BAB X


PERMAINAN PEDANG, DAN DIYARBEKIR


Dari tepi dataran berpasir, aku menangkap pemandangan pertamaku dari Diyarbekir, yang sempat menjadi ibukota negara kami. Selama dua hari, kami dibawa orang-orang Tchetchen. Kami mengetahui bahwa beberapa bahaya baru menunggu kami di kota kuno tersebut yang, berabad-abad sebelumnya, telah menjadi salah satu kota Kristus paling mulia.

Ketika orang-orang Tchetchen sampai ke tepi dataran, tembok kota menjulang jauh di bawah kami dan terdapat minaret yang menjulang di atas atap rendah. Tepat di luar kota terdapat Tigris yang indah dan biru—Sungai Hiddekel, dalam Alkitab. Dan sejauh yang dapat aku lihat, pada dataran besar yang diairi oleh Tigris, terdapat para pengungsi Kristen dari utara dan timur, dan barat, ribuan dan ribuan dari mereka. beberapa telah berjalan ratusan mil. Nyaris seluruh orang Armenia diijinkan untuk tinggal lama dibawa ke Diyarbekir, di tempat orang-orang yang tak dibantai di kota tersebut atau di luar tembok yang mengarah ke selatan menghadap gurun Suriah dan Arabia, untuk diterlantarkan disana.

Lebih dari satu juta orang-orangku mulai menuju Diyarbekir ketika deportasi dan pembantaian dimulai. Hanya 100.000, yang aku dengar, masih hidup yang mencapai kota kuno tersebut di Tigris. Dan lebih dari separuhnya dibantai di kota tersebut dan di luar tembok. Hanya wanita muda dan beberapa anak yang selamat, dan menghilang di harem-harem, atau, sebagaimana anak-anak, ditempatkan di biara-biara Dervish untuk diajarkan Islam, sehingga mereka dapat dijual sebagai budak ketika mereka dibesarkan.

Nail Pasya, Wali Diyarbekir, sangat kejam. Di dalam kota, terdapat banyak benteng kuno, dibangun berabad-abad lampau—salah satu darinya pada masa Muhammad, dan dua penjara besar. Setidaknya lebih dari 3.000 tahanan perang Rusia dikirab dari Kaukasus ke Diyarbekir untuk ditempatkan dalam tahanan tersebut. Nail Pasya membawa semua pakaian para tahanan tersebut, dan memaksa mereka, dengan menolak memberikan makanan kepada mereka, bekerja sebagai tukang batu di rumah besar yang dibangun oleh pasya tersebut untuk dirinya sendiri.

Ketika para pengungsi mulai datang ke Diyarbekir dalam jumlah besar, Nail Pasya mengerumuni orang-orang Rusia ke dalam salah satu benteng yang sangat dekat yang nyaris tak memiliki ruang untuk berbaring pada malam hari. Penjara lain kemudian ia isi dengan pria Armenia yang diijinkan untuk menemani wanita mereka dari beberapa desa kecil Armenia di utara. Ketika penjara-penjara dipenuhi orang-orang yang diasingkan, ia memerintahkan para prajuritnya untuk membantai mereka. Di luar kota, wanita mereka menunggu di dataran atau dibawa menjauh tanpa dikatakan nasib yang menimpa para suami, putra dan saudara mereka.

Ketika para tahanan Rusia lainnya datang, Nail Pasya mengerumuni orang-orang Armenia dalam penjara pada siang hari dan membantai mereka, dan kemudian memerintahkan orang-orang Rusia untuk membawa jasad-jasad dan menghapus darah sebelum mereka dapat dibaringkan pada pekerjaan siang mereka di lapangan atau bangunan batu dari rumah baru mereka. Para prajurit Nail Pasya berkata dengan kegembiraan besar bagaimana jasad-jasad anak Armenia kecil dicampur dengan semen dan dibangun pada tembok rumah baru untuk mengisi ruang antar batu.

Orang-orang Tchetchen yang membawa kami dari biara memutuskan untuk memasuki kota tersebut lewat gerbang selatannya—di tempat tembok nyaris mengarah ke tepi sungai. Namun ketika kami berlari kencang di sekitaran jalan tersebut, para prajurit dari gerbang tersebut datang dan berkata kepada kami bahwa Wakil mengeluarkan perintah agar tak ada pengungsi lagi yang dibawa ke kota tersebut sampai beberapa orang yang berada di tembok tersebut “dibersihkan”—dibantai atau dibawa pergi.

Setelah itu, aku tak mengetahui kenapa kota itu sendiri dikerumuni dengan para pengungsi sementara sebagian besar lainnya berkemah di luar tembok. Wali menjanjikan perlindungan dari deportasi berikutnya untuk semua orang yang memutuskan untuk menyerahkan uang untuk menyuapnya. Disana, ia diijinkan untuk datang ke kota tersebut dan menduduki rumah-rumah yang dikosongkan. Ketika pemberian uang untuk “perlindungan” terhenti dan mereka dikirim ke kota dalam rombongan kecil—seringkali dibunuh di gerbang-gerbang oleh orang-orang Tchetchen, yang dititahkan untuk menunggu mereka.

Ketika orang-orang Tchetchens menyadari bahwa mereka tak dapat memasuki kota tersebut dengan kami pada suatu ketika, mereka mengangkat kami dari kuda mereka dan memerintahkan kami untuk duduk melingkar sehingga mereka dapat mengawal kami dengan mudah. Dari dua ratus orang di biara, hanya dua puluh tujuh orang dari kami yang masih hidup. Tiga gadis lebih muda ketimbang aku. Tak lebih dari dua puluh orang, meskipun beberapa orang telah menjadi mempelai ketika pembantaian berlangsung.

Pemimpin bandit kemudian datang ke kota tersebut sendiri. Sepanjang hari, dan keesokan harinya, dan kebanyakan hari setelah itu, kami duduk di pasir dalam matahari yang membakar. Orang-orang Tchetchens mengeluarkan roti dan beri dan memberikan kami sedikit apa yang mereka tak inginkan untuk diri mereka sendiri. Hanya sekali setiap hari mereka memberikan air kepada kami. Pada hari kedua, salah satu gadis menjadi panas karena demam. Ia menangis meminta air, dan ketika seorang Tchetchen menamparnya karena saat menangis ia menjulurkan lidahnya, yang mulai membengkak. Ketika Tchetchen menyaksikannya, ia memanggil para kameradnya, dan mereka takut kalau demam tersebut menyebar ke orang-orang lain dari kami. Mereka tak memberikan perhatian kepada permohonan gadis malang tersebut yang meminta air, namun menyeretnya sejauh seratus kaki dan meninggalkannya. Sesekali, ia menggerakan kakinya dan nampak berniat untuk kembali ke kami. Seorang Tchetchen mendatanginya dan menjatuhkannya dengan ujung senapannya. Ia tak dapat bangun lagi, dan kami melihatnya nyaris menggulung di pasir sampai ia meninggal.

Pada sore hari kedua kami menunggu di luar tembok, terdapat rombongan besar di gerbang selatan kota, dan nampak segerombolan pengungsi, semuanya wanita, datang ke dataran tersebut. Sepanjang hari, sekelompok pengendara kuda Tchetchen berkumpul dari daerah sekitar dan merapatkan posisi di dekatnya. kini kami tahu kenapa pasukan berkuda tersebut telah datang—mereka memerintahkan rombongan pengungsi untuk dikirim ke luar kota tersebut.

Orang-orang Turki sendiri membantai wanita di sepanjang jalan. Konstantinopel tak memerintahkan pembunuhan wanita yang penurut—pekerjaan tersebut diserahkan kepada orang-orang Kurdi dan gerombolan lainnya.

Aku pikir seharusnya adalah lebih dari 2.000 wanita dan beberapa anak dalam rombongan tersebut. Mereka mulai mendatangi gerbang sebelum senja, dan masih berdatangan setelah gelap. Orang-orang Tchetchen mengkelompokkan mereka dalam lingkaran seukuran sekitar satu mil dari tembok. Mereka berjarak separuh mil atau lebih dari kami, namun ketika bulan timbul, kami dapat mendengar jelas teriakan dan jeritan yang dikatakan kepada kami bahwa orang-orang Tchetchen memulai pekerjaan jahat mereka.

Sepanjang malam kami mendengar teriakan. Terkadang suara tersebut sangat jelas, sebagaimana orang-orang yang datang ke jalan kami. Kemudian kami mendengar teriakan dan tapak kuda. Terdapat jeritan melengking dan kemudian hanya suara derap kaki kuda yang semakin meredup. Orang-orang Tchetchen yang memandu kami tak menjamah kami, mereka nampak menyelamatkan kami untuk suatu hal lain. Namun kami tak dapat tidur pada malam tersebut. Terkadang hingga kini aku tak dapat tidur, meskipun aku selamat selamanya. Teriakan-teriakan tersebut datang kepadaku pada waktu malam, dan bahkan dengan teman-temanku semua yang mengenalku tak dapat lekang dari telingaku.

Ketika fajar datang pada dataran tersebut, kegemparan masih pada puncaknya. Kemudian, mendadak, semuanya menjadi diam. Kami terlalu jauh dari kota untuk mendengar suara-suara di minaret, namun kami mengetahui bahwa diam artinya bahwa jam Salat Islam telah tiba. Bahkan di tengah-tengah pekerjaan mereka, orang-orang Tchetchens mendengar seruan tersebut dan berhenti untuk bersujud menghadap Makkah. Aku ingat bagaimana aku terpukau pada pagi itu, ketika para bandit melantunkan salat mereka kepada Allah untuk rahmat dan penuntunannya, bagaimana Kristus-ku akan merasa jika umat-Nya harus datang kepada-Nya untuk berdoa saat fajar setelah pekerjaan malam semacam itu.

Aku mengasihi Yesus Kristus bahkan melebihi sebelumnya dan percaya kepada-Nya pada pagi itu ketika para bandit Muslim berdoa kepada Allah.

Aku pikir kurang dari 300 rombongan Armenia masih hidup ketika matahari timbul dan dapat melihat sepanjang dataran tersebut. Satu kelompok kecil kami lihat bergerak mendekat, meringkuk bersama. Semuanya adalah orang-orang Tchetchen yang menjadi jasad-jasad yang tergeletak pada lingkaran besar—membuat jelas pada siang hari bahwa mereka telah menghilangkan ketiadaan nilai dalam pembantaian dan perompakan pada malam hari.

Pada pagi itu, orang-orang Tchetchen menyibukkan diri mereka sendiri dengan wanita muda yang diijinkan untuk bertahan pada maalm itu. Kami dapat melihat mereka mendatangi sekelompok kecil penyintas dan menyeret beberapa dari mereka.

Ketika orang-orang Tchetchen mulai berniat melakukannya agar kami melihat mereka bersiap, sebuah jalan kecil dari tempat mereka berada, di tempat datar pada dataran tersebut, utnuk salah satu hiburan yang terkenal dari suku-suku liar Sirkasia, dan mereka sering mengulangnya, ketika aku kemudian mengetahuinya, selama orang-orangku bertahan.

Mereka menancapkan pedang-pedang mereka, yang merupakan pedang panjang berujung lancip yang didatangkan dari Jerman, dalam barisan panjang di pasir, sehinggabagian tajamnya timbul dari tanah setinggi anak yang paling kecil. Ketika kami menyaksikan persiapan tersebut, semua orang dari kami mengetahui apa yang akan terjadi. Ketika anak-anak Armenia nakal, para ibu mereka terkadang mengatakan bahwa orang-orang Tchetchen akan datang dan mengambil mereka jika mereka tak berbuat baik. Dan ketika anak-anak berkata, “Dan ketika orang-orang Tchetchen datang, apa yang akan mereka lakukan?” ibu mereka berujar:

“Orang-orang Tchetchen adalah penunggang kuda perompak yang sangat kejam, yang suka menikam pedang mereka pada anak laki-laki dan perempuan kecil.”

Aku menjadi gemetar campur sakit hati karena pada malam sebelumnya dan hal-hal yang dilihat olehku pada pagi itu ketika siang datang. Wanita lain yang disampingku juga gemetar, dan merasa bahwa jika mereka lebih baik mati ketimbang melihat hal lainnya. Kami memohon kepada orang-orang Tchetchen untuk melepaskan kami—agar membawa kami ke tempat kami tak dapat melihat pedang-pedang tersebut—namun mereka hanya menertawai kami dan berkata kepada kami bahwa kami harus melihat dan berterima kasih kepada mereka atas perlindungan mereka.

Ketika barisan panjang pedang ditempatkan, orang-orang Tchetchen menghampiri rombongan kecil orang-orang Armenia. Kami melihat mereka mengerumuni kami, dan kemudian datang membawa pergi, atau menyeret, semua wanita muda yang ditinggalkan—mungkin lima belas atau dua puluh—aku tak dapat menghitung mereka.

Setiap gadis dipaksa berdiri dengan seorang Tchetchen memegangi kakinya, separuh jalan antara dua bilah pedang dalam barisan panjang. Orang-orang yang diambil menangis dan memohon, namun para bandit kejam tersebut mengabaikan permohonan mereka.

Ketika para gadis yang ditempatkan memohon kepada mereka, satu di antara setiap dua bilah pedang, orang-orang Tchetchen yang tersisa menaikki kuda-kuda mereka dan berkumpul di ujung barisan. Pada saat isyarat diteriakkan, orang pertama mencabuti barisan pedang tersebut. Ia mengambil seorang gadis, mengangkatnya ke udara dan menjatuhkannya pada titik pedang, tanpa mengerahkan kudanya. Ini adalah sebuah permainan—sebuah kontes! Setiap Tchetchen berupaya mengambil sebanyak mungkin gadis agar ia dapat dan menghempaskan mereka ke titik-titik pedang, sehingga mereka terbunuh dalam satu lemparan, dalam satu kesempatan di sepanjang baris. Hanya orang paling terampil dari mereka yang berhasil menghempaskan lebih dari satu gadis. Beberapa orang mengangkat orang kedua dari tanah, namun gagal mengenai pedang dalam kecepatannya, dan gadis tersebut, dengan tulang patah dan luka berdarah, ditempatkan di barisan kembali untuk dipakai dalam “permainan” untuk kedua kalinya—berdoa agar kali ini tujuan Tchetchen akan menjadi nyata dan pedang diambil ujungnya untuk menyiksanya.

Pada waktu itu, Yahudi dari Diyarbekir datang dari kota tersebut, dikawal oleh gendarme, untuk mengumpulkan jasad-jasad orang Armenia yang tertikam. Mereka membawa gerobak dan keledai dengan tas-tas yang digantung pada punggung mereka. Di dalam gerobak dan tas, mereka menumpuk jasad-jasad tersebut dan membawa mereka ke tepi Tigris, di tempat orang-orang Turki melempar jasad tersebut ke air. Ini adalah saalh satu penindasan Yahudi yang dipaksa untuk melakukannya. Para Muslim tak membunuh mereka, namun mereka gemar untuk membagi tugas semacam itu.

Pada siang hari, pemimpin Tchetchen datang dari kota. Pasukannya bergerak ke satu sisi dan berbincang kepadanya secara khusus. Ketika hari mulai gelap, mereka mengangkat kami ke kuda-kuda mereka dan membawa kami ke kota melalui gerbang selatan. Di gerbang, pemimpin Tchetchen menunjukkan sebuah surat kepada para perwira gendarme yang dibawa olehnya dari kota tersebut, dan orang-orang Tchetchen diijinkan untuk masih. Kami melewati jalanan sempit dan gelap sampai mereka mendatangi rumah berteras yang melebiji tinggi bangunan lainnya, dengan gerbang besar yang menuju ke halaman pinggir jalan. Hammal, atau porter Turki, menunggu di gerbang dan membukanya.

Para bandit turun di luar gerbang menuju rumah tersebut dan menempatkan kami ke tanah. Pemimpin tersebut mengiring kami ke dalam. Dengan separuh puluhan pasukannya, ia masuk di belakang kami dan gerbang ditutup. Beberapa orang Tchetchen datang ke rumah tersebut. Dalam beberapa menit, mereka datang, didampingi oleh pria asing, yang dari seragamnya aku mengetahuinya merupakan prajurit Jerman.

Para pelayan mengiringi dengan lampu-lampu terang, dan prajurit melihat wajah kami dan menguji kami dengan sangat memalukan. Hanya delapan gadis yang dimintanya. Aku adalah salah satunya. Kami dibawa ke rumah tersebut dan pintu ditutup di belakang kami. Kemudian, kami mendengar orang-orang Tchetchen mengumpulkan para gadis lainnya dan mengambil mereka di jalan. Aku tak tahu apa yang terjadi pada mereka. Prajurit dan para pelayan, semuanya orang asing, yang kemudian aku ketahui adalah orang-orang Jerman, menempatkan kami ke ruang berlantai batu yang dipakai sebagai tempat untuk kuda.

Selama dua atau tiga jam setelah itu—setelah tengah malam, aku berpikir; kami tak dapat mengambil kesempatan—ketika prajurit dan para pelayan datang kepada kami. Sebelum mereka membawa kami dari ruangan tersebut, mereka mengambil beberapa pakaian yang dimiliki oleh kami. Mereka mengantar kami, dengan takut dan malu, ke ruangan tempat tiga pria berseragam perwira Jerman. Para prajurit menyambut kami. Para perwira tersebut nampak sangat baik ketika mereka melihat kami. Mereka berniat untuk menutup kami dengan tangan mereka dan menyembunyikannya satu sama lain, namun prajurit tersebut memisahkan kami dengan kasar. Para perwira tertawa dengan tindakan yang dilakukan terhadap kami, dan kemudian membubarkan prajurit tersebut, mengatakan beberapa hal kepadanya dalam bahasa Jerman, yang tak aku pahami.

Para perwira berbincang satu sama lain, juga dalam bahasa Jerman. Mereka berniat untuk membelai kami. Tindakan tersebut sangat menghibur mereka ketika kami memohon agar mereka membiarkan kami, memakaikan pakaian kepada kami dan berbelas kasihan, dalam nama Tuhan.

Nyaris dua pekan, aku menjadi tahanan di rumah tersebut. Nama perwira utamanya adalah Kapten August Walsenburg. Ia berusia menengah, aku pikir, dan sangat botak. Setelah itu, aku memahami banyak hal tentangnya. Ia memiliki hubungan dengan perusahaan dagang Jerman, “Oriental Handelsgellschaft,” di kota Van.

Ia merupakan perwira tentara reserve dan dipanggil untuk bertugas. Ia membantu para perwira Turki di Van mengerahkan tentara disana dan ikut serta dalam pembantaian-pembantaian Armenia di kota tersebut. Ia memeruntahkan untuk melaporkan kepada jenderal Jerman yang namanya tak aku ingat di Aleppo, di tempat penglima Jerman menghimpun prajurit Turki untuk tentara-tentara Mesopotamia. Namun ketika ia mencapai Diyarbekir, kabar pergerakan Rusia Kaukasus datang, dan ia memerintahkan, lewat telegraf, untuk menunggu di Diyarbekir untuk instruksi-instruksi. Dua perwira lainnya adalah letnan, yang mendampinginya dari Van, dan mereka juga menunggu instruksi.

Mereka merupakan satu-satunya perwira Jerman di Diyarbekir pada waktu itu. Wakil sangat bersahabat dengan mereka. Ia menempatkan kami di rumah tersebut agar kami diambil sebagai tahanan. Sampai ke rumah tersebut, banyak gadis Armenia cantik yang diculik oleh Kurdi dan Tchetchen dibawa. Ketika mereka lelah terhadap kami, mereka mengirim kami ke kemah-kemah pengungsi di luar kota atau dijual ke orang-orang Turki.

Kapten Jerman membujukku untuk menjadi penurut. Aku berjuang terhadapnya dengan segala kemampuanku. Aku berkata kepadanya bahwa ia dapat membunuhku. Ini menghiburnya. Ketika aku menjadi tahanannya, aku merasakan untuk pertama kalinya dan satu-satunya dalam hidupku yang disebut “whiskey” di Amerika. Ini pahit dan mengerikan. Para perwira membawakan beberapa barang tersebut dari Van. Mereka sangat bermabuk-mabukkan, dan membuat mereka sangat brutal. Suatu malam, mereka mengumpulkan seluruh gadis di rumah tersebut dalam sebuah ruangan di tempat mereka bersantap dan memaksa mereka untuk duduk di meja dan meminum whiskey tersebut. Mereka senang ketika itu membuat kami sakit.

Satu per satu gadis lain yang diculik denganku dari biara dikirim, setelah para prajurit bosan dengan mereka, dan penempatan mereka diambil oleh para serdadu yang baru. Aku pikir aku bertahan karena aku berjuang sangat keras ketika salah satu dari mereka mendekatiku. Kapten selalu bertepuk tangan dan tertawa kencang ketika aku berjuang.

Terdapat gadis lain, yang telah dijadikan tahanan di rumah tersebut lebih lama dari lainnya—sejak sebelumnya aku dibawa kesana. Ia secara khusus memohon kepada salah satu perwira berpangkat rendah. Ia berkata kepadaku bahwa suatu malam ketika para perwira mengambil banyak whiskey dan utamanya jahat. Ia berkata bahwa mereka mengirim beberapa gadis ke rumah tersebut dan, memberdirikan mereka di sisi samping, menembaki mereka dengan pestiol mereka, memakai dada mereka sebagai target. Setelah itu, aku mengatakan hal tersebut sering dilakukan oleh orang-orang Turki di Vilayet Van ketika mereka membantai orang-orangku disana.

Pada akhirnya, perintah datang kepada para perwira untuk meninggalkan Diyarbekir. Aku tahu bahwa mereka akan pergi ke Harpout. kami langsung bersiap untuk hengkang dan bersiap untuk keesokan paginya. Mereka memiliki banyak sajadah dan potongan perhiasan berharga di rumah yang mereka dapatkan dari Kurdi dan Tchetchen, yang mereka ambil dari orang-orang Armenia, dan semuanya mereka kemas secara hati-hati ke kotak-kotak untuk disimpan oleh Wali sampai karavan datang ke jalur kereta api di Ras-el-Ain.

Kami sangat khawatir mereka memberikan sedikit perhatian kepada kami. Ketika mereka hengkang, seluruh pelayan mereka mengikuti mereka, mengendarai keledai di belakang kuda-kuda majikan mereka. Sehingga, kami sendirian di rumah.

Kami menjadi senang dalam keadaan kami yang tak lagi berada dalam bahaya yang mengancam kami di tangan para gendarme Turki, yang akan berniat untuk menemukan kami. Mereka mencari sampai mereka menemukan tempat para pelayan menyembunyikan pakaian kami di ruangan gelap, di tempat pakaian seluruh gadis Armenia yang dibawa ke rumah tersebut ditempatkan. Kami memakai beberapa hal untuk menutupi diri kami sendiri.

Kami menjalani siang dan malam dalam ancaman penemuan. Kami khawatir untuk berjalan di jalanan dan takut akan tempat kami singgah. Terdapat banyak misionaris asing di kota tersebut, termasuk orang Amerika, namun mereka berada di wilayah berbeda, dan mereka tak pernah menghampiri kami. Para gendarme datang pada hari ketiga usai para perwira hengkang. Aku tak berpikir mereka dapat menemukan siapapun di rumah tersebut, namun datang untuk melihat hal-hal yang ditinggalkan orang-orang Jerman tanpa dikemas.

Kami melihat mereka masuk melewati gerbang halaman. Tak ada tempat kami dapat sembunyi, karena rumah tersebut dibangun bertingkat. Kami hanya dapat terpojok di persimpangan dan mencegah penangkapan kami sampai menit terakhir. Para gendarme melihat kami dari halaman dan bergegas menghampiri kami dengan teriakan.

Ketika aku berlari melewati ruangan yang telah dimasukki oleh salah satu perwira, aku melihat pisau yang ditinggalkan olehnya di belakang. Aku mengambilnya dan menyembunyikannya dalam pakaianku. Ini adalah pertama kalinya aku memegang pisau di tanganku atau senjata lain sejak aku dibawa dari rumahku di Tchemesh-Gedzak.

Seorang gendarme melewatiku di salah satu ruangan tepat ketika seluruh gadis lain terjebak. Ia menangkapku dengan tangan. Ia membawaku ke ruang lain ketika perwira gendarme melihatku. Ia menghentikan seornag pria, memberikanku kepadanya dan memerintahkannya untuk “menemukan orang lain untuk dirinya sendiri.” Perwira tersebut mendorongku ke ruangan.

Namun ketika ia berniat untuk menjamah tanganku, aku mengarahkannya dengan pisau. Aku tahu Tuhan memandu tanganku, karena aku yakin aku membunuhnya. Ia jatuh ke kakiku.

Di bagian lain dari rumah tersebut dan di halaman, para gendarme memperhatikan para gadis yang ditemukan oleh mereka. Aku mencapai jalanan tanpa terlihat. Aku melirik ke segala arah dan tak dapat melihat seseorang kecuali seorang wanita Turki, yang dayang ke gerbangnya pada seberang jalan. Tak lama kemudian, aku berpikir aku akan ditangkap, dan aku menodongkan pisau, yang masih aku simpan pada pakaianku.

Namun, wanita Turki tersebut bersikap baik. Ia mengasihaniku. Ia melangkah ke gerbangnya dan memintaku untuk mengikutinya. Aku khawatir, sekaligus aku mempercayainya. Ia menutup gerbangnya dan aku memegangi tangannya. Ia meminta maaf kepadaku dan orang-orangku, katanya, dan akan menolongku. Namun ia tak menempatkanku di rumahnya. Ia berkata kepadaku bahwa aku dapat bersembunyi di halamannya hingga malam, di tempat aku dapat keluar dari kota tersebut di tempat para pengungsi berada.

Pada siang hari, ia membawakan makanan kepadaku. Ketika gelap, ia datang untuk membawaku pergi, dan menciumku, dan memberikanku tiga lira, yang aku dapatkan semua tanpa sepengetahuan suaminya. “Pergilah lewat gerbang utara, bukan gerbang selatan,” ia berujar kepadaku. “Semua pengungsi yang dibawa di sekitaran gerbang selatan dibunuh; orang-orang yang berkemah di luar gerbang utara masih hidup. Namun jangan bergabung dengan mereka ketika masih malam, atau kami dapat ditangkap dalam pembantaian. Bersembunyilah di antara bebatuan di perlintasan melalui perbukitan Kara-jah, satu mil dari kota. Jika orang-orang Armenia diijinkan untuk melintasi bebatuan tersebut ketika mereka dibawa, ini menandakan bahwa mereka akan dibiarkan hidup melewati tahap perjalanan mereka lainnya.”

Aku sampai ke gerbang selatan tanpa berhenti, karena aku berhati-hati untuk berjaga-jaga dalam bayangan. Para gendarme menjaga gerbang tersebut, namun mereka tak benar-benar melihat. Aku lari ke dataran dan mengikuti arahan nyonya Turki bersahabat tersebut yang telah mengarahkanku sampai aku tiba ke bebatuan yang menandai jalan melalui perbukitan hilir yang berada di pinggiran utara kota tersebut. Di sepanjang jalan, para pengungsi dikirim ke gurun selatan dari Diyarbekir yang harus dilalui.

Aku menunggu di bebatuan sepanjang malam. Pada pagi hari, aku berpikir untuk berjalan di sepanjang halan di tempat aku tak akan terlihat oleh para prajurit, Kurdi atau Tchetchen yang menyusuri dataran di dekat kota, dan di tempat aku dapat menunggu sampai segerombolan orang-orangnya melintas.

Namun ketika aku mengambil jalanku melewati perlintasan sempit antar batu, aku menyaksikan sekelompok kecil zaptieh datang menghampiriku di sepanjang luar jalan. Aku tak menyangka untuk bertemu siapapun. Aku menjerit sebelum aku dapat menghentikan diriku sendiri. Para zaptieh mendengarku dan aku lari ke belakang menuju tempat penampungan bebatuan dan mengeluarkan pisauku, yang aku simpan sehingga aku dapat membunuh diriku sendiri ketimbang diculik lagi. Namun aku khawatir Tuhan tak akan menyetujuinya. Ketika para zaptieh mencari di bebatuan, aku berlutut dan meminta kepada Tuhan untuk berkata kepadaku apa yang harus aku lakukan—jika Ia menyalahkanku jika aku membunuh diriku sendiri sebelum para zaptieh menemukanku. “Ya Tuhan, katakan kepadaku, haruskah aku kini datang kepada Mu atau menunggu sampai Kau memanggil?” ujarku kepada-Nya.

Aku tahu Ia mendengarku, dan aku tahu Ia menjawabnya. Untuk beberapa hal berkata kepadaku untuk melempar jauh pisau—dan aku melakukannya.

Ini adalah kehendak Tuhan, aku tahu, karena setelah itu, Ia membimbingku ke tangan ibuku yang aku pikir dapat menemuinya sekali lagi sebelum pasukan Turki membunuhnya.