BAB V


JALAN-JALAN ZAPTIEH


Ketika kami berdiri, dalam kelompok, meratapi kengerian di dalam sungai, aku mendadak mendengar kata-kata, yang dikatakan oleh seorang wanita yang berdiri mendekatiku:

“Tuhan telah menjadi gila; kami ditinggalkan!”

Aku menengok dan melihat bahwa ia adalah istri Badvelli Markar, seorang pastor yang merupakan tetangga kami di Tchemesh-Gedzak. Ketika para pria di kota kami dibantai, istri Badvelli ditinggalkan untuk merawat seorang wanita lansia, yang kemudian sakit di ranjang akibat demam tifoid, dan tiga anak—seorang bayi, seorang putri kecil berusia tiga tahun, dan seorang putra berusia lima tahun. Ia memohon kepada pasukan Turki untuk membiarkannya berada di rumahnya untuk merawati ibunya, namun mereka menolak. Mereka membuat wanita lainsia yang meninggalan kasurnya dan diambil untuk berjalan dengan rombongan kami. Ia meninggal pada hari pertama.

Pada hari-hari pertama perjalanan, kami melihat istri Badvelli sangat berani. Kemudian putra kecilnya meninggal. para penjaga menyuruhnya untuk meninggalkan bayinya di perlintasan sungai dan kini gadis kecilnya, anak terakhirnya, sakit di pegangannya. Ketika kami melintasi jasad-jasad orang Armenia dari khan, yang terbaring di sepanjang perjalanan, istri Badvelli tersebut mendadak kehilangan pikirannya.

“Tuhan telah menjadi gila. Aku katakan kepadamu—gila—gila—gila!”

Pada waktu itu, ia ia menjerit keras dan berlari ke orang-orang lainnya dalam rombongan kami, menangisi hal mengerikan yang ia alami. Seorang wanita berniat untuk menghentikannya, untuk mengambil gadis kecilnya dari pegangannya, namun ia berusaha dengan keras dan memegangi anak tersebut.

Aku mendengar bagaimana penyakit seperti wabah akan menyebar dari satu orang ke orang lainnya berdampak fatal. Itu adalah bagaimana kegilaan istri Badvelli tersebut menyebar dalam rombongan kami. ini sangat nampak selama lebih dari semenit sebelum tangisan kencang dialami oleh sejumlah, bahkan ratusan, wanita yang pikirannya terguncang oleh ketidakmampuan mereka untuk memahami kenapa mereka harus menderita hal-hal yang mereka alami di tangan pasukan Turki.

Para ibu dari anak-anak muda kebanyakan mengalami kegilaan. Beberapa dari mereka melempar anak mereka ke tanah dan berlari, menjerit, keluar dari rombongan dan menuju padang pasir. Yang lainnya berlari liar dengan anak-anak mereka menggantung di tangan mereka. Para kerabat mereka berupaya untuk melerai mereka, namun tak membuahkan hasil.

Aku pikir terdapat lebih dari 200 wanita yang pikirannya mendadak tertekan, disetir oleh janda pastor yang menggila tersebut.

Para zaptieh yang ditugaskan kepada kami mula-mula tak dapat memahaminya. Mereka menganggap bahwa itu adalah pemberontakan. Mereka mengambil orang-orang di antara kami, mengayunkan pedang mereka dan menembak ke kiri dan kanan, bahkan menembaki titik kosong. Kebanyakan tewas atau terluka tanpa harapan sebelum para zaptieh mengetahuinya. Kemudian, para penjaga tersebut sangat terhibur, dan tertawa. “Lihat,” kata mereka; “bahwa itu adalah Tuhanmu—Ia gila.” Kami hanya dapat menundukkan kepala kami dan menerima ejekan tersebut. Beberapa wanita pulih dari perasaan mereka dan meminta maaf. Orang-orang yang masih menggila ditempatkan oleh para zaptieh di dataran agar kelaparan sampai mati. Mereka tak akan membunuhi orang gila, karena itu bertentangan dengan agama mereka.

Mereka berkata kepada kami untuk pergi ke Arabkir, namun kemudian usai meninggalkan khan tersebut, mereka mengubah tempat tujuan kami. Nampaknya, mereka mengarahkan kami ke Hassan-Chelebi, sebuah kota kecil dari selatan Arabkir. Tak ada penjaga kami yang memberikan kami informasi pasti apapun.

Para zaptieh membawa rombongan kami ke jalan sempit, kemudian satu atau dua keluarga dijejerkan. Barisan orang asing dapat aku lihat dari kejauhan, baik di depan dan belakang. Kami hanya memiliki sedikit air, karena para zaptieh tak aakn mengijinkan kami untuk pergi mendekati mata air atau aliran, namun membujuk kami untuk membeli air dari petani Kurdi yang datang dari desa-desa di sepanjang perjalanan. Para penduduk desa terkadang menuntut satu lira (sekitar $5.) untuk secangkir air, dan seringkali para pemuda yang dikirim untuk membelinya menerima pukulan sekaligus air. Kami yang memiliki uang dengan mereka membaginya dengan orang-orang yang tak memilikinya. Terkadang, para penduduk desa akan menjual air, mengumpulkan uang, dan kemudian tip untuk tiap-tiap cangkir.

Setelah kami berada pada perjalanan selama sepekan, kami diperlakukan lebih kejam ketimbang pada beberapa hari pertama. Wanita tua, dan orang-orang yang terlalu sakit untuk bertahan, dibunuh, satu per satu. para prajurit berkata bahwa orang-orang tersebut tak dapat bersama dengan mereka. Ketika anak-anak tertinggal di belakang, atau bergerak ke luar barisan rombongan lainnya, para zapties akan mengarahkan bayonet mereka dan membidik mereka—terkadang berniat untuk menangkap mereka lagi ketika mereka jatuh, pada bidikan bayonet mereka. Para ibu yang menyaksikan anak muda mereka dibunuh dalam perjalanan ini untuk olahraga para penjaga kami tak dapat protes. Mereka menyadari bahwa jenis protes apapun adalah bunuh diri. Mereka menyaksikan dan memeras tangan mereka, atau menutup mata mereka ketika anak-anak tersebut meninggal.

Keluarga kami sangat beruntung karena para adik kami tak ada yang sakit. Meskipun Hovnan yang baru berusia enam tahun, ia nampak menyadari apa yang terjadi. Adiknya, Hagenoush, yang bersama dengan kami, dibawa keluar dari jalan oleh seorang zaptieh, yang memukulinya ketika ia berniat untuk memberontak. Ketika ia memarahinya, ia menyayat pisaunya ke dadanya dan mengembalikannya kepada kami yang menjerit dengan rasa takut dan luka. Aku pikir aku tak pernah menjadi patah semangat ketika mereka memperlakukan Hagenoush dan melukainya.

Kabar-kabar pembantaian dan deportasi tak mencapai seluruh desa yang dilalui oleh kami, karena jalan tersebut jarang dilalui. Kami datang ke satu pemukiman Armenia di tempat wanita berada di tabung-tabung cucian mereka, di tempat cuci umum, hanya berpakaian sebagian, sebagaimana halnya di desa-desa pedalaman di Turki. Para penjaga mengelilingi wanita tersebut sesekali dan membawanya, sebagaimana kami berada pada rombongan kami. Ketika mereka mengumpulkan para pria, yang tidak tahu kenapa mereka diperlakukan demikian sampai kami berkata kepada mereka. Kami singgah di kota tersebut ketika para prajurit menjarahi seluruh rumah di desa tersebut. Kemudian, mereka membakarnya.

Kami kini berada di daerah dimana terdapat banyak desa Turki serta pemukiman Kurdi. Kami berkemping di malam hari dalam lingkaran besar, dengan par agadis muda diambil untuk perlindungan di dalam lingkaran tersebut sebanyak mungkin. Setiap hari, wanita muda dibawa pergi untuk dijual kepada orang-orang Turki yang tinggal di dekatnya. Pada malam hari, para zaptieh memilih wanita paling memikat dan menggerayanginya.

Malam usai desa Armenia tersebut dikejutkan, kami baru saja membuat kemah kami ketika kapten prajurit memerintahkan para pria yang telah diambil dari desa tersebut pada hari itu untuk dihadapkan kepadanya, dalam sebuah tenda yang dijangkau lewat jalan kecil. Kapten tersebut menginginkan nama mereka, menurut penjelasan para prajurit. Kami berharap agar para pria tersebut masih akan bersama dengan kami. Terdapat tujuh puluh dua orang dari mereka, dan kami merasa lebih selamat dan mendorong mereka bersama dengan kami. Namun, kami mengetahui apa arti penjelasan tersebut. Para pria juga mengetahuinya dan sehingga menyatakannya kepada para wanita mereka.

Setiap pria menyatakan hal baik kepada istri, putri ibu dan kerabat lainnya yang dikumpulkan di desa tersebut. Tenda kapten tersebut hanya nampak sebagai titik putih pada sinar bulan. Di sekitarannya, mereka mengumpulkan rombongan prajurit dan zaptieh. Para wanita menempel pada para pria tersebut selama mereka bisa, ketika pria dikirab dalam rombongan kecil. para penjaga kami tak mengijinkan kami untuk ikut. Aku melihat, berharap melawan harapan.

Kemudian, kami menyaksikan keributan. Jeritan timbul di antara kami. Orang-orang berlari ke gurun, dengan orang-orang lainnya dikejar. Hanya pengejar yang kembali. Kemudian, suasana menjadi diam. Seluruh pria telah meninggal.

Itu adalah pertama kalinya para perwira mendirikan tenda. Kami terpukau dengan hal yang mereka lakukan, karena biasanya mereka tidur di tempat terbuka setelah semalaman menggerayangi gadis-gadis kami. Setelah itu, kami makin terpukau ketika kami menyaksikan para prajurit menempatkan sebuah tenda untuk malam hari.

Usai membantai para pria, para prajurit yang terlibat datang ke kemah tersebut dan, dengan-orang yang measih menjaga kami, ingin memilih wanita di antara kami yang suaminya masuk kelas yang sangat makmur dan memerintahkan mereka untuk pergi ke tenda tersebut. Kapten ingin menanyanyi mereka, kata para prajurit. Mereka menjelaskan kepada ibuku dan banyak wanita yang telah menjadi tetangga atau teman kami, sampai dua ratus wanita yang suaminya kaya atau berkecukupan dikumpulkan. Dengan ibuku, tanteku Mariam, yang suaminya adalah seorang bankir, diambil.

Ketika para wanita datang ke tenda tersebut, kapaten berkata kepada mereka bahwa mereka diperintahkan untuk memberikan uang yang dibawa oleh mereka, “untuk penjagaan keamanan dari pasukan Kurdi,” katanya. Para wanita mengetahui bahwa uang mereka tak akan pernah dikembalikan kepada mereka dan bahwa mereka akan makin menderita tanpanya. Mereka menolak untuk menyerahkannya, dengan berkata bahwa mereka tak memiliki satupun. Kemudian, para zaptieh menjatuhkan mereka. Mereka mencarinya ke seluruh bagian, mula-mula melucuti seluruh pakaian mereka.

Seorang wanita, yang merupakan saudari dari pria kaya, Garabed Tufenkjian, dari Sivas, dan yang mengunjungi kota kami ketika deportasi dimulai, dipukuli hingga ia mengaku bahwa ia menyembunyikan beberapa uang pada tubuhnya. Ia memohon kepada prajurit untuk berhenti menghajarnya agar dapat memberikannya. Para prajurit berteriak kencang karena pengakuan tersebut mengembalikan uang mereka sendiri, memotongnya dengan kejam memakai pisau mereka untuk menunjukkan bahwa mereka tak kehilangan apapun.

para prajurit kemudian mencarinya pada setiap wanita dengan cara ini. Tanteku Mariam telah menjadi seorang ibu. Ketika para prajurit meliriknya, mereka membantingnya ke tanah dan membidiknya dengan bayonet mereka, dengan berpikir, dalam cara penghirauan mereka, ia telah menyembunyikan sejumlah besar uang. Mereka sangat tak suka kami jatuh pada wanita lain dengan energi terbarukan.

Dari dua ratus orang atau lebih yang diperlakukan demikian, hanya sekelompok kecil yang selamat. Ketika mereka merangkak kembali ke kemah dan ditangani para kerabat mereka, mereka menjerit keras hingga mereka tak dapat berbicara—mereka kehilangan suara mereka. Ibuku yang malang memberikan semua uangnya kepadaku, namun tidak melakukannya pada anggota keluarganya yang lain. Ia berdarah akibat banyak sayatan dan memar saat ia menghampiri kami, dan kemudian pingsan ketika ia menyaksikan Lusanne dan aku berlari kepadanya. Kami membawanya ke kemah dan memakai air minum terakhir kami, yang kami dapatkan sehari sebelumnya, untuk membasuh luka-lukanya.

Ketika para prajurit dan zaptieh membagi uang yang mereka ambil, mereka datang ke kami lagi untuk mengambil wanita muda untuk dibawa ke tenda para perwira. Sinar bulan sangat terang, tak ada satupun dari kami yang dapat menutupi diri kami sendiri. Lusanne duduk dengan anak-anak, melerai mereka, ketika aku beralih untuk merawat luka-luka ibu. Seorang zaptieh menjambaknya dan menarik kakinya.

“Ampuni saya, ibuku sekarat — ampuni saya!” Lusanne menangis, namun zaptieh tersebut tak berbelas kasihan. Zaptieh tersebut menyeret Lusanne sepanjang perjalanan. Aku tak dapat menahan diriku sendiri. Aku berlari ke Lusanne dan memeganginya, memohon kepada zaptieh tersebut untuk melepaskannya. Lusanne juga memberontak, dan zaptieh tersebut menjadi murka. Dengan sumpah, ia mengeluarkan pedangnya dan menyayat dada Lusanne. Saat terjatuh, sayatan tersebut mengenai kulit pipiku, meninggalkan bekas luka yang masih aku miliki. Lusanne tewas di tanganku. Zaptieh tersebut mengalihkan perhatiannya kepada gadis lain yang ia lirik.

Ibu tak melihatnya—ia masih tersiksa oleh penderitaannya sendiri. Namun, Aruciag dan Hovnan, adik-adikku, menyaksikan semuanya dan berlari ke arah aku berdiri, dengan jasad terduduk Lusanne di tanganku. Aku membaringkannya ke tanah dan memanggil ibu.

Seorang yang berdiri di dekatku menempatkanku ke dekat ibu. Aku membimbing para adikku dan meminta wanita lain untuk menjaga mereka, kemudian aku kembali ke jasad kakakku. Aku tak dapat membuat diriku mempercayainya. Aku menghitung dengan jari-jariku—ayah, ibu, Paul, Lusanne, Aruciag, Sarah, Mardiros, Hovnan dan dua tanteku. Denganku menjadi sebelas—sebelas dalam keluarga kami. Kemudian aku menghitung ayah, Paul, Tante Mariam, dan kini Lusanne—empat telah pergi!

Aku menangisi Lusanne sepanjang waktu. Ketika aku menyadari bahwa aku harus melakukan sesuatu. Aku khawatir kejutan mendadak dapat membunuh ibu, sehingga aku harus memiliki waktu, aku tau, untuk mempersiapkannya. Dengan bantuan beberapa wanita lainnya, aku membawa Lusanne ke samping kemah dan dengan tangan kami, kami menggali makamnya—yang hanyalah lubang sempit di pasir. Aku membuat salib kecil dari potongan kayu yang kami temukan setelah pencarian panjang, dan meletakkannya di tangannya.

Saat pagi datang, ibu telah mengumpulkan kekuatannya, dengan usaha yang luar biasa, dan dapat berdiri dan berjalan. Beberapa wanita muda yang kuat, menawarkan bantuan untuk menggendongnya, bahkan sepanjang hari bila dibutuhkan, jika ia tak dapat berjalan. Ibu memutuskan untuk berjalan beberapa waktu, meskipun dengan bantuan pundakku.

Ia bertanya kepada Lusanne ketika kami mulai bersiap untuk berkirab pada hari itu. Aku berupaya untuk meyakini bahwa Lusanne akan kembali dalam rombongan—“menolong wanita yang sakit,” kataku. Namun ibu membaca mataku—ia mengetahui bahwa aku berupaya untuk membangunkannya.

“Jangan khawatir, Aurora kecil,” katanya kepadaku, oh, dengan sangat lembut; “janganlah khawatir untuk berkata hal apapun kepadaku—apakah mereka menculiknya?”

“Mereka berniat untuk membawanya,” kataku, “namun—”

Aku berhenti. Ibu membantuku lagi. “Apakah ia tiada? Apakah mereka membunuhnya? Jika mereka melakukannya adalah jauh lebih baik, Aurora-ku.”

Kemudian aku berkata kepadanya. “Mereka membunuhnya—dengan sangat cepat—kata-kata terakhirnya adalah bahwa Tuhan telah baik untuk membebaskannya.”

Kami melihat zaptieh yang membunuh Lusanne, pada hari itu, dan Aruciag mengenalnya. “Ada pria yang membunuh kakakku,” tangisnya. Ibu menempatkan tangannya pada matanya dan tak lagi melihatnya.

Kami semua sangat takut atas apa yang terjadi kepada kami di Hassan-Chelebi. Beberapa wanita muda yang diambil pada malam itu ke tenda para perwira berkata kepada kami bahwa beberapa bey besar dari Sivas untuk menemui kami di Hassan-Chelebi, dan bahwa beberapa hal dilakukan terhadap kami disini. Kami khawatir kalau itu artinya seluruh gadis kami diculik.

Ketika kota tersebut menjulang di hadapan kami, wanita muda kami mulai gemetar ketakutan, dan banyak dari kami terjatuh, tak dapat berjalan, penderitaan mereka sangat besar. Para prajurit mengguncang mereka dan mereka dipandu menuju pusat kota. Ratusan wanita kami bertelanjang bulat, khususnya orang-orang yang telah dilucuti dan dipukuli ketika para prajurit merampok mereka. Para zaptieh tak mengijinkan mereka untuk menutupi diri mereka sendiri, nampak untuk mengambil kesempatan untuk memperlihatkan orang-orang yang tanpa pakaian tak tertutupi kami kain dari lainnya. Para wanita malang tersebut diperintahkan untuk berjalan sepanjang jalan Hassan-Chelebi dengan kepala mereka menunduk dengan malu, sementara para penduduk Turki menonton mereka dari jendela dan pinggir jalan.

Di lapangan, para perwira Turki dari Sivas datang untuk melihat kami. Salah satu dari mereka adalah Muamer Pasha, gubernur Sivas yang kejam; Mahir Effendi, ajudannya; Tcherkess Kior Kassim, kepala algojonya, yang, usai kami mengetahuinya, telah menaungi pembantaian 6.000 orang Kristen Armenia di jurang Tchamli-Bel, dekat Sivas; seorang kapten dari para zaptieh dan seorang hakim. Dua perwira tersebut dikenal di seluruh belahan Armenia—Muamer Pasha dan algojonya, karena sifat kejam mereka terhadap orang-orang Kristen.

Usai para perwira melewati kami, yang sangat didekati oleh para prajurit sehingga tak ada yang dapat memilih mereka, Mudir, atau walikota tingkat rendah dari kota tersebut, datang dengan polisi untuk membawa seluruh anak laki-laki berusia lebih dari delapan tahun. Polisi berkata bahwa walikota telah mendirikan sekolah untuk mereka di sebuah biara. Disana, mereka akan dijaga sampai ibu-ibu mereka ditempatkan secara tetap di suatu tempat dan dapat mengirim mereka. Secara keseluruhan, kami tahu bahwa ini adalah alasan palsu.

Ia sangat mengkhawatirkan Mardiros, namun ia terlalu kecil sehingga mereka tak membawanya. Terdapat 500 anak laki-laki dari kami yang berusia antara delapan dan liam belas tahun, dan semuanya dikumpulkan.

Anak-anak kecil tersebut dibawa ke istana walikota. Kemudian, para prajurit mengkirab mereka, semuanya menangis dan menjerit. Kami mendengar tangisan sepanjang jalan. ketika kami datang ke Arabkir, kami mendapatkan kabar dari pengungsi lain bahwa seluruh anak laki-laki tersebut dibantai saat mereka melewati perbukitan menuju lembah tepat di luar Hassan-Chelebi. para prajurit membagi mereka dalam sepuluh dan lima belas kelompok dan kemudian menghunus mereka dengan pedang dan bayonet. Para pengungsi yang melewati jalan dari Sivas menyaksikan jasad-jasad mereka di jalan.

Sebelum kami meninggalkan Hassan-Chelebi, Tcherkess Kior Kassim, seorang algojo, datang kepada kami, dengan rombongan zaptieh dan mengambil dua belas gadis yang paling muda—kebanyakan dari mereka berusia delapan sampai dua belas tahun. Algojo tersebut kemudian mendatangkannya ke Konstantinopel, kata para prajurit, dan ingin menjual para gadis muda tersebut untuk dijual ke orang-orang Turki kaya dari keluarga yang berkuasa, beberapa dari mereka terbiasa membeli gadis cantik pada usia ini, sememungkinkannya, dan membawa para gadis tersebut ke harem milik orang-orang Turki tersebut sampai para gadis tersebut dewasa. Mereka dibesarkan sebagai Muslim dan kemudian memberikan putra pemilik mereka, atau kepada teman yang berkuasa.

Tepat di luar Hassan-Chelebi, yang kami tinggalkan pada siang hari, kami bertemu rombongan 3.000 pengungsi dari Sivas. Mereka juga berjalan menuju Arabkir, dan berkemping di luar kota untuk menunggu kami. Beberapa diantara mereka adalah rombongan dua puluh anggota Kesusteran Rahmat. Para anggota kesusteran tersebut, yang kebanyakan adalah orang Eropa, diperintahkan bangun dari kasur mereka pada tengah malam oleh Kaimakam, atau gubernur tingkat rendah. Ketika para prajurit Turki mendatangi mereka saat mereka tertidur. Para prajurit tak mengijinkan mereka untuk berpakaian, namun mengambil mereka dalam keadaan tak berkasut dan berbaju tidur.

Pada hari-hari panjang keluar dari Sivas, mereka memutuskan untuk membawa kain lainnya, namun tak ada yang memiliki sepatu dan kaki mereka menjadi memar dan berdarah. Mereka sangat lembut dan berani, dan semuanya telah mendapatkan pendidikan di sekolah-sekolah Amerika atau Eropa. Mereka menuntut pengecualian dari deportasi dengan keputusan tertentu yang dibuat untuk mereka oleh Sultan, namun para prajurit menghiraukan permohonan mereka.

Meskipun memberikan penghormatan kepada para penjaga mereka karena penugasan suci mereka, para suster tersebut mengalami perlakuan yang mungkin paling buruk. Mereka berkata kepada kami bahwa setiap malam usai rombongan mereka meninggalkan Sivas, para prajurit dan zaptieh membawa mereka menjauh dari rombongan dan melakukan kekerasan pada mereka. Mereka memohon untuk dibunuh, namun permohonan ini pun ditolak. Dua dari mereka, Suster Sarah dan Suster Esther, yang berasal dari Amerika, telah bunuh diri. Mereka hanya memiliki tangan mereka—tanpa senjata lain, dan penyiksaan dan penderitaan dialami oleh mereka ketika nyawa mereka sendiri terancam.

Para pengungsi dari Sivas meliputi para pria. Terdapat lebih dari 25.000 orang Armenia di kota tersebut, dan semuanya mengetahui bahwa mereka akan dibawa pergi. Rombongan tersebut yang bergabung dengan kami mula-mula dikirim keluar. Mereka telah melihat banyak jasad di sepanjang jalan, lapor mereka, yang merupakan orang-orang yang dideportasi dari kota-kota lainnya.

Ketika kami datang ke Arabkir, kami diperintahkan untuk berkemah di tepi kota. Rombongan pengasingan dari banyak desa antara Arabkir dan Sivas berdatangan kesini. Beberapa dari mereka masih terdiri dari para pria dan pemuda, yang lain berkata kepada kami soal bagaimana para pria mereka dibunuh sepanjang perjalanan.

Orang-orang Armenia dari Arabkir sendiri menunggu deportasi, yang terdiri dari rombongan 8.000 orang atau lebih, di dekat tempat kami berhenti. Mereka telah menunggu selama lima hari, dan tak mengetahui apa yang terjadi pada rumah mereka di kota tersebut.

Seorang perwira khusus datang dari Sivas untuk mengambil tugas deportasi di Arabkir. Ia datang bersama dengan rombongan zaptieh. Halil Bey, seorang pemimpin militer besar, dengan bawahannya, juga ada di sana, pada perjalanannya menuju Konstantinopel di tempat ia mengambil komando pasukannya.

Di pusat kota, terdapat sebuah rumah besar yang dipakai oleh toko-toko Armenia makmur. Pada lantai atas, terdapat ruangan besar yang dijadikan tempat berkumpul. Rumah tersebut dikenal sebagai Kasab-Khana—“rumah penjagal”—karena disana, para pria utama dari kota tersebut berkumpul dan menjagal.

Tak lama usai kedatangan perwira khusus tersebut, para prajurit memerintahkan seluruh pria yang masih dengan orang-orang pengasingan Sivas, untuk bertemu dengannya ke Kasab-Khana. Para pria ragu-ragu untuk pergi, namun dikatakan bahwa tak akan ada kekejaman lebih yang dilakukan oleh otoritas tinggi. Para pria tersebut datang, yang terdiri dari dua ribu orang, dan dibunuh tak lama usai mereka mencapai Kasab-Khana. Para prajurit bersembunyi di lantai bawah dan ketika para pria berkumpul di lantai atas, pintu-pintu ditutup dan para prajurit tersebut datang untuk menjagal. Pria-pria lompat dari jendela secepat yang mereka bisa, namun para prajurit membidik mereka dengan bayonet mereka.

Jasad-jasad bergelimpangan di luar rumah tersebut pada hari berikutnya. Pada pagi berikutnya, kami masih bertahan di jalan-jalan ketika perwira memanggil para gadis yang masuk perguruan-perguruan tinggi dan sekolah-sekolah Kristen di Sivas, dan Misi di Kotcheseur, sebuah kota Armenia dekat Sivas. Terdapat dua ratus gadis, semuanya adalah anggota keluarga baik-baik, dan semuanya berusia antara lima belas dan dua puluh tahun. para prajurit berkata bahwa pemerintah telah memerintahkan mereka untuk dikirim di bawah naungan para misionaris ke sebuah sekolah dekat pesisir. Disana, mereka akan dilindungi.

Para gadis tersebut diperintahkan ke Kasab-Khana. Kemudian mereka mengetahui, untuk pertama kalinya, apa yang terjadi pada para pria sehari sebelumnya. Mereka berdiri berbaris sepanjang beberapa yard dari sekelompok jasad yang masih terbaring di jalanan.

Para prajurit memerintahkan mereka ke ruang lantai atas rumah tersebut, yang masih berlumuran darah di tembok dan lantai. Ia membujuk mereka untuk menyangkali Kristus dan menerima Allah. Hanya sedikit yang sepakat. Orang-orang tersebut dibawa pergi ke tempat yang tak aku ketahui. Sisanya yang ditinggalkan di ruangan tersebut, para prajurit memasuki ruangan tersebut, berbagi ruang dengan para gadis tersebut. Sepanjang siang dan malam, para prajurit datang dan pergi dari rumah tersebut. Nyaris seluruh gadis tersebut meninggal. Orang-orang yang masih hidup ketika para prajurit tersebut datang dikirim ke bawah naungan para zaptieh.