BAB II


HARI-HARI TEROR DIMULAI


Aku menaiki tangga menuju jendelaku untuk menyaksikan ayah melintasi jalan menuju lapangan. Ibu berbaring di dipan di ruang tamu bawah tangga. Lusanne dan adik-adikku berada dengannya, bahkan adik-adikku berusaha untuk berkeyakinan bahwa, mungkin, ayah akan kembali. Ketika aku menyaksikan prajurit membawa Paul juga, aku menjerit. Ibu mendengarku dan berlari menaiki tangga, Lusanne dan yang lainnya menyusul. Aku adalah satu-satunya orang yang melihatnya. Aku ingin memberitahu mereka—mengatakan bahwa bukan hanya ayah, namun juga Paul kecil, yang ingin menjadi pendeta, saat ia dibesarkan, seperti Padri Rhoupen, juga telah pergi. Pada saat ini, aku tidak sanggup berbicara. Ibu berpikir suatu hal terjadi pada ayah di jalan, dan aku melihatnya.

“Cepat beritahu ibu—apa yang terjadi? Apakah mereka membunuh Ayah?” ia menangis. Aku tak dapat menjawab—kecuali menggelengkan kepalaku. Mendadak, ibu merindukan Paul untuk pertama kalinya. Sesuatu pasti membuatnya sadar. Ia bertanya kepada Lusanne: “Dimana anakku? Dimana Paul? Kenapa ia tak ada disini?”

Lusanne mulai lari menuruni tangga untuk melihat ke lapangan. Aku memintanya untuk tidak pergi. Aku merangkul ibu dan berkata, di tengah-tengah isak tangisku:

“Mereka juga mengambil Paul—ia bersama dengan ayah!”

Ibu bergeletak di lantai dan menutupi wajahnya. Lusanne dan aku berlutut di sampingnya. Namun, ia tak menangis. Matanya kering ketika ia mendekatkan kami padanya. Aku tak pernah lagi memelihat ibuku menangis setelah itu, bahkan ketika para prajurit Turki, atas perintah Ahmed Bey, memukulinya sampai mati saat kami dipaksa menyaksikannya sebelum mengembalikanku ke harem Ahmed.

Dari luar jendelaku, aku dapat melihat para pria saling menenangkan satu sama lain, atau berbincang dengan para pemimpin, di lapangan. Pada pertengahan siang, lebih dari 3.000 pria dan pemuda telah dikumpulkan. Para prajurit dan zaptieh menggeledah rumah kami agar memastikan tidak ada pria berusia delapan belas tahun yang kabur. Ketika para wanita memegangi suami dan ayah mereka, para prajurit berkata bahwa para pria dikumpulkan hanya untuk dihadapkan kepada Ishmail Bey, seorang Wali, yang datang dari ibukotanya, Harpout. Beberapa wanita mempercayai penjelasan ini. Yang lainnya menyadari bahwa itu tidak benar.

Tak terlalu jauh dari rumah kami, terdapat rumah Andranik, seorang pemuda lulusan Sekolah Amerika di Marsovan, dan datang ke kota kami dengan orangtuanya untuk mengajar di sekolah-sekolah kami. Ia sangat populer di kota ini, dan Lusanne akan menikahinya. Ketika Turki memberikan wajib militer kepada para pemuda Armenia, mereka mengabaikan Andranik karena jabatannya sebagai guru.

Saat ayahnya mematuhi panggilan ke lapangan, Andranik tidak ikut pergi. Ia menyamarkan dirinya sendiri dengan gaun yang diberikan saudarinya dan berjalan ke tepian kota dimana ia mengendarai seekor kuda dari orang Turki yang menganggapnya bahwa ia dapat dipercaya. Melalui orang Turki tersebut, Andranik mengirimkan pesan kepada Lusanne bahwa ia akan berangkat menuju Harpout, dimana ia mengenal Konsul-Jenderal Jerman, Count Wolf von Wolfskehl, dan meminta pejabat Jerman berkuasa tersebut untuk turun tangan demi orang-orang Armenia di Tchemesh-Gedzak.

Lusanne menjadi bersemangat ketika ia mendengar Andranik dalam keadaan selamat. Sepanjang siang, para tetangga wanita, beberapa diantaranya para istri pria kaya, datang ke rumah kami untuk melihat lapangan dari jendela kami, berharap dapat menangkap penampakan dari orang-orang tercinta mereka. Para prajurit memang tidak memperbolehkan wanita berkumpul di dekat lapangan, maupun berkomunikasi dengan pria.

Seorang wanita cantik, Puan Sirpouhi, yang menikah belum sampai setahun dengan putra pemilik pabrik terkaya, akan menjadi ibu. Dari jendela kami, ia melihat penampakan suaminya. Ia tak dapat menahan diri untuk berlari ke lapangan. Ia kemudian berteriak, “Vartanku—Vartanku!” Vartan adalah nama suaminya.

Suami mudanya mendengar istrinya berseru dan berlari ke tepi lapangan, untuk merangkulnya. Tepat saat ia nyaris memeluknya, seorang zaptieh memukul kepala wanita itu dengan senapannya. Saat zaptieh tersebut dan rombongannya melihat wanita muda tersebut nyaris menjadi ibu, mereka satu per satu menusuknya dengan bayonet mereka. Suaminya terjatuh ke tanah. Aku pikir ia pingsan. Para prajurit mengangkatnya. Mereka meninggalkan jasad mempelainya di tempat jatuhnya.

Saat senja, ketika nyaris semua wanita Kristen di kota sudah kehabisan air mata karena terus-menerus menangis, seperti Lusanne dan aku juga, mereka mendengar muazin melantunkan adzan dari menara Masjid El Hasan di lapangan Muhammad. Bagiku sang muazin seolah-olah mengejek kami dengan melantunkan kalimat: “Tiada tuhan selain Allah; datanglah untuk salat, datanglah untuk keamanan!” Tanpa sepengetahuan ibu, aku bersujud sendiri dan bertanya kepada Tuhan kami apakah Ia tidak memikirkan kami—dan mengirim ayah kami pulang. Mungkin, Ia mendengarku setelah salat Muslim selesai. Seorang prajurit mendatangi pintu kami.

Ia berkata bahwa ayah telah membayarnya untuk mengirimkan sebuah pesan; bahwa ayah dapat berbicara kepada kami jika kami berjalan ke bagian utara lapangan. Untuk membuktikan pesannya memang asli, prajurit tersebut menunjukkan cincin ayah kepada kami.

Dengan adik-adikku yang dituntun oleh kami, ibu, Lusanne dan aku berlari cepat ke bagian utara, dan di sana ayah dan Paul sedang menunggu kami. Untuk sementara, ia tak dapat berbicara sepatah kata pun. Kemudian, ia berkata:

“Kami diperintahkan ke gurun!”

Para perwira memberitahu mereka bahwa mereka hanya akan dibawa ke Arabkir, yang berjarak enam puluh mil, dan diizinkan berdiam di sana sampai orang-orang Turki menyiapkan mereka untuk pulang kembali ke rumah. Ayah berkata bahwa ia berharap ini memang benar—namun ia tidak yakin mereka akan diijinkan pulang. Ia memberitahu ibu bahwa karena Paul kecil ikut dengannya, ia meminta selimut untuk menyelimutinya pada malam hari, serta uang. Ia mengantongi seratus lira, atau setara $440 dalam nilai uang Amerika, namun mungkin jika ia memiliki uang lebih, ia berpikir bahwa ia dapat menyuap para prajurit untuk membiarkan Paul menunggangi seekor kuda, atau mungkin, kabur saat mereka memulai kirab.

Ibu dan aku bergegas kembali ke rumah. Ibu masuk ke ruang bawah tanah, dimana ayah menyembunyikan banyak uang untuk kami. Ketika aku mengambil selimut, aku teringat akan “yorgan”-ku, sebuah selimut ulang tahun yang ayah bawakan untukku dari Smyrna saat aku berusia sepuluh tahun. Itu merupakan benda paling indah yang aku miliki. Sepuluh Perintah Allah dirajut pada selimut itu, dan menurut banyak orang, benda tersebut dibuat seribu tahun lampau. Aku memberikannya kepada Paul dan memberikan selimut lain untuk ayah. Paul menangis saat ia melihat aku memberinya yorganku. Kami membungkus buah kering, dan keju dalam roti tipis, yang juga, diberikan kepada mereka. Ibu memberikan 200 lira—yang bernilai nyaris seribu dolar.

Para prajurit tidak membiarkan kami berbicara lama dengan ayah untuk yang kedua kali. Kami berdiri di seberang jalan untuk melihatnya sampai keadaan terlalu gelap untuk melihatnya lebih jauh, dan kemudian kami pulang. Kami tak pernah bertemu ayah atau Paul lagi.

Ketika kami tiba di rumah kami, kami mendapati Abdullah Bey, kepala polisi, menunggu di ruang tamu. Abdullah merupakan teman ayah, dan kami menganggapnya pria yang baik. Mungkin ia akan membantu kami sebisanya, namun ketika ibu memohonnya untuk setidaknya mengembalikan Paul kepada kami, ia menunjukkan kami sebuah perintah tertulis, yang ditandatangani oleh Ismail Bey, sang Wali, yang diberikan kepadanya oleh Husein Pasya. Perintah tersebut bertuliskan:

“Pada proses deportasi orang-orang Armenia, jika penduduk atau pengunjung Muslim manapun dari daerah sekitar berusaha menyembunyikan atau melindungi orang Kristen, mula-mula rumah mereka harus dibakar, kemudian orang Kristen tersebut dibunuh di depan matanya, dan kemudian keluarga sang Muslim dan dirinya harus dibunuh.”

“Kau lihat aku tak dapat menolongmu,” kata Abdullah Bey, “meskipun aku mau. Namun aku dapat menasehatimu sebagai teman. Kamu memiliki dua putri yang masih muda. Mereka mungkin masih dapat menyangkali agamamu dan menerima Allah. Aku akan menyampaikan secara pribadi, jika kamu mau, kepada Husein Pasya bahwa Lusanne dan Aurora-mu akan menyatakan rek’ah (sumpah kepada Muhammad). Ia bersedia mengambil keduanya, dan kemudian mengampuni mereka dan kamu dari banyak hal yang mungkin bakal terjadi. Sebentar lagi mungkin akan terlambat.”

Husein menginginkan kami berdua! Aku ingat kata-kata Padri Rhoupen, “Percaya akan Tuhan dan kebenaran dari-Nya.” Namun nampaknya aku harus mengorbankan diriku sendiri. Bahkan saat aku akan datang ke rumah Pasya, ibu berkata kepada Abdullah:

“Katakan kepada Pasya bahwa aku percaya akan Tuhan, dan akan menerima apapun yang Ia kehendaki!” Abdullah menasehati ibu agar tegar. Ia berkata kepadanya saat ia pergi. “Aku minta maaf atas apa yang terjadi,” katanya.

Pada sore hari, Andranik kembali dari Harpout dan langsung mendatangi rumah kami. Ia masih mengenakan gaun saudarinya. Ketika ia nampak di pintu, Lusanne berlari memeluknya. Ia mengabarkan kabar buruk kepadanya.

“Aku memohon kepada Count von Wolfskehl untuk menyelamatkan kita. Ia berkata bahwa Sultan telah memerintahkan bahwa tidak boleh ada orang Kristen yang dibiarkan hidup di Turki, dan bahwa ia menganggap Sultan telah berlaku benar.”

Lusanne diam-diam berpikir Andranik akan berhasil. Ia begitu percaya kepadanya bahwa ia tak berpikir Andranik akan gagal. Ia pun terpuruk saat harapannya hancur, namun ia lebih memikirkan Andranik ketimbang dirinya sendiri. Ia memohon kepadanya untuk berupaya melarikan diri. Andranik memutuskan akan tetap memakai busana wanitanya. Lusanne memotong rambutnya sendiri dan menatanya pada kepala Andranik sehingga potongan-potongan itu akan nampak di balik selendangnya dan membuatnya makin lebih nampak seperti perempuan. Kami berpikir mungkin ia bisa pergi ke luar kota pada malam hari, tak terjamah, dan bersembunyi dengan para petani yang bersahabat.

Namun, entah bagaimana, otoritas mengetahui bahwa Andranik tidak menyerahkan diri. Pada awal sore, para zaptieh di bawah komando Abdullah, mengepung rumahnya dan menuntut agar ia keluar. Saat ibunya berkata bahwa ia tidak ada di sana, pemimpin gendarme menjawab bahwa jika ia tidak segera muncul, rumah tersebut akan dibakar bersama semua orang di dalamnya.

Seorang tetangga wanita berlari untuk memberitahukan kami. Andranik melepaskan penyamarannya, mengambil pedang saber tua yang ayah gantung di dinding kami, dan merangsek keluar. Ia membuat jalan melalui para gendarme dan memasuki rumahnya, di mana ia menemukan ibu, saudari dan kerabatnya yang lain dalam keadaan panik ketakutan. Para gendarme berteriak kepadanya agar keluar. Andranik melihat mereka membawa kaleng-kaleng minyak. Ia mencium ibu dan saudarinya lagi dan melangkah ke luar ke jalan. Mereka membunuhnya dengan pisau saat ia keluar dari pintu. Saudarinya berlari ke luar dan memeluk jasadnya, dan mereka juga membunuhnya. Saat seorang tetangga memberitahu kami tentang apa yang telah terjadi, Lusanne berlari ke rumah Andranik dan membantu ibunya mengangkat dua jasad tersebut.

Ayah dan pria lain dibawa pergi pada malam hari. Di rumah kami, kami duduk di kamarku untuk mencari-cari mereka melalui bayangan di lapangan yang muncul oleh obor dan lentera para zaptieh, saat banyak prajurit baru muncul, dan secara mendadak, terdengar suara keras tembakan. Kemudian, kami melihat para pria, yang membentuk satu barisan panjang, berkirab keluar dari lapangan, dengan seluruh zaptieh dan prajurit di sekeliling mereka. Terlalu gelap bagi kami untuk menemukan ayah dan Paul, namun kami tahu mereka pasti memandangi jendela kami dan berharap dapat melihat kami.

Kami melihat rombongan tersebut dibawa menuju Sungai Kara, yang merupakan anak Sungai Efrat. Kebanyakan sangat tua sehingga tak dapat berjalan terlalu jauh, dan terjatuh ke tanah. Para zaptieh membunuh mereka dengan pedang mereka dan meninggalkan jasad mereka begitu saja. Pada siang hari, mereka tiba di desa kecil Gwazim, yang berjarak dua belas mil dari tepi sungai. Terdapat bangunan besar di Gwazim yang terkadang dipakai pasukan Turki sebagai barak saat berperang dengan pasukan Kurdi, dan pada waktu yang lain sebagai penjara. Separuh rombongan dimasukkan ke dalam bangunan tersebut dan diperintahkan tinggal di sana sampai besok. Para zaptieh kemudian membawa separuh lainnya menyeberangi sungai menuju Arabkir.

Pada siang hari, para zaptieh kembali ke Gwazim. Mereka telah membantai semua pria yang mereka bawa menyeberangi sungai tak lama setelah mereka tidak terlihat dari desa tersebut. Ketika kami, di Tchemesh-Gedzak, mendengar bahwa separuh rombongan pria kami ditinggalkan di penjara, ratusan wanita berjalan melintasi jalanan berpasir menuju Gwazim. Lusanne dan aku ikut serta, berharap bertemu lagi dengan ayah dan Paul.

Di Gwazim, terdapat seorang wanita Armenia lansia yang tinggal di kota kami pada masa pembantaian tahun 1895. Ia cantik pada saat itu, dan saat pasukan Kurdi menculiknya, ia menyelamatkan nyawanya dengan beralih menjadi Muslim. Kemudian, ia dijual ke seorang bey Turki di Gwazim. Bey tersebut menempatkannya di haremnya sampai ia menua. Selama ini, walaupun menjalankan Islam, ia diam-diam tetap menjadi Kristen. Bey tersebut memberinya nama “Fatimeh.”

Fatimeh membujuk para penjaga di penjara untuk mengizinkannya memberikan air kepada para pria yang dikurung. Saat ia memberitahu para tahanan bahwa para zaptieh kembali tanpa para pria lainnya, mereka menyadari nasib apa yang menanti mereka.

Saat Fatimeh keluar, ia memberitahuku bahwa ayah dan Paul ada di dalam dan mengirim pesan kepada kami untuk berharap. Tak lama kemudian kami menyaksikannya kembali memasuki penjara, kali ini dengan dua batu besar, yang sangat berat sehingga dia hampir tidak sanggup membawanya, disembunyikan dalam ember airnya. Ia keluar lagi dan mengisi embernya dengan minyak batubara.

Saat gelap, para pemuda yang kuat dan berani, membunuh semua pria tua dengan cara menghantam kepala mereka memakai batu-batu yang dibawa oleh Fatimeh. Ayah mula-mula membunuh Paul, karena ia sangat kecil. Saat semua pria tua dan lemah telah tiada, para pemuda berdoa agar Tuhan menganggap mereka telah melakukan hal baik yaitu tidak membiarkan orang-orang tua mengalami penderitaan dan kemudian mereka menyebarkan minyak, menyalakan api, dan melompat ke dalam api. Fatimeh memberitahu kami apa yang terjadi ketika penjara tersebut sedang terbakar. Para zaptieh mencurigainya dan membawanya ke bangunan terbakar tersebut dan meninggalkannya.

Pada Sabtu pagi, Lusanne dan aku kembali ke ibu. “Sesuai Tuhan berkehendak, biarlah hal itu terjadi,” adalah yang ibu katakan ketika kami memberitahunya apa yang terjadi di penjara. Ia berkata bahwa ada perayaan besar di masjid El Hasan, dalam menghormati salat Jumat, saat kami berada di Gwazim. Seorang imam istimewa, atau pembaca doa, datang jauh-jauh dari Trebizond untuk membacakan doa-doa khusus yang dipersiapkan untuk peristiwa-peristiwa besar seperti misalnya permulaan perang suci atau pembantaian orang Kristen.

Pada pagi itu, para prajurit menyusuri jalanan dan memasang pengumuman baru ke dinding-dinding. Isinya adalah apa yang kami khawatirkan — sebuah perintah dari Gubernur bahwa semua wanita Kristen Armenia di kota, muda dan tua, harus bersiap dalam tiga hari untuk meninggalkan rumah dan dideportasi — ke mana, tak disebutkan dalam perintah tersebut.

Ketika para pemukim Turki mendengar perintah baru ini, banyak dari mereka mulai mendatangi bagian wilayah Armenia di kota untuk membeli segala yang ingin dijual oleh para wanita Armania. Karena tidak ada pria yang tersisa, para wanita tak memiliki orang yang dapat menasehati mereka. Di rumah kami, yang merupakan salah satu rumah terbaik di kota, banyak orang Turki kaya berdatangan, yang memberitahu kami bahwa sebaiknya kami menjual permadani dan tali indah yang dibuat oleh ibu, Lusanne dan aku.

Setiap gadis Armenia diajarkan membuat tali yang indah. Tidak ada gadis yang senang sampai berhasil membuat kerudung pengantin berenda untuk dirinya sendiri. Seringkali, orang-orang Turki terpikat untuk membelinya, untuk mereka jual ke para pedagang asing demi mendapatkan banyak uang, namun tidak ada mempelai Armenia yang akan menjual kerudung mereka kecuali sedang kelaparan. Lusanne dan aku telah membuat kerudung kami, dan menyimpannya sampai kami membutuhkannya. Kami tahu bahwa kami tak dapat membawanya saat kami dideportasi, karena barang tersebut pasti bakal dicuri. Sehingga kami menjual itu dan kerudung ibu juga. Uang terbanyak yang kami dapat hanya beberapa piaster. Semenjak aku datang ke Amerika, aku melihat seprai dan penutup meja, yang terbuat dari kerudung pengantin seperti buatan kami, dijual di toko-toko seharga ratusan dolar. Ayah pernah membawakan banyak permadani untuk kami dari Harpout, Smyrna dan Damaskus. Untuk permadani-permadani tersebut, ibu hanya mendapatkan sedikit penni.

Pada hari kedua setelah pengumuman, yang merupakan hari Minggu kami, para prajurit mendatangi seluruh rumah. Mereka masuk tanpa mengetuk pintu. Mereka berpura-pura mencari senapan dan revolver, namun yang mereka ambil adalah sendok dan vas perak dan emas kami.

Pada siang hari, segerombolan pasukan berkuda berjalan melewati rumah kami. Kami berlari ke jendela dan menyaksikan bahwa mereka adalah orang-orang Kurdi Aghja Daghi, suku yang paling kejam. Pemimpin mereka adalah Musa Bey yang terkenal, kepala suku yang selama beberapa tahun sebelumnya menghadang Dr. Raynolds dan Dr. Knapp, misionaris Amerika terkenal, dan merampok mereka dan meninggalkan mereka dalam keadaan terikat di tengah jalan.

Orang-orang Kurdi tersebut bergerak ke Istana Husein Pasya. Tidak lama kemudian, mereka pergi lagi, dan beberapa prajurit Pasya ikut bersama mereka. Itu artinya, yang kami ketahui, bahwa Gubernur telah memberikan ijin kepada orang-orang Kurdi untuk menghadang kami saat kami keluar dari kota.

Sepanjang malam, para wanita berjaga di rumah-rumah mereka. Di rumah kami, ibu datang dari kamar ke kamar melihat benda-benda kecil di tembok dan lemari-lemari yang telah menjadi miliknya semenjak ibu masih kecil. Ia duduk lama di atas pakaian-pakaian ayah. Aku mengeluarkan mainan-mainanku dan menangisinya. Beberapa diantaranya adalah mainan nenekku. Lusanne tak menangis. Ia hanya memikirkan Andranik dan hilangnya kerudung pengantinnya, dan air matanya telah mengering, seperti halnya ibu. Hovnan dan Mardiros, adik laki-laki kami, dan Sarah dan Aruciag, adik perempuan kami, menangis sangat kencang ketika kami memberitahu bahwa mereka harus berpisah dengan boneka dan layangan mereka.

Ketika pagi hari terakhir tiba, aku menyelinap keluar dari rumah kami untuk mengunjungi Mariam, teman mainku, yang hidup beberapa rumah jauhnya. Keluarga Mariam tidak terlalu kaya, dan ibu berkata kepadaku bahwa aku boleh memberinya dua puluh lira, agar ia dapat menyuap para prajurit untuk mendapatkan perlindungan. Namun, Mariam tidak ada di sana.

Pada malam harinya, para zaptieh memasuki rumahnya dan membawanya keluar dari kasurnya, dengan pakaian tidurnya dan membawanya pergi. Para prajurit berkata bahwa Rehim Bey telah menjanjikan uang kepada mereka jika mereka membawa Mariam ke rumahnya. Ibu dan adik Mariam berlutut di samping ranjang kosongnya saat aku mendapati mereka.

Pada jalan pulang ke rumah kami, seorang Turki menghentikanku. Ia membujukku untuk pergi dengannya. Ia berkata itu lebih baik bagiku, sebab “pada akhirnya semua gadis Kristen yang cantuk harus menyerahkan diri mereka kepada orang-orang Turki atau dibunuh.” Aku berlari ke rumah secepat yang aku bisa. Aku tak dapat melupakan wajah orang Turki tersebut ketika ia berbicara kepadaku. Ini adalah pertama kalinya aku pernah melihat tatapan semacam itu dari wajah seorang pria. Aku berusaha untuk menjelaskan kepada ibu. Ia merangkulku, namun ia hanya berkata:

“Gadis kecilku yang malang!”

Para wanita diberi waktu sampai siang untuk berkumpul di lapangan. Mereka berdatangan ke sana, dengan gerobak kuda, keledai dan kerbau, beberapa orang membawa sebanyak mungkin barang yang dapat dimasukkan ke gerobak mereka, beberapa orang lainnya hanya membawa selimut dan kain, karpet kesayangan dan roti dan buah-buahan. Di Armenia, setiap keluarga menyimpan suplai makanan untuk satu tahun. Para wanita meninggalkan semua barang yang tak dapat dibawa oleh mereka.

Ketika sudah waktunya kami berangkat, aku teringat lagi tatapan pada wajah orang Turki itu. Untuk pertama kalinya, aku menyadari apa artinya ditangkap di salah satu harem orang Turki kaya yang rumah besarnya berada di atas perbukitan di pinggiran kota. Aku pernah mendengar tentang para gadis Kristen yang dipaksa menjadi penghuni harem rumah-rumah tersebut, namun aku tak pernah benar-benar mengerti. Lusanne berusia lebih tua. Ia lebih tahu daripada aku. “Kalau saja aku bisa meninggal bersama Andranik,” ucapnya.

Ibu memikirkan rencana yang ia harapkan mungkin bisa menyelamatkan Lusanne dan aku dari harem atau nasib yang lebih buruk di antara orang-orang Kurdi dan para tentara. Ia mengeluarkan dua yashmak, atau kerudung, seperti yang dikenakan oleh wanita Turki di jalanan, dan memakaikannya kepada kami, menyembunyikan wajah kami. Di atas kain ini, ia juga menyuruh kami memakai feradjeh, suatu jubah wanita Turki. Kami sangat nampak seperti wanita Turki, dengan seluruh wajah kami disembunyikan.

“Hanya kematian yang menghampiriku, namun untukmu, putri-putriku, terdapat bahaya yang lebih besar,” kata ibu kepada kami. “Kalian sekarang akan dapat berjalan di jalanan dan para prajurit akan mengira bahwa kalian adalah wanita Muslim. Temuilah Nona Graham, di panti asuhan. Mungkin ia dapat menyembunyikan kalian sampai ada cara bagi kalian untuk kabur ke utara, dimana terdapat laut. Dan jika kalian dapat menemukan tempat aman, bersyukurlah kepada Tuhan dan kalian harus selalu mengingat-Nya.” Kemudian ia mencium kami dan menyuruh kami pergi.

Miss Graham, yang merupakan seorang gadis Inggris, datang ke kota kami dari Kolese Amerika di Marsovan, untuk mengajar di sekolah kami pada para gadis yatim piatu Armenia. Ia sangat muda dan cantik. Orang-orang Turki nampak menghormatinya, dan ibu berpikir kami akan aman dengannya.

Ketika ibu datang ke lapangan bersama Aruciag, Sarah, Hovnan dan Mardiros, Lusanne dan aku bercampur dengan para wanita Muslim yang berkumpul untuk menyaksikan kejadian-kejadian di lapangan dan bertawar harga untuk potongan-potongan perhiasan dan barang lain yang diketahui harus dijual oleh wanita Armenia atau dicuri dari mereka. Kami berencana untuk menunggu sampai gelap sebelum berangkat untuk menemui Miss Graham.

Kemudian kami melihat orang-orang Turki, baik warga kaya dan perwira militer, berjalan di sekitaran lapangan untuk memeriksa gadis-gadis Kristen. Saat mereka terkesan dengan penampilan seorang gadis, para bey dan agha berusaha membujuk ibu mereka untuk membiarkan mereka menerima Islam dan pergi dengan mereka, berjanji untuk menyelamatkan para kerabat mereka dari deportasi. Ketika para ibu menolaknya, orang-orang Turki seringkali memukul mereka. Para perwira membunuh beberapa ibu yang menempel terlalu erat dengan putri-putri mereka.

Banyak gadis muda menyerahkan diri kepada orang-orang Turki dan bersedia menyatakan keyakinan terhadap Allah demi menyelamatkan ibu, saudara dan saudari mereka. Menjelang sore, khatib, atau penjaga masjid, didatangkan untuk menerima “perpindahan agama” mereka.

Lebih dari lima puluh gadis bersyahadat. Tak lama kemudian, setelah syahadat diucapkan, para perwira memberi isyarat kepada para zaptieh dan mereka membawa semua gadis dari keluarga mereka dan mengumpulkan mereka ke satu sudut lapangan. Kemudian para bey yang kaya memeriksa para gadis yang berpindah agama tersebut. Para prajurit menyerahkan para gadis kepada orang yang membayarkan uang terbanyak kepada mereka, kecuali ada prajurit juga yang menginginkannya. Para perwira militer berpangkat lebih tinggi mendapat pilihan pertama.

Satu per satu, para prajurit menyeret para gadis yang menyangkali agama mereka secara sia-sia untuk menyelamatkan ibu dan kerabat mereka keluar dari lapangan dan menuju rumah orang-orang Turki. Lusanne dan aku datang mendekat untuk mencari kesempatan berbicara dengan ibu. Kami menyaksikan segalanya. Dan saat mereka mengambil para gadis tersebut, kami melihat seorang zaptieh membawa Miss Graham dengan menggenggamnya. Ia berjuang keras, namun zaptieh tersebut terlalu kuat. Kami kemudian mengetahui bahwa para prajurit mendatangi sekolahnya untuk mengambil para gadis kecil Armenia, dan ketika Miss Graham berusaha melawan mereka, para prajurit tersebut berkata kepada Miss Graham bahwa sekarang negaranya tak dapat menolongnya, dan karena ia adalah orang Kristen, mereka juga membawanya.

Ke rumah Rehim Bey, tempat Mariam ditempatkan, mereka membawa Miss Graham. Mereka bahkan tak mencoba untuk menjadikannya Muslim. Rehim Bey sangat berkuasa, dan merupakan sepupu Talaat Bey, Menteri Dalam Negeri di Konstantinopel.