BAB IV


SENYUM JAHAT KEMAL EFFENDI


Pada malam itu, para penduduk Turki dari kota-kota terdekat mendatangi perkemahan kami dan berniat untuk membeli barang berharga apapun yang para wanita bawa bersama dengan mereka. Kebanyakan orang membawa potongan renda berharga; yang lainnya membawa perhiasan; beberapa orang bahkan membawa potongan perak, dan permadani. Terdapat banyak kereta kuda dan keledai yang berbaris, ketika orang-orang Turki mendorong agar seluruh wanita untuk membawa sebanyak yang dapat mereka bawa. Kami kemudian memahami bahwa pengumpulan barang rampasan untuk prajurit terjadi ketika rombongan sepenuhnya berada pada belas kasihan mereka.

Ketika orang-orang sipil Turki datang ke perkemahan malam itu, mereka juga menawar para gadis dan wanita muda. Salah satu dari mereka membujuk ibu untuk menyerahkan Lusanne. Ketika ibu menolak, ia berkata kepada ibu:

“Aku dapat membuatku memilikinya. Aku akan merawatnya dengan baik dan ia dapat bekerja dengan para pelayanku yang lain. Ia akan dijual atau diculik dengan berbagai cara, jika ia tak dibunuh. Tidak ada dari kami yang akan hidup sangat lama.” Banyak anak-anak diculik pada awal malam itu oleh orang-orang Turki tersebut. Seorang gadis berusia sembilan tahun dibawa beberapa kali dariku dan menjerit ketika diambil. Ketika para kerabatku berkeluh kesah kepada para prajurit, mereka berkata kepadanya bahwa ia telah kabur dalam perjalanan panjang menuju gurun Suriah, tempat rombongan yang tersisa diambil.

Fajar pun datang, dan kami berterima kasih pada malam pertama mengerikan tanpa tidur nyaris selesai, ketika, dalam awan pasir besar dan debu, pasukan Kurdi Aghja Daghi, dengan Musa Bey yang memimpin mereka, bergerak mendekati kami. para prajurit seharusnya mengetahui bahwa mereka datang, karena mereka berkumpul dekat dari perkemahan, dan tidaklah mengejutkan. Mungkin, hal ini dilakukan ketika Musa Bey mengunjungi Husein Pasha, di Tchemesh-Gedzak, tepat sebelum kami dibawa pergi.

Kuda-kuda Kurdi dihentikan semuanya pada perjalanan mereka, tapak kuda mereka terhalang kepala dan badan sejumlah wanita yang ketakutan. Para pengendara tersebut dengan cepat mengumpulkan seluruh keledai dan kuda yang dibawa keluarga-keluarga, dan ketika dibawa, hewan0hewan tersebut diturunkan dan mulai berjalan dengan mereka dan mengambil wanita muda untuk diculik. Lusanne dan aku menempel dekat ibu, yang berniat untuk menyembunyikan kami, namun salah satu dari tiga pasukan Kurdi yang berjalan mendekati kami melihatku.

Ia berhenti dan melucuti kerudungku. Saat ia melihat lumpur dan kotoran pada wajahku, ia mengusapnya dengan tangannya, menjorokkanku ke kakinya, untuk melihat lebih dekat. Ketika ia melihat aku benar-benar muda, meskipun aku menyamar, ia berteriak. Salah satu pasukan Kurdi lainnya menoleh dengan cepat dan menghampiri. Saat aku melihat wajahnya, aku melihat bahwa ia adalah Musa Bey itu sendiri!

Bey tersebut mengelilingiku, membuka pakaianku dan mengurai rambutku dari belakang. Kemudian, ia memberikan komando pendek, dan dengan cepat, aku menjerit dengan kencang, ia melemparku ke kudanya dan melompat dari belakang. Aku berusaha dengan seluruh tenagaku untuk membebaskan diri. Aku ingin melemparkan diriku di bawah tapak kuda dan terjatuh sampai mati. Namun, bey tersebut menempatkanku di pundak kudanya dengan pegangan besi, ketika ia bergerak ke barat, menyusuri tepi sungai.

Aku menjerit kepada ibuku. Jeritan para gadis lain datang menghampiriku. Di belakang kami, aku dapat mendengar teriakan dan tangisan rombongan kami. Aku pikir aku mendengar suara ibu di antara mereka. Lambat laut, teriakan berlalu seiring perjalanan. Kemudian, aku hilang kesadaran.

Kemudian aku datang sampai aku dibaringkan ke tanah, dengan gadis-gadis lain yang telah diculik. Pasukan Kurdi telah turun. Beberapa dari merek sibuk membuat perkemahan, sementara yang lainny amembentuk kelompok dari diri mereka sendiri dengan para gadis agar tak kehausan. Musa Bey tidak ada disana.

Pakaianku dilucuti dan tubuhku terpental dari pangkuan kuda. Sepatu dan kaus kakiku dilepas ketika pasukan Kurdi mendatangi kami, sehingga kakiku tak berkasut. Selama waktu yang lama, aku terbaring diam, khawatir dengan pergerakan sedikit aku meraih perhatian dan didera sebagaimana beberapa gadis yang telah didera. Ketika aku dapat melihat sekitaranku, aku melihat bahwa aku mengenal beberapa gadis itu, dan beberapa aku mengetahuinya sebagai wanita muda yang telah menikah. Beberapa orang yang aku kenal adalah para ibu yang telah meninggalkan para bayi di belakang.

Di dekatku, terdapat gadis kecil, Maritza, yang ibunya dibunuh oleh para zaptieh tak lama usai mereka meninggalkan Tchemesh-Gedzak. Ia menggendong adik laki-lakinya yang masih bayi sepanjang perjalanan panjang hari pertama di jalan tersebut. Ia diam-diam menangis. Aku merangkak kepadanya.

“Ketika mereka mengambilku, aku menggendong adikku Marcar,” pungkasnya. “Orang-orang Kurdi mengambilnya dari tanganku dan melemparkannya ke tanah. Mereka membunuhnya. Aku tak dapat melihat hal lainnya selain adikku saat dijatuhkan.”

Beberapa jam sebelumnya, Musa Bey kembali. Segerombolan Turki yang menunggangi kuda menghampirinya. Mereka datang dari Barat dimana banyak desa kecil di sepanjang tepi sungai, beberapa diantaranya adalah rumah Muslim kaya.

Ketika mereka turun, Musa Bey mulai memamerkan para gadis yang ia culik kepada pasukan Turki. Beberapa orang Turki tersebut, dapat aku katakan, adalah petani kaya. Yang lainnya nampaknya merupakan bey atau agha yang kaya (warga negara berpengaruh). Musa Bey memerintahkan kami semua berdiri. Orang yang tidak menurutinya dengan cepat ditebas dengan cambuknya. Saat aku jatuh ke tanah, ia memegang pundakku dan menjorokkanku lagi. “Kamu masih berbohong,” katanya. Aku melihat bahwa ia melakukan hal yang sama kedua dua atau tiga gadis lainnya.

Orang-orang Turki secara brutal menyiksa gadis-gadis yang diperlihatkan mereka kepada Musa Bey, dan mulai untuk memilih mereka. Orang-orang yang menjadi petani memilih orang-orang yang tua, yang nampak lebih kuat ketimbang lainnya. Yang lainnya ingin gadis tercantik, dan memberikan pendapat di antara diri mereka sendiri terhadap sebuah pilihan.

Para petani ingin menjadikan para gadis tersebut sebagai budak di ladang. Yang lainnya menginginkan para gadis untuk keperluan berbeda—untuk ditempatkan di harem mereka atau dijadikan pegawai rumah tangga, atau dibawa ke pasar-pasar gundik Smyrna dan Konstantinopel. Musa Bey menuntut sepuluh medjidieh, atau setara sekitar delapan dolar uang Amerika. Ketika aku terbaring di tanah, aku berpikir bahwa sangat sedikit uang yang dipertaruhkan untuk nyawa orang Kristen.

Maritza kecil, yang berdiri di dekatku, diambil oleh orang Turki yang nampak sangat tua. Pria lainnya menginginkanku, namun pria tua tersebut menawarkan Musa Bey dengan lebih dari empat medjidieh, dan yang lainnya menengok-nengok untuk mengamati gadis lainnya. Orang Turki yang membawa Maritza menempatkannya di kudanya, sehingga ia tawar menawar dengan Musa Bey sampai ia menjanjikan dua medjidieh tambahan jika seorang Kurdi akan membawa Maritza sampai ke rumah orang Turki tersebut. Musa Bey memberikan perintah dan seorang Kurdi memanjati kudanya, mengangkat Maritza ke bagian atasnya dan berkendara atas perintah pria yang membawanya. ia tak lagi menangis, namun hanya meletakkan tangannya di depan matanya.

Setelah semua gadis pergi selain aku dan beberapa gadis lainnya yang tak ditawarkan oleh Musa Bey untuk dijual. Gadis-gadis yang dibawa oleh para petani ditugaskan untuk bekerja di ladang, dan mereka sangat beruntung, karena terkadang para petani Tarki bersifat baik hati dan lemah lembut. Para gadis yang dibawa ke harem menghadapi sakit hati yang tak dapat diceritakan yang mengalami beberapa hal yang lebih buruk ketimbang kematian.

Ketika orang Turki terakhir telah perfi dengan harta benda mereka, Musa Bey berkata kepada para pengikutnya dan beberapa dari mereka mendatangi kami. kami berpikir bahwa kami melayani untuk Musa Bey sendiri, dan kami mulai menjerit dan memohon. Mereka mengambil kami disamping kami menangis dan ditempatkan di kuda-kuda mereka. Musa Bey melompat ke kudanya dan kami kembali dibawa jauh, dengan dipimpin Musa Bey.

Aku menawarkan orang Kurd yang membawaku untuk berkata kepadanya kemana kami dibawa pergi. Ia tak menjawab. Kami berkendara selama dua jam, sampai menjelang siang, ketika kami datang ke pinggiran desa. Kami melewati ladang rumah batu besar yang dikelilingi oleh tembok batu. Tempat tersebut merupakan rumah yang sangat kuno. Sebelum kami berhenti di halaman, aku mengingat akan deskripsi di buku-buku sekolah kami, mengenai kastil yang dibangun oleh orang-orang Saracen, dan direstorasi ratusan tahun lalu oleh orang Turki kaya, yang menjadi orang kesayangan Sultan yang memerintah saat itu.

Ketika orang-orang Kurdi menurunkan kami dari kuda-kuda mereka, aku ingat bahwa kastil tersebut kini menjadi rumah Kemal Effendi, seorang anggota Komite Persatuan dan Perjuangan, organisasi Turki Muda yang berkuasa. Ia dikenal di seluruh distrik kami sebagai orang yang sangat benci umat Kristen, dan terdapat banyak cerita yang dikisahkan di daerah kami mengenai para gadis Kristen yang diculik dari rumah-rumah kami dan diserahkan kepadanya, tak pernah terdengar lagi.

Hanya bagian kastil yang diperbaiki sehingga tempat tersebut ditinggali, dan mereka menuju ke bagian bangunan tempat kami ditempatkan ketika kami diturunkan. Aku berniat untuk memohon dengan orang Turki yang bersamaku, namun ia mengguncangku dengan keras. Kami dibawa ke sebuah ruangan kecil. Terdapat para pelayan, baik pria maupun wanita, di ruang ini, dan kami mulai berbincang tentang kami dan menguji kami. Musa Bey membujuk mereka untuk berkata kepada majikan mereka bahwa ia telah datang.

Secara perlahan, Kemal Effendi mulai masuk. Ia sangat tinggi dan berusia menengah. Matanya membuatku gemetar ketika mereka melirikku. Aku hanya dapat merasa ngeri ketika aku mengingat hal-hal yang dikatakan mengenainya.

Ketika Kemal Effendi melirik kami semua selama bermenit-menit yang nampaknya merupakan jam-jam menyiksa, ia nampak merasa puas. Ia memerintahkan Musa Bey dan orang-orang Kurdi untuk keluar, mengikutinya. Aku tak tahu berapa banyak Musa Bey dibayar untuk kami.

Para wanita didatangkan ke ruangan tersebut dan berupaya untuk berbaik hati kepada kami. Salah satu dari mereka memegang lenganku dan membujukku untuk tak menangis. Ia berkata kepadaku bahwa aku sangat beruntung katuh ke tangan orang baik seperti Kemal Effendi. “Ia akan lemah lembut kepadamu. Kamu harus mematuhinya dan disayangi dan ia akan memperlakukanmu sebagaimana ia memperlakukan istrinya. Ia tak akan kejam kecuali kamu tak patuh,” kata wanita tersebut. Aku tak tahu apa posisinya di rumah tersebut, namun aku berpikir bahwa ia adalah pelayan yang telah menjadi gunddik ketika ia masih muda.

Sampai situ, aku berusaha menjaga diriku dari pikiran bahwa aku telah kehilangan ibuku dan saudara-saudariku. Apa yang wanita tersebut katakan kepada kami terjadi pada kami di rumah Kemal yang memberikanku harapan untuk melihat mereka lagi. Aku berkata kepadanya bahwa aku akan membunuh diriku sendiri jika aku tak dapat kembali kepada para kerabatku.

Menjelang sore, Kemal Effendi dipanggil menghadap kami. Ia telah bersantap dan nampak ramah. Salah satu gadis, yang telah menjadi tunangan, menjorokkan dirinya sendiri ke lantai menghadapnya, menangis dan memohon kepadanya untuk membebaskan kami. Kemal Effendi kehilangan perasaan baiknya sesekali. Ia memanggil seorang pelayan pria dan berkata kepadanya untuk membawa gadis tersebut pergi. “Kunci dia sampai ia memahami kapan menangis dan kapan tertawa,” perintahnya. Pria tersebut membawa gadis tersebut dalam keadaan menjerit. Kemal kemudian menanyai kami soal keluarga kami, berapa umur kami, dan apakah kami akan menyangkal agama kami dan menyatakan syahadat Muslim. Seorang gadis, yang tak aku ketahui namanya, namun aku sering melihat di sekolah Minggu kami di Tchemesh-Gedzak tak berani untuk menolaknya. Orang-orang Kurdi memperlakukannya dengan kejam, dan orang yang telah membawanya pergi memukulinya ketika ia menangis. Ia berkata, “Ya, ya, Tuhan telah meninggalkanku. Aku akan menerima Muhammad. Tolong jangan memukulku lagi.”

Ketika ia berkata demikian, Kemal tersenyum dan meletakkan tangannya di kepalanya. “Kamu bijak. Aku tak akan menghukum jika kamu terus demikian.”

Gadis kedua tak ingin menyangkali Kristus. “Kamu dapat membunuhku jika kamu ingin,” katanya, “dan kemudian aku akan pergi kepada Yesus Kristus.” Kemudian, ia mengatakannya kembali kepada pelayan pria yang menyeretnya keluar dari ruangan tersebut. Aku melirik Kemal Effendi, namun ia masih tersenyum, sehalus dan selembut yang ia bisa selain sangat bermurah hati. Aku dapat melihat bahwa ia sangat kejam seperti yang orang-orang katakan mengenainya.

Ketika Kemal Effendi berkata kepadaku dengan sangat lembut., Aku masih dapat mengingat bahwa ia membuatku merasa seperti jika lidah beberapa hewan liar membelai wajahku.

“Dan kamu, gadisku,” katanya, “apakah kamu bijak atau bodoh?”

“Tuhan selamatkan aku,” kataku kepada diriku sendiri, dan kemudian sesuatu nampak berbisik kembali. Aku mendengar diriku sendiri berkata, tanpa memikirkan kata-kata tersebu, “Aku akan berusaha sesuai dengan keinginanmu.”

“Itu sangat bagus. Kamu akan bahagia,” jawab Kemal. “Kami akan menerima Allah sebagai Tuhan dan Muhammad sebagai utusan-Nya? Kemudian, aku akan berbaik hati kepadamu.”

“Aku akan melakukan itu, Effendi, dan aku akan patuh, jika kamu juga akan menyelamatkan keluargaku,” kataku.

“Dan bagaimana jika aku tak melakukannya?” tanya Kemal.

“Aku nanti akan mati,” jawabku.

Effendi memandangiku dalam waktu yang lama. Kemudian Kemal menanyaiku untuk mengisahkannya tentang keluargaku. Aku berkata kepadanya mengenai ibuku, kakakku, Lusanne, dan adik-adikku yang lain. Ia membuatku berdiri di dekatnya. Ia menempatkan tangannya ke atasku. Ia berdiri sangat tegap dan memandangi wajahku. Aku berjanji bahwa jika ia akan mengambil ibu dan saudara-saudariku, aku jika tak hanya menyangkali agamaku, namun menurutinya dalam segala hal. Dan untuk setiap hal, aku berjanji kepada diriku sendiri, “Mohon, Tuhan, ampuni saya.” Namun aku tak dapat memikirkan cara lain. Aku menganggap bahwa saat ini, mungkin, ibuku beserta saudara-saudariku telah dibunuh. Raga dan jiwaku nampaknya adalah hal-hal kecil yang diberikan untuk mereka.

Kemal bertahan denganku selama lebih dari satu jam, pikirku. Setiap kali ia berniat untuk menyentuhku, aku menjauhinya. Hal tersebut menghiburnya, karena ia akan tertawa dan bertepuh tangan, karena sangat terhibur. “Aku mula-mula akan mati,” kataku setiap kali, “tanpa kamu menyelamatkan keluargaku.”

Aku mulai kehilangan harapan, dengan berpikir bahwa Kemal bermain-main denganku. Aku sangat dapat menahan air mataku, sehingga aku tak ingin menangis karena aku mengetahui bahwa ia akan menjadi tak senang. Kemudian, secara mendadak, aku nampak berada pada pikirannya. Ia bangkit dan menataku.

“Sangat bagus. Penawaran telah dibuat. Aku akan melindungi kerabat-kerabatmu. Aku lebih suka wanita yang rela daripada yang cemberut. Kami akan pergi besok dan membawa mereka.”

Aku menjadi senang, bahkan dalam pengorbananku, ketika Kemal Effendi tersenyum saat ia mengatakan hal tersebut—itu adalah senyuman kejam yang lebar. Aku berkeyakinan apa yang terjadi jika ia tak tersenyum. Namun aku merasa jika hal tersebut dibicarakan kepadaku di balik senyum tersebut adalah beberapa pikiran jahat.

Aku memohon kepadanya untuk pergi bersamanya untuk mengirim orang-orangku sebelum terlambat. Ia berkata bahwa tak akan terlambat pada pagi itu; bahwa ia akan mendatanginya usai fajar; bahwa aku tak perlu khawatir lagi. Ketika ia pergi dari ruangan tersebut, wanita yang berkata lebih awal kepadaku datang kepadaku. Ia menempatkanku ke haremlik, atau ruang wanita, di tempat terdapat banyak wanita lainnya.

Aku berpikir bahwa wanita harem akan meminta maaf kepadaku ketika mereka peduli. Mereka berniat untuk menyambutku. Mereka bertanya banyak hal tentang agama kami, dan kenapa orang-orang Armenia lebih memilih mati ketimbang memeluk agama orang-orang Turki. Aku tak dapat membicarakannya kepada mereka, karena aku hanya dapat berpikir pada pagi itu—entah aku berada pada waktu itu—dan terpukau ketika aku dapat membuat Effendi tersenyum.

Mereka menempatkanku di sebuah ruangan kecil, yang kira-kira sebesar kloset Amerika. Mereka berkata kepadaku bahwa seorang Imam akan datang esok hari untuk mensyahadatkanku.

Mereka tak mengetahui bahwa Effendi telah berjanji untuk menyelamatkan kerabatku dan mengirim mereka ke rumah tersebut.

Aku tak sendirian di ruanganku sangat lama ketika seorang odalik cantik, seorang gadis budak muda, diam-diam diselipkan melalui pintu bertirai dan memegang tanganku. Ia adalah orang Suryani, ia berkata kepadaku, bahwa ayahnya menjualnya ketika ia sangat muda. Ia dikirim dari Smyrna ke rumah Kemal. Ia merupakan budak kesayangan Effendi. Ia ingin memberitahukanku bahwa jika aku membutuhkan beberapa hal untuk berkeyakinan kapan majikannya juga menjadikanku budaknya, aku dapat mempercayainya. Ia berkata bahwa ia kemudian menjadi Muslim, namun diam-diam ia masih Kristen.Ia menjelaskan bahwa ia tak mengetahui banyak doa, karena ia terlalu muda ketika ayahnya berniat untuk menjualnya. Ia menginginkanku untuk mengajarinya hal-hal baru.

Hal ini sangat menenangkan beberapa orang yang dapat berbincang denganku sepanjang berjam-jam menunggu sampai fajar. Aku berkata kepada odalik kecil bahwa aku berjanji untuk menjadi Muslim hanya untuk menyelamatkan ibuku beserta saudara-saudariku. Aku berkata kepadanya soal apa yang Kemal telah janjikan, bagaimana ia tersenyum dan bagaimana aku mengkhawatirkan beberapa hal yang tak dapat aku jelaskan.

“Saat ia tersenyum, ia tak mengartikan apa yang ia katakan,” kata gadis tersebut dengan sedih. “Seringkali ketika ia tak senang denganku, ia tersenyum dan meleraiku. Tak lama kemudian, aku diguncang. Ketika orang Kurdi, Musa Bey, yang membawamu, datang untuk berkata kepada Effendi bahwa ia telah menculik beberapa gadis dan berharap untuk menjual yang paling cantik kepadanya, Effendi tersenyum dan berkata, ‘Bersikaplah baik untuk orang-orang berpenampilan terbaik, dan kirimkan mereka kesini.’ Aku tak akan mempercayainya untuk memegang janjinya.”

Pada awal pagi, Effendi mendatangiku dan menanyaiku untuk menjelaskan kerabat-kerabatku. Aku berkata kepadanya bahwa tak mungkin untuknya untuk menemukan mereka dalam rombongan yang sangat besar. Ia sepakat bahwa aku harus pergi dengannya dan kami keluar, ia mengendarai kudanya sementara aku berjalan di sampingnya. Aku berniat untuk meyakinkannya bahwa aku bersedia dengan tawaran yang telah kami buat—bahkan ketika aku memiliki kesempatan untuk mendapatkan perlindungannya. Sehingga aku mengetahui bahwa di balik senyuumnya, iam enyadari keluargaku terbunuh sehingga ia menarik “pemurtadan”ku dan meletakkan pengorbanan kehendak yang ia inginkan.

Kemal mengetahui rombongan tempat keluargaku diambil di sepanjang sungai di tempat terdepan menuju utara. Kami ingin ke arah tersebut, namun mereka tak datang dan kami berbalik untuk menemui mereka.

Ketika kami mendatangi dekat tepi sungai, yang tinggi dan mirip tebing, aku melihat ke bawah air dan menyaksikan darah merah mengalir dan terdapat jasad mengambang di permukaan. Aku menjerit ketika aku menyaksikannya, dan terbujur ke tanah. Aku menutup mataku, sehingga aku nampak melihat apa yang terjadi—segerombolan orang Armenia dibawa ke tepi sungai dan dibantai, disayat dengan pedang dan saber sebelum mereka dilempar ke sungai, sehingga mereka tak akan bertahan di sungai selama beberapa mil.

Effendi mencelaku.

“Orang-orang Kristen memahami bahwa Tuhan mereka tak dapat menyelamatkan darah mereka. Inilah yang membuat mereka menyangkalinya. Kenapa kamu menangisinya sekarang, sayangku, kapan kamu memutuskan untuk memeluk Islam?” Aku tak dapat meliriknya, namun aku dapat merasakan bahwa di matanya, terdapat senyuman mengerikan.

Aku mengumpulkan kekuatan dan menjawab: “Aku tak dipakai untuk darah, Effendi.”

Mereka datang, mendekati sungai, melihat sekelompok orang-orangku yang akan datang dari selatan. Tepi-tepi sungai menjadi lebih tinggi, dan sungai menyempit sampai nyaris memerah akibat darah. Setwlah itu, aku menyadari tujuh ratus pria dan pemuda dari Erzindjan dibawa ke sungai dan dibunuh oleh para zaptieh. Para zaptieh menikam mereka satu per satu dan kemudian menceburkannya ke sungai. Dan sungai ini merupakan bagian dari sungai Efrat dari Alkitab, dengan muaranya di Taman Eden! Kemal bergerak mendekati tepi-tepian tinggi. Aku berjalan di sampingnya. Di belakangku, sungai tersebut nampak menyerukanku untuk pengamanan. Jika aku datang, aku tahu bahwa Kemal akan memberikan harapan palsu dengan menjanjikan perlindungan kepada para kerabatku sesuai yang ia dapat berikan. Dan aku akan membuat pengorbanan terhadap hal yang ia tawarkan. Aku menunggu sampai kami berada di bagian paling tepi dari tebing tersebut. Kemudian, aku melompat. Aku mendengar peringatan Kemal Effendi ketika aku menyentuh air merah. Ketika aku datang ke permukaan, aku melihatnya duduk di kudanya di bagian atas tebing, memandangiku. Aku senang ia tak dapat menyatakan jika ia tersenyum.

Aku telah belajar berenang sejak aku sangat muda. Tanpa sadar, aku bergerak menuju tepi seberang dan mencapainya dengan selamat. Tepian tersebut tidak terlalu tinggi di sisi itu. Kemudian, aku menjadi bebas. Kemal seharusnya tak memiliki revolver atau ia akan menembakku. Aku tak dapat melirik ke belakang, namun berlari menuju dataran. Aku tak tahu jika Kemal akan mengirim para pencari untuk mencariku, sehingga aku bersembunyi di pasir, menuutpi diriku sendiri sehingga orang-orang Kurdi atau zaptieh tak dapat melihatku jika mereka berkendara di dekatku, sampai aku melirik barisan panjang orang-orangku dari Tchemesh-Gedzak berada di sisi lain sungai.

Aku masih bertahan sepanjang siang dan malam, sementara para pengungsi berkemping di tempat yang ditentukan. Ketika mereka melintasi sungai pada pagi berikutnya, aku memutuskan untuk mendekati mereka pada saat yang tepat. Ibuku sangat gembira aku tak berbicara sepanjang waktu yang lama. Kemal Effendi menghampiri mereka, ibuku berkata kepadaku, dan menuntut agar pemimpin zaptieh menemukan para kerabatku dan menghukum mereka karena aku melarikan diri. Ibu menyuap para prajurit dan mereka berkata kepada Kemal bahwa para kerabatku tidak berada pada rombongan tersebut.

Rombongan tersebut tak diberi kesempatan untuk rehat setelah singgah di sungai tersebut, namun didorong untuk menuju ke Arabkir. Hovnan, Mardiros, Aruciag dan Sarah, nyaris kehausan. Kaki adik-adikku terkoyak dan berdarah, dan ibu dan Lusanne membaluti mereka dengan pakaian. Tak ada bayi lain dalam rombongan tersebut, tepat pada waktu sebelum mereka singgah di sungai, para zaptieh membuat para ibu dari bayi termuda meninggalkan mereka di belakang. Para ibu merawat mereka sesambil mereka menunggu untuk dibawa ke sungai dan kemudian membaringkan mereka dalam barisan kecil di tepi sungai dan meninggalkan mereka.

Para prajurit berkata bahwa wanita Muslim akan datang dari desa terdekat untuk mengambil bayi-bayi tersebut dan merawat mereka, namun tak ada orang yang datang sesaat mereka masih dapat mereka melihat titik tempat yang mereka tinggalkan, dan bahwa itu terjadi selama beberapa jam. Beberapa ibu, ketika mereka menyadari bahwa janji para prajurit tersebut hanyalah tipuan, melompat ke sungai untuk balik berenang. para prajurit menembaki mereka di air. Setelah itu, mereka tak diijinkan untuk pergi dekat sungai, bahkan untuk minum.

Di kemudian hari, kami datang ke sebuah khan, atau rumah singgah para penjelajah, seperti yang ditemukan di sepanjang jalan di Asia Kecil, yang mengambil kebiasaan kuno orang-orang Turki sebagai tempat pemberhentian untuk karavan. Mereka berkata kepada kamu agar singgah disana selama siang dan malam, namun mereka saat mereka mendekati khan tersebut, rombongan prajurit datang dan mencegat kami. Kami tak dapat masuk ke bangunan tersebut, kata para penjaga kami, karena tempat tersebut diduduki oleh para penjelajah yang bergerak ke utara menuju Shabin Kara-Hissar, sebuah kota besar di distrik Trebizond dekat Laut Hitam.

Kemudian, aku menyadari para penjelajah yanga da disana. Mereka adalah rombongan dari orang-orang Armenia yang “beralih keyakinan”, ketika orang-orang Turki memanggil orang-orang Kristen yang telah menyangkali agama mereka. Rombongan tersebut berasal dari Keban-Maden, sebuah kota yang berjarak tiga puluh mil dari selatan. Rombongan tersebut datang ke khan tersebut pada pagi hari, berjalan dua puluh mil sehari sebelumnya.

Para zaptieh yang menjaga rombongan kami dan para prajurit yang datang dari Keban-Maden dengan yang lain, dan kemudian menjadi teman dan berbincang dengan satu sama lain. Mereka melarang kami mendekati khan, dan kami terkejut kenapa orang-orang Kristen yang “beralih keyakinan” tersebut tak nampak. Kemudian seorang gadis muda langsing keluar dari rumah tersebut dan, tanpa dilihat oleh para prajurit, merangkak di tanah sampai datang ke pinggiran perkemahan kami. Ia telanjang dan kakinya terpotong dan memar.

Ia adalah seorang tunangan, yang telah “beralih keyakinan” dengan suami mudanya. Mutassarif Keban-Maden menjanjikan seluruh orang Armenia di kotanya bahwa nyawa mereka akan selamat jika mereka masuk Islam, kata tunangan beranak tersebut, dan lebih dari empat ratus orang dari mereka, yang kebanyakan adalah orang-orang muda yang berrumah tangga, sepakat.

Kemudian mereka berkata, katanya, mereka akan dibawa ke Shabin Kara-Hissar. Ketika mereka berada di luar kota tersebut, para prajurit merampok setiap barang berharga dari mereka. Kemudian, kebanyakan prajurit kembali ke Keban-Maden agar tak kehilangan kesempatan menjarahi rumah-rumah Armenia. Para prajurit yang membagi orang-orang dalam lima kelompok dan membuat mereka berkirab dalam perjalanan ini. Pada malam pertama mereka pada perjalanan tersebut, tunangan tersebut berkata, para prajurit melucuti pakaian seluruh wanita dan membuat mereka berkirab dalam keadaan telanjang.

Hal-hal mengerikan terjadi semalaman, kata gadis tersebut. Nyaris semua wanita digerayangi, dan ketika para suami yang masih bersama mereka, dan tak tertolong untuk ikut campir ketika mereka melihatnya, menangis di sekitarannya, para prajurit membunuhi mereka. Tunangan kecil tersebut datang kepada kami untuk berkata bahwa jika beberapa dari mereka tak akan diberikan potongan pakaian untuk menutupi tubuhnya. Kebanyakan wanita kami menawarkan rok dan rajutan lainnya, dan ia merangkak kembali ke khan tersebut dengan banyak barang yang ia dapat bawa, untuk dirinya sendiri dan wanita lain.

Mereka tak mengetahui apa yang kemudian terjadi pada mereka. Kami tak percaya dengan para prajurit yang berkata kepada mereka bahwa kami akan diijinkan untuk tinggal di Shabin Kara-Hissar secara damai. Para penjaga mereka menggerutu, katanya, untuk mengadakan kirab panjang dengan mereka hanya karena mereka telah “beralih keyakinan.”

Pada malam itu, puluhan gadis termuda kami atau lebih, dari usia delapan sampai sepuluh tahun, diculik oleh para prajurit dan dibawa ke khan. Kami tak tahu apa yang terjadi pada mereka, namun kami khawatir mereka dibawa untuk dijual ke keluarga-keluarga Muslim, atau orang-orang Turki yang kaya. Ibu tertidur pada malam tersebut, ia sangat lelah, namun Lusanne dan aku terjaga untuk menjagai adik-adik kami, menutupi mereka dengan kain tipis dan kotor, sehingga para prajurit yang menjagai kami, tak melihat mereka.

Sebelum fajar, orang-orang Armenia di khan tersebut dibawa pergi. Kami tak berada pada jalan tersebut keesakan harinya namun beberapa jam usai kami datang pada barisan jasad panjang di sepanjang pinggiran jaaln, kami menyadari bahwa mereka adalah pria dari rombongan orang-orang Armenia yang “beralih keyakinan”. Seorang kecil dari kejauhan membawa kami ke sumur, namun kami menemukan bahwa sumur tersebut dipenuhi dengan jasad-jasad tak berbusana dari sisa rombongan tersebut yakni para wanita. Para zaptieh telah membunuhi seluruh rombongan tersebut, dan untuk mencegah orang-orang Amrenia yang dideportasi di sepanjang jalan tersebut, dari memakai air, mereka melemparkan jasad-jasad wanita ke dalamnya.