang dipimpin seorang fasilitator dalam kelas memiliki nilai dan budaya karena para peserta berinteraksi dan belajar satu sama lain secara langsung. Namun hal ini juga menjadi kelemahan, jika fasilitatornya tidak kurang ahli dalam isi maupun berinteraksi dengan peserta pelatihan. Pelatihan menjadi membosankan. Kemudian, kekurangan terbesar dalam pembelajaran tatap muka adalah skala jangkauan, baik jarak maupun jumlah peserta. Tidak mungkin pembelajaran tersebut menjangkau ribuan peserta. Dengan pembelajaran tatap muka hanya memiliki dua pilihan yaitu ukuran kelas yang besar atau kelas yang banyak. Ukuran kelas yang sangat besar mengurangi efektivitas, kelas yang banyak akan memerlukan waktu lebih banyak, dan lebih lagi kelas-kelas yang berjauhan akan memerlukan biaya perjalanan sangat mahal. Dalam suatu kegiatan pelatihan yang harus diselesaikan dalam batas waktu yang ketat dan jumlah jam yang tersedia untuk peserta terbatas, jika mengandalkan pembelajaran tatap muka ini kita akan menemui kesulitan. Secara teoritis, jika menggunakan teknologi kita bisa mencapai peserta lebih banyak dalam waktu yang lebih singkat. Pelatihan Berbasis Mainframe Pendekatan pembelajaran berbasis teknologi pertama diawali pada tahun 1960-an dan 1970-an dengan penggunaan mainframe (komputer besar dengan kemampuan super) sebagai pengolah data dan mini komputer (sekarang = personal computer) sebagai tampilan antar muka bagi peserta. Sistem yang pertama dibuat diberi nama PLATO, sebuah sistem yang dikembangkan pada tahun 1963 oleh Universitas Illinois. PLATO mempelopori penggunaan komputer dalam penyelenggaraan pendidikan tradisional dan masih terus dikembangkan hingga sekarang dengan nama PLATO IV. Sistem tersebut di atas memiliki keterbatasan tampilan berbasis teks, belum mampu menyuguhkan bentuk-bentuk gambar, animasi, dan video yang memukau seperti sekarang ini. Walaupun begitu, pada saat itu teknologi ini telah memberikan manfaat yang luar biasa karena dengan waktu pelatihan tatap muka yang sama, sistem ini mampu menjangkau ratusan hingga ribuan orang yang dapat belajar tanpa meninggalkan tempat kerja mereka. Era inilah yang menjadi awal dari apa yang kita sebut sekarang ini sebagai blended learning. Siaran Langsung Video berbasis Satelit Evolusi teknologi pelatihan berikutnya dilakukan pada tahun 1970-an, ketika banyak perusahaan mulai menggunakan jaringan video untuk memperluas jangkauan pelatihan secara langsung. Pembelajar bisa duduk di kelas atau tetap di tempat kerja menyaksikan instruktur di TV, mengobrol dan berinteraksi dengan siswa lain, dan bertanya pada instruktur. Salah satu contohnya adalah Universitas Stanford dengan jaringan Interaktif TV nya, sampai sekarang jaringan ini masih digunakan di seluruh Lembah Silicon Valley. Universitas Stanford mengembangkan jaringan video pada tahun 1970-an dan 1980-an yang memungkinkan para profesor Stanford untuk mengajar ke seluruh teluk San Francisco tanpa meninggalkan kampus. Para peserta pelatihan tidak perlu meninggalkan tempat kerja mereka untuk belajar. Mereka menyerahkan hasil latihan dan tes melalui kurir. Jika pelatihan dilakukan di ruang kelas, ruang kelas memiliki kamera TV yang memungkinkan instruktur untuk melihat seluruh kelas. Peserta dapat dapat menekan tombol untuk mengajukan pertanyaan. Sampai saat ini, live video tetap menjadi pendekatan pelatihan yang penting dalam banyak perusahaan. Perusahaan General Motors di Amerika, misalnya, sangat bergantung pada instruksi-instruksi berbasis video untuk melatih para dealernya. Jika peserta tidak memiliki akses ke komputer, pelatihan live video ini sangat tepat. Beban pembangunan dan pemeliharaan jaringan video yang dahulu mahal, pada saat ini tidak lagi karena jaringan kabel video telah digantikan oleh yang lebih rendah biayanya dengan sistem berbasis IP (internet protocol) digital seperti web-casting dan video berbasis web.

Pelatihan dengan Personal Computer CD-ROM Pada awal 1980-an ketika PC (personal computer) muncul, para pelatih dan pendidik penuh antusias memanfaatkan teknologi PC multimedia. Perusahaan komputer melihat peluang pasar dan mulai membuat model PC khusus dengan fitur yang dirancang untuk pelatihan multimedia. Era CD (Compact Disk) ROM merupakan dasar bagi pelatihan berbasis web seperti yang kita lihat sekarang ini. Penyedia jasa pelatihan menyadari bahwa komputer dapat menghasilkan gambar, suara, video, dan interaktivitas yang tinggi. Dengan media penyimpanan yang tersedia secara luas dalam bentuk CD-ROM, materi (isi) belajar bisa didistribusikan dengan mudah. Learning Management Sistem Untuk mengatasi keterbasan pemanfaatan CD-ROM, seperti bagaimana mengelola semua salinan materi yang didistribusikan, siapa yang menggunakannya?, apa yang mereka lakukan?, bagaimana memonitor bahwa mereka telah menyelesaikan latihan?, maka diciptakan Learning Management Sistem (LMS), sebuah perangkat lunak pada jaringan yang bisa melacak dan mengelola semua pengguna pelatihan berbasis CD-ROM. LMS yang pertama dikembangkan terutama untuk mengelola pendaftaran, pelacakan, dan penyelesaian pelatihan berbasis CD-ROM melalui jaringan. Sekelompok maskapai penerbangan memanfaatkan model pelatihan ini dengan mengembangkan standar baru yang disebut sebagai Aviation Industry CBT Committee (AICC). Pada saat itu LMS digunakan untuk mengetahui kapan peserta mulai berlatih, berapa nilai yang dicapai, dan berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk menyelesaikan pelatihan. Pembelajaran Berbasis Web Temuan-temuan di bidang komputer yang memungkinkan komputer semakin cepat dan akses jaringan internet semakin mudah dan murah. Dengan kecepatan internet yang tinggi, suatu materi pembelajaran multimedia dapat didistribusikan dengan cepat ke banyak pengguna. Web Based Training umumnya dikelola oleh aplikasi LMS yang telah berkembang sedemikian pesatnya dengan fitur yang semakin lengkap. Ada banyak sekali aplikasi LMS, namun yang banyak digunakan adalah moodle yaitu program untuk mengelola pembelajaran berbasis web. Saat ini berbagai lembaga pelatihan dan pendidikan sekolah memiliki berbagai pilihan untuk melakukan pembelajaran dengan cara mengkombinasi berbagai kelebihan mode pembelajaran (blended). Pembelajaran melalui tatap muka dikombinasi dengan belajar sendiri (asynchronous) melalui web, CD-ROM, dan buku. Kemudian dikombinasi melalui pembelajaran langsung tanpa tatap muka dengan instruktur atau pengajar melainkan langsung melalui sumber belajar onnline (synchronous) melalui web-casting, siaran langsung video, konferensi video, dan pembelajaran tatap muka di kelas.

Keuntungan Blended Learning Berdasarkan perkembangan teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran, saat ini tidak ada metode pembelajaran tunggal yang ideal untuk semua jenis pembelajaran pelatihan, karena setiap teknologi memiliki keunggulan masing-masing. Teknologi cetak memiliki keunggulan yang sangat fleksibel sebagai sumber belajar, dapat dibawa ke mana-mana tanpa menggunakan listrik. Sedangkan komputer mempunyai keunggulan pembelajaran yang lebih interaktif dapat berupa teks, gambar, film, animasi dan dapat dikonversi dalam berbagai bentuk digital, tetapi mobilitasnya terbatas karena bergantung kepada catu daya listrik. Pada kasus tertentu pembelajaran melalui audio lebih efektif dibandingkan dengan video. Jadi masing-masing teknologi mempunyai keunggulan untuk tujuan belajar tertentu, untuk karakteristik bidang tertentu. Demikian juga metode pembelajaran untuk siswa di Sekolah Dasar dapat efektif, tetapi tidak untuk mahasiswa pascasarjana, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu diperlukan metode pembelajaran yang berbeda untuk karakteristik pebelajar yang berbeda. Untuk memenuhi semua kebutuhan belajar dengan berbagai karakteristik orang yang belajar maka pendekatan melalui blended learning adalah yang paling tepat. Dengan blended leaning memungkinkan pembelajaran menjadi lebih profesional untuk menangani kebutuhan belajar dengan cara yang paling efektif, efisien, dan memiliki daya tarik yang tinggi. Keuntungan yang diperoleh dengan manfaat pembelajaran berbasis blended bagi lembaga pendidikan atau pelatihan adalah: • memperluas jangkauan pembelajaran/pelatihan; • kemudahan implementasi; • efisiensi biaya; • hasil yang optimal; • menyesuaikan berbagai kebutuhan pebelajar, dan • meningkatkan daya tarik pembelajaran.

Peran Pengajar Peran pengajar dalam pembelajaran berbasis blended learning sangat penting dalam mengelola pembelajaran. Yang pasti pengajar harus melek informasi. Di samping memiliki keterampilan mengajar dalam menyampaikan isi pembelajaran tatap muka, pengajar juga harus memiliki kpengetahuan dan keterampilan dalam mengembangkan sumber belajar berbasis komputer (Microsoft Word dan Microsoft PowerPoint) dan keterampilan untuk mengakses internet, kemudian dapat menggabungkan dua atau lebih metode pembelajaran tersebut. Seorang pengajar dapat memulai pembelajaran dengan tatap muka terstruktur kemudian dilanjutkan dengan pembelajaran berbasis komputer offline dan pembelajaran secara online. Kombinasi pembelajaran juga dapat diterapkan pada integrasi e-learning (online), menggunakan komputer di kelas, dan pembelajaran tatap muka di kelas. Bimbingan belajar perlu diberikan kepada pebelajar sejak awal, agar para pebelajar memiliki keterampilan belajar kombinasi sejak awal, karena kemampuan ini akan menjadi alat belajar di masa depan. Peran pengjaar sangat penting karena hal ini memerlukan proses transformasi pengetahuan isi dan blended learning sebagai alat. Dengan makin baiknya sistem ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, maka penduduk dunia akan semakin banyak pula, oleh karena itu perlu dilakukan pembelajaran yang efisien dalam pemanfaatan sumber daya, pembelajaran berbasis blended learning merupakan suatu keniscayaan untuk dilaksanakan dalam sistem pembelajaran, khususnya di Indonesia. Kunci dari semua ini terletak pada peran pengajar yang mengusai kompetensi untuk mengelola pembelajaran berbasis blended learning.

Unsur-Unsur Blended Learning Pembelajaran berbasis blended learning mengkombinasikan antara tatap muka dan e-learning tinggi paling tidak memiliki 6 (enam) unsur, yaitu: (a) tatap muka (b) belajar mandiri, (c) aplikasi, (d) tutorial, (e) kerjasama, dan (f) evaluasi. Pembelajaran Tatap muka Pembelajaran tatap muka dilakukan seperti yang sudah dilakukan sebelum ditemukannya teknologi cetak, audio visual, dan komputer, pengajar sebagai sumber belajar utama. Pengajar menyampaikan isi pembelajaran, melakukan tanya jawab, diskusi, memberi bimbingan, tugas-tugas kuliah, dan ujian. Semua dilakukan secara sinkron (synchronous), artinya semua pebelajar belajar isi pembelajaran pada waktu dan tempat yang sama. Beberapa variasi yang dilakukan, misalnya dosen membagi perkuliahan ke dalam topik-topik yang harus di bahas oleh mahasiswa di depan kelas, mehasiswa membuat makalah untuk presentasi mahasiswa sebagai peserta dan melakukan klarifikasi, tanya-jawab, dan memecahkan masalah. Dengan menggunakan pendekatan berpusat pada pebelajar, kuliah dilakukan dengan tutorial, buku kerja, menulis makalah, dan penilaian. Pembelajaran Mandiri Dalam pembelajaran tatap muka, untuk mengakomodasi perbedaan individual kemudian berkembang dengan memberikan tugas belajar mandiri melalui pembelajaran menggunakan modul, sekarang di sekolah digunakan Lembar Kerja Siswa. Tujuannya tentu agar siswa yang berlainan karakteristik kecerdasannya akan belajar sesuai dengan kecepatan belajarnya. Dalam sumber belajar untuk pembelajaran mandiri ini, kebanyakan pengajar memerlukan buku teks 2 atau atau lebih sebagai sumber belajar. Dalam pembelajaran berbasis blended learning, akan banyak sumber belajar yang harus diakses oleh pebelajar, karena sumber-sumber tersebut tidak hanya terbatas pada sumber belajar yang dimiliki pengajar, perpustakaan lembaga pendidikannya saja, melainkan sumber-sumber belajar yang ada di perpustakaan seluruh dunia. Pengajar yang profesional dan kompeten dalam disiplin ilmu tentu dapat merancang sumber-sumber belajar mana saja yang dapat diakses untuk mengkombinasikan dengan buku, multi media, dan sumber belajar lain. Pembelajaran Berbasis Masalah Aplikasi dalam pembelajaran berbasis blended learning dapat dilakukan melalui Pembelajaran Berbasis Masalah Masalah. Melalui pembelajaran berbasis masalah, pebelajar akan belajar berdasarkan masalah yang harus dipecahkan, kemudian melacak konsep, prinsip, dan prosedur yang harus diakses untuk memecahkan masalah tersebut. Ini berbeda dengan pembelajaran konvensional, yang di tahap awal disajikan konsep, prinsip, dan prosedur yang diakhiri dengan menyajikan masalah. Asumsinya, pebelajar dianggap belum memiliki pengetahuan prasyarat untuk memecahkan masalah, sehingga konsep-konsep tersebut disajikan terlebih dahulu. Melalui pembelajaran berbasis masalah, pebelajar akan secara aktif mendefinisikan masalah, mencari berbagai alternatif pemecahan, dan melacak konsep, prinsip, dan prosedur yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah tersebut.

Pembelajaran Tutorial Program pembelajaran berbasis komputer memerlukan kegiatan tutorial tatap muka, namun sifat tutotial berbeda dengan pembelajaran tatap muka konvensional. Pada tutorial, pebelajar yang aktif untuk menyampaikan masalah yang dihadapi, seorang pengajar akan berperan sebagai tutor yang membimbing. Sejumlah program universitas menggunakan berbagai pembelajaran interaktif komputer. Perusahaan menyediakan pembelajaran berbasis CD-ROM dan konten online. Meskipun aplikasi teknologi dapat meningkatkan keterlibatan pebelajar dalam belajar, peran pengajar masih diperlukan sebagai tutor. Pembelajaran Kolaborasi Kerjasama atau kolaborasi merupakan salah satu ciri penting pembelajaran masa depan yang lebih banyak mengedepankan kemampuan individual, namun kemampuan ini kemudian disinergikan untuk menghasilkan produk, karena produk masa depan, apalagi produk komputer baik berupa perangkat keras maupun perangkat lunak yang kompleks, diperlukan pendekatan interdisipliner. Oleh karena itu produk masa depan adalah produk yang dihasilkan dari kegiatan kolaborasi. Keterampilan kolaborasi harus menjadi bagian penting dalam pembelajaran berbasis blended learning. Hal ini tentu berbeda dengan pembelajaran tatap muka konvensional yang semua pebelajar belajar di dalam kelas yang sama di bawah kontrol pengajar, dalam pembelajaran berbasis blended, maka pebelajar bekaerja secara mandiri dan berkolaborasi. Oleh karena itu, tagihan dalam pembelajaran ini akan berbeda dengan pembelajaran tatap muka. Evaluasi pembelajaran berbasis blended learning tentunya akan sangat berbeda dibanding dengan evaluasi pembelajaran tatap muka. Evaluasi harus didasarkan pada proses dan hasil yang dapat dilakukan melalui penilaian evaluasi kinerja belajar pebelajar berdasarkan portofolio. Demikian pula penilaian perlu melibatkan bukan hanya otoritas pengajar, namun perlu ada penilaian diri oelh pebelajar, maupun penilai pebelajar lain.

Klasifikasi Blended Learning Untuk memahami e-Learning beberapa ahli mengklasifikasi berdasarkan karakteristik. Pada umumnya pembelajaran e-Learning atau online adalah "asynchronous", di mana pengajar/ guru/dosen/instruktur dan orang yang belajar siswa tidak bertemu di saat yang sama. Ranganathan, Negash, dan Wilcox, 2007) membagi empat jenis klasifikasi e-Learning, yaitu: 1. e-Learning tanpa kehadiran dan tanpa komunikasi, 2. e-Learning tanpa kehadiran tetapi dengan komunikasi, 3. e-Learning dikombinasikan dengan kehadiran sesekali, 4. e-Learning digunakan sebagai alat dalam mengajar di kelas . Berdasarkan empat klasifikasi tersebut, kemudian dikembangkan menjadi enam jenis e-learning yang disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 2. Klasifikasi e-learning sebagai konsep dasar Blended Learning.

Klasifikasi Presentasi Komunikasi elektronik Sebutan Pembelajaran Tipe I YA TIDAK Tatap Muka Tipe II TIDAK TIDAK Belajar Mandiri Tipe III TIDAK YA Tidak sinkron Tipe IV YA YA Sinkron Tipe V PILIHAN YA Blended/Hybrid-Tidak Sinkron Tipe VI YA YA Blended/Hybrid-Sinkron

Tipe I: Pembelajaran tatap Muka Pembelajaran dilakukan dengan adanya kehadiran fisik pengajar yang melakukan presentasi materi secara fisik tetapi tidak melakukan komunikasi elektronik. Ini merupakan tipe kelas tatap muka di kelas secara tradisional. Pengajar atau instruktur dan orang yang belajar secara fisik hadir di kelas setiap saat penyajian materi pembelajaran. Komunikasi antara pebelajar dan pengajar terjadi di kelas secara bersama-sama, dalam waktu dan tempat yang sama. Pembelajaran ini dimasukkan sebagai e-learning karena walaupun pembelajaran lebih didominasi oleh kegiatan tatap muka, namun sudah menggunakan media elektronik sebagai kegiatan penyampaian isi pembelajaran, misalnya melalui slide PowerPoint, klip video, dan multimedia untuk memberikan penjelasan dan contoh-contoh isi pembelajaran.

Tipe II: Pembelajaran Mandiri Pembelajaran dilakukan tanpa presentasi dan kehadiran pengajar dan tanpa komunikasi elektronik, artinya pebelajar belajar sendiri. Pendekatan ini disebut sebagai belajar mandiri (self-learning). Pebelajar menerima isi/materi pembelajaran melalui belajar sendiri. Tidak ada orang yang membantu dalam format belajar mandiri, juga tidak ada komunikasi elektronik antara pebelajar dan pengajar/instruktur. Dalam format ini e-Learning pelajar biasanya menerima konten pra-rekaman atau mengakses arsip rekaman konten. Komunikasi antara pebelajar dan pengajar tidak dilakukan. Contoh pembelajaran tipe ini, isi disampaikan pada pebelajar menggunakan media rekaman seperti CD ROM atau DVD.

Tipe III: Pembelajaran Tidak Sinkron Pembelajaran dilakukan tanpa kehadiran pengajar namun dilakukan degan komunikasi elektronik yang tidak sinkron (asynchronous). Yang dimaksud dengan tidak sinkron adalah komunikasi elektronik antara pengajar dan pebelajar tidak dilakuksan pada waktu dan tempat yang sama. Dalam format ini, pengajar dan pebelajar tidak secara bersama-sama bertemu dalam suatu ruang yang sama. Namun, pengajar dan pebelajar melakukan komunikasi yang dapat dilakukan melalui email dan pebelajar tidak perlu hadir secara fisik di kelas. Contoh jenis ini adalah pembelajaran e-Learning dengan menggunakan ruang kelas tradisional di mana pengajar dan pebelajar pada saat yang sama menggunakan email.

Tipe IV: Pembelajaran Sinkron Pembelajaran dilakukan secara maya dan komunikasi elektronik yang sinkron (synchronous). Format ini disebut sinkron, karena pengajar dan pebelajar selalu hadir secara real-time, walau tidak ada kehadiran fisi. Teknologi yang digunakan untuk komunikasi sinkron mencakup semua teknologi yang digunakan dalam e-Learning asynchronous selain dilakukan real-time e-Learning, juga penggunaan instant messaging, chat, live audio, dan video langsung. Contoh tipe ini adalah sebuah kelas virtual dengan video audio, pengajar dan pebelajar bertatap muka melalui video, disertai dengan chatting.

Tipe V: Blended Learning Tidak Sinkron Pembelajaran dilakukan dengan kehadiran pengajar sesekali dan komunikasi elektronik yang dikombinasi atau capuran (Blended/Hybrid-asynchronous). Ini adalah format e-Learning blended atau hybrid dengan kehadiran pengajar sesekali. Dalam format ini komunikasi elektronik digunakan dalam format asinkron dan sinkron. Kehadiran pengajar yang kadang-kadang, di mana beberapa pertemuan dilakukan dengan kehadiran fisik (yaitu tatap kelas-muka) dan pada pertemuan yang dilakukan tanpa kehadiran pengajar (asynchronous). Kehadiran fisik pengajar mirip dengan kelas tatap muka tradisional, di mana baik pengajar maupun pebelajar secara fisik hadir di kelas. Contoh tipe ini, isi pembelajaran disampaikan kadang-kadang melalui pertemuan tatap muka dan melalui teknologi e-Learning yang dilakukan secara tidak sinkron Tipe VI: Pembelajaran Blended Learning Sinkron Pembelajaran dilakukan dengan kehadiran pengajar dan dengan komunikasi elektronik (Blended/Hybrid-sinkron). Dalam format ini komunikasi elektronik dikemas dalam format asinkron dan sinkron. Kehadiran pengajar dapat dilakukan bergantian antara fisik dan virtual. Beberapa pertemuan kelas dilakukan dengan kehadiran fisik (dalam ruang kelas tradisional yaitu tatap muka langsung) dan pertemuan lainnya dilakukan secara maya (sinkron). Dalam format ini pebelajar dan pengajar selalu bertemu di saat yang sama, kadang-kadang secara fisik dan waktu lainnya melalui tatap muka maya. Contoh tipe ini adalah tempat pengajar dan pebelajar menggunakan kelas untuk beberapa waktu dan menggunakan live audio/video untuk pertemuan maya. Pertemuan pada yang lain di kombinas tatap muka dan tidak tatap muka. Dalam Blended/ hibrida Learning, kehadiran fisik dan virtual dapat dikombinasi (dicampur) dengan format tidak sinkron dan sinkron. Jumlah waktu tatap muka dapat sangat bervariasi dari program pembelajaran yang satu ke program lainnya. Beberapa kali melakukan pertemuan kelas tatap muka pertama dan terakhir dalam satu semester. Pembelajaran Blended dapat dilakukan dengan dua puluh lima persen melalui kehadiran pengajar dan tujuh puluh lima persen tanpa kehadiran. Ada juga yang melakukan pembelajaran dengan lima puluh persen tatap muka dan lima puluh persen melalui e-learning. Demikian pula, ada yang melakukan seratus persen kehadiran tatap muka dengan kombinasi kehadiran fisik dan maya. Meskipun tidak ada standar proporsi kehadiran tatap muka dan letidakkehadiran secara fisik, namun yang pasti dalam pembelajaran berbasis blended learning selalui mengkombinasi kegiatan tatap muka dan e-learning sebagai upaya untuk memfasilitasi terjadinya belajar (Ranganathan, Negash, dan Wilcox, 2007).

Penutup Indonesia merupakan bangsa yang besar, baik dari aspek luas wilayah, sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Namun demikian, kondisi bangsa sekarang ini belum menunjukkan jati diri sebagai bangsa yang besar perhitungan Human Development Indeks (HDI) dikeluarkan UNDP. Kualitas sumber daya manusia dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI). Berdasarkan laporan IPM yang dirilis United Nation Development Program (UNDP), pada tahun 2010 IPM Indonesia berada pada urutan 108 dari 166 negara dan masih tertinggal dibanding negara-negara ASEAN seperti Singapura (urutan 27), Brunai Darussalam (urutan 37), Malaysia (urutan 57), Thailand (urutan 92), Philipina (urutan 97). Yang dibawah peringkat Indonesia hanya negara Vietnam (urutan 113), Timor Leste (urutan 120), Kamboja (urutan 124), dan Myanmar (urutan 132). Rendahnya IPM Indonesia tersebut, menggambarkan rendahnya daya saing bangsa Indonesia untuk bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Sudah keharusan bagi pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat untuk meningkatkan daya saing bangsa Indonesia dengan cara meningkatkan IPM melalui pembangunan bidang pendidikan, khususnya pdeningkatan kualitas pembelajaran. Pembelajaran yang berkualitas akan menghasilkan lulusan yang berkualitas yang diharapkan mampu menjawab perkembangan zaman dan arus globalisasi. Agar para pengajar di Indonesia sensitif terhadap perkembangan pengetahuan tentang pembelajaran masa depan, diperlukan serangkaian kegiatan secara inklusif maupun eksklusif, massal maupun terbatas oleh pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat dalam upaya meningkatkan kualitas pengajar. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat dilakukan melalui seminar, pelatihan, dan lokakarya dengan baik secara sentralisasi maupun desentralisasi untuk memanfaatkan perkembangan teknologi dalam pembelajaran, meliputi teknologi cetak, teknologi audio, teknologi audio visual, teknologi komputer, dan teknologi telepon seluler. Pembelajaran yang memanfaatkan semuanya itu apabila dikemas menjadi satu kesatuan dengan kombinasi yang berprinsip sinergi, maka pembelajaran tersebut menjadi berkualitas karena mampu memfasilitasi sumber belajar yang beragam. Semoga kebangkitan pembelajaran yang sensitif terhadap perkembangan teknologi segera terwujud.  

Daftar Rujukan



Bersin, Josh. 2004. The Blended Bearning Book:Best Bractices, Proven Methodologies, and Lessons Learned. San Francisco: Pfeiffer

Galbreth, J. 1999. Preparing the 21st Century Worker: The Link Between Computer-Based Technology and Future Skill Set. Educational Technology, Vol XXXIX, Number 6, November-Desember 1999.

Wikipedia, the free encyclopedia. Blended Learning. (www.wikipedia.com, diakses tanggal 29 agustus 2010)

Ranganathan, S., S. Negash and M.V. Wilcox, "Hybrid Learning: Balancing Face-to-Face and Online Class Sessions," Proceedings of the Tenth Annual Conference of the. Southern Association for Information Systems Jacksonvill, Florida, 2007,

REFERENCES

Alavi, M. and D.E. Leidner, "Research Commentary: Technology Mediated Learning - A Call for Greater Depth and Breadth of Research," Information Systems Research, 2001, 12: 1, pp. I1-10. Alavi, M., G.M. Marakasand Y. Yoo, "A Comparative Study of Distributed Learning Environments on Learning Outcomes," Information Systems Research, 2002, 13: 4, pp. I404-415. Brunner, D.L., "The Potential of the Hybrid Course Vis-a-Vis Online and Traditional Courses," Teaching Theology and Religion, 2006, 9: 4, pp. I229-235. Cogburn, D.L. and Hurup, D. (2006). The World is Our Campus: Synchronous collaboration software lets universities unite colleagues, students, and researchers from all over the globe. Network Computing for IT by IT, retrieved August 6, 2006 from http://www.networkcomputing.com/showArticle.jhtml?articleID=184428959&pgno=1 Dagada, R. and M. Jakovljevic, "'Where Have all the Trainers Gone?' E-Learning Strategies and Tools in the Corporate Training Environment," Proceedings of the 2004 Annual Research Conference of the South African Institute of Computer Scientists and Information Technologists on IT Research in Developing Countires, Stellenbosch, Western Cape, South Africa, 2004, pp. I194-203. DeNeui, D.L. and T.L. Dodge, "Asynchronous Learning Networks and Student Outcomes: The Utility of Online Learning Components in Hybrid Courses," Journal of Instructional Psychology, 2006, 33: 4, pp. I256-259. Garnham, C. and R. Kaleta, "Introduction to Hybrid Courses," March 20, 2002, 8: 6, pp. I1-3. Garnham, C. and R. Kaleta, "Introduction to Hybrid Courses," March 8, 2002, 8: 6, pp. I1-3. Hodges, C.B., "Self-Regulation in Web-Based Courses: A Review and the Need for Research," The Quarterly Review of Distance Education, 2005, 6: 4, pp. I375-383. Negash, S. and M.V. Wilcox, "Synchronous Hybrid e-Learning: Teaching Complex Information System Classes Online," Proceedings of the 18th Annual International Information Resources Management Association Conference, Vancouver, British Columbia, Canada, 2007, Piccoli, G., R. Ahmadand B. Ives, "Web-Based Virtual Learning Environments: A Research Framework and a Preliminary Assessment of Effectiveness in Basic IT Skills Training," MIS Quarterly, 2001, 25: 4, pp. I401-426. Sauers, D. and R.C. Walker, "A Comparison of Traditional and Technology-Assisted Instructional Methods in the Business Communication Classroom," Business Communication Quarterly, 2004, 67: 4, pp. I430-442. Seng, L.C. and S. Al-Hawamdeh, "New Mode of Course Delivery for Virtual Classroom," Aslib Proceedings, 2001, 53: 6, pp. I238-242.

Charles D. Dziuban, Joel L. Hartman, Patsy D. Moskal, 2004. Blended Learning. Research Bulletin. Volume 2004, Issue 7. March 30, 2004.

Thorne, Kaye. 2003. Blended Learning: How to integrate online & traditional learning. London: Kagan Page Limited.

Garrison, D.R. & Vaughan, N.D. 2008. Blended learning in Higher education framework, Principles, and Guidelines. San Fransisco: John Willey & Sons, Inc.

Karen Precel, Yoram Eshet-Alkalai, and Yael Alberton. 2009. Pedagogical and Design Aspects of a Blended Learning Course. International Review of Research in Open and Distance Learning. Volume 10, Number 2. ISSN: 1492-3831 April – 2009