BAB XVIII

ARMADA SEKUTU BERLABUH, MELEWATI

AMBANG KEMENANGAN

Lagi-lagi dibawa ke kendaraan, kami dibawa di sepanjang pesisir, pemanduku mengalihkan perhatianku ke ladang ranjau, yang terbentang dari Tchanak yang berjarak sekitar tujuh mil di arah selatan. Di wilayah tersebut, Jerman dan Turki telah menanam sekitar 400 ranjau. Mereka berujar kepadaku dengan sikap baik bahwa Rusia menerjunkan sejumlah mesin penghancur. Hari demi hari, kapal-kapal penghancur Rusia memeriksa ranjau-ranjau di Laut Hitam dalam perjalanan menuju Bosphorus, berharap agar mereka dapat mengangkatnya dan memenuhi tugas yang ditujukan kepada mereka. Setiap pagi, para pemeriksa ranjau Turki dan Jerman dikerahkan, memancing ranjau-ranjau tersebut, dan menempatkannya di Dardanelles.

Baterai di Erenkeui juga mengalami bombardemen berat, namun sedikit mengalami kerusakan. Tak seperti Dardanos, mereka berada di balik bukit, sepenuhnya tertutup dari pandangan. Dalam rangka membentengi tempat tersebut, aku berujar, Turki telah memutuskan untuk menghimpun perbentengan di selat dalam—pada bagian arus yang terbentang dari Tchanak sampai Titik Nagara. Ini adalah alasan kenapa bagian akhir Dardanelles kini tak dibentengi. Meriam-meriam yang dipindahkan untuk keperluan ini adalah potongan-potongan Krupp gaya lama dari model tahun 1885.

Selatan Erenkeui, pada perbukitan yang berbatasan dengan jalan raya, Jerman memperkenalkan inovasi. Mereka mendapati banyak persenjataan Krupp ditinggalkan sejak perang Bulgaria dan ditempatkan pada fondasi beton. Setiap baterai memiliki empat atau lima penempatan sehingga, kala aku mengetahuinya, aku mendapati banyak pangkalan penting yang nampak tak memiliki meriam. Aku makin heran pada penglihatan segerombolan kerbau—yang aku pikir aku hitung berjumlah enam belas dalam operasi tersebut—digiring ke salah satu persinggahan dari satu tempat ke tempat lainnya. Ini nampak merupakan bagian dari rencana pertahanan. Kemudian, rudal-rudal yang jatuh menandakan bahwa armada tersebut telah mengelilinginya, pengerahan akan digerakkan, dengan bantuan tim-tim kerbau, kepada penempatan beton lainnya.

"Kami bahkan memiliki trik yang lebih baik ketimbang itu," ujar salah satu perwira. Mereka memanggil sersan, dan menuturkan pengabdiannya. Prajurit tersebut adalah penjaga alat yang, sejauh ini, nampak seperti meriam sebenarnya, namun kala aku mengujinya nyaris dengan tanganku, nampak menjadi bagian dari pipa selokan. Di balik bukti, yang sepenuhnya tersembunyi dari armada, ditempatkan meriam yang telah dikoopeerasikan oleh sersan tersebut. Keduanya terhubung lewat telepon. Kala perintah datang untuk menembak, penembak meriam yang bertugas dalam pengerahan tersebut akan melepaskan rudalnya, sementara pria yang mengurusi pipa selokan akan membakar beberapa pound bubuk hitam dan mengirim awam asap kehitaman. Biasanya, pasukan Inggris dan Prancis pada kapal-kapal akan menganggap bahwa rudal yang diletuskan ke arah mereka datang dari awan asap yang nampak dan akan bergerak ke tengah seluruh perhatian mereka pada tempat tersebut. Ruang di sekitaran meriam tersebut ditandai dengan lubang peluyru. Ia berujar, sersan yang bertugas telah melakukan lebih dari 500 tembakan, sementara potongan artileri yang sebenarnya masih tetap utuh dan tak terdeteksi.

Dari Erenkeui, kami bergerak kembali ke markas besar Jenderal Djevad, di tempat kami makan siang. Djevad membawaku ke sebuah pos pengamatan, dan disana di hadapan mataku, aku melihat pemandangan biru yang indah dari Ægea. Aku dapat melihat seluruh Dardanelles, Sedd-ul-Bahr dan Kum Kalé terhimpun bak penjagaan gerbang, dengan perairan yang menyinari berbentang di antaranya. Dari jauh, aku menyaksikan kapal-kapal Inggris dan Prancis berlayar di sepanjang tempat masih, dan masih lebih jauh, aku menyoroti kegemilangan pulau Tenedos, yang di baliknya kami mengetahui bahwa masih ada armada yang lebih besar yang merapat. Biasanya, keadaan tersebut membawakan pemikiran ribuan keterkaitan sejarah dan legenda, karena mungkin tak ada satupun tempat di dunia yang lebih dikerumuni dengan syair dan romansa. Rupanya pendamping Turki-ku, Jenderal Djevad, merasakan isyarat, kala ia memegang teleskop dan mengerahkannya ke arah yang jauh, mungkin sejauh enam mil.

"Lihat pada titik itu," ujarnya sembari memegangi kaca kepadaku. "Apa yang kau tau tentang itu?"

Aku melihatnya namun tak dapat mengidentifikasikan pantai berpasir tersebut.

"Itu adalah Dataran Troy," ujarnya. "Dan sungai yang kau lihat mengalir keluar-masuk," tambahnya, "kami orang-orang Turki menyebutnya Mendere, namun Homer mengenalnya sebagai Scamander. Balik dari kami, hanya beberapa mil jauhnya, adalah Gunung Ida."

Kala ia menurunkan kacanya ke laut, mengamati tempat kapal-kapal Inggris bersandar, dan lagi-lagi membujukku untuk melihat sebuah titik menonjol. Aku langsung melihat kapal perang Inggris yang luar biasa, semuanya dikerahkan untuk pertempuran, dengan cepat berlayar bak orang menjalankan tugas penjagaan.

"Itu," ujar Jenderal Djevad, "adalah Agamemnon"!

"Haruskah aku menembakkan tembakan kepadanya?" tanyanya kepadaku.

"Ya, jika engkau berjanji kepadaku untuk tak menyerangnya," jawabku.

Kami makan siang di markas besar. Disana, kami didatangi oleh Laksamana Usedom, Jenderal Mertens, dan Jenderal Pomiankowsky, Atase Militer Austria di Konstantinopel. Catatan utama dalam perbincangan tersebut adalah salah satu keyakinan mutlak pada masa mendatang. Apa yang para diplomat dan politikus di Konstantinopel dianggap, baik Turki dan Jerman, tak memiliki keputusan—setidaknya perbincangan kami tak mengkhianati siapapun—bahwa armada Sekutu akan melintasi pertahanan mereka. Apa yang mereka lihat untuk harapan bagi seluruh hal yang membuat musuh-musuh mereka akan melakukan serangan lainnya.

"Bahwa kami hanya dapat mengambil kesempatan pada Queen Elizabeth!" ujar seorang Jerman, merujuk kepada kapal terbesar di AL Inggris, yang kala itu bersandar di tempat masuk.

Kala arak Rhein mulai habis, dorongan mereka untuk serangan meningkat.

"Bahwa orang-orang bodoh hanya akan melakukan pendaratan!" ujar seseorang—yang aku kutip kata-kata pastinya.

Sehingga, para perwira Turki dan Jerman memandang satu sama lain dalam ekspresi kesiapan mereka untuk ribut. Mungkin kesepakatan baik ini adalah kesombongan, yang ditujukan untuk santapanku—sehingga, aku memiliki informasi pribadi bahwa perkiraan pasti mereka terhadap keadaan tersebut kurang lebih meyakinkan. Namun kini, mereka menyatakan bahwa perang bukanlah kesempatan yang sebenarnya bagi AL Jerman dan Inggris untuk mengangkat pedang, dan untuk alasan ini, Jerman di Dardanelles menyambut kesempatan ini untuk menguyapakan masalah tersebut.

Dengan mengunjungi seluruh tempat penting di sisi Anatolia, kami makan siap dan berlabuh ke jazirah Gallipoli. Kami nyaris memiliki pengalaman buruk pada kapal tersebut. Kala kami sampai ke pesisir Gallipoli, pengemudi kami ditanyai apakah ia mengetahui letak ladang ranjau, dan apakah ia dapat menyetir melalui selat tersebut. Ia berkata "ya" dan kemudian menyetir langsung ke ranjau-ranjau! Beruntungnya, orang lainnya menyatakan kekeliruan pada waktu itu, dan sehingga kami sampai dengan selamat di Kilid-ul-Bahr. Baterai-baterai disini nyaris berkarakter sama dengan yang di sisi lainnya. Mereka membentuk salah satu pertahanan utama di selat. Disini setiap hal, sejauh orang awam dapat memastikan, dalam kondisi yang bagus, memberikan fakta bahwa potongan-potongan artileri bergaya lama dan amunisi tak semuanya siap.

Baterai-baterai tersebut menunjukkan tanda-tanda kerusakan berat. Tak ada yang dihancurkan, namun lubang-lubang rudal memenuhi perbentengan. Rombongan Turki dan Jerman-ku menyoroti bukti-bukti penghancuran lebih serius dan mereka berujar soal keterkejutan mereka untuk keakuratan tembakan sekutu.

"Bagaimana mereka melakukannya bertubi-tubi?" Ini adalah pertanyaan yang mereka tanyai satu sama lain. Apa yang membuat tembakan tersebut sangat mencolok adalah fakta bahwa ini datang, tak dari kapal-kapal Sekutu di selat, namun dari kapal-kapal yang dikerahkan di Laut Ægea, di sisi lain jazirah Gallipoli. Para penembak meriam tak pernah melihat target mereka, namun dapat menembak sejauh nyaris sepuluh mil, di atas perbukitan tinggi, dan sehingga banyak rudal mereka mengenai baterai-baterai di Kilid-ul-Bahr.

Namun, kala aku berada disana, tempat tersebut sepi, karena tak ada pertikaian yang terjadi pada waktu itu.Menurutku, para perwira mengambil salah satu kru merian mereka memakai bor, sehingga aku dapat melihat gambaran pasti dari perilaku Turki kala ditindak. Di mata pikiran mereka, pasukan artileri tersebut kini melihat kapal-kapal Inggris melaju serentak, seluruh meriam mereka ditujukan untuk menghancurkan para pengikut Nabi. Pembunyi terompet meniup tanduknya, dan seluruh gerombolan dikerahkan ke tempat-tempat mereka yang ditentukan. Beberapa pasukan terkena rudal, yang lainnya berbalik, yang lainnya melakukan serangan, yang lainnya didorong maju dan yang lainnya melakukan perubahan tempat. Setiap hal menjadi kemurkaan dan kebiasaan. Buktinya, Jerman telah menjadi pengarah menonjol, namun terdapat lebih dari keberadaan militer Jerman, karena pasukan menghadapi seluruh fanatisisme yang menyuplai moral para prajurit Turki. Para penembak meriam membayangkan bahwa mereka menembak lebih dari sekali kepada kafir Inggris, dan keputusan ini merupakan hal yang pantas. Di luar itu, teriakan dari semua orang yang aku dengar mengumandangkan seruan dari pemimpin, meniru doa yang Muslim serukan untuk pertempuran selama tiga belas abad.

"Allah mahabesar, tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah!"

Kala aku melihat pasukan yang berseru tersebut, dan menyaksikan secara tersirat pada wajah mereka akan kehencian tak terkendali terhadap kafir, aku terpikir apa yang Jerman katakan pada pagi hari soal kebijaksanaan agar tak menempatkan prajurit Turki dan Jerman bersama. Aku sangat menyadarinya, ini telah dilakukan, disini setidaknya "Perang Suci" akan meraih kesuksesan, dan Turki akan meluapkan kebencian mereka terhadap Kristen pada orang-orang yang dapat ditangani, sesambil mengabaikan fakta bahwa mereka adalah sekutu.

Aku pulang ke Konstantinopel pada sore hari. Dua hari setelahnya, pada 18 Maret, armada Sekutu melakukan serangan terbesarnya. Kala seluruh dunia mengetahuinya, serangan tersebut menimbulkan marahabaya pada Sekutu. Akibatnya adalah penenggelaman Bouvet, Ocean, dan Irresistible beserta kerusakan berat empat kapal lainnya. Dari enam belas kapal yang dierahkan dalam pertempuran pada tanggal 18, tujuh kemudian ditempatkan sementara atau tetap tanpa bertindak. Seharusnya, Jerman dan Turki menyambut kemenangan ini. Kepolisian dikerumuni, dan memerintahkan setiap rumah tangga untuk mengibarkan sejumlah besar bendera untuk menghormati peristiwa tersebut. Orang-orang Turki sangat sedikit memiliki patriotisme spontan atau keantusiasan dari jenis apapun yang tak pernah mereka luapkan tanpa perintah semacam itu. Pada kenyataannya, Jerman maupun Turki menganggap perayaan tersebut terlalu serius, karena mereka tak mendorong agar merek benar-benar meraih kemenangan. Kebanyakan masih meyakini bahwa armada Sekutu akan berhasil mengerahkan cara mereka. Mereka berujar, satu-satunya pertanyaan adalah apa yang Entente siapkan untuk mengorbankan jumlah kapal yang dibutuhkan. Baik Wangenheim maupun Pallavicini meyakini bahwa pengalaman buruk pada tanggal 18 akan mengakhiri serangan AL, dan selama berhari-hari, mereka menunggu armada pulang. Ketegangan tinggi berlangsung selama berhari-hari dan berpekan-pekan usai penarikan tanggal 18. Mereka masih mengharapkan penyerangan kembali. Namun armada besar tak pernah kembali.

Apakah mereka datang kembali? Dapatkah kapal-kapal Sekutu benar-benar merebut Konstantinopel? Aku sontak menanyai pertanyaan ini. Sebagai awam, tanggapan pribadiku dapat memiliki sedikit nilai, namun aku mengutip opini-opini para jenderal dan laksamana Jerman, dan dan Turki—yang biasanya secara keseluruhan, kecuali Enver, meyakini bahwa usaha tersebut akan sukses, dan aku separuh meyakini bahwa sikap Enver benar-benar menjadi kasus yang terkubur. Sehingga, pada apa yang aku katakan pada saat itu, aku mengharapkan agar dipahami bahwa aku tak memberikan pandanganku sendiri, namun benar-benar pandangan para perwira yang ketika itu berada di Turki yang terkualifikasi untuk memutuskan.

Pada perbincangan kami di dek Yuruk, Enver berujar kepadaku bahwa ia memiliki "sekumpulan meriam—sekumpulan amunisi." Namun pernyataan ini tidak benar. Penampakan di peta akan menunjukkan kenapa Turki tak menerima munisi dari Jerman atau Austria pada masa itu. Fakta menyatakan bahwa Turki sepenuhnya terisolasi dari sekutunya seperti halnya Rusia. Terdapat dua jalur kereta api yang terbentang dari Konstantinopel sampai Jerman. Satu datang lewat perjalanan Bulgaria dan Serbia. Bulgaria kala itu bukanlah sekutu. Meskipun negara tersebut bersenjatakan meriam dan rudal, jalur tersebut tak dapat dipakai, semenjak Serbia, yang mengendalikan jalan vital yang terbentang dari Nish sampai Beograd, masih bertahan. jalur kereta api lainnya datang lewat Rumania, melalui Bucharest. Rute tersebut terpisah dari Serbia, dan, dengan campur tangan Pemerintah Rumania, jalur tersebut akan membentuk rute jelas dari Krupps sampai Dardanelles. Fakta bahwa munisi-munisi dapat dikirim dengan keterlibatan Pemerintahan Rumania mungkin terhitung atas dugaan bahwa meriam-meriam dan rudal-rudalnya didatangkan lewat rute tersebut. Hari demi hari, para perwakilan Prancis dan Inggris berunjuk rasa di Bucharest menentang dugaan pelanggaran netralitas tersebut, hanya menghasilkan penyangkalan murka bahwa Jerman menggunakan jalur tersebut. Tidak ada keraguan kini bahwa Pemerintah Rumania benar-benar menghormati dalam membuat penyangkalan tersebut. Seperti halnya Jerman sendiri yang memulai seluruh cerita tersebut, armada Sekutu sebetulnya terkecoh dalam keyakinan bahwa suplai-suplai mereka tak ada habisnya.

Mari kita lihat kala Sekutu kembali, katanya pada pagi tanggal sebilan belas, apa yang akan terjadi ? Satu fakta yang berlebihan menyatakan bahwa perbentengan-perbentengan sangat sedikit amunisi. Mereka nyaris mencapai batas kekuatan serangan mereka kala armada Inggris melintas pada siang tanggal 18. Aku memberikan ijin kepada Tuan George A. Schreiner, koresponden Amerika terkenal dari Associated Press, untuk mengunjungi Dardanelles pada kesempatan ini. pada malam tanggal 18, koresponden tersebut membahas keadaan tersebut dengan Jenderal Mertens, yang menjadi kepala jabatan teknik di selat. Jenderal Mertens membujuk agar penyorotannya lebih ditujukan pada pertahanan.

"Kami memperkirakan bahwa Inggris akan datang kembali pada awal pagi esok," ujarnya, "dan jika mereka melakukannya, kami dapat menuntaskannya selama beberapa jam."

Jenderal Mertens tak menyebutkan terlalu banyak kata bahwa amunisinya habis, namun Tuan Schreiner mendapati kasus semacam itu. Fakta adalah bahwa Benteng Hamidié, pertahanan paling kuat di sisi Asiatik, hanya memiliki tujuh belas rudal yang ditinggalkan, sementara di Kilid-ul-Bahr, yang menjadi pertahanan utama pada sisi Eropa, hanya ada sepuluh.

"Aku harus menasehatimu untuk pergi pukul enam pagi esok," ujar Jenderal Mertens, "dan menuju ke perbukitan Anatolia. Itulah yang kami lakukan."

Pasukan di seluruh perbentengan mendapatkan perintah untuk mengerahkan meriam-meriam sampai rudal terakhir ditembakkan dan kemudian meninggalkan benteng-benteng.

Kala pertahanan tersebut menjadi tak tertolong, masalah armada Sekutu akan menjadi hal yang sederhana. Satu-satunya tempat untuk perjuangan mereka akan menjadi ladang ranjau, yang terbentang dari titik sekitar dua mil dari utara Erenkeui sampai Kilid-ul-Bahr. Namun armada Sekutu memiliki sejumlah pembersih ranjau, yang dapat membuat perhubungan dalam beberapa jam. Dari utara Tchanak, kala aku siap menjelaskan, terdapat sedikit meriam, namun meriam-meriam tersebut merupakan model tahun 1878, dan tak dapat melepaskan proyektil yang dapat meletuskan rudal modern. Di utara Titik Nagaram hanya ada dua baterai, dan keduanya tertanggal dari tahun 1835! Sehingga, kala meredam selat-selat luar, tak ada kesempatan untuk melewati Konstantinopel kecuali kapal-kapal perang Jermanm dan Turki. Goeben adalah satu-satunya kapal tempur kelas satu di segala armada, dan tak akan berlangsung lama melawan Queen Elizabeth. Sehingga, pengerahan kekuatan armada yang berlawanan sangat besar bahwa itu diragukan entah akan ada yang pernah kejadian.

Kemudian armada Sekutu akan nampak di hadapan Konstantinopel pada pagi tanggal dua puluh. Apa yang kemudian terjadi? Kami mendengar banyak diskusi soal apakah serangan AL murni ini dibenarkan. Dalam perbincangannya denganku, Enver sangat menekankan kerancuan pengiriman armada ke Konstantinopel, tanpa didukung oleh pasukan pendaratan, dan banyak kritikan semenjak perlintasan ekspedisi Dardanelles terpusat pada titik itu. Sehingga, aku berpendapat bahwa serangan AL khusus ini dibenarkan. Aku mendasarkan pembenaran ini murni atas keadaan politik yang kala itu timbul di Turki. Pada keadaan biasa, usaha semacam itu akan memungkinkan hal paling bodoh, namun kondisi politik di Konstantinopel waktu itu tak biasa. Tak ada pemerintahan solid yang berdiri di Turki pada masa itu. Komite politik, yang tak mencapai empat puluh anggota, dikepalai oleh Talaat, Enver, dan Djemal, mengendalikan Pemerintahan Pusat, namun otoritas mereka di seluruh kekaisaran sangat lemah. Karena pada kenyataannya, seluruh negara Utsmaniyah, pada 18 Maret 1915, kala armada Sekutu meninggalkan serangan tersebut, berada pada ujung pembubaran. Seluruh kepemimpinan ambisius Turki timbul, yang mengharapkan kejatuhannya, dan yang melihat kesempatan untuk merebut bagian pewarisan mereka. Seperti yang disebutkan sebelumnya, Djemal siap menghimpun pemerintahan independen di Suriah. Di Smyrna, Rahmi Bey, sang Gubernur-Jenderal, seringkali tak sepakat dengan otoritas di ibukota. Di Adrianopel, Hadji Adil, salah satu orang Turki paling berani pada masa itu, diyakini berencana membentuk pemerintahannya sendiri. Arabia siap menjadi negara independen. Salah satu hal yang menantang jiwa pemberontakan adalah persebarannya yang cepat. Yunani dan Armania juga akan menyambut kesempatan untuk memperkuat tangan-tangan Sekutu. Kondisi keuangan dan industrial yang ada nampak membuat revolusi tak terelakkan. Banyak petani mogok. Mereka tak memiliki benuh dan tak menerimanya sebagai hadiah gratis dari Pemerintah karena, ujar mereka, selama ini tanaman mereka harus ditujukan kepada tentara yang akan langsung merekuisisinya. Demikian pula Konstantinopel, masyarakat disana dan unsur-unsur terbaik di kalangan Turki, jauh dari melawan kedatangan armada Sekutu, akan menyambutnya dengan kegembiraan. Turki sendiri berdoa agar Inggris dan Prancis merebut kota mereka, mengembalikannya kepada kelompok yang mengendalikan, mengemansipasi mereka dari Jerman yang dibenci, mengirimkan perdamaian, dan mengakhiri pergesekan.

Tidak ada orang yang mengerti ini selain Talaat. Ia tak mengambil kesempatan untuk melakukan penarikan ekspedisi, dalam kasus armada Sekutu muncul di hadapan kota. Selama berbulan-bulan, para pemimpin Turki menyoroti kendaraan Minerva yang ditempatkan di kedubes Belgian sejak deklarasi perang Turki. Talaat akhirnya menerima hadiah yang didambakan tersebut. Di kesempatan lain, ia menerima kendaraan lain, yang diisi olehnya dengan ban tambahan, bahan bakar dan seluruh keperluan lain pada perjalanan yang disiapkan. Ini membuktikan tujuan menyertai mesin yang sangat menonjol tersebut sebagai jenis "kapal induk." Talaat menempatkan kendaraan-kendaraan tersebut di sisi Asia dari kota tersebut dengan para pengemudi yang menanganinya. Setiap hal disiapkan untuk meninggalkan bagian dalam Asia Kecil pada catatan kesempatan itu.

Namun, armada Sekutu besar tak pernah kembali menyerang.

Sekitar sepekan usai kekalahan tersebut, aku mendatangi di Kedubes Jerman. Wangenheim memiliki pengunjung terhormat yang ia minta untuk menemuiku. Aku datang ke kantor pribadinya dan itu adalah Von der Goltz Pasha, yang baru pulang dari Belgia, di tempat ia menjabat sebagai gubernur. Aku harus katakan bahwa, kala menemui Goltz, aku kesulitan dalam menyatukan kepribadiannya dengan segala cerita yang kala itu dayang dari Belgia. Pada pagi itu yang bernuansa tenang, priyayi menonjol tersebut nampak sangat tenang dan tak terbebani. kala ia menyatakan usianya, ia kala itu berusia sekitar tujuh puluh empat tahun. Rambutnya hanya sedikit yang abu-abu, dan wajahnya nyaris tak berkerut. Aku seharusnya tak menganggapnya berusia lebih dari enam puluh lima tahun. Kesederhanaan dan kekasaran serta martabat menonjol yang disematkan pada orang Jerman nomor 2 tersebut tak nampak. Suaranya mendalam, musikal dan menyenangkan, dan perilakunya bersahabat dan menarik. Satu-satunya bukti penyematan dari perilakunya adalah seragamnya. Ia berbusana marsekal lapangan, dadanya tersemat dengan penghargaan-penghargaan dan lapisan emas. Von der Goltz menjelaskan dan separuh memohon maaf atas regalianya dengan berkata bahwa ia harus kembali dari kerumunan yang bersama dengan Sultan. Ia kembali ke Konstantinopel untuk mempersembahkan medali dari Kaiser kepada Yang Mulia, dan kembali ke Berlin untuk melakukan hal serupa dari Sultan kepada Kaiser, selain mempersembahkan kekaisaran dengan 10.000 rokok.

Kami bertiga duduk disana selama beberapa waktu, meminum kopi, menyantap kue-kue Jerman dan menghisap rokok Jerman. Aku tak terlalu banyak berbicara, namun perbincangan dengan Von der Goltz dan Wangenheim menampakkanku banyak sorotan terhadap pemikiran Jerman, dan khususnya kebenaran laporan militer Jerman. Persoalan pertikaian Dardanelles yang disoroti mereka sepanjang waktu merupakan keterusterangan bulat Inggris dalam menerbitkan kekalahannya. Bahwa Pemerintah Inggris harus mengeluarkan pernyataan resmi, berkata bahwa tiga kapal telah ditenggelamkan dan empat kala lainnya rusak berat, memberikan mereka persoalan menonjol. Dalam pengumuman ini, aku sebetulnya melihat perwujudan keinginan Inggris biasa untuk membuat hal terburuk secara terbuka—kebijakan yang kami orang Amerika juga yakini menjadi yang terbaik pada masa perang. Namun, tak ada penjelasan jelas semacam itu yang dapat menunjukkan kebijaksanaan dan kemandirian orang-orang Jerman. Tidak, Inggris memiliki beberapa keperluan mendalam dalam mengujarkan kebenaran yang belum timbul; apa yang dapat terjadi?

"Es ist ausserordentlich !" (Itu luar biasa) ujar Von der Goltz, merujuk kepada pengetahuan umum soal kekalahan Inggris.

"Es ist unerhört!" (Itu tak terdengar) ujar Wangenheim dengan nada yang sama.

Para pakar diplomatik tersebut memajukan penjelasan satu sama lain, dan akhirnya mencapai kesepakatan agar memajukan strategi yang lebih tinggi. Mereka bersepakat bahwa inggris sebetulnya tak tertarik untuk menyerang karena, kala berhasil, negara tersebut akan menyerahkan Konstantinopel ke Rusia—suatu hal yang Inggris benar-benar tak berniat untuk melakukannya. Dengan menerbitkan kekalahan tersebut, Inggris menunjukkan kesulitan tugas tersebut kepada Rusia. Sehingga, negara tersebut menyatakan bahwa usaha tersebut tak memungkinkan. Setelah kekalahan semacam itu, Inggris menginginkan Rusia untuk memahami agar negara tersebut melakukan upaya setiap untuk mendapatkan hadiah perang yang besar dan mengharapkannya untuk tak melakukan pengorbanan lebih lanjut.

Kelanjutan peristiwa besar dalam perang tersebut terjadi pada musim dingin 1915-16. Pada waktu itu, Bulgaria bergabung dengan Blok Tengah, Serbia memperluas wilayah dan Jerman merampungkan jalur kereta api dari Konstantinopel ke Austria dan Jerman. Senapan-senapan Huge Krupp kini mulai didatangkan pada jalur tersebut—semuanya didatangkan ke Dardanelles. Enam belas baterai besar, dari model terbaru, ditempatkan di dekat lapangan, seluruhnya mengendalikan Sedd-U-Bahr. Jerman menawarkan 500.000.000 mark kepada Turki, sebagian besar dipakai untuk mempertahankan jalan tol. Selat-selat berbenteng tipis yang aku lalui pada Maret 1915, kini dibentengi seperti Heligoland. Saya ragu jika seluruh armada di dunia dapat dikerahkan ke Dardanelles pada saat ini.