Aku, Niko, dan Grup Barongsai Cilik

Premis

sunting

Aku (Igun) menonton sahabatku Niko berlatih bersama Grup Barongsai Cilik sebagai pemain simbal. Saat waktu istirahat, Niko mengajariku memainkan simbal. Kemudian, sesuatu yang tidak terduga terjadi.

  1. Aku (Igun)
  2. Niko
  3. Kak Putra
  4. Faiz
  5. Kak Wong

Lokasi

sunting

Sebuah kota kecil

Cerita Pendek

sunting

Grup Barongsai Cilik

sunting
 
Tari Barongsai (Lion Dance).

Aku melihat kalender mejaku. Sekarang bulan Juli. Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia masih sebulan lagi. Seperti biasa, akan ada Karnaval Kebudayaan Indonesia di kotaku. Bermacam-macam kebudayaan daerah Indonesia akan ditampilkan. Tidak lupa, atraksi Grup Barongsai Cilik akan ikut memeriahkannya. Sahabatku, Niko, termasuk dalam grup tersebut.

“Ah, aku sudah tidak sabar ingin melihat Niko tampil,” gumamku.

Setiap kali Niko berlatih bersama Grup Barongsai Cilik, aku selalu menontonnya. Aku senang menyaksikan singa barongsai menari, meliuk-liuk, melompat, dan berguling-guling. Lucu sekali!

Aku pernah bertanya pada Niko, “Kenapa namanya Barongsai?”

 
Tari Barong dari Bali

“Oh, nama “Barongsai” itu berasal dari gabungan budaya Tionghoa dengan Indonesia. Barong dan sai,” jawab Niko.

Niko menjelaskan, barong berasal dari nama salah satu tarian Indonesia, tepatnya Tari Barong dari Bali. Dalam Tari Barong, penarinya mengenakan topeng dan kostum berwujud singa raksasa. Sedangkan kata sai, yang artinya “singa”, berasal dari bahasa Hokkian. Hokkian atau Hokkien adalah salah satu suku dalam masyarakat Tionghoa.

“Oh, pantas Tari Barongsai disebut juga Tarian Singa, ya,” sahutku.  

Niko menjadi salah satu pemain musik pengiring barongsai. Biasanya ada tiga macam alat musik yang dipakai dalam pertunjukan barongsai, yaitu tambur atau gendang, gong, dan simbal. Niko memainkan alat musik simbal berdua dengan Faiz, temanku juga. Sepertinya, main simbal tidak terlalu sulit. Cukup membenturkan atau menggesek kedua kepingan simbal saja.   

Belajar Main Simbal

sunting

Sore itu, aku menonton Grup Barongsai Cilik berlatih di lapangan basket dekat rumahku. Biasanya aku suka bermain basket di situ, tetapi hari ini lapangan dipakai latihan Grup Barongsai Cilik. Selain aku, ada beberapa anak lain yang menonton mereka.

Anggota Grup Barongsai Cilik terdiri dari anak-anak Indonesia dan anak-anak keturunan Tionghoa seperti Niko. Mereka memakai pakaian kasual; kaos oblong dan celana panjang, serta sepatu kungfu yang ringan. Sebenarnya, sudah lama aku ingin masuk dan bergabung dengan grup mereka. Apalagi, ada Niko di grup tersebut. Namun, penerimaan anggota baru belum dibuka lagi. Kata Niko, biasanya penambahan anggota dilakukan di awal tahun.

“Niko!” tegurku sambil melambaikan tangan pada Niko.

Niko yang sedang memainkan simbal membalas sapaanku dengan senyuman. Matanya yang sipit terlihat menjadi seperti garis lurus. Seperti anak-anak Tionghoa pada umumnya, Niko berkulit terang, berambut hitam lurus, dan memiliki wajah yang tampan. Tubuhnya pun tinggi besar. Berbeda denganku yang asli Indonesia. Kulitku sawo matang dan rambutku tidak terlalu lurus. Tubuhku juga lebih kecil dari Niko. Namun, kata orang, aku memiliki senyum yang manis berkat lesung pipiku.

Aku membenarkan posisi kacamataku. Aku tidak melihat Faiz. Hanya ada Niko sendiri yang memainkan simbal. Hmm, tidak seperti biasanya!

“Di mana Faiz?” gumamku.

 
Igun sedang menonton Niko berlatih bersama Grup Barongsai Cilik.

Beberapa menit kemudian, Grup Barongsai Cilik beristirahat. Kak Putra mengizinkan semua anggota grup bersantai. Ada sekotak besar air mineral gelas yang boleh diambil sebagai penghilang dahaga. Kak Putra merupakan pelatih pada kelompok musik pengiring Tarian Barongsai. Selain Kak Putra, ada juga Kak Wong yang khusus melatih para penari barongsai.

Wah, hebat sekali yang menjadi penari barongsai itu! Mereka harus bisa menjaga keseimbangan tubuh dan memiliki kuda-kuda kaki yang kuat. Karena, gerakan yang mereka mainkan sedikit banyak mirip dengan gerakan akrobat yang lincah dan luwes. Tentu sulit dan capek sekali melakukan itu! Seandainya suatu hari nanti aku jadi masuk grup, aku ingin menjadi pemain simbal saja seperti Niko.

Pemain tambur dan pemain gong tampak mengobrol di pinggir lapangan. Mereka memutar-mutar stik alat musik masing-masing dengan jari-jari tangan. Kedua penari barongsai keluar dari kostumnya, lalu duduk berselonjor kaki sambil minum air mineral. Mereka berkeringat banyak karena sore itu cuaca masih cukup panas meskipun sinar matahari sudah tidak terlalu kuat. Sementara itu, Niko berlari menghampiriku sambil membawa simbalnya.

“Hei, Igun!” Niko menyapaku. Kemudian, Niko mengajakku duduk di lantai lapangan basket.

“Hei! Faiz tidak datang, ya?” tanyaku.

Niko menggeleng. “Dia tidak main lagi. Dia sudah pindah ikut orang tuanya. Jadinya, aku sendirian, nih,” jawabnya.

“Oooh …,” aku mengangguk-angguk. Pantas saja dari tadi Faiz tidak tampak.

Aku mengusap-usap simbal berbentuk lingkaran yang dipegang Niko. “Mainnya susah, tidak?” tanyaku sambil mengamati simbal tersebut.

“Tidak. Mau coba?” Niko balik bertanya sambil menyodorkan dua keping simbalnya.

Aku jadi salah tingkah sejenak, tapi akhirnya menerima simbal itu juga. “Eh, ternyata berat, ya,” kataku tidak menyangka.

Sepertinya simbal itu terbuat dari logam tembaga. Ukurannya tidak terlalu besar karena disesuaikan untuk anak-anak. Hampir saja kepingan simbal itu terjatuh karena tidak kupegang dengan kuat. Niko tertawa melihatku.

“Bagaimana cara mainnya?” tanyaku lagi.

“Sebentar, pelan-pelan,” kata Niko. Kemudian, Niko membantuku menempatkan tangan pada kedua tali pengikat kepingan simbal. “Siap, ya?” tanyanya memastikan.

“Siap!” jawabku bersemangat.

Niko mulai mengajariku melakukan gerakan-gerakan dalam memainkan simbal. “Gesek, gesek, gesek!” serunya.

Aku menggesekkan kedua kepingan simbal seperti yang disuruhnya. Cres, cres, cres! Wah, bunyinya berisik sekali. Gigiku sampai ngilu mendengarnya.

 
Alat musik simbal.

“Bentur, bentur, bentur!” seru Niko lagi.

Aku pun membenturkan dua kepingan simbal seperti arahan Niko. Kedua mataku spontan menyipit. Crang, crang, crang! Wow, bunyinya kencang dan mengagetkan, sampai telingaku berdenging! Setelahnya, aku merasakan lenganku sangat pegal.

Aku semakin keasyikan bermain simbal. Aku terus mengulang-ulang gerakan yang diajarkan Niko. Aku tidak menyadari bahwa Kak Putra dan Kak Wong memperhatikan kami sedari tadi. Sampai kemudian,

“Auuu! Aduh, duh!” jeritku. Lenganku terjepit kepingan simbal. Rasanya sakit seperti dicubit!

Karena kaget sekaligus kesakitan, aku melepaskan kedua keping simbal di tanganku dengan spontan.

KROMPYANG! Kedua keping simbal itu terjatuh ke lantai, menimbulkan suara yang sangat bising. Semua mata langsung tertuju padaku. Astaga, malunya!

Niko buru-buru memungut simbal yang tergeletak di lantai lapangan. Sementara itu, aku berjongkok dan meniup-niup lenganku yang sakit. Terlihat bekas jepitan simbal yang berbentuk seperti garis tebal berwarna biru kemerah-merahan di permukaan kulitku. Rupanya bermain simbal tidak semudah yang kubayangkan!

Aduh, Gawat!

sunting

Tiba-tiba, Kak Putra datang menghampiri kami. Langkahnya cepat dan gagah. Raut wajahnya gusar dan tanpa senyum. Aku merasa bersalah dan mulai berpikir yang tidak-tidak. Bagaimanapun, aku bukan anggota Grup Barongsai Cilik. Tidak seharusnya aku memainkan simbal mereka, apalagi sampai merusaknya. Ah, semoga saja simbalnya tidak benar-benar rusak!

Sampai di tempat kami, Kak Putra mengambil kepingan simbal dari tangan Niko. Kemudian, dia memeriksanya dengan teliti.

“Aduh! Apakah ada kepingan simbal yang penyok? Bagaimana kalau Kak Putra menemukan kerusakan?” tanyaku dalam hati.

Kak Putra lalu memandang aku dan Niko dengan sorot mata tajam. Aku menahan napas. Jantungku berdegup kencang. Sementara air muka Niko terlihat tegang. Aku takut Niko dihukum gara-gara mengajariku main simbal.

“Gawat! Kak Putra pasti marah!” pikirku. Sepertinya wajahku pucat pasi karena ketakutan.

“Niko, ini siapa?” tanya Kak Putra sambil melirikku.

Aku dan Niko saling berpandangan. Rasanya aku ingin terbang saja, kabur dari situ.

“Teman saya, Kak. Namanya Igun,” jawab Niko pelan. Kepalaku menunduk semakin dalam.     

“Dia bisa main simbal?” tanya Kak Putra lagi.    

Niko menggeleng. “Enggak, Kak. Maaf, tadi saya mengajarinya,” jawab Niko.

Aku mengerti maksud pertanyaan Kak Putra. Niko seharusnya bertanggung jawab terhadap simbalnya. Dia tidak boleh membiarkan sembarang orang memainkannya tanpa izin kakak pelatih. Apalagi orang yang tidak berpengalaman sama sekali seperti aku.    

Tiba-tiba, Kak Putra bertanya padaku, “Kamu mau main simbal?”     

Aku langsung menegakkan kepala karena terkejut. “Hah? Maksudnya?”      

“Mau, tidak?” tanya Kak Putra lagi.    

“Ma ... mau, Kak!” jawabku. Aku bingung dan ragu-ragu, harus tersenyum atau bagaimana. Kak Putra serius atau bercanda?

“Terus, tunggu apa lagi? Ayo, ikut latihan!” perintah Kak Putra.     

“Wah, betulan ini, Kak?” Aku hampir tidak percaya, begitu pula Niko. Wajah kami yang tadinya tegang berubah menjadi semringah.

Kak Putra mengangguk. “Betul. Kebetulan pemain simbal kurang satu orang. Kalau kamu bersedia, kamu yang menggantikannya,” jelas Kak Putra.   

“Yeeey!” Aku dan Niko bersorak. Kami segera berlari untuk bergabung dengan teman-teman lainnya.

Kak Putra tersenyum melihat tingkah kami.

Dua Sahabat Pemain Simbal

sunting
 
Igun dan Niko di atraksi Barongsai

Sejak itu, aku resmi menjadi anggota Grup Barongsai Cilik. Aku dan Niko selalu bersama setiap kali pergi dan pulang latihan. Kemudian, di acara peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia, aku juga ikut serta dalam Karnaval Kebudayaan. Wah, aku bangga sekali memakai seragam Grup Barongsai Cilik yang berwarna oranye cerah!

Tentu saja aku sangat gembira. Yang awalnya aku hanya ingin menonton penampilan Grup Barongsai Cilik, kini justru menjadi salah satu pemainnya. Lebih seru lagi, aku tampil berpasangan dengan Niko. Kami adalah dua sahabat pemain simbal yang kompak.

Ah, benar-benar menyenangkan! []