Seratus Hari/Harapan Orang Tua

"Ayah..., ayah...!! Lihat ini apa yang kau dapat..!!" ucap Arme segera setelah ia masuk ke dalam rumahnya.

Tampak di dalam rumah yang hampir tidak berperabot itu seorang tua sedang menanak nasi dan memasak sayur-sayuran untuk makan malam anak dan dirinya. Ia hanya tersenyum saat mendengar teriakan anak satu-satunya itu. Anak yang diharapkan kelak tidak akan seperti dirinya, menjadi buruh lepasan perkebunan yang makan hari-harinya benar-benar di tangan para pemilik kebun. Dari satu hari ke hari lain pindah dari satu kebun ke kebun lain. Sukur-sukur ada pemilik kebun yang cukup baik sehingga pulangnya ia dibekali dengan makanan baik matang maupun mentah. Bila tidak, cukup ia membawa uang secukupnya yang kadang habis dibelikan makan untuk hari itu. Jika bersisa, ditabungnya untuk dibelikan sandang anaknya dan keperluan lain di rumah itu.

Untuk sekolah anaknya, untunglah ada peraturan yang membantu anak-anak yang kurang mampu akan tetapi cerdas. Syukur kepada Sang Pencipta bahwa Arme anaknya adalah anak yang cerdas. Apa-apa yang dibacanya tak pernah ia lupakan. Ingatannya itulah yang dulu membantunya diterima di perguruan tulis-menulis tempat ia sekarang menuntut ilmu.

"Apa yang ada ditanganmu itu, nak? Pasti buku ya!" tanya ayahnya. Kadang ia sedih karena ia tidak dapat memenuhi kebutuhan anaknya diluar makan dan pakaian.

"Aku memperoleh buku baru, ayah! Tapi bukan pemberian melainkan upah pekerjaan..," ucapnya bangga.

"Upah..? Maksudmu?" tanya ayahnya balik dengan tidak mengerti.

Lalu Arme pun menjelaskan perihal perjanjiannya dengan Reiche sahabatnya yang memintanya untuk menuliskan ringkasan buku baru itu dalam waktu dua minggu. Bila selesai pada waktu tersebut, ia boleh memiliki buku itu.

"Hahahaha.., pintar sahabatmu itu!" ucap ayahnya gembira, "baik hati dia dan juga tetap menjaga muka orang."

"Iya, ayah! Menurutku juga demikian," jawab Armee.

"Perhatikan baik-baik sahabatmu itu, nak. Jaman susah ini sudah jarang orang seperti dia. Suatu saat ia pasti jadi orang 'besar' bila tetap bisa menjaga sikap seperti itu," ucap ayahnya.

"Maksud ayah?" tanya anaknya balik. Ia sudah sering membaca orang-orang besar dalam sejarah, akan tetapi tidak menangkap apa yang dikatakan ayahnya itu mengenai sahabatnya Reiche.

"Bukan orang besar seperti dalam buku-bukumu, nak! Melainkan orang yang berjiwa besar, menghormati orang lain bukan karena kedudukan dan kekayaan, serta berupaya membantu orang dengan tidak merendahkan atau melalui belas kasihan. Orang-orang seperti itu yang banyak dibutuhkan oleh tlatah ini," jelas ayahnya.

Mengangguk-angguk Arme mendengar penjelasan ayahnya. Ayahnya tidak bersekolah tetapi pergaulannya luas. Dari omong-omong dengan orang-orang di pasar, warung dan ladang ia mendapat banyak informasi yang tidak diperoleh Arme di sekolah. Informasi yang hanya dibicarakan di kalangan rakyat jelata. Jika orang besar adalah seperti itu, adalah sosok yang diharapkan oleh sebagian besar rakyat untuk menjadi pemimpin dari mereka.

Pernah sekali ayahnya mengatakan bahwa kita harus luwes dalam menuntut ilmu, bisa dari sekolah dan buku, akan tetapi bisa juga dari orang-orang di sekitar kita. Pendidikan itu tak ada batasnya. Jangan pernah meremehkan orang yang tidak bersekolah, karena bisa saja mereka memiliki pengetahuan-pengatahuan yang tidak dimiliki oleh orang bersekolah karena belum pernah dituliskan. Orang-orang sekolah juga membaca buku yang merupakan hasil dari orang-orang yang berbuat. Orang-orang yang berbuat merupakan orang-orang kebanyakan. Rakyat jelata.

Oleh karena itu Arme amat menghormati ayahnya. Dari sekolah dan ayahnya serta buku-buku yang dibacanya ia mulai memahami kehidupan di sekitarnya sampai ia bercita-cita mengubahnya dengan menulis suatu cerita nanti. Cerita yang bisa menggugah siapa saja yang membacanya.

"Jika begitu, mulailah tugasmu itu! Nanti ayah panggil bila makan telah siap," usul ayahnya.

Arme pun mengangguk mengiyakan. Terasa sekali rasa kasih ayahnya. Tidak seperti kebanyakan orang tua-orang tua yang kurang mampu, ayahnya tidak memaksa ia untuk membantu bekerja di kebun. Menurutnya tak baik bagi seorang anak kecil seperti Arme langsung bekerja, ia harus lebih dulu belajar. Bila telah cukup ilmunya, barulah ia bekerja. Dan ayahnya mengharapkan Arme untuk tidak menjadi buruh sepertinya melainkan bekerja dalam bidang tulis-menulis. Menyampaikan cerita-cerita buruh-buruh seperti dirinya agar orang-orang di pusat tlatah, di kota Kern, tahu bahwa tidak semua tempat indah-indah seperti di sana. Agar mereka mau turun ke desa-desa dan memperhatikan nasib para rakyatnya sendiri.


Bila anda tidak berkenan dengan jalan cerita Seratus Hari yang dituliskan di sini, silakan anda mengubahnya!