Armenia yang Terampas/Arshalus

ARSHALUS—SINAR PAGI


Prolog Cerita


Vartabed Tua, gembala yang kawanan ternaknya telah menghasilkan pakaian untuk tiga generasi, berdiri membayangi langit pada puncak satu bukit di Taurus. Sosoknya tak bergerak, tegap dan sangat tinggi. Tanda-tanda usia tua ada pada tiap lekukan wajahnya yang kuat dan suram, namun tangannya memegangi tongkatnya dengan longgar karena ia tidak mau bersandar pada tongkat itu.

Ke arah timur dan utara terbentang dataran Mamuret-ul-Aziz, dengan di berbagai tempat terdapat dataran yang terbentang dari rangkaian kaki perbukitan. Setiap musim semi, selama dua puluh lima abad, para gembala lain selain Vartabed Tua berdiri di puncak bukit yang sama untuk menyaksikan dataran rendah dan tinggi Mamuret-ul-Aziz berubah menjadi hujau, namun hanya sedikit yang melihat rumput dan semak timbul sedini ini pada tahun ini. Vartabed Tua pasti sangat senang pada kemungkinan musim sebagus itu, dan seharusnya berbicara dengan domba-dombanya tentang ini—karena memang itu adalah kebiasaannya.

Namun sang gembala sedang merasa khawatir. Pertanda buruk yang aneh mendatanginya pada malam hari. Bahkan kala fajar menyingsing, ia tak dapat menghilangkan firasat itu. Ia kini memandangi, bukan bentangan hijau yang kemudian dihampiri dombanya, melainkan lebih jauh ke utara, di tempat garis biru Efrat hilang dalam gelombang fajar. Apa yang mata tuanya cari di sana, ia tak tahu; namun sesuatu tampak mengancam dari utara.

Mendadak suara panggilan untuk salat, yang dengannya para Muslim yang taat menyambut cahaya surya, terdengar dari lembah di kaki Vartabed Tua. Ini membuat sang gembala mendadak terbangun dari lamunannya. “Disana, itu dia! Itulah tandanya. Bahaya mungkin datang dari utara, namun bahaya itu akan muncul pertama kali, entah apapun itu, di kota.”

Gembala tersebut melirik ke lembah, pada rumah-rumah serta jalan-jalan sempit berkelok yang memisahkannya. Ia melihat kilauan cahaya dari minaret ketika muazin kembali menyerukan panggilan. Dengan cepat, matanya memandangi kota ke tempat sinar pertama matahari di sekitaran tumpukan cokelat dan abu-abu—reruntuhan kastil Tchemesh, seorang raja Armenia kuno. Kesedihan memalukan terkumpul di wajahnya. Minaret tersebut masih berdiri; istana raja runtuh. Itulah kenapa terdapat dua tempat ibadah di kota tersebut, dan kenapa ketegangan timbul dari utara.

Sang pria tua menancapkan tongkatnya di tanah sebagai tanda untuk domba-dombanya bahwa di tempat tongkat berdiri, gembala mereka bakal kembali. Kemudian, ia berjalan di suatu jalan yang berujung ke tempat yang lebih rendah dimana terdapat rumah-rumah di kota. Dengan langkah tegas dan teratur yang tidak menunjukkan usianya yang tua, ia melintasi kota sampai tiba di jalanan yang ditandai oleh rumah-rumah megah orang kaya. Tikungan pendek di sepanjang sisi taman yang dijadikan sebagai lapangan umum membawanya ke rumah bankir, Mardiganian. Di rumah tersebut, Vartabed Tua selalu diterima. Ia telah menjadi penjaga kawanan ternak milik tiga kepala keluarga Mardiganian berturut-turut.

Seorang pelayan wanita membuka pintu di dinding jalan dan mengantar gembala tersebut ke taman dalam. Kala ia sudah menutup pintu lagi, pengunjung tersebut bertanya:

“Apakah Majikan masih berada di rumah, atau ia sudah pergi pagi-pagi sekali untuk bekerja?”

“Memalukan sekali kau bertanya!” jawab wanita tersebut, dengan nada cepat dan kasar sesama pelayan. “Apakah kau lupa hari apa ini, sampai kau berpikir majikan sedang bekerja?”

Kebingungan muncul pada mata sang pria tua. Wanita tersebut menyadari bahwa ia memang telah lupa. Wanita itu berbicara lagi lebih ramah:

“Tak tahukah Anda, Vartabed, bahwa ini adalah pagi Minggu Paskah?”

Pria tua tersebut menerima pengingatan tersebut, namun dia dengan cepat menunjukkan lagi martabatnya. “Jika kamu sudah mengalami banyaknya hari seperti Vartabed Tua, kau akan berharap untuk melupakan sebagian hari tersebut—mungkin hari yang akan segera tiba ketimbang hari-hari lainnya.”

Wanita tersebut tak memiliki kesabaran untuk kekurangan usia tua, dan ancaman nasib buruk ia anggap sebagai kekesalan. Namun jawaban tajamnya jatuh pada telinga yang tidak menghiraukannya. Gembala tersebut melintasi taman tanpa halangan lebih lanjut dan memasuki rumah.

Rumah Mardiganian merupakan rumah khas orang Armenia kaya pada masa itu. Pintu lebar yang terbuka ke arah taman diikuti oleh tangga marmer putih yang indah, dan ruangan luas di dalamnya memiliki lantai dengan potongan besar dari bahan yang sama. Di luar, rumah tersebut memiliki penampilan yang agak suram, karena, mungkin, kebutuhan perlindungan terhadap iklim yang terkadang keras; didalamnya terdapat segala tanda kemewahan dan kemegahan. Lahan yang ditempatinya amat sangat luas, karena ruangan-ruangannya bertingkat, tumpang tindih satu sama lain, atap dari satu ruangan menjadi taman depan pintu untuk ruangan di atasnya.

Di ruang tamu yang besar, di mana Vartabed Tua masuk, terdapat perapian batu besar, dengan dipan rendah yang memanjang di kedua sisinya dan terbentang di tiga sisi ruangan. Penutup permadani indah buatan lokal, dan bantal sutra buatan tangan, menutupi dipan ini. Karpet tekke yang tebal dan lembut, yang merupakan rajutan Persia dan Kurdi, berada di atas landasan kain felt, yang terhampar di lantai marmer. Di atas perapian tergantung lukisan Bunda Maria; sebuah penggambaran karya seniman Armenia populer, dan lukisan pelabuhan Belanda karya Peniers digantung pada tembok di sampingnya. Di sudut ruangan, di bawah lampu lantai, terdapat sebuah piano. Nuansa Dunia Timur nampak pada warna-warna terang, tapi semua ini berselera tinggi dan tenang.

Gembala tersebut menunggu, berdiri di tengah ruangan sampai atasannya masuk dan memberi sambutan pagi paskah yang dilestarikan Armenia sejak dunia masih muda:

“Kristus bangkit dari kematian, Vartabed yang baik!”

“Diberkatilah kebangkitan Kristus,” jawab pria tua tersebut, sesuai tradisi. Kemudian ia berbicara, dengan kesungguhan yang membawanya ke rumah ini dan yang dengan cepat disadari oleh lawan bicaranya.

Itu adalah penampakan yang ia lihat pada malam hari. “Santo Gregorius kita muncul kepadaku saat aku tidur dan menggenggam tanganku dengan keras. ‘Bangunlah, Vartabed Tua; bangunlah! Domba-dombamu berada dalam bahaya, bahkan meskipun mereka disayangi Tuhan. Bangunlah dan selamatkan mereka!’ Itulah yang dikatakan oleh santo yang baik itu kepadaku. Dengan cepat aku bangkit berdiri, namun kala mata tuaku sepenuhnya terbuka, penglihatan tersebut lenyap. Aku pergi keluar, namun hanya aku saja yang mengganggu kawanan ternak. Mereka beristirahat dengan damai.

“Namun aku tak dapat tidur lagi. Setiap kali mataku terpejam, Santo kita berdiri di hadapanku, nampak menegur kemalasanku. Kala fajar, aku membawa dombaku ke perbukitan—dan kemudian aku teringat!”

Disini, gembala tersebut ragu-ragu. Ia berbicara cepat, dan nyaris tak bernapas. Karyawannya menyimah dengan tekun karena ia sangat tua, dan sangat beriman, namun bukan tanpa hiburan pada gerakan wajahnya.

“Ini memalukan, Vartabed, tidurmu tak nyenyak. Pagi ini, sebagai semua orang lainnya, kau seharusnya gembira. Beritahu kepadaku apa yang kau ingat kala fajar, dan kemudian keluar dari ingatanmu.”

“Beberapa hal, Tuan, entah Anda maupun saya dapat dikeluarkan dari pikiran kita. Aku ingat bahwa kala Santo kita muncul kepadaku dalam tidurku dengan peringatan bahaya. Aku tak menghiraukannya kala itu, karena aku masih muda, dan tak memikirkannya. Itu juga merupakan masa kegembiraan di Armenia, karena terdapat perdamaian dan kemakmuran. Namun hari itu, pembantaian dayang dari utara; pada dua puluh tahun lampau.”

Kini, sosok lainnya datang. Ia terguncang hebat, dan wajahnya memucat. Dua puluh tahun lalu—kala ratusan ribu orang-orangku dibantai oleh Abdul Hamid! Tanpa sepatah kata pun ia berjalan menuju jendela, membuka tirai dan melirik ke arah taman rumah.

Bankir, Mardiganian, adalah sosok khas dari orang bisnis Armenia modern yang sukses. Ia jarang tersenyum, namun suaranya ramah, dan matanya tajam. Pada pagi Paskah kala ia berjalan di jalan-jalan di Eropa atau Amerika, ia akan menjadi figur konvensional, melintas tanpa halangan. kala ia nampak dari jendela, setelah suatu kesempatan, hanya pengamat dekat yang dapat mengenal wajah atau perilakunya yang tak terjelaskan, suatu hal yang ter terwujud yamg menandai ras yang mengalami penindasan.

“Apa yang terjaid dua puluh tahun lalu, Vartabed-ku, tak pernah dapat terjadi lagi. Kami orang-orang Armenia tak berlagak memicu kemurkaan tuan-tuan kami, orang-orang Turki. Sebaliknya, kami berkehendak untuk melayani negara. Pria muda kami dipanggil ke perang besar ini yang mengguncang dunia. Bahkan disamping simpati kami terhadap musuh-musuh Sultan, kami tak pernah menunjukkannya. Kami bebas menyerahkan nyawa kami dalam pertempuran untuk kepentingan yang dibenci oleh kami, bahwa Turki tak memiliki kesempatan untuk melampiaskan amarahnya pada orang-orang kami. Kurang dari sepekan lalu, menteri Sultan, Enver yang berkuasa, menyatakan rasa syukur kepada kami karena jasa kami menegakkan Bulan Sabit. Mereka tak berniat menjamah kami lagi.”

“Namun penglihatan yang datang kepadaku malam terakhir sama dengan yang akan aku peringatkan pada malam itu tahun 1895 dari tragedi yang kala itu menimpa kita.”

“Selain itu, kali ini sekadar mimpi kosong.”

Bankir tersebut berujar dengan mengakhiri perbincangan. Gembala tersebut dibuat terdiam dengan ketidakpercayaan akan tanda kedatangan kejahatan, sebagaimana yang dianggap oleh gembala tersebut. Pria tua tersebut meninggalkan ruangan dan melintasi taman dengan perasaan yang sangat sakit hati. Tangannya mengarah ke gerbang, dan pada kesempatan lain, ia akan pergi kala suara pemuda yang jelas menghampirinya.

“Vartabed—tunggu; aku datang!”

Pria tua tersebut mendadak berhenti. Melihat kembali yang ia lihat datang kepadanya adalah sosok yang dekat dengan hatinya ketimbang sosok lainnya yang masih hidup—Arshalus, putri keluarga Mardiganian.

Arshalus—yang artinya “Sinar Pagi.” Selain itu, satu kata di Amerika yang terdapat dalam nama Armenia dapat diterjemahkan —“Aurora.” Dan tak ada hal lainnya yang selaras. Ia adalah anak bermata indah berusia empat belas tahun, rambut dan matanya sehitam malam; senyuman dan jiwanya bersinar bagai siang terik. Setiap domba dalam kawanan Vartabed Tua menjadi peliharaannya, khususnya yang hitam.

Kala aku menghampiri gembala yang menunggu tersebut, Aurora dengan cepat mendapati bahwa ia sedang murung, dan ia memilih untuk mengusiknya.

“Kau benar-benar tak pergi tanpa mengharapkanku gembira pada masa Paskah, atau menghentikan Vartabed Tua memperdulikan orang yang terlalu mengusiknya?” Ia menampilkan perasaan yang sangat cemberut, namun rasa sakit hati pria tua tersebut tak dapat dengan mudah mencair. Mungkin keberadaan Aurora mengusiknya.

“Ini adalah rasa untuk mengharapkan kebahagiaan; ini lebih baik untuk diberikan. Kala orng tak memiliki hal untuk diberikan, ia tak memiliki tujuan. Aku tak bahagia untuk memberikannya kala itu, bahkan kepadamu, Aurora-ku, dan sehingga aku tak dapat berpikir untuk mentujukanmu.”

“Itu sangatlah salah, Vartabed. Hari ini Kristus bangkit, dan kegembiraan ada dimana-mana. Dan bahkan bagiku lebih dari itu. Kemarin, ayahku berujar kepadaku bahwa sebelum Paskah lain datang, aku pergi untuk menyelesaikan pendidikanku—ke Konstantinopel, atau mungkin, ke Swiss atau Paris. Apakah itu tak membuatmu bahagia untukmu, Vartabed?”

Mendadak, pria tua tersebut mengangkat wajahnya. Kemudian tangannya kembali menjapai gerbang lagi, seperti ingin memberikan dukungan kepada raga yang tinggi yang tampak terkulai. Aurora berpikir bahwa ia telah melukainya. Dengan dorongan penuh, ia mengangkat tangannya seperti ketika menempatkannya pada dada pria tua tersebut. Namun sebelum ia dapat menghampirinya, gembala tersebut pergi, dan gerbang ditutup di antara mereka.

Sejam kemudian, Vartabed Tua kembali berdiri di puncak bukit, melirik ke bawah kota dan dataran Mamuret-ul-Aziz, yang kini bermandikan akan kejayaan matahari pagi penuh. Beberapa mil dari selatan terbentang pegunungan dan terowongan panjang yang ditinggalkan yang, menurut tradisi, sempat menjadi tempat pengerjaan pertambangan Solomon. Harpout, kala karavan berhenti; Van, metropolis, dan Sivas, “Kota Harapan,” jauh di luar horizon, kota-kota pos luar dari negara yang melahirkan sejarah. Pria tua tersebut tersebut berpikir untuk mengunjungi setiap berharga tersebut, dan menggambarkan harapan dan keyakinan yang mereka rayakan kala Paskah datang. Kemudian, ia kembali lagi ke puncak negara dan atas rumah yang dicapai dari dataran yang berada di bawah. Karena ia tak hanya memikirkan Armenia—Armenia emas yang indah pada hari Paskah tahun 1914, namun juga kanak-kanak yang bersebut “Sinar Pagi.”

H. L. Gates.