'aaaah' hanya erangan Ray yang sekarang muncul. Segala bentuk keterkejutan yang dia kenali seolah habis tak bersisa; ia ekspresikan sejak tujuh menit terakhir, tujuh menit yang ia rasakan bagai tujuh era kehidupan. Ray merasa tepat berada di jembatan tipis dari rambut yang dibelah tujuh. Tidak hanya tanah yang kian mengikis terbawa angin, batu tempat berpijak turut terpecah, belum lagi seonggok ranting yang ia jadikan pegangan tak lagi menunjukkan ketegarannya. 'Mungkin emang ini saatnya,' batin Ray mencoba pasrah. Dengan ketidakrelaan yang tak juga berkurang, Ray mengendurkan kekuatan tangannya dalam menggenggam ranting. Melepaskannya. Bersamaan dengan terlepasnya kesadaran dan segenap kewarasan juga kenangan yang selalu ia jaga.

***

Ray merasa terasing dalam dimensi ruang dan waktu yang membersamainya. Seolah tak ada secuilpun keterpaduan. Alih-alih semakin fokus, justru secara berebut dan tanpa tahu aturan kilas balik periode kehidupan yang sepertinya familiar mencuat, mengagulkan masing-masingnya untuk lebih dulu terpampang. Tentang 'konco kumbahan'nya, dan semua kebiasaan yang membuatnya merasa lebih 'hidup' terlepas keluarga yang selalu ia anggap rumah ternyaman. Sembari mengumpulkan kesadaran juga kekuatan, Ray mencoba berdiri meski dibantu ranting kering. Kakinya sulit untuk berdiri tegak akibat terkilir ketika berpindah dari posisi atas. Saking atasnya, bahkan tak nampak jelas di mana pangkalnya. Sekuat Ray mendongak, ia berusaha mencari petunjuk, darimana ia jatuh? Di mana posisi ranting yang ia jadikan pegangan? Namun nihil. Berbekal pengetahuan seadanya dari hobi membaca buku lusuh di pojokan perpustakaan fakultas, Ray tahu cara mengenali arah dari alam; Jam Matahari. Ray terseok-seok menuju arah datangnya cahaya yang kian memudar. Langit menggelap, hawa mendingin, juga semangat yang kian menyusust. Pasalnya entah sudah berapa ribu langkah Ray tempuh tak juga ada tanda-tanda kehidupan manusia. Suara yang tidak seberapa menyisakan perih dan gatal di tenggorokan karena teriakan paksa mengharap bantuan. Ditambah lagi perbekalan yang ia siapkan raib entah ke mana. Sepertinya ketidaksadaran yang sempat Ray alami membawa carriernya turut serta. Sekarang orientasinya bukan lagi pulang, ia butuh air, secepat mungkin. Maka di bawah langit yang menggelap sempurna dan suara kian terkikis, hingga rasanya yang mampu tertangkap hanyalah detak jantungnya sendiri, sebelum tiba-tiba angin kencang berhembus. Teramat besar karena berada di bawah pepohonan entah apa yang rimbun. Meski hanya sekali namun suara gesekan antar daun, daun dan ranting, ataupun antar ranting cukup memekakan telinga. Ray mengetatkan jaket eigernya, satu-satunya alat yang bisa sedikit menghalau hawa dingin. Setelah resleting yang ditarik paksa hingga ujung, dan tepat sebelum telinganya rapat tertutup skebu terdengar gemericik air. Pelan dan hanya sebentar. Dalam kondisi normal tentu saja Ray akan memilih abai, namun tidak saat ini. Ketika kemungkinan yang hanya satu persen untuk tetap bertahan hidup itu mulai terendus, Ray akan sebisa mungkin mengubah semua indranya untuk sepeka anjing pelacak. Tanpa peduli semak yang merimbun, juga dedurian kecil yang mengoyak kulit, belum lagi persingghan laba-laba yang mengahalangi pandangan juga ruang gerak. Ray tetap melangkah. Rupanya dingin udara malam mampu membekukan kucuran darah yang mengalir akibat goresan. Banyaknya sarang semakin menebalkan kulit, mematikan rasa. Tidak cukup telapak tangan, kepala, bahkan kelopak mata tertutup. Dalam keadaan mata yang tertutup Ray merasa sedang tertidur, tidur yang teramat lelap hingga bermimpi. Bagaimana tidak, Ray seolah melihat seorang gadis berambut panjang di bawah penerangan perapian kecil berbahan seperti batu atau tanah yang menggelap, Ray pun tak begitu yakin. Berbalut jarit dan tanpa alas kaki. Jongkok membelakangi Ray dengan kedua tangan memeluk entah apa, yang Ray tahu semakin mendekat suara gemericik air terdengar nyata. ‘Aku baru tahu mimpi bisa seindah ini.’ bukan lagi pasrah, sekarang Ray frustasi. “Tuan, adakah yang kau butuhkan?,” gadis itu mendekat dan bersuara. Ray benar-benar baru tahu bahwa mimpi bisa terasa senyata ini. “Butuh air mungkin?” lanjutnya. Mungkin dia tidak sabar menanti respon Ray. Sedang Ray masih berusaha larut hingga usapan lembut namun dingin menusuk tulang seolah menyadarkan Ray yang tidak sedang bermimpi. Seorang gadis dengan perawakan mungil, bahkan tingginya tak sampai dagu Ray. Terbukti dalam jarak sedekat hitungan langkah, seseorang yang ternyata sedang memeluk kendi berisi air itu mendongak guna berkomunikasi dengan Ray. Yang malah memberi kesempatan Ray menaksir kemungkinan umur atau bahkan peluang kecocokan yang lebih, manusiawi. “Oh. Ha..hai.” respon Ray gelagapan. Fokusnya benar-benar teralih, sempat terpikir bahwa sakitnya tenggorokan karena kekeringan ternyata bisa diobati dengan memandang wajah jawa di depannya yang begitu ayu. “Butuh air?” ulangnya. “Eh, bolehkah...” “Theana” potongnya sembari mengulurkan tangan. Secepat kilat Ray menyambarnya sembari menyebutkan namanya, menjabat yang menuju menggenggam jemari dingin akibat air terasa lebih mengobati dibanding air itu sendiri. Dingin yang membuat Ray sadar dia tak lagi sedang bermimpi. Tanpa disadari Ray terlalu lama menjabat hingga Theana sendiri yang menarik diri dan sedikit terkesan kurang nyaman. “Maaf.” Ucap Ray merasa tidak enak. “Oh. Bukan itu. Mungkin Ray akan kaget dengan perbedaan suhu kita, dan itu tidak baik untuk kesehatan.” Dan aku hanya menganga, tidak percaya dengan alasan sarat perhatian yang dilontarkan seseorang di pertemuan pertama. “Mari masuk ke gubuk saya, Ray.” lanjutnya, dan memberi kode lewat tatapan lembutnya agar Ray mengikuti. Aku bahkan tak tahu sebelumnya bahwa ada gubug, sebelum Theana kembali berdiri setelah sedikit jongkok dan mengambil penerangan minim itu. Ternyata bahan dasar yang mewadahi api itu adalah tanah liat yang di bakar. Terlihat dari teksturnya, juga aroma hasil pembakarannya.

Ray tak pernah menyangka akan mengalami sebagaimana masa yang sering diceritakan ibunya dan dia hanya tersenyum bodoh. Karena menganggap hanya dongeng belaka. Tiba-tiba kerinduan menyeruak. Ray merasa gagal menjadi seorang anak. Satu kalipun belum pernah Ray menjadi alasan Ayah dan Ibunya tersenyum bahagia. Berbaring dengan tujuan tidur yang tak juga terwujud. Hanya beralaskan dua lempeng kayu berjejer dan diletakkan dengan sedikit tumpukan balok di dua bagian ujungnya. Membuat lempeng itu sedikit lebih tinggi dari tanah. Menengadah, menatap ke atas pada atap yang tak mampu menutupi indahnya langit malam. Untuk kali ini saja Ray bersyukur pada atap yang bolong. Dari celah itulah Ray bisa mengerti di mana dia sekarang, dan harus ke mana nantinya. Namun kondisi berawan cumolonimbus bukanlah yang ia harapkan saat ini. Mencoba mengalihkan fokus, Ray berbalik ke kanan dan tubuh bagian kirinya hampir jatuh, juga sebaliknya. Ray terbangun dan duduk bersila, menghadap satu-satunya sumber cahaya. Sama seperti yang tadi dibawa Theana, hanya saja ini di gantung pada ranting yang menjorok masuk. Menempel pada dinding berupa anyaman bambu.

Ray merasakan sakit di sekujur tubuhnya, berpikir terlalu keras hingga berujung jatuh tertidur dengan posisi hanya setengah badan yang tertampung lempengan alas tidur mungkin menjadi alasan. Juga tragedi hari kemarin, selain pegal di dalam, ternyata juga ada beberapa memer dan luka yang sudah terbalut kain lusuh. Secara logis, ini pasti perbuatan Theana. Hal sesederhana itu ternyata cukup mampu menerbitkan senyumnya. Senyum yang kian melebar ketika pembaunya menangkap aroma yang mampu membangunkan cacing di perut. Mencoba menghalau hangat dan dingin secara bersamaan yang justru sangat nyaman dijadikan alasan untuk berdiam. Mengencangkan ikatan jarit yang hanya menutupi tubuh bagain bawahnya dari batas pusar hingga lutut, mempertontonkan satu belitan kain di sambungan pergelangan tangan kanan, betis bagian kanan, juga telapak kaki kanan, pun beberapa goresan ringan di punggung yang sedikitpun tidak terasa sakit, malahan seperti mati rasa, terkalahkan dinginnya udara yang menyapa. Beberapa berkas cahaya yang terlihat putih menembus melalui celah dari geribik menumbuk lantai membentuk pola gelap terang hasil interferensi cahaya pada kisi atau celah banyak. Dengan tertatih dan kaki kanan lebih mirip diseret, Ray mendekati bibir pintu, mencari pada sumber aroma yang membuatnya ingat rasa lapar. Mengabaikan nyeri karena luka gores yang diterpa hembusan angin, Ray terus saja mendekat pada Theana dengan sesekali erangan loolos dari birainya. Selain untuk memenuhi lapar, Ray juga benar-benar merasa butuh penghangat, karena ternyata saat itu Theana sedang memasak denga tungku kayu. Satu langkah dari ujung kayu yang dijadikan bahan bakar perapian, Ray menyambar balok kayu lainnya yang terjangkau, menjadikannya alas duduk. Setelah dirasa cukup nyaman, sambil menyapa Theana, Ray mendekatkan kedua telapak tangannya pada sumber panas. “Ray bisa tidur semalam?” alih-alih menjawab selamat pagi, Theana justru melemparkan pertanyaan yang bagi Ray cukup sulit di jawab. “Lumayan,” jawaban aman yang Ray pilih, daripada harus membuat kecewa orang yang sudah menolong, ataupun berbohong. “Eh, bajuku yang kamaren kamu yang simpen, The?” lanjut Ray sengaja mengalihkan topik. “Oh iya, maaf. Aku cuci karena terlalu banyak tanah yang menempel.” Theana sedikit tidak enak karena bertindak tanpa meminta ijin. “Terus aku jemur di sana. Juga ada barang tertinggal di saku.” lanjutnya sembari menunjuk ke timur gubuk (karena dari sana matahari mulai terlihat). “Loh, aku malah seneng banget ada yang nyuciin bajuku, hehe.” Ucap Ray cengegesan sambil berlalu, menuju tempat yang sebelumnya ditunjuk Theana. Selain untuk melihat baju, Ray sebenarnya beerusaha menutupi raut malunya karena lagi-lagi tersenyum sendiri hanya dengan membayangkan setiap paginya ada Theana sedang menyiapkan sarapan untuknya, ada Theana sebagai perawatnya ketika sakit, dan Theana untuk segala keperluannya, termasuk urusan cuci-mencuci. Ray tidak pernah tahu ada pohon yang tingginya bahkan hanya beda sejengkal dibanding tubuhnya, dengan struktur kayu kuat, dan beberapa ranting yang menyamping dengan sedikit daun hanya di ujungnya saja. Bagian kosong inilah yang Theana manfaatnkan untuk menjemur baju mereka. Bajuku dan jaritnya lebih tepat. melihat sandangan yang berdampingan kembali membuat Ray tersenyum sendiri, sampai pandangannya tertumbuk pada ranting terendah dan paling besar, cukup untuk dijadikan tempat duduk. Di sana, tergeletak dengan mengenaskan gawai yang biasanya tak pernah lepas dari genggaman. Ray memandang nanar pada selular keluaran tahun lalu yang ia beli dari hasil projek dengan dosen Elektronika Instrumentasinya. Bukan hanya soal harga tapi juga karena gawai itulah satu-satunya cara dia menghubungi kerabat, sedang sekarang hanya menampilkan layar hitam. Masih dalam masa meratap, Ray tak sadar Theana telah mendekat dengan membawa kendi bertutupkan potongan bambu di tangan kanan dan pincukan daun di tangan kiri. “Minum dulu, Ray.” “Eh iya.” Rupanya Ray masih shock, hingga apa yang diucapkan dan dilakukan tak ada keselarasana. Mulunya mengiyakan, tapi tubunya bergeming. “Ray pake itu juga buat nangkap mangsa?” Theana bertanya sambil menunjuk seluler yang Ray genggam dengan semangatnya, yang membuat genggamannya pada potongan bambu berisi air tumpah sebagiannya. Ray terkesiap dan kembali tersadar. “Theana udah lama?” Ray bertanya spontan tanpa mencoba menutupi keterkejutannya. “Ray yang terlalu serius.” “Jadi, udah lama. Maaf ya.” Ray yang tak enak hati langsung meneguk habis air dalam gelas bambu itu. “Eh tadi The tanya apa?” “Ray pake itu juga buat nangkap mangsa?” Thena mengulang pertanyaanya dan sekarang jarinya menunjuk pada gawai Ray. “Mangsa.” “Iya, The juga sama. Nanti permukaan halusnya dipake nangkap sinar dari matahari dan pantulannya diarahkan ke burung, biasanya burung akan oleng dan lebih mudah ditangkap. Sama kan?” cerita Theana antusias, sedang Ray hanya melongo. Tak habis pikir dengan jalan pikiran gadis polos di depannya. Ternyata bukan hanya tampilan saja yang konvensional, pemikiran juga jauh dari kata modern. Tak heran jika bahasanya pun terkesan lebih kaku. “Emang ini tahun berapa sih? Ada gitu yang gak kenal sama hp’ Ray membtin takjub.

Ray menatap jarit ketiga yang Theana pinjamkan, menandakan sudah tiga hari pula mereka bersama. Seperti hari kedua, sekarang pun mereka sibuk sendiri, setelah Theana berpamitan pergi mencari kayu bakar serta bahan makanan, Ray yang dilarang ikut karena alasan kesehatan memilih cara lain untuk membantu Theana. Semenjak pertama kali, tepatnya saat Ray mulai berpikir Theana dan kehidupannya sangat konvensional; tak ada baju dengan jahitan, tak ada lantai menkilap, tak ada dinding kokoh, tak ada atap rapat, tak ada alat elektronik, bahkan untuk membuat api pun yang Theana gunakan adalah dua batu yang disgosokkan, juga bahan makanan yang kalau boleh jujur sangat tidak cocok dengan lidah Ray. Ray berpikir ingin sedikit demi sedikit mengenalkan dunianya. Setelah seharian kemarin berhasil membersihkan sekitaran gubuk dengan mengumpulkan semua sarang laba-laba, dan Ran merasakan lelah. Jadilah hari ini rencananya mengumpulkan lebah beserta sarangnya yang bergelantungan hampir di setiap ranting, hingga bagaian dalam gubuk. Mengambil dua batu yang biasa Theana gunakan untuk membuat api, Ray mulai menggosokkan permukaannya, dari mulai ritme pelan, sedang, cepat dan berakhir pelan, api tak juga muncul. Yang ada malah beberapa bagian kulit tangannya yang terkelupas karena bergesekan dengan permukaan batu. Selain sakit yang dirasa, Ray juga frustasi, terduduk sembarang di bawah sarang lebah yang tadinya mau ia bakar, Ray secara acak melempar kedua batu dari tangannya. ‘Kalo gak dibakar, yang ada aku dikejer sampe ke mana pun.’ Telentang dan kemudian tertidur. Ray bergidik ngeri membayangkan dirinya kena sengat lebah. ‘Sengat? Kok jadi kepikiran listrik ya? Bukannya lebah bisa bangkitin listrik ya?’ dalam lelapnya Ray bermonolog.

Hari keempat, semakin lama dan Ray semakin tahu bahwa kehidupan yang dijalani Theana tidaklah mudah. Ray benar-benar berharap bisa memboyong Theana bersamanya. Namun apalah daya, bahkan ke arah mana harus melangkah pun, Ray buta. Sembari terus memikirkan masa depan yang lebih baik bersama Theana, Ray mengeringkan sarang laba-laba yang sudah ia tumpuk dan bentuk sedemikina rupa hingga berbentuk memanjang, dengan bantuan sinar matahari dan sisa perapian yang dibuat Theana ketika pagi. Terlalu serius menunggu dan Ray tak sadar gawai yang terletak di balok sebelah tungku tersenggol dan hampir saja menjadi bahan bakar. Diambilnya dan dibersihkan permukaan gawai itu dari abu, Ray justru mengetahui case bagian belakang yang selama ini ia yakini tak bisa dibuka terasa sedikit longgar. Dengan kesabaran yang masin tersisa, Ray berusaha membukanya, mengambil elemen Ni-Cd yang ia yakin masih menyimpan daya, hanya saja adegan tercuci membuatnya tak bisa hidup. Menjemur baterai berharap masih terselamatkan meski lcd sudah pecah ketika ia terjatuh, Ray mulai membentuk lilitan sarang laba-laba yang telah kering menjadi serupa filamen pada bola lampu, kemudian melingkupinya dengan satu-satunya botol bekas di pojokan gubuk. Selanjutnya lebihan sarang laba-laba yang mengering itu Ray sambung sebagai kabel. Karena tak mungkin menyentuh konduktor dengan kulit secara langsung, Ray menacari isolator untuk melindunginya. Karet, Ray menjatuhkan pilihan pada karet. Meski yang tersedia adalah karet mentah. Theana pernah bercerita tentang satu-satunya pohon karet yang letaknya tak jauh dari gubuk. Jadilah di pertengahan hari keempat ini, Ray habiskan tenaganya untuk mencari pohon karet.

Kita tak akan pernah tahu seperti apa hasilnya ketika tidak menjalani proses. Hanya berbekal kata bijak yang baru ia percaya di saat-saat seperti ini, Ray mencoba melumuri kabel buatannya dengan getah karet yang sudah sedikit mengeras karena tertimbun waktu. Dengan kabel buatannya Ray membentuk rangkaian yang menghubungkan filamen sebagai lampu, elemen Ni-Cd dan juga sarang lebah. Dan betapa beruntngnya Ray, filamen itu memunculkan sedikit kilatan. Ray hampir saja berteriak kegirangan, namun urung ketika tak dijumpinya hasil yang sama untuk kedua kali. Satu, dua, bahkan tiga jam Ray terus berpikir. Memperkirakan bagian mana yang masih membutuhkan sentuhan. Hingga entah setelah berapa jam, Ray berkesimpulan, sumber tegangan yang ia pakai kurang besar. Tepat di samping lempeng yang ia gunakan untuk tidur ternyata ada sarang lebah yang begitu besar. Ray berpindah, mengganti sumber tegangan dengan sarang yang oaling besar tersebut.

Ray terbangun dari tidur pura-puranya ketika Theana mendekat sambil membawa ulat panggang. Entah bahasa apa yang Theana gunakan, dalam benak Ray itu tetap saja ulat. Meski awalnya Ray mengaku tidak cocok, ternyata rasa lapar bisa mengalahkan selera. Sekarang apapun akan Ray lahap, apalagi Theana yang memasak. Setelah berterima kasih atas hidangan di senja yang keempat, ketika Theana hendak menngosok batu guna menyalakan api, Ray segera menyambungkan rangkaian yang sejak beberapa hari membuatnya sibuk. Ruangan terang, tanpa asap, tanpa bau asap pembakaran. Lampu imitasi berhasil ray ciptakan. Meski masih butuh banyak perbaikan. Theana yang menganggap hal baru hanya mampu bergeming, sedang Ray mesem-mesem saja mendapati wajah ayu yang sedang bingung. Ray maju, menghilangkan jaraknya dengan Theana, mengecup puncak kepala yang berada tepat di bawah dagunya dan setelahnya membisikkan kata kejutan. Theana tak pernah siap dengan kedekatan yang bahakan tak pernah ia bayangkan hanya menganga tak percaya. Belum cukup ia takjub pada apa yang Ray sembut lampu, ditambah lagi kecupan ringan yang membuat logikanya tumpul.

“Theee, ini kayunya taruh mana?” “Di tempat yang panas aja Ray, biar cepet kering.” “Nih minum, haus kan?” rupanya Theana masih menyambung jawabannya seiring berjalan mendekati Ray sambil membawa gelas bambu berisi air. “Iya haus, dan ini obatnya.” Secara kilat Ray menyerobot bibir Theana dan mengabaikan air minumnya. “Ray ih.” Theana tersenyum malu, dan itu membuat Ray kembali ingin mencecap manis bibir gadis di depannya ini. “Haha iya cape, tapi gapapa daripada kamu yang cape.” Setelah Ray berhasil membuat lampu, tugas mencari kayu memang Ray ambil alih, sedang Theana hanya cukup memasak dan menyambutnya.

“Raaay!!!” Seketika Ray menghentikan aksi mengumpulkan kayu kering. Menengok ke kanan dan kiri, mencari sumber suara yang ia rasa kenal. Nihil. Ray memutuhkan abai. Baru saja dua langkah teriakan yang memanggil namanya terdengar lagi, bahkan kini seperti bersahut-sahutan. “Kalian di mana?” Ray memutuskan balik berteriak. “Tunggu dan jangan ke mana-mana!” Benar saja hanya dalam hitungan detik teman-teman mendakinya bermunculan satu persatu. “Edo! Haikal! Aldi!” seri Ray tidak percaya sambil memeluk temannya bergantian dan diakhiri meereka berempat berpelukan. “Ayo Ray kita pulang!” seru Edo bersemangan yang lansung disetujui Haikal dan Aldi dengan menarik Ray bersama mereka. “Theana?” “Nanti aja.” Seru ketiganya berbarengan, meski terlihat seperti menahan sesuatu, Ray menurut. ‘Tunggu kejutan berikuntya dariku, The.’ Batin Ray.

Tiga hari Ray merasa dkurung di rumah Aldi sambil mendengarkan dongeng ketiga temannya. Aldi, oarang yang mengaku asli dari Bumiayu menceritakan bahwa selain dari wilayah Guci tak ada lagi akses lain ke Gunung Slamet, apalagi kehidupan di kaki Slamet lainnya. Meski awalnya Ray sempet percaya karena rupa ketiga temannya memang tidak berubah, hanya saja dalam usia yang sepuluh tahun lebih darinya. Menurut mereka juga, Ray menghilang selama sepuluh tahun, hingga keluarganya yang asli Semarang memberhentikan pencarian delapan tahun lalu. Padahal Ray ingat betul dia bersama Theana hanya sepuluh hari. Tak mungkin ia salah hitung karena pengingatnya adalah jumlah jarit yang pernah ia pakai. Ray merasa dibodohi, tanpa niatan pamit. Ray langsung saja meninggalkan kediaman Aldi. Mencari-cari angkutan yang katanya menuju Guci. Beruntung Ray masih ingat ketika ia dibawa pulang ketiga temannya itu, jadi ia tak harus tersesat ketika mulai masuk akses pendakian. Tepat di posisi ia bertemu dengan Aldi, Edo dan Haikal. Yang artinya sudah dekat dengan gubuk Theana. Juga daerah yang sedikit ia kuasai karena sudah beberapa kali mencari kayu bakar. Ray yakin Theana akan terkejut. Alih-alih mengejutkan, Ray sendiri yang terkejut. Karena jarak yang biasa ia tempuh sekitar sepuluh menit, dan kini entah sudah berapa jam, Theana dan semua jejak tentangnya tak juga Ray temui. Kebersamaannya dengan Theana muncul bagai kaset rusak yang sepersekian detik terus berganti tampilan. Hingga entah pada menit atau bahkan jam ke berapa, semuanya semakin baur, Ray seolah asing, semakin mencoba mengenali, justru jiwa dan raganya seolah dikuliti, sakit.