Sinopsis:

sunting

Danta adalah seorang anak laki-laki berusia 10 tahun, yang tinggal di sebuah desa, di Pulau Matak, Kepulauan Anambas.

Dia sudah lama ingin pergi ke bagan, tempat bapaknya bekerja mencari ikan. Namun ibunya selalu melarang, karena artinya Danta harus bermalam di atas bagan.

Hingga suatu hari, dia mendapat kesempatan untuk mewujudkan keinginannya, dan menemukan banyak pengalaman seru selama di atas bagan.

Tokoh:

sunting
  •  
    Danta Menuju Bagan
    Danta
  • Paman Zul
  • Bapak
  • Ibu

Lokasi:

sunting
  • Perairan Natuna
  • Desa Tebang

Cerita Pendek

sunting

“Kenapa tidak langsung pulang? Kau main bola lagi, ya?”

Aku gelagapan disambut begitu rupa oleh Ibu. Dengan berondongan kalimat, Ibu menyuruhku cepat-cepat berganti pakaian.

“Cepat kau ke dermaga, berikan ini pada Paman Zul. Itu makanan untuk Bapak dan kawan-kawannya!” Tahu-tahu Ibu sudah menyodorkan dua tumpukan rantang terbungkus kain lap lebar, di depan mukaku.

Aku bengong sesaat. Bukankah biasanya Ibu yang mengantar makanan untuk Bapak ke dermaga? Rupanya Ibu menangkap semburat keheranan di wajahku.

“Adik kamu demam sejak semalam. Dia cuma bisa tidur kalau digendong. Sudah, cepat pergi! Keburu perahu mereka berangkat!” Ibu mengibaskan satu tangannya, menghalauku supaya lekas pergi.

Wah! Tentu saja aku tak menunggu hitungan ketiga untuk segera melesat pergi. Namun aku masih bisa mendengar ibuku berseru di belakangku, menyuruhku berhati-hati. “Jangan berlari sambil melompat-lompat begitu, Danta!”

Ibu tidak tahu, sih! Kalau aku senang sekali mendapat tugas ini. Sepertinya aku bisa mewujudkan keinginanku selama ini! Lihat saja nanti!

***

“Paman Zul!”

Kulihat Paman Zul dan dua orang kawannya sudah siap di dalam perahu mereka. Namun sepertinya mereka tengah membicarakan sesuatu yang penting. Pantas saja adik ibuku itu tidak mendengar panggilanku.

“Paman!” panggilku lagi, setelah aku betul-betul sampai di tepi dermaga. Tepat di samping perahu mereka.

“Oi! Danta! Banyak sekali makanan yang dibawakan ibumu! Kupikir hanya satu,” ujar Paman Zul sambil melihat bungkusan di kedua tanganku. “Kalau dua begini, harus ada yang memegangi.”

Ah! Ini kesempatanku!

“Paman! Boleh aku ikut? Biar aku yang pegang makanannya!”

Paman terkejut mendengar ucapanku. Namun salah satu kawannya justru bertepuk tangan.

“Betul! Dia bisa jadi pengganti Lukman!”

“Tapi dia baru sembilan tahun ….”

“Sepuluh, Paman!” Buru-buru kuralat ucapan pamanku. Jangan sampai kesempatanku hilang.

“Tapi badannya tidak jauh dengan Lukman! Ayo, biarkan ponakanmu naik, Zul!” ujar kawan Paman yang satu lagi.

Paman Zul tampak menggaruk kepala. “Ibunya bisa marah-marah kalau kubawa anaknya ke bagan.”

Satu teman Paman Zul terlihat gusar. Dia mengingatkan kalau hari sudah semakin senja.

“Ahhh, baiklah. Naiklah kau, Danta!” seru Paman Zul sambil mengambil satu buntalan dari tanganku lalu mengoper ke temannya.

Lalu, pada seseorang yang dia kenal—yang kebetulan melintas di dekat kami—pamanku itu berseru, “Boi! Tolong bilang pada Kak Niah, Danta ikut aku ke bagan. Akan kukembalikan besok siang”

Horeee! Gegas aku melompat ke perahu pompong milik pamanku itu. Tanpa disuruh, aku segera duduk, agak di bagian depan, supaya tidak mengganggu yang lain. Seperti janjiku tadi, kucengkeram erat simpul ikatan kain yang membungkus rantang-rantang milik Ibu.

“Nak! Kau kelihatan senang sekali! Seperti belum pernah naik pompong!” tegur paman yang duduk di depanku. Aku menyeringai. Paman itu mungkin lupa kalau anak-anak Desa Tebang sudah sejak balita akrab dengan perahu dan perairan laut Natuna.

“Bukan, Paman! Ini pertama kalinya aku akan naik ke bagan!” ujarku tak kalah seru, supaya suaraku tidak kabur terbawa angin laut.

Paman—yang dipanggil dengan sebutan Arip—itu terkekeh. “Bagus! Bagus!” serunya sambil mengangguk-angguk.

Pekan ini giliran Bapak yang berjaga di atas bagan. Biasanya tugas menjaga bagan bergantian setiap empat hari. Berarti lusa Bapak baru pulang. Ah, senangnya aku bisa menjumpai Bapak lebih cepat! Tapi, kira-kira Bapak marah tidak, ya, saat melihatku tiba-tiba muncul?

***

Aku tak melihat Bapak, waktu perahu yang kami tumpangi merapat di kaki-kaki bagan. Seorang pemuda yang kukenali sebagai anak buah Bapak, mengulurkan ember bertali kepada kami.

“Masukkan bungkusanmu ke situ, Dan!” Dengan dagunya, Paman Zul menunjuk ember yang turun pelan-pelan itu. Sementara tangannya cekatan menambatkan tali perahu pada kaki-kaki bagan.

Kulihat Paman Arip sudah lebih dulu menaiki tangga seadanya yang diikat pada kaki-kaki bagan. Aku tinggal mengikuti dan menirunya saja.

Benar saja, Bapak tampak terkejut waktu melihat kepalaku muncul. “Woah!” Hanya itu saja yang terucap dari mulut Bapak, yang memang hemat bicara.

Saat aku mendekat, kulihat Bapak sedang membetulkan ikatan di ujung-ujung jaring. Bapak menoleh sebentar padaku, “Besok Bapak belum pulang. Bapak tidak bisa bantu kalau besok ibumu marah-marah.”

Bapak bicara santai tanpa nada kesal. Buatku itu sudah cukup. Aku hanya tertawa, sebelum berkeliling ke setiap bagian bagan yang sudah lama ingin aku lihat. Bagan ini terbilang baru. Bapak dan teman-temannya baru selesai membangunnya dua bulan yang lalu. Katanya ada bantuan pinjaman dari bank.

Sejak bagan ini mulai beroperasi, belum sekalipun aku mendatangi. Kata Ibu, kalau ke bagan berarti harus menginap. “Tidak boleh!”’

Tanpa sadar aku menyeringai. Maaf, ya, Ibu. Malam ini anak bujangmu akan bermalam di tengah laut!

***

Ayah, Paman Zul dan teman-temannya mulai bersiap begitu hari mulai gelap. Aku berbisik bertanya pada Paman Zul. “Paman, kapan jaringnya akan diturunkan?”

Sebetulnya aku bertanya untuk menutupi kegugupanku. Kata Paman Zul, aku akan menggantikan tugas Lukman yang hari ini tidak bisa ikut. Aku cukup memegang satu ujung jaring kuat-kuat. Jangan sampai turun lagi karena talinya kadang longgar.

Paman Zul menunjuk ke atas. “Kita tunggu bulannya gelap. Sebentar lagi.”

Betul saja, saat bulan tampak menghilang, Bapak memberikan kodenya. Paman Zul memutar roda untuk menurunkan jaring. Aku sempat tersentak kaget saat semua lampu di bagan dimatikan, hanya tersisa lampu yang ada di tengah saja.

Aku berdebar-debar saat jaring sudah sepenuhnya diturunkan. Berikutnya apa, nih?

Tiba-tiba lampu di bagian tengah dimatikan. Berganti dengan lampu berwarna putih yang menyala di bawah papan tempat empat sudut jaring dikaitkan.

“Lampu putih ini untuk menarik ikan-ikan berukuran besar,” bisik seorang paman yang berdiri tak jauh dariku.

Setelah beberapa saat, lampu putih dimatikan. “Lihat, ikan-ikan besar sudah berkumpul!”

Paman Zul memutar roda tali jaring ke arah sebaliknya. Saat jaring perlahan terangkat, aku takjub melihat banyaknya ikan yang berlompatan menggeliat di dalamnya. Jaring terus naik, hingga tak banyak lagi air di dalamnya. Saat sudut jaring sudah sampai atas dan tali penariknya sudah habis, sekuat tenaga kutarik ujung jaring itu supaya jaring terangkat lebih tinggi.

“Bagus, Danta!” seru seorang lainnya yang terlihat senang karena bisa lebih mudah menyerok ikan memakai jaring bergagang panjang. Seorang lainnya membantu menarik jaring panjang itu dan memindahkan ikan di dalamnya ke ember-ember.

Aku bersemangat sekali, sampai-sampai tak sadar kalau waktu untuk mengerjakan itu semua sangatlah lama. Bagaimana tidak? Aku baru tahu, lampu warna oranye akan menarik ikan teri mendekat, dan lampu warna merah akan menarik sotong untuk berkumpul. Dan malam itu, kami mendapatkan banyak sekali sotong.

“Panen sotong!” seru Paman Zul sambil terbahak.

Seseorang berseloroh, sepertinya sotong yang mereka dapat ada tiga puluh kilo. Namun aku menduga lebih dari itu. Apa besok aku bawakan saja sedikit sotong untuk Ibu, ya? Supaya Ibu tidak terlalu marah  padaku.

Setelah jaring terakhir diangkat, bagan kembali terang benderang. Semua lampu dinyalakan untuk memudahkan kami membereskan semuanya.

Aku duduk-duduk saja memperhatikan tiap-tiap orang yang sepertinya sudah paham dengan tugasnya masing-masing. Jadi seperti ini rupanya, bagaimana Bapak dan teman-temannya bekerja untuk menafkahi keluarga. Bapak di mataku jadi semakin keren.

“Kau belum mengantuk?” Tiba-tiba saja orang yang sedang ada di pikiranku, sudah berdiri di sampingku. “Kalau di darat, jam segini, kamu sudah tidur, kan?” tanya Bapak lagi dengan setengah berteriak. Suara kami di sini memang harus bersaing dengan suara genset yang dipakai untuk menyalakan lampu.

“Kalau belum mengantuk, kau bisa ke sini, Dan!” seru Paman Zul dari sudut bagan yang lain.

Ada apakah? Gegas aku beringsut mendekat sambil menjaga keseimbanganku. Kulihat Paman Zul dan beberapa anak buahnya sedang memilah-milah ikan.

Dalam satu baskom berisi ikan teri, mereka mengeluarkan beberapa ikan yang berbeda jenisnya. Aku ikut-ikut saja duduk bersama mereka, mengelilingi baskom itu.

“Ah! Ini ikan layur! Aku taruh di mana, Paman?”

Seseorang menunjuk ember di dekat kami duduk. Di dalamnya berisi jenis ikan lainnya juga, tidak hanya layur. Bahkan kulihat ada kepiting juga.

“Wah, ada sotong salah masuk jaring, nih!” ujarku sambil memindahkannya ke baskom yang hanya berisi sotong.

Selama beberapa saat kami asyik memilah-milah jenis ikan. Sampai Paman Zul mengingatkan aku untuk beristirahat. “Sebentar lagi pagi. Lebih baik kau masuk ke dalam, Dan!” Adik ibuku itu menunjuk gubuk kayu kecil di bagian belakang bagan.

Sebetulnya aku sudah menguap beberapa kali. Namun keseruan memilah ikan membuatku berusaha menahan kantuk.

Saat berjalan mendekati gubuk, perhatianku tertuju pada satu gentong air berisi ikan. “Apa ini, Paman?” tanyaku pada teman Bapak yang berdiri di dekatku.

“Kerapu!” jawabnya singkat.

Dari Bapak aku diberitahu kalau ikan-ikan yang harganya mahal akan dipisahkan. “Ikan-ikan ini akan kita tangkarkan di karamba di belakang rumah.”

Oh, kupikir selama ini, ikan-ikan kerapu dan napoleon yang ditangkarkan itu berasal dari benih yang sengaja dibesarkan di karamba saja. “Tidak. Ada juga yang asalnya dari hasil tangkapan alam seperti kita ini.”

Aku dan Bapak berbincang banyak tentang keseharian Bapak di atas bagan. Jarang sekali aku dan Bapak bisa ngobrol dekat seperti saat ini. Sepertinya lebih banyak aku yang cerewet bertanya, lalu Bapak menjelaskan, sebelum akhirnya aku ketiduran.

***

Aduh … bukankah itu Ibu? Kukenali abaya oranye kesayangan Ibu yang sudah kulihat dari jarak dua ratus meter.

“Itu ibumu, Dan! Wah, Kak Niah pasti marah-marah karena kubawa kabur anak bujangnya ke bagan,” seloroh Paman Zul sambil menggetarkan bahunya.

Aku tertawa. Menurutku dia hanya bercanda, pura-pura takut pada ibuku. Sebab belum pernah kulihat ibuku marah pada adik semata wayangnya itu.

Betul, itu Ibu. Ya Tuhan, apa sejak kemarin adikku betul-betul tidak mau turun dari gendongan ibuku? Namun aku yakin dia sudah sembuh, saat kulihat dia melambaikan tangannya padaku.

“Sudah makan kau, Nak?” Ibu bergeser mendekat saat pompong kami merapat.

Dadaku seketika menghangat mendengar sapaan Ibu. Alih-alih kesal karena aku pergi tanpa pamit, Ibu malah mengkhawatirkan aku.

“Maaf, ya, Bu! Kemarin aku pergi tanpa berpamitan,” seruku lantang, sambil mengangkat bungkusan rantang di kedua tanganku. “Kubawakan sotong dan teri, Bu!” Dan cerita keseruanku saat jadi anak bagan semalam! []