KISAH AURORA MARDIGANIAN


BAB I


KALA PASYA DATANG KE RUMAHKU


Kisahku dimulai dengan pagi Minggu Paskah, pada April 1915. Di rumah ayahku, kami bersiap untuk merayakan hari itu dengan perasaan gembira, ditambah lagi dengan berita dari Konstantinopel bahwa pemerintah Turki baru-baru ini telah menyampaikan rasa terima kasih atas jasa yang setia dan bernilai dari pasukan Armenia pada Perang Besar. Ketika Turki mulai terlibat dalam perang, hampir enam bulan sebelumnya, ketakutan besar melanda seluruh Armenia. Tanpa pengaruh perlindungan dari Prancis dan Inggris, bangsaku cemas jangan-jangan Turki akan memanfaatkan peluang mereka dan memulai lagi penindasan lama terhadap rakyat Kristen mereka. Para pria Armenia muda lebih senang untuk berjuang bersama musuh-musuh Sultan, namun mereka buru-buru mendaftar dalam pasukan Utsmaniyah, untuk meyakinkan bahwa mereka tidak membelot. Dan kini setelah Sultan mengakui pengorbanan mereka, kekhawatiran akan penindasan baru di tangan para penguasa Muslim kami secara berangsur-angsur lenyap.

Dan di seluruh kota kami, Tchemesh-Gedzak, dua puluh mil dari utara Harpout, ibukota distrik Mamuret-ul-Aziz, tidak ada yang lebih bersyukur atas janji perdamaian berkelanjutan di Armenia ketimbang ayah dan ibuku, dan Lusanne, kakakku dan aku. Aku baru berusia empat belas tahun, dan Lusanne belum mencapai usia tujuh belas tahun, namun bahkan gadis-gadis kecil selalu khawatir di Armenia. Aku sangat terpukau pada pagi itu atas hadiah Paskah ayahku kepadaku—janjinya bahwa aku nanti dapat masuk ke sekolah Eropa dan merampungkan pendidikanku sebagaimana layaknya putri seorang bankir. Lusanne bakal menikah, dan ia menikmati hari Paskah terakhir sebelum menikah. Bahkan kunjungan awal pagi Vartabed Tua, gembala kami, yang datang tepat setelah fajar menyingsing, meramalkan akan adanya masalah, tak menyurutkan semangat kami.

Berdiri menghadap cerminku, aku menata ulang pita-pita biru untuk yang keseratus kalinya yang aku pakaikan ke rambutku dengan, harus ku akui, harapan rahasia bahwa pita-pita itu akan membuat semua gadis lain di pelayanan gereja iri kepadaku. Lusanne sebagai kakak memarahiku dengan sepenuh hati karena kesombonganku. Lusanne selalu sangat rapi dan pendiam. Aku berniat mengatakan bahwa ia hanya iri karena ia akan menjadi istri dan tidak akan diperbolehkan lagi memakai pitu biru, ketika ibuku masuk ke kamar. Ia berhenti tepat di dekat pintu, dan termenung dengan bersandar di dinding. Ia tak berkata sepatah kata pun—hanya memandangku.

“Ibu, ada apa?” jeritku. Ia tak menjawab, namun terdiam menunjuk ke jendela. Lusanne dan aku segera berlari untuk melihat ke jalanan. Di gerbang halaman kami, tiga gendarme Turki sedang berdiri, masing-masingnya membawa sebuah senapan, berjaga dengan rapi. Pada lengan mereka, ada lembaran yang menandai mereka sebagai pengawal pribadi Husein Pasya, komandan militer di distrik kami.

Aku berbalik kepada ibuku untuk meminta penjelasan. Ia menjatuhkan diri ke lantai dan menangis. Ia tak berbicara, namun menunjuk ke bawah dan aku tahu bahwa Husein Pasya telah datang ke rumah kami, dan sedang berada di lantai bawah. Kemudian, kegembiraanku sirna dan aku, juga, jatuh ke lantai dan menangis. Aku merasa bahwa akhir telah tiba.

Untuk waktu yang lama, Husein Pasya yang berkuasa, sangat kaya dan merupakan teman Sultan sendiri, menginginkanku untuk berada di haremnya. Rumah besarnya berada di tengah taman indah, tepat di luar kota. Di sana, ia mengumpulkan gadis-gadis Kristen tercantik dari kota-kota sekitar. Di Armenia, Mutassarif, atau komandan Turki, adalah perwira dengan kekuasaan yang besar. Ia tak menerima titah, kecuali yang berasal langsung dari para menteri Sultan, dan, biasanya, ia bersikap kejam dan otokratik.

Seorang ayah Armenia akan berada dalam bahaya apabila membuat Mutassarif tidak senang. Ketika perwakilan Sultan ini melihat gadis Armenia cantik yang ingin ia tambahkan pada haremnya, ada banyak cara yang bisa dia lakukan untuk mendapatkan sang gadis. Cara Husein Pasya adalah membujuk ayahnya untuk menjual atau memberikan putrinya kepadanya, dengan ancaman bahwa jika sang ayah menolak, ia akan dianiaya. Untuk menjual gadis secara sah dan memberikan hak pada Mutassarif untuk menjadikannya gundik, Mutassarif hanya perlu mendorong atau memaksa sang gadis untuk menyangkali Kristus dan menjadi Muslim.

Sebanyak tiga kali Husein Pasya membujuk ayahku untuk memberikanku kepadanya. Sebanyak tiga kali ayahku menahan kemarahannya dan menolak. Pasya tidak berani menghukum kami, karena ayahku kaya raya, serta melalui pertemanan dengan Konsul Britania Raya di Harpout, Tuan Stevens, telah menerima perlindungan Wali atau Gubernur provinsi Mamuret-ul-Aziz. Namun kini Konsul Britania Raya tersebut telah pergi. Husein Pasya tidak takut pada siapapun. Dan sepengetahuanku, Husein Pasya dapat melakukan apapun sesuai keinginannya. Aku juga mengetahui bahwa kunjungannya ke rumah kami, dengan pengawalan para prajurit bersenjata, menandakan bahwa ia datang lagi untuk meminta diriku.

Aku menempel pada ibuku dan Lusanne, dengan dua adik perempuanku memegangi rokku, selama kami mendengarkan di ujung tangga ketika ayahku dan gubernur berbincang. Husein tak lagi meminta diriku—ia menuntut. Aku dengar ia berkata: “Tak lama perintah dari Konstantinopel akan datang; Kalian anjing-anjing Kristen akan diusir; tidak ada pria, wanita atau anak-anak yang menyangkali Muhammad akan diijinkan untuk menetap. Ketika waktunya tiba, tak ada yang bisa menyelamatkanmu selain aku. Berikan aku putrimu Aurora, dan aku akan melindungi seluruh keluargamu sampai krisis berakhir. Menolak dan Anda tahu apa yang akan terjadi!”

Ayahku tak dapat berbicara sepatah kata pun. Ia diselimuti ketakutan dan kengerian. Ibuku menjerit. Aku meminta ibuku membiarkan aku untuk menuruni tangga dan menyerahkan diriku kepada Pasya. Aku akan melakukan apapun untuk menyelamatkan ibuku dan ayahku dan adik-adikku. Kemudian Ayahku berani berbicara, dan kami mendengarnya berkata kepada Pasya:

“Kehendak Tuhan akan terlaksana—dan Ia tidak pernah akan menghendaki anakku mengorbankan dirinya sendiri untuk menyelamatkan kami.”

Ibuku merangkulku lebih erat. “Ayahmu telah berbicara—untukmu dan kita.”

Husein Pasha pulang dengan murka, para pengawalnya berbaris rapi di belakangnya. Begitu ia hengkang, terjadi keributan besar di jalan-jalan. Kerumunan mulai berkumpul di sudut-sudut. Orang-orang berlari ke rumah kami untuk memberitahukan kami kabar yang dibawa oleh seorang penunggang kuda yang bergerak dengan tergesa-gesa dari Harpout.

“Mereka membantai di Van; pria, wanita dan anak-anak dipotong-potong. Orang-orang Kurdi mencuri para gadis!”

Van adalah kota terbesar di Armenia. Kota tersebut sempat menjadi ibukota kerajaan Van pimpinan Ratu Semiramis. Kota tersebut adalah tempat tinggal Xerxes, dan, kami diajarkan, dibangun oleh Raja Aram di tengah-tengah tanah yang ditemukan usai Air Bah—Tempat Suci yang dijadikan tempat bahtera Nuh berlabuh. Tempat tersebut sangat penting bagi bangsa Armenia, dan merupakan salah satu pusat kehidupan gereja dan nasional kami. Kota tersebut berjarak dua ratus mil dari Tchemesh-Gedzak, dan merupakan tempat tinggal lebih dari 50.000 bangsa kami. Wali Van, Djevdet Bey, adalah penguasa Turki utama di Armenia—dan yang paling kejam. Pembantaian di Van menandakan bahwa peristiwa tersebut akan menyebar ke seluruh Armenia.

Orang-orang mengantarkan pria berkuda dari Harpout tersebut ke rumah kami. Ayahku menanyainya namun yang dapat ia katakan hanyalah:

“Ermenleri hep kesdiler—hep gitdi bitdi!”—“Semua orang Armenia dibunuh—semuanya telah tiada, semuanya mati! ” Ia mengulanginya berulang kali. Di Harpout, kabar tersebut datang lewat telegraf, dan pria berkuda tersebut yang berasal dari kota kami buru-buru datang untuk memperingatkan kami.

Aku memohon kepada ayah dan ibuku untuk membiarkanku berlari secepatnya ke istana Husein Pasya dan memberitahunya bahwa aku akan melakukan apapun yang ia inginkan jika ia bersedia menyelamatkan keluargaku sebelum perintah datang untuk mengusik kami. Namun ibuku memelukku erat, sedangkan ayah hanya berkata, “Kehendak Tuhan akan terjadi, dan bukan itulah kehendaknya.”

Lusanne menangis. Aruciag dan Sarah, adik-adikku, juga menangis. Ayahku sangat pucat dan tangannya gemetar ketika ia menyentuh pundakku dan berusaha untuk menghiburku. Aku memejamkan mataku dan seolah-olah melihat ayahku, ibuku dan saudara-saudaraku, semuanya terbaring mati dalam pembantaian yang aku takutkan akan datang, cepat atau lambat. Dan Husein Pasya berkata bahwa aku dapat menyelamatkan mereka! Namun aku tak dapat melanggar perintah ayahku. Mendadak, aku teringat dengan Padri Rhoupen.

Aku melepaskan diri dari ibuku dan berlari meninggalkan rumah, melalui pintu belakang dan menuju jalan yang mengarah ke gereja dimana Padri Rhoupen menunggui kongregasinya. Tak ada orang yang berani memberitahukan pria suci tersebut mengenai kabar dari Van. Ketika aku berlari ke ruang kecil di belakang altar, ia penasaran kenapa orang-orang tak datang.

Aku tersungkur di kakinya, dan butuh waktu lama sebelum aku bisa menghentikan tangisanku untuk memberitahunya alasan kedatanganku ke sana. Namun, ia mengetahui sesuatu telah terjadi. Ia mengelus rambutku, dan menunggu. Ketika aku bisa berbicara, aku memberitahunya tentang kunjungan Husein Pasya, dan apa yang ia katakan kepada kami—dan kemudian aku memberitahunya tentang pesan yang dibawa pria berkuda. Aku memohon agar dia memberitahuku bahwa sebaiknya aku berkata kepada Husein Pasha bahwa aku bersedia menjadi gundiknya jika ia bersedia menyelamatkan orangtuaku beserta saudara-saudaraku.

Padri Rhoupen menyuruhnya menceritakannya lagi. Ketika aku selesai berbicara untuk kedua kalinya, ia menempatkan tangannya ke kelapaku dan berkata, “Marilah kita meminta kepada Tuhan, anakku!”

Kemudian Padri Rhoupen berdoa.

Ia meminta kepada Tuhan untuk membimbingku dalam cara yang harus aku lalui. Aku tak ingat seluruh isi doanya, karena aku menangis terisak dan sangat ketakutan, namun aku tahu bahwa pendeta memohon untukku dan bangsaku, dan Padri mengingatkan Bapa bahwa kami adalah orang-orang yang yakin kepada-Nya dan memegang teguh jalan-Nya sepanjang penindasan selama berabad-abad. Seiring pendeta terus berdoa, aku menjadi tenang, dan secara tak sadar aku mulai menyimak dan berharap mendengar dengan telingaku sendiri tentang jawaban yang menurutku pasti benar-benar datang dari Tuhan untuk permohonan Padri Rhoupen.

Ketika ia berkata “Amin”, pendeta itu berlutut bersamaku, dan kami sama-sama menunggu. Secara mendadak, Padri Rhoupen mendekatkanku pada dadanya dan mulai berkata.

“Jalannya jelas, anakku. Jawaban telah datang. Percayalah akan Yesus Kristus dan Ia akan menyelamatkanmu sesuai kehendak terbaik-Nya. Akan lebih baik apabila kamu mati, jika memang harus, atau didera lebih buruk ketimbang mati, ketimbang lewat contohmu membuat orang-orang lain menyangkali iman mereka terhadap Juruselamat. Pulanglah kepada ayah dan ibumu dan hibur mereka, namun patuhi mereka.”

Sepanjang hari itu dan esok harinya para pembawa pesan berkuda bolak balik antara Harpout dan kota kami, membawa pesan-pesan terbaru dari Van. Kami merasa gembira ketika kami mendengar orang-orang Armenia telah membarikade diri mereka dan melawan balik, namun kami takut akan konsekuensinya. Tidak ada orang yang tidur pada malam itu di kota kami. Sepanjang siang dan malam Padri Rhoupen dan para imam pembantunya dan pengajar agama di Kolese Kristen datang dari rumah ke rumah untuk berdoa dengan berbagai kelompok keluarga.

Para tokoh penting di kota menunggui Husein Pasha untuk menanyainya apakah kami dalam bahaya. Ia berkata kepada kami bahwa kekhawatiran kami tak berdasar — bahwa masalah di Van sebetulnya hanyalah kerusuhan. Ayah dan ibuku berpegang teguh pada janji keamanan setengah hati ini. Namun pada hari Selasa, kami mengetahui bahwa kami telah ditipu. Pada pagi itu, Husein Pasha memerintahkan pintu-pintu penjara distrik dibuka dan para penjahat — bandit dan pembunuh — yang ditahan disana, dibebaskan dan dibawa ke istananya.

Satu jam kemudian, setiap penjahat tersebut dipakaikan seragam gendarme, diberi senapan, bayonet dan belati panjang dan dibariskan di lapangan umum untuk menunggu perintah. Ini adalah cara Turki ketika ada pekerjaan buruk yang harus dilakukan.

Pada tengah hari, para gendarme, atau yang mereka zaptieh, berkuda di kota dan menyebarkan pemberitahuan di tembok dan pagar di setiap sudut jalan. Ayahku telah pergi ke Harpout tadi pagi untuk bertemu dengan para bankir Armenia kaya di sana dan mengajukan permohonan langsung kepada Ismail Bey, sang Wali. Ibuku terlalu lemah karena khawatir sehingga tidak pergi ke sudut dan membaca catatan tersebut, jadi Lusanne dan aku langsung pergi. Kertas tersebut bertuliskan:

ORANG-ORANG ARMENIA.

Dengan ini Anda diperintahkan oleh Yang Mulia, Husein Pasya, untuk secepatnya masuk ke dalam rumah dan tetap berada di dalam sampai Yang Mulia kembali mengijinkan Anda untuk menjalankan urusan Anda. Semua orang Armenia yang ditemukan di jalanan, di tempat usaha atau tempat lainnya selain di rumah, lebih dari satu jam setelah tengah hari ini akan ditangkap dan dihukum berat.

(Tertandatangan) ⁠Ali Aghazade, Walikota.

Ketika kami melapor kepada ibu kami, ia menjadi sangat khawatir karena ayah sedang pergi ke Harpout. Ia bisa saja berangkat memasuki kota pada waktu siang hari, menghiraukan perintah, dan ditangkap di jalanan. Saudara kami, Paul, yang berusia lima belas tahun, berkunjung ke seorang tetangga. Kami mengirimnya, melalui jalan belakang sempit ke luar kota dan ke lapangan dimana ia bisa memperhatikan jalanan yang seharusnya dilewati ayah kami, dan, apabila ayah harus muncul sebelum gelap, memperingatkan perintah tersebut kepadanya. Nantinya kami memiliki alasan untuk bersyukur ayah sedang pergi.

Kami tak dapat membayangkan apa maksud perintah tersebut. Kami tak sanggup percaya bahwa maksud perintah tersebut adalah pembantaian yang sengaja direncanakan, dan bahwa cara ini diambil untuk membuat kami semua berada di rumah untuk mempermudah para zaptieh.

Pada jam 4, para gendarme, yang beberapa di antaranya adalah para tahanan yang dibebaskan dari penjara, berkirab ke rumah orang-orang terkaya, dengan perintah untuk hadir di hadapan Husein Pasya.

Saat ibu menjelaskan kepada perwira yang datang ke rumah kami bahwa ayahku sedang keluar kota, para zaptieh mencarinya di rumah, mendorong ibuku dengan kasar saat ia menghalangi jalan mereka. Mereka kemudian meminta kunci tempat usaha ayahku. Ketika Lusanne berlari ke atas tangga untuk mengambilnya, sang perwira memaksa mengikutinya. Ketika Lusanne sedang mengambil kunci dari kamar ayahku, ia merangkulnya dan melucuti pakaiannya. Ketika kakakku berteriak, perwira tersebut menampar wajah kakakku sangat keras sehingga ia terjatuh ke lantai. Perwira tersebut meninggalkan kakakku di sana dan pergi bersama rombongannya.

Dari jendela kami, kami dapat melihat alun-alun umum. Di sana para zaptieh mengumpulkan lima puluh pria utama di kota ini. Salah satu di antara mereka adalah Padri Rhoupen; presiden Kolese Kristen, yang dibentuk oleh para misionaris Amerika; beberapa profesor dan dokter; bankir, saudagar utama dan pengusaha lainnya.

Alih-alih menggiring para tahanan mereka ke istana Pasya, para pengawal mengarahkan mereka ke bagian lain kota. Kemudian, kami mengetahui bahwa mereka dibawa, bukan ke hadapan komandan, melainkan ke penjara yang telah dikosongkan oleh Mutassarif tadi pagi.

Banyak wanita, ketika mereka menyadari kemana para suami mereka sedang dibawa, menghiraukan perintah untuk tinggal di dalam rumah, berlari ke jalanan dan berusaha membawa kembali para suami mereka. Para gendarme menjatuhkan mereka dengan senapan. Seorang wanita, istri profesor, berhasil melewati para penjaga dan mendekati suaminya. Seorang gendarme berusaha menjauhkannya, namun ia berpegangan dengan erat, berteriak. Prajurit tersebut menarik senapannya dan menusukkan bayonet kepadanya. Suaminya melompat untuk meraih leher orang tersebut dan dibunuh oleh gendarme lainnya.

Para tahanan diperintahkan untuk berjalan melangkahi jasad profesor tersebut dan istrinya, sementara anak-anak mereka, yang juga telah berlari ke luar dari rumah mereka, berdiri di samping, menggenggam tangan mereka dan menangis, sampai rombongan tersebut berlalu, ketika mereka diijinkan untuk membawa jasad orangtua mereka ke rumah mereka. Tidak ada dari kami yang melihatnya terdorong untuk membantu anak-anak kecil tersebut.

Penjaranya adalah bangunan yang terbuat dari batu, dibangun lebih dari tujuh abad lampau. Pada awalnya, tempat tersebut merupakan sebuah biara, namun orang-orang Turki merebutnya pada 1580, dan menjadikannya sebagai penjara sejak itu. Tempat tersebut dikelilingi oleh tembok tinggi dan memiliki halaman besar dengan ruang bawah tanah terbuka.

Sepanjang siang itu, ibu, Lusanne dan aku dengan cemas menunggu ayah pulang dari Harpout. Menjelang sore, seorang gendarme datang ke rumah dan bertanya apakah ayah telah pulang, dia berkata bahwa ayahku melewatkan “pertemuan dengan Mutassarif.” Ibu bertanya kepadanya kenapa rombongan pria dibawa ke penjara, jika Mutassarif ingin melihat mereka. Prajurit tersebut berkata bahwa gubernur berpikir itu agar lebih mudah, karena mereka harus berjalan jauh ke istana. Kami sedikit lega oleh penjelasan tersebut, namun ketika senja menyingsing dan para pria belum kembali ke rumah-rumah, kami menjadi khawatir lagi. Dan kami juga mulai takut ayah dan Paul telah dicegat. Di kegelapan, para istri dan putri para pria yang diambil dari rumah-rumah mereka tak dapat berjaga lebih lama lagi. Memberanikan diri melanggar perintah untuk tetap di dalam rumah, mereka mulai berkumpul di jalanan, dan rombongan kecil wanita dan anak-anak, dan bahkan pria yang lebih berani, bergerak menuju penjara. Mereka menunggu di luar sampai tengah malam, berharap melihat tanda-tanda kerabat mereka atau mendengar apa yang sedang terjadi di dalam. Pada pukul 11, gerbang penjara dibuka dan Husein Pasha, dalam kereta kudanya dan dikawal oleh banyak prajurit berkuda, muncul keluar.

Para wanita mengerumuninya, namun para prajurit menghalangi mereka. Tidak lama setelah kereta kuda Pasya lewat, ada teriakan dan jeritan di dalam penjara. Lusanne dan aku, yang diam-diam menaiki tembok penjara, berlari pulang dengan ketakutan. Ayah dan Paul sudah ada di rumah, tiba di sana pada sore hari.

Ayah terlihat sangat lelah. Ia merangkulku dan menciumku dengan cara yang aneh. Tangis besar nampak di matanya ketika aku menatapnya. Aku tahu, tanpa bertanya, bahwa ia tidak berhasil dalam misinya ke Harpout untuk perlindungan. Kami terjaga sepanjang malam, mendengarkan tangisan yang datang dari penjara. Esok harinya Kami tahu apa yang telah terjadi, ketika seorang pria yang kabur menyelinap ke rumahnya untuk bersembunyi.

Kala Husein Pasha datang ke penjara, ia berkata kepada para pria yang dikumpulkan bahwa kabar baru telah datang dari Konstantinopel bahwa orang-orang Armenia tak setia dengan Turki, dan bahwa mereka berrencana membantu Sekutu. Ia menuntut para tahanan memberitahukan apa yang mereka ketahui tentang rencana semacam itu. Semua pria menyatakan tidak ada rencana semacam itu, orang-orang Armenia hanya ingin hidup damai dengan para tetangga Turki mereka, tunduk kepada Sultan dan melakukan hal apapun yang dituntut kepada mereka. Husein pada akhirnya nampak yakin dan berbalik, berkata bahwa semua pria dapat kembali ke rumah-rumah mereka besok pagi.

Ketika para tahanan saling memberi selamat satu sama lain atas pembebasan yang dijanjikan, dan berharap ada cara untuk memberikan pesan kepada keluarga mereka, para gendarme muncul dan menyudutkan para pria ke satu sudut ruangan. Ketika orang-orang lainnya ditodong senapan dan bayonet, satu per satu tahanan didorong ke tengah-tengah para prajurit dan diperintahkan untuk mengaku bahwa mereka telah bersekongkol menentang Sultan.

Ketika setiap orang menyangkal tuduhan tersebut dan menyatakan bahwa mereka tidak mengakui apapun, pakaian mereka dilucuti dan para gendarme memukuli punggung mereka dengan tali-tali kulit. Segera setelah orang-orang tersebut pingsan akibat cambukan, mereka dilemparkan ke satu sisi sampai mereka terbangun, lalu mereka dipukuli lagi, sampai seluruh prajurit mendapat giliran mencambuki dan merasa lelah. Delapan pria tua meninggal akibat pemukulan itu. Jasad-jasad mereka dilemparkan ke sudut penjara.

Ketika mereka memukuli Padri Rhoupen, seorang perwira menghentikan mereka. Ia berkata bahwa memukuli pendeta hanya buang-buang waktu saja, karena semua pendeta seharusnya dibunuh. Perwira itu kemudian menghadap ke Padri Rhoupen dan berkata kepadanya bahwa ia boleh tetap hidup jika ia menyangkali Kristus dan menjadi Muslim. Jika ia menolak, kata perwira tersebut, maka ia akan dipukuli hingga ia mati.

Padri Rhoupen yang malang nyaris terlalu letih untuk menjawab. Ketika para prajurit menjatuhkannya, atas perintah perwira tersebut, ia langsung terhempas ke tanah. Ketika ia berniat untuk berbicara, kepalanya menggeleng dan sang perwira Turki menganggap bahwa ia akan menerima Muhammad.

“Pegangi dia—berdirikan,” perintah perwira tersebut.

Dua prajurit mengangkatnya. Perwira tersebut memerintahkannya untuk mengulangi syahadat Islam —“Tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah.”

“Tiada tuhan selain Allah”—kata Padri Rhoupen, sejelas yang ia dapat, dan dengan matanya tertuju penuh ke perwira kejam tersebut. Ia berhenti untuk bernapas, dan kemudian melanjutkannya dengan berkata —“dan Yesus Kristus, Putra-Nya, adalah Juru selamatku!”

Perwira tersebut mengangkat pedangnya dan memenggal kepala Padri Rhoupen.

Profesor Poladian, presiden Kolese, kemudian diberitahu bahwa nyawanya akan selamat jika ia menerima Muhammad. Profesor Poladian adalah salah satu pria paling dicintai di seluruh Armenia. Ia belajar di Universitas Yale, di Amerika Serikat, dan sangat dihormati oleh Inggris dan Prancis karena kebaikannya. Ia berusia sangat tua.

Aku menyayanginya melebihi pria manapun selain ayahku, karena ketika aku masih sangat kecil, aku sakit dan menangis ketika tidak bisa mendatangi pohon Natal di Kolese tempat Profesor Poladian menggantung tas-tas permen untuk semua gadis kecil Tchemesh-Gedzak. Profesor Poladian menanyai Lusanne, kakakku, kenapa aku tidak bersama anak-anak lain berkumpul di sekitaran pohon tersebut, dan ketika kakakku memberitahunya bahwa aku berada dirumah, sedang sakit dan bahwa aku menangis karena aku tak dapat datang, ia berkendara menuju rumah kami, hampir dua mil, membawakanku tas permenku dan mengisahkanku cerita Natal kelahiran Kristus. Aku ingat setelah itu aku selalu ingin berdoa kepada Profesor Poladian usai aku berdoa kepada Tuhan, sampai ibuku membuatku paham kenapa aku tak boleh melakukannya.

Profesor Poladian tidak dipukuli, namun sang perwira memberitahunya bahwa ia dibiarkan hidup hanya supaya bisa menyatakan keyakinan pada Islam. Profesor nyaris menyerah akibat menderita menyaksikan perlakuan terhadap teman-temannya, namun ia berkata kepada perwira tersebut bahwa ia lebih baik mengorbankan nyawanya ketimbang menyangkali agamanya. Para prajurit kemudian mencabut kuku-kuku tangannya, satu per satu, dan kuku-kuku kakinya dan memangkas rambut dan jenggotnya, dan kemudian menikamnya dengan pisau sampai ia tewas.

Sepanjang malam, teriakan-teriakan dari halaman penjara berlanjut, dan para wanita yang menunggu di luar menjadi panik. Saat fajar, para prajurit mengusir para wanita tersebut, memberitahu mereka bahwa para suami mereka akan segera dipulangkan.

Setelah para wanita pergi, para prajurit menarik para pria yang masih hidup setelah disiksa, dan, mengikat mereka bersama dengan tali panjang, mengkirab mereka ke luar kota di belakang penjara menuju Sungai Murad, yang berjarak sepuluh mil. Saat mereka mencapai tepian sungai, para prajurit menjejerkan para pria tersebut dan menikam mereka sampai mati dengan bayonet-bayonet. Hanya satu orang yang melarikan diri dengan menarik satu mayat ke atas badannya dan berkeyakinan bahwa ia juga mati.

Keesokan harinya, Kamis, yang merupakan sehari sebelum Salat Jumat, para prajurit menyusuri jalanan pada pukul 9, menyerukan agar seluruh pria Armenia berusia lebih dari delapan belas tahun berkumpul di lapangan umum. Di setiap jalan, seorang perwira berhenti di pintu-pintu rumah dan memberitahu orang-orang bahwa pria manapun yang berusia lebih dari delapan belas tahun yang tidak berada ke lapangan dalam waktu satu jam akan dibunuh.

Ibu, Lusanne dan aku bergegas menghampiri ayah. Kami semua bersama-sama berusaha memeluknya. Ia sangat sedih dan diam. “Satu per satu, sayang,” katanya, dan ia membuat kami menunggu ketika ia mencium dan berpamitan kepada kami satu per satu. Sarah kecil, yang berusia tujuh tahun, dan Hovnan, yang berusia enam tahun, dipeluk lama olehnya. Kemudian ia mencium bibirku, dengan cara yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Ia memberitahu ibu untuk tidak boleh menangis, namun harus berani. Kemudian, ia pergi keluar.

Paul kecil mengikuti ayah dari kejauhan, untuk berada di dekatnya sepanjang yang memungkinkan. Saat ayah tiba di lapangan, Paul berniat untuk berbalik, namun seorang prajurit melihatnya dan menarik kerahnya, berkata, “Kamu juga harus ikut, supaya kami tak perlu mengumpulkanmu dengan para wanita besok.” Ayah memprotes dengan mengatakan bahwa Paul baru berusia lima belas tahun, namun para prajurit tak menghiraukannya. Sehingga saudaraku tak pernah kembali ke rumah.