BAB XIII


VARTABED TUA DAN SERUAN GEMBALA


Pada awal pagi, kami dibawa ke kota, berdampingan dengan kuda-kuda yang berada di belakang kelompok pemimpin yang mengikuti Sheikh Zilan sendiri. Di dalam kota, empat pasukan berkuda menggiring kuda-kuda mereka ke salah satu daerah hilir kota tersebut. Disini, kami diserahkan untuk dijaga orang Kurdi berpenampilan sangar, yang kemudian aku kenal adalah Bekran Agha, seorang diler budak terkenal dari Moush.

Sepuluh ribu gadis Armenia yang terdiri dari para putri rumah Kristen, gadis perguruan tinggi, guru sekolah muda, putri orang kaya dan miskin, mengalami teror perasaan yang sama yang datang padaku pada hari ketika aku sadar bahwa aku diambil dari rumah diler budak terkenal tersebut. Pasar budaknya beroperasi penuh, dalam penjagaan rumahnya, selama beberapa tahun, namun ia tak pernah menikmati laba dagang sebagaimana ketika para gadis Armenia disediakan untuknya.

Bekran meninggalkan kami di keledainya pada malam hari. Pada pagi hari, hammal miliknya datang untuk memberikan makanan kepada para hewan miliknya. Ketika ia menyelesaikan tugas ini, ia memerintahkan kami untuk mengikutinya.

Bekran menunggui kami di selamlik miliknya. Aku terpaku ketika aku melihatnya—ia sangat tua dan berperawakan sangar dan layu. Seorang gadis negro menungguinya. Ia duduk di lantai dengan riasan lama. Selamlik tersebut gersang dan tak terawat. Dimana-mana ada kotoran. Hiasan-hiasan bunga Bekran, sesekali kaya akan tekstur, tak beraturan dan usang. Sehingga, aku mengetahui bahwa Bekran seharusnya sangat kaya—dari laba menolong orang-orang Armenia yang membawanya.

Kami berlutut di hadapannya—kemudian kami membungkuk ke hadapan para Muslim—kami sangat ingin agar ia memahami permohonan kami. Aku sangat menderita, aku pikir aku benar-benar dapat dapat membujuk pria tua tersebut untuk membiarkan kami pergi ke ibuku lagi. Namun Bekran, tak mengelak. Matanya melirik-lirik kami—aku dapat merasakannya. Ia mengisyaratkan kepada hammal dan pria itu mengangkat kami ke kaki mereka, satu per satu, agar indung semangnya dapat melihat tinggi kami, ukuran kami dan tingkat keatraktifan kami. Kemudian, ia memebrikan isyarat lain dan kami dibawa ke ruangan dalam, melalui pintu batu, dan menuju ruang besar di tempat adanya sejumlah gadis Armenia lainnya, yang berada disini dan terdapat pula orang Sirkasia atau orang Rusia dari Kaukasus, di antara mereka.

Kemudian, hammal datang ke ruangan tersebut dengan buah ara dan roti. Aku tak dapat menyantapnya, demikian pula empat gadis yang berada pada rombongan ibuku dari Ourfa. Hanya sedikit orang yang dapat bersantap—karena semuanya telah datang namun berada di tangan Bekran dan terlalu lemah. Ketika hammal menyaksikan bahwa kami, yang baru datang, tak makan, ia berujar, “Itu baik. Kalian tak akan kehilangan waktu saat mandi.” Ia kemudian menyuruh kami untuk membersihkan diri kami sendiri serta kami dapat menjalani malam-malam kami di pasir dan di keledai dengan air dari air mancur di halaman.

Dua pelayan pria mendatangi ruangan ketika kami mandi bersama hammal. Secara bersamaan, mereka memberdirikan kami dalam barisan panjang. Para gadis yang berada di rumah tersebut kemudian berdatangan, menyelamatkan kami dari jamahan hammal dan ia menyerukan pengawalnya untuk melakukannya.

Kami dibawa ke ruang besar di belakang rumah, yang kaya akan perabotan, tersimpan tumpukan bantal di atas permadani di satu sudut. Kami diijinkan untuk duduk dilantai di tempat manapun pada ruangan tersebut, selain di sudut tempat tersebut bantal berada. Sebelum itu, Bekran Agha datang ke dalam dan menduduki tumpukan tersebut.

Sepanjang pagi, para pembeli berdatangan. Ketika setiap orang berkata kepada Bekran, porter akan bertepuk tangan dan kami dikumpulkan dalam lingkaran di sekitaran pelanggan. Kebanyakan gadis dijual—namun hanya untuk sedikit potongan peni. Terdapat banyak orang di pasar tersebut yang menawarkan harga yang besar! Ketika seorang gadis dijual, ia bertahan sampai seorang pelayan datang untuk membawanya.

Pada siang hari kedua, seorang pelanggan yang memberikan bayaran besar kepada Bekran Agha, memasuki ruangan. ia adalah pelayan, namun dari pakaiannya aku mengetahui bahwa ia adalah pelayan pria kaya. Dari orang-orang kami yang ditinggalkan, ia memilih tiga orang—dan aku adalah salah satu dari tiga orang tersebut. Ketika kami berdiri di dekatnya, ia tawar menawar dengan Bekran. Pada akhirnya, kesepakatan pun dilakukan. Aku dijual untuk satu medjidieh—85 sen!

Di luar, terdapat sebuah araba. Dua gadis lain dan aku ditempatkan di dalamnya. Kami dibawa ke luar kota, menuju rumah yang diduduki oleh Djevdet Bey, Wali Van, panglima tentara Turki saat itu yang berjuang melawan pasukan Rusia.

Kami sempat dibawa ke haremlik, di tempat adanya sejumlah wanita Armenia muda lainnya. Sebelum sore, kalfa, atau kepala pelayan, datang kepada kami dan menanyai kami satu per satu soal apakah kami ingin menjadi Muslim. Kalfa tersebut menjelaskan bahwa hanya orang-orang yang dapat bertahan dalam perawatan dan penjagaan Djevdet Bey, majikannya, dan memiliki kehormatan dari perlindungannya, yang berkehendak untuk menyatakan syahadat Islam.

Meskipun ia kejam dan, sebagaimana sikap yang ditunjukkannya, yang paling tak berpendirian dari seluruh orang Turki, Djevdet Bey menginginkan, yang menjelaskan kepada kami, untuk mempertahankan tujuan-tujuan fatwa yang dikeluarkan oleh Abdul Hamid dan masih berlaku, yang ditujukan untuk melarang perbudakan orang Armenia dan gadis Kristen lainnya tanpa mula-mula membuat mereka menjadi Muslim.

Aku tak tahu apa yang akan dilakukan oleh kalfa jika aku enggan menerima syahadat Islam. Aku khawatir akan dihukum mati, atau dihadapkan ke khan, namun aku tak dapat membuat diriku menyangkali Kristus, setelah mempertahankan keimanan kepada-Nya selama ini. Aku bertanya kepada-Nya apa yang harus aku lakukan—dan jawaban-Nya datang, sangat jelas dan diarahkan ketika aku nyaris memakai pisauku di luar bebatuan Diyarbekir. Aku nampak melihat Padri Rhoupen, seorang pendeta, dan aku bahkan merasakan tangannya di atas pundakku lagi, tepat ketika ia berkata kepadaku, “Selalulah percaya akan Tuhan dan tetaplah beriman kepada-Nya.” Aku berkata kepada kalfa bahwa aku tak dapat menyangkali Yesus Kristus.

Salah satu gadis lain yang dibawa ke rumah Djevdet Bey denganku juga enggan menyangkali agamanya, bahkan untuk menyelamatkan nyawanya. Gadis ketiga sangat menderita—hati dan jiwanya patah. ia menyerahkan diri. Sang kalfa menempatkannya ke ruangan lain. Tak lama usai kami menolak untuk murtad, kami dibawa ke araba terpisah dan dibawa pergi. Apa yang terjadi pada gadis kecil lainnya tak aku ketahui. Aku dibawa ke rumah Ahmed Bey, salah satu pria kaya dari Moush. Aku dipersembahkan kepadanya oleh Djevdet Bey.

Aku tak dapat melupakan tekanan yang timbul padaku ketika aku memasuki halaman rumah Ahmed Bey. Semenjak deportasi dimulai, aku sebelumnya telah dua kali dibawa ke rumah-rumah Turki dan meninggalkan mereka. Kini, aku merasa jika masa depan lebih kelam ketimbang sebelumnya. Mungkin karena rumah Ahmed berada di luar kota, di dataran— seperti halnya penjara. Dan terdapat deua puluh empat gadis lainnya di haremlik, masing-masing dengan ingatan penderitaannya sendiri, yang bahkan lebih mengerikan, beberapa dari mereka, ketimbang aku sendiri.

Ahmed Bey sendiri, yang sangat tua, memiliki sekitar dua puluh empat gadis yang menyerahkan diri kepadanya. Yang lainnya dipisahkan dari dua putranya. Ahmed mungkin jenis orang Turki fanatik yang sebenarnya ketimbang orang lainnya yang mengorbankanku. Peminatannya tak nampak terhadap banyak wanita muda mereka sendiri, karena pada anak-anak ia menginginkan mereka untuk menghasilkan para putranya—anak yang berdarah ras Armenia bercampur dengan darah Turki yang biadab, dan yang dapat hidup untuk melestarikan dan menunjang darah keluarganya.

Aku memohon di hadapan Ahmed Bey pada keesokan harinya. Aku bertanya soal pakaian, namun haremlik memutuskan tak akan memberikanku, maupun membolehkanku untuk menerima kain dari gadis lain di harem. “Tidak sampai Ahmed menyatakan keinginannya,” jawab kalfa kepada permohonanku.

Ahmed Bey berbicara lembut kepadaku, namun sikap lembutnya lebih menyakitkan. “Kamu adalah salah satu wanita yang kusukai,” ujarnya, “karena kami dikirim ke rumahku oleh Yang Mulia, Djevdet Bey.” Ia memberikan sebuah isyarat, dan seorang gadis budak kecil muncul dengan busana bagus dari gadis Turki yang disukai. “Banyak pakaian dan banyak hiasan, serta kebaikan dan kasih sayang, akan menjadi milikmu selama kamu patuh dan hormat,” ujar Ahmed. “Mula-mula, kamu harus menyangkali Kristus, aku diajarkan untuk sembahyang dan menerima pengampunan dari Allah dan Muhammad, nabinya.”

Aku berkata kepadanya bahwa aku mengalami banyak penderitaan, namun aku diberi penjagaan Tuhan oleh ibuku, dan bahwa aku tak akan menyangkali-Nya. Saat itu, Ahmed menjadi cemas. Seluruh sikap lembutnya pergi. Ia mengeluarkan kemarahannya. Ia mencelaku dan orang-orangku dan menistakan agamaku. Aku menangis dengan malu mendengarnya, namun ia tak merasa kasihan. Aku memohon kepadanya agar membebaskanku, agar aku dapat kembali ke rombongan ibuku, dan aku berkata kepadanya bahwa surat diberikan kepada ibuku oleh Haidar Pasha dari Ourfa. Namun, ia tak menghiraukannya.

Budak kecil yang dikirim dari ruangan memanggil salah satu putra Ahmed. Sang putra pun segera datang. Ahmed memanggilnya “Nazim.” “Ini adalah seseorang yang dikirimkan kepadaku oleh Djevdet Bey sendiri. Aku berniat menyerahkannya kepadamu, putraku, karena ia molek dan muda. Namun jiwanya harus dipatahkan. Aku mengirimu agar kamu dapat melihatnya dan memutuskan—apa yang harus dilakukan terhadapnya.”

Putra Ahmed berbicara kepadaku, namun aku tak menjawab. Kemudian, ia memegangi tanganku, aku pun menghadap kepadanya dan mengangkat wajahku agar ia dapat melihat mataku.

“Tinggalkan ia untukku, ayahku, agar aku dapat berupaya mendorongnya untuk menjadi bahagia di rumah kita,” ujar Nazim.

Budak kecil membawaku ke sebuah rumah susun—sebuah kamar kecil yang menghadap bagian dalam, dengan sebuah dipan. Aku membujuknya untuk meninggalkan pakaian kepadaku, agar aku dapat setidaknya menutupi diriku, namun ia berkata bahwa ia tak dapat melakukannya tanpa ijin. Ketika ia meninggalkanku, Nazim melintasi ruangan dari selamlik dan mendatangiku.

Ia memiliki kelembutan yang sama dengan ayahnya—dan menyakiti dengan cara yang sama. Ia membujukku untuk menerima Muhammad agar ia dapat menjadikanku “mempelai”-nya. Ia berkata kepadaku bahwa penderitaanku akan lebih keras jika aku menolak, namun aku akan memiliki banyak kemewahan jika aku menerimanya.

Aku tahu bahwa aku tak dapat kabur. Pikiranku tertuju pada ibuku. Aku berkata kepada Nazim bahwa sepanjang ibuku diasingkan, terancam mati mengembara, aku tak dapat berbicara untuk menjadi “mempelai.” Aku berkata kepadanya bahwa jika ia akan menyelamatkan ibuku, jika ia dapat mengirimkan ibuku kepadaku, aku akan membujuknya bahwa jika aku berpikir bahwa aku menyangkali agamaku demi nyawa dan keselamatanku—dan jik aku akan berkata bahwa itu adalah yang terbaik, kemudian, dengan selalu dekat dengannya untuk menenangkanku, aku akan membiarkan jiwaku mati agar ragaku dan ibuku dapat hidup.

“Kamu akan memahami bahwa tidak ada hak budak untuk menawar,” ujarnya, ketika ia bergerak pergi.

Selama berjam-jam, dan aku bertempat di atas dipan—menunggu. Pada setiap langkah, aku khawatir aku akan diambil lagi—kali ini untuk suatu hal yang hanya dapat memberikanku siksaan. Pada akhirnya, seorang zaptieh yang merupakan salah satu karyawan pribadi Ahmed Bey datang kepadaku. Ia mengangkatku dan menyeretku dengannya di sepanjang jalan dan menuju ke jalan di depan rumah. Pada sebuah jalan kecil dari tembok taman, terdapat sekelompok zaptieh lainnya.

Di antara mereka, aku melihat ibuku, Hovnan, Mardiros dan Sarah, adik-adikku, dan orang-orang lainnya dari rombongan ibuku. Ia berkata kepada Nazim ketika aku memohon kepadanya untuk mengembalikan mereka kepadaku—dan ia mengirimkan mereka.

Aku berupaya untuk menerobos, berlari menuju mereka. Sang zaptieh di sampingku memegangiku. Ibuku berlutut, dengan tangannya diangkat ke surga. Sarah berlari kepadaku, tangannya melemah. “Aurora—Aurora—jangan biarkan mereka membunuh kita!” tangis Sarah. Sang zaptieh melayangkan pegangan berat dari pecutannya ke udara dan melayangkannya ke kepala Sarah sehingga pukulan itu menghempaskan tubuh kecilnya jauh dari jalan. Ia tak bergerak lagi. Aku pikir hempasan tersebut mengenai kepala adikku.

Ibu melihatnya—dan demikian pula Hovnan dan Mardiros. Ibu terjatuh ke tanah, tak bergerak. Seorang zaptieh mengangkatnya dan menyerang ibuku dengan cambukannya.

Aku berlutut di hadapan pemimpin zaptieh. “Biarkan ibuku—biarkan adik-adikku!” tangisku kepadanya. “Aku akan melakukan hal apapun yang kau minta—aku akan menerima Allah—aku hanya akan berterima kasih kepadanya—jika kau akan membiarkan mereka!”

“Itulah yang seharusnya Nazim Bey inginkan,” ujar sang zaptieh. Aku tak mengerti—aku mendekatinya dan berdoa kepadanya. Aku berniat untuk menyentuh ibuku, namun sang zaptieh menendangku ke tanah. Kemudian, mendadak, aku mengetahui kenapa mereka menunggu. Nazim Bey keluar dari rumah. Ketika aku meliriknya, aku menjamah kakinya dan memohon belas kasihan kepadanya. “Aku akan jadi orang Turki—Aku akan berdoa kepada Allah—Aku akan menurut—demi menyelamatkan ibuku,” tangisku kepadanya.

“Itu bagus—namun kamu tak hanya harus menjadi Muslim namun kamu juga harus menjadi putri dari seorang Muslim—yang akan menjadi lebih baik lagi”—ujar Nazim. “Apa yang dikatakan wanita tua tersebut?”

Seorang zaptieh memberdirikan ibu lagi. Ia mengangkat cambuknya. “Bersyahadat—cepat!” ujarnya kepada ibuku.

“Ibu, mohon—Tuhan akan mengampunimu—ayah berada di surga dan ia akan memahami!” tangisku kepadanya.

Ibu terlalu lemah untuk berbicara keras, namun bibirnya bergerak seraya berkata: “Tuhan St. Gregorius, jadilah kehendakmu!”

Cambukan berat zaptieh digerakkan. Ibu tersungkur ke tanah. Aku berniat untuk menghampirinya, namun para zaptieh menahanku. Aku berjuang melawan mereka, namun mereka memegangiku dengan cepat. Lagi dan lagi cambukan tersebut digerakkan. Mardiros menjerit dan berniat untuk menyelamatkannya dengan tangan kecil lemahnya. Zaptieh lain menangkapnya dengan tangannya dan membunuhnya dengan hempasan tunggal dari pegangan cambukannya. Ketika mereka melayangkannya, tubuh Mardiros terjatuh nyaris di kakiku.

Hovnan memegangi zaptieh yang memukuli ibuku, namun kekuatannya terlalu lemah. Sang zaptieh tak dapat melepaskannya sampai raga ibuku terdiam dan aku mengetahui bahwa ia tiada. Kemudian, ia mengeluarkan pisaunya dan menghunuskannya ke Hovnan.

Kejadian tersebut hanya berlangsung singkat—dua menit, mungkin, atau tiga menit, ketika aku berdiri disana, dipegangi oleh zaptieh. Namun dalam menit-menit singkat tersebut semuanya memasukkanku dalam dunia kepedihan—ibuku, Mardiros, Hovnan, dan Sarah. Jasad-jasad mereka berada di kakiku. Ibu dan Hovnan tiada dengan mata mengarah kepadaku, melirik diriku! Mataku kini melihat mereka, setiap hari dan setiap malam—nyaris setiap jam—ketika aku melihat dunia baruku. Aku harus menjaga mereka tertutup selama berjam-jam pada waktu menutup penglihatan tersebut.

Aku mendengar Nazim Bey memberikan perintah kepada para zaptiehnya. Beberapa dari mereka mengambil jasad-jasad orang yang kukasihi dan membawa mereka pergi, aku tak tahu kemana. Yang lainnya mengangkatku dari tanah—aku tak dapat berjalan—dan membawaku ke rumah dan kembali ke kamar tempat dipan berada. Selama dua hari dan dua malam, tak ada orang yang datang mendatangiku selain para gadis budak. Sepanjang waktu, aku menangis. Aku tak dapat menahan air mataku keluar. Itu ketika mataku terbuka. Itulah kenapa aku tak dapat melihat baik tanpa kacamata.

Pada hari ketiga, Nazim, didampingi ayahnya, Ahmed, datang ke kamarku. Ahmed berkata dengan kelembutan kejam yang sama. “Apa yang terjadi telah berlalu, anakku; ini adalah saatnya kamu berpikir untuk menatap ke masa depan. Nazim menginginkanmu. Kau dihormati. Ia menghukummu karena kedinianmu, dan ia akan mengampunimu dan memberikanmu hatinya. Itulah yang seharusnya terjadi. Orang-orangmu telah tiada. Tak ada yang memberikanmu nasehat yang keliru. Kamu kini akan menerima Allah dan masuk dalam keadaan berbudi yang sebenarnya.”

“Aku ingin mati—bunuh aku! Aku tak akan menyimak putramu maupun Allah-mu,” ujarku.

Mereka membawaku ke bagian lain dari rumah tersebut, ke ruang bawah tanah, dengan satu jendela berjeruji besi yang menghadap ke halaman. Tidak ada dipan atau bantalan, hanya lantai dan tembok. Jendelanya setinggi tembok. Aku tak dapat melihat apapun selain langit—langit yang sama yang menutupi banyak tragedi di Armenia-ku yang terrampas.

Dari hari ke hari, malam ke malam, berlalu. Setiap hari para alaik datang dan membawakanku roti, beri dan susu. Dan setiap hari, hodja, guru-imam, datang untuk menanyaiku apakah aku siap masuk Islam. Namun setiap hari, Tuhan mendekatiku dalam hati-Nya, agar menjaga doronganku untuk berbicara kepada-Nya.

Dan kemudian pada suatu malam, setelah hari-hari berlalu, aku tak dapat menghitungnya lagi, Tuhan sampai lewat jendela ruang bawah tanahku. Aku terbangun oleh keributan di halaman yang sangat hening pada malam lainnya. Kemudian aku memahami apa yang terjadi—domba dibawa melewati gerbang tersebut. Rombongan Ahmed datang dari balik bukit, bergerak, mungkin, didorong oleh kondisi militer.

PINGGIR JALAN KEPUTUSASAAN YANG MENGERIKAN
Mulanya anak-anak tiada, dan kemudian orangtua, dan paman dan bibi. Para orangtua yang berduka menutupi anak-anaknya di jalanan dengan lembaran yang dibawa oleh mereka, dan kemudian terbaring di samping mereka karena kelaparan. Ini adalah pemandangan umum di gurun dan di sepanjang jalanan berpasir yang dilewati para pengasingan.

Aku mendengar gerbang halaman berayun tertutup. Kemudian, di bagian atas terdengar suara embikan domba. Aku mendengar gembala berseru untuk menenangkannya. Kakiku melompat, jantungku berdebar. Dengan terengah-engah, aku berusaha agar gembala tersebut mengulang seruan tersebut. Kemudian, aku paham—itu adalah panggilan khas yang sama, tajam dan melengking, yang ayahku selalu ajarkan kepada para gembalanya sendiri, seruan yang diajarkan kepadanya oleh ayahnya sendiri ketika, saat masih kecil, ia mempelajari cara domba ayahnya pada padang besar Mamuret-ul-Aziz. Ketika aku masih sangat muda, para gembala kami menggunakan tawaan padaku saat aku berniat untuk meniru mereka. Aku menjadi gadis kecil yang sangat bahagia ketika, suatu hari, aku berhasil menggiring domba tersebut ke kawanan kami berbalik dari rumput mereka dan datang kepadaku.

Tak ada gembala lain selain kami, atau setidaknya, orang yang datang dari Tchemesh-Gedzak, mengetahui seruan tersebut, tentunya aku. Domba Ahmed terikat dan gelisah. Gembala tak dikenal tersebut masih berada di antara mereka, setiap saat dan kemudian mengulang seruan yang sama, lebih lembut dan lebih lembut. Aku berniat untuk mendekati jendela, melayangkan wajahku ke jendela berjeruji besi dan meniru seruan tersebut. Domba pun nampak merasakan hal tak lazim. Mereka kemudian mendadak diam. Aku kembali memanggil, kali ini dengan lebih berani. Tak lama kemudian, sang gembala menjawab—aku nyaris dapat merasakan perasaan takjubnya.

Aku memahami bahwa dengan lompat setinggi yang aku bisa, aku dapat mencapai jeruji jendela dengan tanganku dan menaikkan diriku sampai wajahku nampak di atas jendela tersebut. Seringkali, aku dapat melihat sekilas halaman tersebut dengan cara ini. Namun, aku tak kuat untuk memegang sendiri selama lebih dari beberapa detik pada satu kali.

Kini, aku mencobanya, berharap untuk dapat melihat gembala pada sinar bulan. Ketika aku menarik diriku sendiri, aku bersiul lagi. Sebanyak beberapa kali aku mencobak sebelum aku mendapatkan perhatiannya pada jendela tersebut. Ketika aku berhasil dan aku memahami bahwa di balik jendela terdapat tahanan yang berupaya untuk menyisyaratkannya, ia membuatku paham dengan mengulang siulanku sebanyak tiga kali dengan cepat secara langsung di bawah jendela tersebut.

Aku tak peduli akan seruan kepadanya. Aku mengikatkan sejumlah besar potongan pakaian dari busana yang diberikan kepadaku. Aku menggulungnya menjadi bola dan melemparkannya keluar. Ia melihat dan menjawabnya dengan siulan yang lembut. Aku berharap ia akan memahami kain yang dilemparkan sebagai tanda penahananku—dan aku berharap ia dapat menyelamatkanku. Aku dapat sangat meyakini bahwa seorang gembala Armenia akan dibiarkan hidup, sebagaimana yang nampak.

Pada pagi hari ketika domba dibawa keluar, gembala tersebut bersiul lagi di balik jendelaku dan aku tahu ia berniat untuk menarik perhatianku. Aku menjawabnya selembut yang aku dapat. Sepanjang hari itu, harapan baru memberikanku keberanian. Aku dapat mengadahkan tangan, meskipun aku tak dapat menjelaskan kenapa.

Aku bahkan berupaya tidak tidur pada malam itu. Domba tersebut awalnya datang dan sang gembala bersiul. Sejam kemudian, aku mendengar seruan itu lagi—sang gembala masih berada di halaman. Tindakan tersebut harus dilakukan menjelang tengah malam ketika aku mendengar gaduh di celah-celah jendela. Aku melihat, dan disana, dinaungi sinar bulan, adalah wajah yang aku kenali—wajah Vartabed Tua, yang mendatangi rumah kami pada pagi Paskah dengan ramalan buruknya—ramalan yang menjadi kenyataan. Tuhan telah mengirimnya kepadaku dan membuatnya mendengar dan memahami seruan siulan familiar itu!

Vartabed Tua bersiul: “Siapa disini yang datang dari Mamuret-ul-Aziz?”

“Ini Aurora, putri keluarga Mardiganian dari Tchemesh-Gedzak. Kau adalah Vartabed Tua, dan aku Aurora yang sangat menyayangimu.”

Vartabed Tua berusaha berbicara, namun suaranya gemetar sehingga aku tak dapat memahaminya. Aku berkata kepadanya semua yang aku bisa, dengan cepat. Bagaimana aku datang ke penahanan Ahmed dan kenapa aku berada di ruang bawah tanah. Air mata pun bercucuran pada mata Vartabed Tua ketika aku berkata kepadanya bagaimana seluruh orang-orangku tiada. Aku menanyainya bagaimana ia selamat. “Vartabed Tua bukanlah penjagal,” ujarnya. “Aku sangat berharga, karena aku mengajari domba Ahmed hanya untuk berperilaku kepadaku. Ahmed lupa bahwa aku adalah orang Armenia, karena aku bersujud pada setiap sembahyang kepada Allah dan sehingga memperpanjang hari-hariku.” Ia berkata kepadaku agar bersabar. Ia akan menemukan cara untuk menyelamatkanku.