Alunan Piano dan Sepiring Nasi Goreng

Suara musik itu indah. Seindah suara-suara merdu orang terkasih ketika menyapa nama dan tersenyum gembira. Terasa begitu istimewa. Istimewa sebab tak semua lagu-lagu itu sesuai dengan kondisi jiwa sang pendengarnya. Alat musik di hadapanku ini tak ubahnya seperti kotak pandora yang hadir ke dalam hidupku. Aku terdiam di depan piano yang dibelikan oleh ibuku ketika aku bahkan baru sekolah dasar dan menginjak kelas satu. Ia menanamkan impian-impian serta imaji-imaji yang bahkan tak pernah kumengerti. Kejadian itu membuatku selalu menyematkan identitas diri ini dengan benda hitam putih bernama piano.

Jari-jariku menari menekan kunci lagu River Flows In You dan menghasilkan suara-suara yang enak didengar. Pedomannya adalah menggunakan tiga jari dengan lentur kanan dan kiri secara teratur sesuai dengan partitur. Lagu ini adalah lagu kesukaan ibuku. Ingatanku melayang pada ibuku yang bersikeras memintaku belajar piano sedari bayi. Namun, nyatanya iringan pianoku pula yang mengantarkannya pada sang pemilik mati. Ia tertidur dengan perlahan. Senyum yang menghampiri wajahnya ketika ia tidur rupanya senyum terakhir yang bisa kusaksikan di usiaku yang perlahan menginjak dewasa. Sebuah ironi ketika ia pergi meninggalkanku bersama adik yang kini berubah menjadi raksasa. Ayah yang pergi entah kemana dan aku hanya menerima uang bulanan saja yang tak jelas diperoleh dari mana.

Malam ini semakin sunyi. Aku seperti terlempar pada sisi dunia yang begitu asing. Termangu, kuusap perlahan tuts yang berwarna hitam dan putih itu. Aku memaknai simbol-simbol itu sebagai isi dari kehidupan, keberadaannya menunjukkan perbedaan namun saling menyempurnakan. Keduanya memiliki fungsi-fungsi yang berbeda namun bergantung satu dengan yang lainnya sehingga menciptakan harmoni yang indah. Pun, seperti simbolisme yin dan yang. Bukan tentang baik-baik saja ataupun bicara yang jahat-jahat saja. Sejatinya baik dan jahat hanya tergantung pada moral dari sang pelaku kehidupan. Jika membicarakan tentang warna, maka warna manusia adalah abu-abu. Tidak hanya hitam-hitam dan sepenuhnya putih tak bisa menyematkan ia putih ia hitam seenaknya sendiri sebab ada banyak faktor yang melatarbelakangi manusia dalam melakukan tindakan.

Suara-suara bising motor di jalan raya memecah gendang telingaku. Aku mengumpat. Aku baru saja akan memulai bagian kesukaan ibuku, namun konsentrasiku kini buyar sebab suara-suara di depan rumah ini. Rumah ini memang menghadap jalan raya besar.

Aku tak bisa melanjutkan lagu ini.

Aku menatap langit yang gelap tanpa cahaya sang rembulan. Kehampaan menyerang sanubari. Rumah ini bukan rumahku sendiri, pemiliknya adalah seorang seniman yang kini sedang pergi ke Bali. Rumah ini berisi dua kurcaci kecil, yakni anak-anak berusia sembilan tahun sebut saja adikku si raksasa kecil dan Ata si bapak kucing, tiga ekor kucing bernama Cleopatra, Lucas, dan si Tina yang terkunci di kandang, ikan-ikan koi di belakang, kura-kura sebesar ember, ayam yang selalu bertelur satu telur setiap harinya, burung di halaman tengah dan ikan lele raksasa.

Aku beranjak dari kursiku, menuju tempat tidur sembari memikirkan hidangan untuk besok pagi. Semua warga di rumah ini harus mendapat jatah makan, termasuk para hewan.

***

Lukisan itu hilang!

Adikku, si raksasa kecil itu yang mencurinya. Lukisan milik Ata, si bapak kucing, dicuri olehnya. Lukisan-lukisan banyak tergantung di rumah ini. Di tiap-tiap kamar, di ruang tamu, di depan meja makan, di samping pintu kamar mandi, bahkan ada tiga buah di teras depan rumah. Sembari pemilik rumah ini pergi dalam rangka pameran aku dimintanya untuk tinggal. Sudah hampir seminggu keduanya tinggal di rumah orang Jerman bernama Mark yang membeli beberapa lukisan menyeramkan. Kusebut menyeramkan sebab ketika melihatnya di depan kedua bola mataku sendiri seketika aku merasa ketakutan. Lukisan gambar babi yang terjual, lukisan satu lagi juga dipajang di galeri milik Mark yang kebanyakan berisi benda-benda purbakala, lukisan yang lainnya sengaja diberikan ke Pak Made, kenalannya si pemilik rumah.

Malam ini semakin mencekam. Aku harus menemukan lukisannya. Adikku pergi entah kemana bisa saja ke rumah teman-temannya. Sejenak saja aku ingin melupakannya. Aku kembali berada di depan piano peninggalan ibuku. Memainkan lagu kesukaannya. Alunan lagu River Flows In You milik Yiruma sudah mulai memasuki bagian Reff. Ketika memasuki tangga nada ini sebetulnya dibutuhkan konsentrasi penuh sebab kunci nadanya begitu rumit. Hal-hal yang rumit tentu saja menyebalkan namun sekaligus begitu menarik perhatian. Impian-impian itu masih tertancap dengan kuat dalam sanubari. Bahwa ada yang namanya cita-cita, kemampuan, dan pencapaian yang saling berkaitan. Mereka beriringan membangunkanku setiap malam saat keadaan semakin mencekam.

Aku terbangun dari tidurku sebab terngiang suara-suara si pemilik rumah hingga ke dalam mimpi.

“Apa mimpimu? Apa keahlianmu? Kamu tidak punya waktu untuk mengejar itu. Kamu hanya boleh mengurus adikmu, itu tanggung jawabmu!”

Ucapan-ucapan semacam itu setiap hari kudengarkan. Hingga ketika ia pergi, ucapannya bak hantu yang terus meneror malam-malamku. Tentu saja ucapan itu semua ditujukan pada diriku sendiri oleh sang pemilik rumah ini, seorang yang kuanggap sebagai ibu kedua. Aku ketakutan ketika mendengar pertanyaan-pertanyaan yang begitu menyudutkan. Aku menjadi buta, menjadi ibu peri dalam imajinasi, juga menjadi penyihir, menjadi bidadari tak ajaib yakni bidadari buta. Terjerat bersama dominasi kuasa oleh feminin yang lebih tua.

Kesempatanku ketika sang pemilik rumah sedang berada di Bali untuk mengekspresikan segala bentuk kesal, protes, amarah, sedih, dan bermacam emosi yang selalu membangunkanku kala mimpi-mimpiku itu perlahan semakin ia kubur dengan perlahan. Mematahkan segala semangatku. Katanya aku disuruh untuk menerima saja, iya-iya saja, dan segala macam hal-hal membosankan lainnya. Kebaikan dan keburukan begitu saling berhimpitan. Baik memang baik atau itu hanya tipuan?

Suara anjing tetangga sebelah berkali-kali menggongong meskipun jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Rupanya suara anjing itu terdengar menyalak saling bersahutan. Bahkan mampu bersaing dengan lagu yang kini kumainkan. Apa anjing juga ingin berlomba denganku? Tentu saja bersaing dengan anjing ini sedikit merepotkan sebab tetangga beretnis tionghoa di sebelah memang punya anjing dan berlomba-lomba dengan hewan bukan merupakan suatu kebanggaan. Aku sudah lelah mencari muka dan berlomba-lomba dengan putri-putri lainnya, apa kini anjing-anjing bahkan mengejekku dengan berlaku sedemikian rupa?

Aku menghentikan alunan piano. Aku tak mampu melanjutkannya. Siapa yang akan mendengarkan laguku ini sedangkan ibuku kini sudah mati? Aku kembali beranjak menuju dapur menyiapkan segala keperluan untuk bekal adikku dan si Ata besok. Meskipun kini aku tak tahu kemana perginya dan tidur di mana, aku harus menyiapkan segala keperluannya. Ata sudah tidur dari pukul delapan, ia penurut dan sangat sopan. Begitu berbeda dengan adikku. Aku muak dengan manusia yang sulit diatur itu. Genetik ayahku begitu melekat dalam jiwanya.

***

Adikku mencuri uang!

Aku kembali terduduk di depan piano. Mengenang ibuku sembari mengutuk kelakuan adikku. Harusnya ia sadar diri, kami ini menumpang dan mendapat belas kasihan orang sebab tak punya siapa pun lagi. Namun kini ia berubah menjadi raksasa kecil sekaligus seorang pencuri. Tabunganku dicurinya hanya sisa sepertiga saja dan ia menghabiskan uang untuk perut dan kesenangannya.

“Ibu, kutukan macam apa yang telah engkau sematkan padanya? Aku lelah mengurusinya. Aku ingin mengejar mimpiku,” keluhku.

Menghela napas dengan perlahan, aku kembali memainkan lagu River Flows In You dengan tempo teratur. Aku masih ingat bagaimana aku selalu berlatih piano setiap pulang sekolah, menghafalkan not balok setiap harinya, selalu mengikuti kursus tiga kali setiap minggunya. Bertemu teman-teman yang juga menyukai piano. Berlatih bersama mereka di studio musik sekolah.

Air mataku menetes tanpa kusadari. Dalam imajiku terbayang dengan jelas senyum ibu ketika ia mendengarkan alunan lagu ini setiap malam sebagai pengantar tidur. Aku yang selalu menemaninya. Sebab ayah selalu pergi dari rumah dan tak kumengerti kemana tujuannya. Seringkali ayah dan ibu bertengkar menjadikan aku sebagai penonton saja. Beberapa kali kudengar mengenai kabar perselingkuhan dan banyak kata-kata menyakitkan. Tetangga mengatakan jika ibuku meninggal sebab tak mampu menanggung beban kehidupan. Adalah ketika ayah berselingkuh dan harus bersikap baik-baik sebab keluarga tak ada yang tahu soal persoalan itu.

Suara derit pintu mengalihkan perhatianku.

Lagi-lagi konsentrasiku terbagi ketika memainkan lagu ini.

“Mbak,” ucap Adikku.

Ia menoleh padaku dengan senyum bocah tak bersalahnya itu. Aku menghentikan tekanan jemariku pada tuts piano. Kutahan segala macam tanya mengenai lukisan yang hilang, uang yang hilang, serta mengapa ia tak pulang. Dia masih bocah. Mengapa ia bersikap selayaknya orang dewasa, berperilaku seperti pencuri dan menjadi manusia yang tak mengerti tata krama. Aku membencinya, tetapi meski begitu tetap saja ia adalah adik kandungku.

“Ada apa?” tanyaku.

Kupikir anak ini sudah tidur entah di mana mengingat saat ini sudah tengah malam. Samar-samar tampak bulan yang bersinar di tengah hamparan langit.

“Aku lapar, Mbak. Bikinin aku makanan, nasi goring kesukaanku.”

Aku menghela napas dengan berat. Ia satu-satunya manusia yang kupunya. Bocah itu tingkahnya sangat mengerikan. Perilakunya buruk, ia suka mencuri, selalu bergantung kepadaku, dikira aku ini adalah pengganti ibu. Aku kini hanya bersama diriku. Segala angan tentang mimpiku kini terasa kerdil. Aku menjadi termenung memikirkan kenyataan yang telah terjadi.

Semua keraguan melintas di benakku. Aku nantinya juga akan menjadi ibu. Namun, apa semua mimpi-mimpiku begitu semu? Hingga sang pemilik rumah, si ibu kedua, selalu meragukan kemampuanku? Berjalan aku menuju kompor untuk menghidupkannya, adikku mengekor dengan muka kantuknya. Kuputuskan membuat nasi goreng sederhana dari sisa nasi yang ada. Meracik bumbu, menggoreng nasi, dan memasak telur.

Apa memang seperti ini kodrat wanita? Apa aku memang harus menyerah akan impian dan kemampuan yang kupunya? Lalu mengapa ibuku kerja keras hingga maut menjemput di usia awal empat puluh menginginkan aku untuk terus mengiringi tidurnya dengan dentingan suara-suara indah dari kotak musik itu? Kebingungan ini kusaksikan dengan jelas dalam bayangan suapan nasi goreng adikku yang sedang kelaparan.


2022