Sinopsis sunting

Rohana adalah gadis kecil yang hobi membaca di teras rumah. Kebiasaan itu telah menarik perhatian Usi yang belum bisa membaca. Rohana kemudian mengajari Usi cara membaca sampai bisa. Namun, hal tak terduga terjadi saat Usi sudah pandai membaca.

Lakon sunting

Rohana, Gadis yang lahir dari daerah Koto Gadang, Sumatera Barat.

Lokasi sunting

Simpang Tonang Talu, Sumatera Barat.

Cerita Pendek sunting

TERAS AJAIB

Namaku Rohana. Aku lahir di desa kecil bernama Koto Gadang, tepatnya di kabupaten Agam, Sumatera Barat. Aku tak mengenyam sekolah apapun. Ami, Dewi, dan semua teman-temanku tak ada yang sekolah. Pemerintah Belanda membatasi pendidikan hanya untuk kalangan tertentu. Seperti keturunan mereka ataupun anak bangsawan. Itu pun kebanyakan laki-laki.

Meskipun tak pernah duduk di bangku sekolah, Alhamdulillah, aku bisa membaca. Semua berkat Ayahku yang seorang Hoofdjaksa atau Jaksa Kepala. Ayah sering berlangganan surat kabar. Mulai dari bab politik, sastra dan hukum yang terdiri dari berbagai bahasa. Selain itu, Ayah juga membelikanku buku. Aku belajar membaca, menulis dan belajar bahasa asing bersama Ayah.

Sayangnya, teman-teman tak seberuntung aku. Mereka semua tidak bisa membaca. Apalagi yang perempuan. Ami dan Dewi justru menganggapku aneh saat aku bisa membaca. Menurut mereka, perempuan hanya perlu pandai memasak, mencuci, dan menyapu untuk menjadi pintar. Entah mengapa, semua orang berpikir sama. Perempuan dipandang wajar saat mahir dengan pekerjaan rumah, sedangkan untuk bersekolah tidak dianggap penting.

Pernah suatu hari, saat aku membaca buku bahasa Belanda, para tetangga bilang aku gila. Ada yang sampai melarang anaknya bermain bersamaku. Padahal, aku hanya membaca buku yang mereka tidak tahu artinya. Mendapat perlakuan seperti ini membuatku sedih, tapi lebih sedih dengan keadaan kami. Orang-orang Belanda berada jauh di depan kami. Mereka menjelejah samudera dengan kapal canggih, sedangkan kami mengeja huruf saja tak mampu.

Ayah sering bertanya kepadaku, "Bagaimana bumi pertiwi bisa merdeka, jika penghuninya saja masih buta aksara?" Awalnya aku tak mengerti, tapi perlahan, aku mulai memahami keresahan Ayah.

Hari ini hari ke tujuh aku tinggal di Simpang Tonang Talu, tempat dimana ayahku berpindah tugas. Sebenarnya ini sudah kesekian kali aku berpindah-pindah. Sebelum di sini, aku pernah tinggal di Alahan Panjang, daerah yang sangat mengesankan bagiku. Daerah dimana aku bertemu dengan paman Soetan dan Bibi Lebi Rajo. Aku disayangi mereka seperti anak sendiri, mungkin karena mereka belum memiliki keturunan.

Di Alahan Panjang, aku belajar banyak hal. Aku belajar menenun, merajut, dan menjahit. Aku juga belajar bahasa Belanda. Bibi Lebi Rajo yang mengajariku. Ia punya banyak koleksi buku dan majalah bahasa Belanda. Aku beruntung bisa belajar keterampilan yang hanya dikuasai orang Eropa itu. Alahan Panjang memang tempat yang menyenangkan.

Di sini, di Simpang Tonang Talu, aku kembali dengan rutinitasku, membaca buku keras-keras di teras rumah. Kali ini, Aku berharap ada seseorang yang mendengarku.

"Het is tijd om een sprookje te lezen!" Teriakku.

"De geesten van de Popa." Sambungku melanjutkan buku berbahasa Belanda.

"Hana? Sedang apa kau?" tanya Usi dari jendela rumahnya.

"Hai Usi, aku sedang membaca." Jawabku sambil tersenyum lebar.

"Membaca? Hana bisa membaca?" sahut Usi penasaran.

"Iya... Ayo gabung bersamaku!" Ajakku kegirangan.

"Yey, baiklah Hana. Tunggu aku!" Seru Usi sambil berlari ke arahku.

Aku mengenal Usi karena kami bertetangga. Tapi, aku dan Usi tak pernah bermain bersama. Tuhan serasa ringan sekali mengabulkan do'aku pagi ini. Aku senang karena Usi mau bermain bersamaku. Usi pun nampak semangat menyentuh buku-bukuku. Matanya berbinar, Ia terpesona dengan bukuku, seperti pertama kali melihat mutiara laut yang langka, atau seperti makan es serut di siang hari. Aku melihat ada harapan besar di wajahnya, sama sepertiku ketika pertama kali melihat koleksi buku-buku Ayah.

Aku dan Usi jadi teman akrab. Aku mengajari Usi bagaimana cara membaca dan menulis. Usi termasuk pembelajar yang gigih, dalam waktu dua minggu ia mampu mengeja kata dan menyusunnya menjadi kalimat. Rasanya senang sekali, sebentar lagi aku bisa berbagi cerita tentang buku yang kami baca. Aku meminjami Usi beberapa buku agar bisa dibaca ketika ia di rumah. Ayah juga membelikannya buku tulis dan pensil sebagai hadiah pertemanan kami. Kami sangat bahagia. Akan tetapi, ada hal tak terduga terjadi setelah Usi bisa membaca. Di suatu malam, sekitar pukul delapan.

Dor dor dor! Ketukan pintu yang cukup keras mendarat di rumah ku.

"Permisi! Permisi!" suara seseorang menyusul kemudian.

"Iya, tunggu sebentar." Saut Ayah yang lebih dahulu membukakan pintu. Akupun bergegas membuntuti Ayah.

"Pak, saya mau bicara!" teriak seorang Ibu yang tak asing bagiku. Ia adalah bu Heni, Ibunya Usi temanku.

"Mari, silakan duduk." Ucap Ayah begitu tenang. Sementara aku sangat gugup sambil memegangi sarung Ayah dari belakang.

"Hana, minta tolong ambilkan minum untuk tamu kita." Pinta Ayah kepadaku. Aku pun bergegas membawakan Ibu Heni air minum dan biskuit.

"Langsung saja Pak, semenjak Usi bergaul dengan anak Bapak. Usi jadi anak pemalas. Saya minta tolong anak Bapak jauhi Usi!" Sahut bu Heni tanpa basa basi.

"Pemalas? Maksud Ibu bagaimana?" tanya Ayah penasaran.

"Iya pemalas. Tiap hari Usi hanya di kamar saja dengan kertas-kertas pemberian anak Bapak. Dari pagi sampai malam, ia hanya keluar saat makan. Usi tak mau lagi bantu Ayahnya jualan ikan di Pasar. Parahnya, Usi menolak untuk sekedar nyuci piring di rumah, saat dipanggil aja jarang sekali menyahut Pak." Jelas Ibu Heni sambil menggerutu.

"Em... Baiklah, saya mengerti. Besok pagi kebetulan saya di rumah. Minta tolong, Ibu dan Usi datang ke rumah ya. Sekitar jam delapan." Sambut Ayah sambil menyodorkan minuman di meja.

"Untuk apa Pak? Intinya saya tidak mau anak saya terpengaruh aneh-aneh. Sebelumnya, dia sudah menjadi anak yang rajin dan penurut di rumah."

"Ibu tak perlu khawatir... Insya' Allah, Usi adalah anak yang baik." Jawab Ayah sambil tersenyum. Selang beberapa menit, Bu Heni pun pamit pulang dengan menyisakan sedikit tehnya.

Kejadian malam ini membuatku sangat sedih. Aku tak mau berpisah dari sahabatku.

"Ayah, Hana ga mau berpisah sama Usi." Pintaku sambil berkaca-kaca. Aku memohon kepada Ayah untuk tak melarangku berteman dengan Usi, tapi Ayah hanya menjawabku dengan senyuman dan menggendongku ke dalam kamar. Aku tak tahu, apa yang akan terjadi besok pagi. Sepanjang malam aku tak bisa tidur. Aku hanya menatapi langit-langit kamarku dengan penuh keresahan. Aku berusaha melipur diri dengan membaca buku, Sprookjes Van Azies, kumpulan dongeng bahasa Belanda yang menarik perhatian Usi di awal pertemanan kami.

Keesokan harinya. Sebelum Usi dan Ibunya datang ke rumah, Ayah memintaku untuk menyiapkan teh dan kue yang baru saja kubeli. Sementara Ayah terlihat sibuk menata teras rumah seperti yang biasa kulakukan bersama Usi. Tikar digelar, papan tulis berukuran sedang disandarkan di sudut tembok. Tak lupa, beberapa buku dan spidol diletakkan di meja kecil dekat papan.

"Ayah, untuk apa?" tanyaku penasaran.

"Hana lihat saja." Jawab Ayah sambil mengusap rambutku.

Tak lama kemudian, Usi dan Ibunya tiba di rumah kami. Ayah menyambut salam mereka dan mempersilakan duduk di tikar yang sudah tertata rapi. Tak lupa, teh dan kue segera kuhidangkan. Ini adalah hari pertama aku bertemu dengan Usi, setelah tiga hari lamanya kami tak bertemu. Matanya tampak sembab, seperti habis menangis dan kurang tidur. Aku tahu, Usi pasti mengkhawatirkan hal yang sama denganku.

"Baiklah, mari kita mulai!" Sorak Ayah menyapu keheningan. Ayah mengatur posisi duduk kami. Aku ditempatkan Ayah di posisi paling depan, dekat dengan papan tulis seperti biasa. Usi di posisi menghadap papan tulis, sedangkan Ibu Heni berada di belakangnya. Ayah hanya mengawasi kami dari sudut teras.

"Baiklah. Hana, lakukan seperti biasa." Pinta Ayah kepada ku.

"M. Maksud Ayah?" tanyaku gugup.

"Iya, seperti biasa nak." Ucap Ayah sambil menatapku penuh kepercayaan. Aku mengerti maksud Ayah.

Aku memulainya dengan menarik napas panjang-panjang untuk menghilangkan rasa gugupku. Spidol di meja perlahan kuambil. Aku mulai menggerakkan spidol ke papan tulis dan membentuk beberapa kalimat. Biasanya, aku menulis hari dan tanggal di pojok atas untuk memulai kegiatan belajar kami. Selanjutnya, Usi akan mengejanya dengan lantang.

"Sabtu, Tujuh Belas Februari" Eja Usi.

"Sekarang tulis ini nak!" Sahut Ayah sambil memberikan secarik kertas kepada ku. Aku pun segera menuliskan kata yang ada di kertas pemberian Ayah. Dan Usi pun harus membacanya keras-keras.

"Dahulukan Adab sebelum Ilmu. Sesungguhnya Ilmu adalah Adab itu sendiri." Usi membaca dengan lantang apa yang sudah kutulis di papan tulis.

Seketika, Ayah langsung duduk di dekatku. Ia menghadap ke arah Usi dan Ibunya. Ayahpun segera memulai dialognya dengan salam. Kemudian menerangkan kepada kami, bahwa keutamaan Ilmu adalah Adab itu sendiri. Adab dan ilmu tidak seharusnya dipisahkan. Kita yang berilmu harusnya menjadi orang beradab. Maka sebagai orang yang sudah bisa membaca, harusnya kita bisa meneladani apapun yang sudah kita baca. Ayah menjelaskan, bahwa baik Hana maupun Usi harus menjaga adab kepada siapapun, terutama kepada orang tua. Kita tidak boleh sombong, apalagi tidak patuh terhadap orang tua. Jika dimintai tolong, kita harus bersedia dengan suka cita. Dengan begitu, Ilmu dan Adab akan menghantarkan kita menuju derajat paling istimewa.

"Fahimtum teman-teman?" seru Ayah mengakhiri ceramahnya.

"Fahimna!" sorak aku dan Usi bersemangat. Mendengar penuturan Ayah, Ibu Heni nampak tersenyum penuh penerimaan. Bu Heni nampak terharu, mungkin Ia tak menyangka Ayah akan menasehati kami, terutama Usi. Oh, iya. Aku lupa bercerita, kalau Ayahku pernah mendalami Ilmu Agama dari kakek yang seorang guru ngaji. Aku pun bisa membaca Al Qur'an dan mengerti perihal Fikih dasar atas bantuan Ayah.

Sekarang, Ibu Heni terlihat santun kepada Ayah, jauh berbeda dengan semalam. Ia juga berkaca-kaca melihat Usi. Mungkin, Ibu Heni baru menyadari anaknya bisa membaca selancar ini. Aku jadi teringat, Usi pernah bilang kalau di keluarganya tak ada yang bisa membaca. Berarti Usi adalah orang pertama yang bisa membaca di keluarga mereka. Bu Heni pasti bangga padanya.

Seminggu setelah kelas bersama Ayah di teras rumah. Usi mengalami banyak perubahan. Ia kembali rajin membantu pekerjaan Ayah dan Ibunya, Usi lebih santun dengan siapapun. Ibu Usi juga sering main ke rumah sambil membawakan ikan bakar. Akhirnya, pertemananku dengan Usi berlanjut. Justru semakin dekat.

Ajaibnya lagi, kejadian seminggu lalu menjadi sejarah baru di teras kami. Sekarang, tak hanya Usi yang menjadi teman belajarku, anak-anak di desa secara beriringan datang ke rumah. Mereka begitu antusias ingin bergabung bersama kami. Kami pun menyambut mereka dengan penuh suka cita. Ayah juga membelikan mereka alat tulis sebagai hadiah pertemanan kami, sama seperti yang dilakukannya kepada Usi kemarin.

Aku dan Usi bergantian mengajari pasukan baru kami. Tak hanya membaca dan menulis, aku juga mengajari mereka menenun dan merajut, ilmu yang aku dapat dari Lebi Rajo. Usi juga membawakan kami ikan bakar untuk dimakan bersama. Ayahku juga tak mau kalah, tiap hari Sabtu Ayah membawakan kami kue lapis legit. Ayah juga mengajarkan wawasan Agama kepada kami. Begitu senangnya, akhirnya kami bisa mendirikan sekolah kami sendiri. Bukan sekolah dengan gedung yang megah, akan tetapi teras ajaib yang penuh semangat keilmuan dan kasih sayang.

Sekian.