BAB VIII


DI HAREM HADJI GHAFOUR


Usai pembantaian pria, semua pengasingan yang menunggu di Malatia diperintahkan untuk bersiap berjalan lagi. Mereka dipertemukan di luar kota menjelang pagi. Hanya wanita dan beberapa anak, dengan disini dan terdapat seorang pria tua, yang ditinggalkan. Mereka menyatakan bahwa kami dibawa ke Diyarbekir, yang berjarak seratus mil dari daerah tersebut. Sangat sedikit orang yang memiliki harapan selamat pada tahap perjalanan ini, karena daerah tersebut dilalui oleh desa-desa Turki, Sirkasia dan Kurdi, dan dihuni oleh para Muslim paling fanatik. Para warga sipil lebih kejam terhadap orang-orang yang dideportasi di sepanjang jalan di antara kota-kota besar, ketimbang para prajurit. Beberapa perlakuan yang diderita oleh orang-orang kami dari para pemukim fanatik dari kota-kota kecil tak dapat aku tuliskan.

Ketika rombongan dikumpulkan, di luar Malatia, rombongan tersebut terdiri dari lima belas ribu wanita, muda dan tua. Sangat sedikit yang memiliki kepribadian. Hanya sedikit orang yang memiliki makanan. Namun, kebanyakan orang memutuskan untuk menyerahkan uang dan bersiap untuk berbagi apa yang mereka miliki dengan orang-orang yang tak memilikinya. Uang hanya dipakai untuk makanan untuk bertahan hidup pada perjalanan yang panjang, dan hanya perlindungan terhadap zaptieh dari pembunuhan.

Rombongan murtadin yang diijinkan untuk bergabung ditempatkan di bagian depan rombongan, dengan pengawalan khusus para prajurit. Para zaptieh mengawal rombongan lainnya, namun sangat sedikit yang terbantu. Kebanyakan zaptieh di daerah tersebut ditempatkan dalam tentara Mesopotamia. Rombongan murtadinku, yang berjumlah sekitar dua ratus orang, dikawal dengan sangat baik. Yang lainnya sepenuhnya pada naungan orang Kurdi dan penduduk desa.

Waktu itu jatuh pada akhir Juni, dan bersuhu sangat panas. Sejumlah wanita lansia terjatuh ke tanah, merunduk karena kepanas dan haus akan air, yang hanya kami dapatkan dari para petani di sepanjang jalan. Ibu dua anak dalam rombonganku, yang, dengan putri-putrinya, telah berjalan seratus mil menuju Malatia, dipukuli sampai ia terjatuh ke belakang. Ia tersungkur ke tanah dan tak dapat bangun. Para prajurit tak dapat membangunkannya. Dua putrinya hanya memberikan ciuman perpisahan dan meninggalkannya di pinggir jalan.

Salah satu dari dua garis tersebut adalah seorang tunangan—seorang tunangan yang menjanda. Ia menyaksikan suami dan ayahnya dibantai di kota Kangai, pada jalan Sivas, dan ketika pasukan Kurdi nyaris membunuh ibunya karena ia telah tua, ia memohon kepada perwira Turki, ayng berada di dekatnya, untuk menyelamatkannya. Perwira tersebut membujuknya agar ia menyangkali agamanya untuk menyelamatkan ibunya, dan ia menentang—ia beserta adiknya.

Kakak beradik tersebut berjalan membopong tangan mereka satu sama lain. Mereka tak peduli untuk melirik keadaan sekitar tempat ibu mereka terbaring di tanah. Ketika mereka dapat mendengar rintihan wanita tersebut, aku tak lagi berjalan dengan mereka dan memujuk mereka untuk tetap berada di dekatku. Aku tahu apa yang mereka rasakan. Aku terkejut jika ibuku sendiri dan adik-adik kecilku masih hidup. Seorang prajurit di Malatia berkata kepadaku bahwa para pengasingan dari Tchemesh-Gedzak telah lewat ke sana tiga pekan sebelumnya dan telah hengkang, karena mereka pergi menuju Diyarbekir. Katanya, mungkin mereka masih disana ketika mereka datang—jika mereka dapat melakukannya.

Beberapa jam di luar kota, kami terhenti. Kami banyak diperhatikan oleh hal ini, sebagaimana peristiwa yang biasanya menimbulkan ketegangan-ketegangan baru. Kali ini tanpa pengecualian. Kemudian, mereka menghentikan para penduduk desa yang lewat untuk menghampiri kami dan mulai merampok kami.

Sebelum senja, tangisan keras bermunculan. Kami melirik ke timur, dimana terdapat perlintasan lebar melewwati perbukitan, dan menyaksikan segerombolan pasukan berkuda berkendara menuju kami. Mereka adalah orang-orang Kurdi, ketika mereka berkata dari jalan yang dilewati oleh mereka. Para penduduk desa berteriak—“Itu Kerim Bey, teman Djebbar. Sebaiknya kita berpencar!” Mereka kemudian bergegas kembali ke perbukitan, tampaknya karena takut kepala suku Kurdi tersebut ak akan menyambut mereka mencari makan di antara para calon korbannya.

Perkataan bahwa Kerim Bey adalah “teman Djebbar” menjelaskan kedatangan para rombongannya. Djebbar Effendi adalah panglima militer daerah tersebut, yang dikirim oleh pemerintah di Konstantinopel untuk menindas orang-orang Armenia pada masa deportasi. Perkataannya adalah hukum, dan selalu merupakan perkataan kejam. Kerim Bey adalah kepala suku Kurdi paling ditakuti—ia dan Musa Bey. Keduanya berasal dari Kurdi Aghja Daghi. Kerim Bey dan rombongannya mengatur pinggiran daerah, dan kemudian memberontak melawan pasukan Turki. Untuk mempertahankannya sebagai sekutu, Djebbar Effendi memberikan banyak rombongannya ke orang-orang Armenia yang diasingkan dari Malatia ke Diyarbekir dan wilayah yang lebih jauh lagi.

Terdapat ratusan pasukan berkuda dalam rombongan Kerim. Mereka berkendara dari jauh dan berupaya, sangat berupaya untuk membawa rombongan pada sinar bulan, namun tak terlalu lelah untuk memulai teror sepanjang malam kepada kami selama beberapa hari berikutnya. Mereka berjalan tertatih-tatih dengan kuda-kuda mereka dalam kelompok-kelompok kecil yang terpencar di sepanjang sisi jalan ketika mereka mulai mengumpulkan rombongan kami. Jeritan dan tangisan untuk belas kasihan dan rintihan para ibu dan saudari mengisi malam tersebut.

Aku menyaksikan hal-hal mengerikan pada malam itu yang tak dapat aku ceritakan. Ketika aku melihat mereka dalam mimpiku kini aku menjerit, bahkan ketika aku diselamatkan ke Amerika, malam-malamku tidaklah damai. Sekelompok orang Kurdi secara kejam menyiksa seorang wanita muda yang nyaris menjadi gila dan menyerahkan dirinya ke seorang pria untuk menyelamatkan putrinya dari kesengsaraan lainnya. Pada kesempatan tersebut, orang-orang Kurdi menginjak-injaki wanita yang menggila tersebut, dan putrinya bergegas pergi.

Ketika kami terbangun, pasukan Kurdi mengeluarkan pisau tajam dan panjang mereka dan menghunuskan ke wanita yang berani dan membantai kami semua. Aku berpikir seharusnya terdapat lima puluh orang dari mereka. Mereka melucuti jasad mereka dan menyulut api pada pakaian mereka. Ketika beberapa orang terhibur, rombongan lain mencari gadis yang telah diselamatkan, namun mereka tak dapat menemukannya. Sehingga, bertentangan dengan ini, mereka menangkapi gadis lain dan membawanya ke nyala api dan melemparkannya. Ketika ia berniat untuk kabur, mereka melemparkan punggungnya hingga ia terbakar sampai mati.

Ketika pasukan Kurdi menghampiri rombongan murtadinku, para prajurit berkata kepada mereka untuk mengijinkan mereka pergi. “Kamu telah melakukan sebagaimana yang kau harapkan dengan yang lainnya—itu adalah perlindungan,” kata perwira Turki yang bertugas. Namun perwira yang sama tak puas hanya menjadi penonton saat orang Kurdi bersenang-senang.

Lima prajurit datang dari tendanya dan membawa seorang wanita muda yang mereka pikir akan membahgiakan kepala suku mereka. Mereka merobek kerudung wanita untuk menunjukkan bahwa ia masih muda, sampai mereka mendatangkan gadis dari kota Derenda, menuju Sivas. Ia sangat cantik, namun salah satu prajurit mengenalinya ketika mereka menyeretnya. “Kah!” katanya kepada para rekannya. “Orang ini tak akan melakukannya. Ia tak lagi menjadi pelayan!” Mereka mendorongnya ke sisi ruang dan mendorongnya lebih lanjut. Namun setiap gadis yang menadahkan tangan mereka setelah mereka menangis, “Aku juga bukan perawan!” Setiap orang yang bersujud dan terdorong ke samping ketika ia mengklaim telah dipermalukan.

Tak lama kemudian, para serdadu menyaksikan mereka ditipu oleh mangsa paling pilihan. Mereka beralih ke beberapa wanita yang lebih tua dan mengambil tiga orang. Salah satu dari mereka dipaksa bersujud dan dua prajurit memegangi bagian belakang kepalanya dengan tangan mereka sampai wajahnya melirik ke bintang-bintang. Serdadu lainnya menekan jempolnya ke bola matanya, dan berkata:

“Jika tiada perawan di antara kamu, maka Allah mengkehendaki mata wanita ini keluar!”

Muncullah tangisan ngeri, kemudian jeritan. Seorang gadis yang seharusnya seumuran denganku, dan aku seringkali meliriknya karena rambutnya lebih ringan ketimbang nyaris seluruh gadis Armenia, melemparkan dirinya sendiri, berteriak, di atas kaki para prajurit. Tangannya memegangi kaki prajurit yang jempolnya menekan mata wanita tersebut, ia menangis:

“Ibuku! ibuku! Selamatkan dia—disini aku—Aku masih gadis!”

Para prajurit membawa gadis tersebut, bersuara keras atas keberhasilan rencana mereka. Ketika mereka mengangkatnya, ia mengulurkan tangannya ke wanita tersebut, yang jatuh di dekapannya ketika para prajurit melepaskannya. “Ibu,” gadis tersebut berteriak, “cium aku—cium aku!”

Wanita malang tersebut berusaha melangkah danmemegangi tangannya, namun matanya kesakitan dan ia tak dapat melihat. Gadis tersebut memohon kepada para prajurit untuk membawanya beserta ibunya. “Aku akan pergi—aku akan pergi, dan memohon—namun biarkan aku mencium ibuku!” tangisnya. Namun, para prajurit menghiraukannya.

Sang ibu berdiri, orang-orang di sekitarnya berkerumun mendekat untuk menenangkannya. Kemudian, mendadak, ia jatuh dan terbujur ke tanah. Ketik akami mengerumutinya, ia tewas. Kami mendudukkan jasadnya sampai sang putri datang kembali—setelah rembulan melintasi langit, dan berada di tengah malam. Gadis tersebut menyembunyikan wajahnya saat ia dapat mendekat, sampai ia dapat mengkebumikannya dengan selendang ibunya. Ia mendudukkan jasadnya sampai pagi, ketika kami dibawa berkirab lagi.

Sepanjang malam, hal-hal semacam itu terjadi.

Rombongan lain di sepanjang jalan bernasib sama. Terkadang, aku menghitung jasad-jasad orang yang diasingkan yang telah mendahului kami sampai aku tak dapat menghitung lagi. Mereka terbaring di pinggir jalan, di tempat para pengawal mereka meninggalkan mereka, sepanjang bermil-mil.

Pada hari kesebelas, kami datang ke Shiro, kota Turki tempat karavan menuju Damaskus menjalani malam dalam kelompok besar dan kemudian beralih ke selatan. Terdapat karavan lain yang kini dipakai untuk perjalanan mereka menuju ke jalur kereta api Damaskus dan kemudian kembali. Shiro adalah tempat tinggal dari sebagian besar orang Turki, yang mendapat untung dari para pedagang, atau orang yang pensiun dari jabatan kekuasaan dan keuntungan di Konstantinopel. Tempat tersebut bukanlah kota yang besar, namun lebih kepada pemukiman para agha yang kaya.

Kami berkemping di luar kota kecil tersebut. Pada awal pagi berikutnya, para perwira militer datang. Kerim Bey mendatangi kami, dan tiadakan sebuah konferensi pendek. Kemudian, orang-orang Kurdi mulai mengumpulkan gadis-gadis tercantik. Mereka mengambilnya dari para kerabat mereka dan sebagian diserahkan, sebagian membawa mereka ke tempat para pengawal ditempatkan untuk mengurusi mereka.

Sepanjang pagi, orang-orang kurdi membawa pergi wanitamuda sampai lebih dari seratus orang diterima oleh perwira dari kota tersebut. Kemudian, para murtadin diperintahkan bergabung dengan para gadis yang menangis, dan mereka berkirab ke kota tersebut.

Jalan-jalan sempit dikerumuni dengan orang-orang Turki dan Arab. Mereka meneriaki kami, dan membuat lelucon kejam ketika kami lewat. Para murtadin tersebut terdiri dari banyak wanita tua, yang para putrinya disumpah kepada para Muslim untuk menyelamatkan mereka. Ketika kerumunan mengamati kami, mereka tertawa seraya mengejek. Sesekali para warga mengadakan pesta dan, tanpa sepengetahuan pengawal kami, mengambil empat wanita tua, melucuti pakaian mereka dan membawa mereka dipundak mereka, berteriak dengan suara menggelegar. Mereka tak pernah mendengar apa yang terjadi pada mereka. Aku pikir mereka dilemparkan oleh kerumunan sampai mereka tewas.

Kami dibawa ke rumah yang kami kemudian ketahui merupakan kediaman Hadji Ghafour, salah satu rumah terbesar di kota tersebut. Hanya para Muslim taat yang melakukan ziarah ke Makkah yang dapat disebut “Hadji.” Hadji Ghafour dipandang sebagai salah satu pria paling relijius.

Di rumah Hadji Ghafour, kami dikumpulkan di ruangan besar, dengan tembok berbahan batu, tempat kawanan unta seringkali ditempatkan sepanjang malam.

Hadji Ghafour datang ke ruangan, dikawal oleh para prajurit. Rombongan murtadin ditempatkan pada satu sudut dengan orang-orang Kurdi untuk menyaksikan kami. Hadji Ghafour memberikan titah kepada para pelayannya dan mereka memisahkan gadis paling menyenangkan dan wanita muda dari lainnya. Dari situ, dengan aku di antara mereka, hanya terdapat tiga puluh orang. Kami ditempatkan di ruangan tersebut dan yang lainnya, dalam jumlah yang tak terlalu banyak, pada lantai lain dari rumah tersebut. Nasib orang-orang yang tidak diserahkan kepada Hadji Ghafour tak pernah terdengar olehku. Seorang prajurit berkata kepada salah satu dari kami bahwa kami diijinkan untuk bergabung kembali dengan rombongan-rombongan deportasi.

Orang-orang dari kami yang dipilih dibawa ke hamman, atau kamar mandi, dan pakaian-pakaian dibawa untuk orang-orang yang berpakaian compang-camping atau, seperti halnya beberapa orang, yang nyaris tak memakai apapun. Wanita Turki dan gadis budak negro menyaksikan kami di permandian dan mengunci kami lagi.

Selama sejam, kami mendengar langkah kaki. Pintu dibuka dan seorang budak negro, dengan orang negro lain di belakangnya, menjelaskan kepada kami. Ragu dan terlalu pengecut untuk menjawab pertanyaan atau membalas katanya, kami mengikuti budak tersebut melewati balai dan menaiki tangga, sampai kami dibawa ke ruang besar bertabur permadani, yang secara brilian disinari dengan lampu-lampu dan lilin-lilin. Di atas dipan-dipan dengan bantalannya, di satu sudut ruangan tersebut, Hadji Ghafour sedang duduk dengan orang-orang Turki lain yang sekelas dengannya, semuanya berusia menengah atau lebih tua, tak ada yang bermuka murah hati.

Orang-orang kami yang dibawa dari rombongan yang dimurtadkan diberdirikan di satu sisi, sesambil seorang pelayan berkata, kepada yang lainnya:

“Ini adalah kehendak Hadji Ghafour, yang rumahnya diberikan kepadamu untuk mengungsi, agar kami membalas kebaikannya dalam menyelamatkanmu dari bahaya yang menimpa orang-orangmu dengan menarik ketidakpercayaanmu dan menerima rahmat Islam.”

Orang-orang Turki menyatakan suara setuju, dan seorang katib bersorban, atau imam masjid, memasuki ruangan, dengan hadirin yang membawa sajadah. Di belakangnya, seorang pelayan negro membawa cambuk kulit banteng. Sajadah dihamparkan, dan katib menunggu.

Orang-orang Turki menunjuk gadis yang ditentukan dan para pelayan menariknya. “Apa yang kau katakan?” ujar sang perwira. “Aku milik Kristus—dalam penjagaan-Nya, aku harus bertahan,” jawab sang gadis. Sang negro mencambuk pundaknya. Ketika ia menjerit untuk belas kasihan, Katib melepas alas kakinya, melangkah ke sajadah dan menghadap ke Makkah. “Allah maha besar; tiada Tuhan selain Allah!” katanya dalam suara kencang. Sang negro membanting sang gadis ke karpet. Ia berniat mencambuknya lagi jika ia tak segera berlutut. Wajahnya juga dihadapkan ke Makkah ketika ia berlutut. Dagingnya robek dan berdarah. Teror cambuk ada di dalam hatinya. Agar dapat melarikan diri, ia hanya dapat menyatakan rek’ah—“Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.”

Ketika orang terakhir mengucapkan syahadat, katib menggulung sajadah tersebut dan meninggalkan ruangan. Hadji Ghafour, yang kini tersenyum, memerintahkan kami semua untuk berdiri di hadapan para tamunya lagi. Semua orang sekarang telah murtad kecuali aku, karena orang-orang Turki menganggap bahwa aku sebelumnya menyatakan sumpah, sehingga aku tak berada dalam rombongan yang meliputiku. Hukum serta kesalehan Hadji Ghafour mengijinkan kami untuk melakukan hal dengan kami sekarang sesuai yang mereka pilih.

Satu per satu mereka memiliki kami, berdasarkan kemenarikan kami—Hadji Ghafour yang pertama, dan kemudian para tamunya. Bagaimana mereka mengadakan penataan pemilihan tak aku ketahui, namun mereka menyepakatinya di antara diri mereka sendiri. Terdapat lima atau enam gadis untuk setiap orang Turki. Aku salah satu orang yang diambil Hadji Ghafour, yang juga memilih dua putri yang memutuskan untuk meninggalkan ibu mereka yang sekarat pada perjalanan Sivas.

Kedua kakak beradik tersebut sangat terdiam sepanjang hari. Mereka sedikit berkata-kata kepada kami semua semenjak kami di bawah ke rumah Hadji Ghafour. Meskipun mereka menangis—setelah itu aku ingat bagaimana wajah mereka pada hari itu nampakriang dengan keberanian besar.

Para gadis yang dibawa oleh para tamu Hadji Ghafour dibawa pergi dalam rombongan terpisah ke rumah-rumah orang yang membawa mereka. Ketika para tamu tersebut beserta tahanan mereka datang lagi ke Hadji Ghafour untuk menjelaskan kami. Salah satu dari mereka adalah kakak beradik, yang tua, yang mula-mula berkata kepadanya. Kata-katanya mengerikan. Ia bertanya kepadanya, oh, sangat lembut dan halus, jika ia berkehendak untuk menyerahkan kepadanya, raga dan jiwanya, untuk tinggal di rumahnya, untuk patuh dan—penuh kasih sayang dalam penyerahannya.

Gadis tersebut tidak menunggu cepat. “Aku telah menyangkali Tuhanku untuk menyelamatkan ibuku, namun aku tak mendapatkannya. Nyawanya diambil. Aku menyerahkan diriku sendiri kepada Tuhan—dan aku tak akan mengkhianati-Nya lagi!”

Hadji Ghafour bergerak ke budak negronya, yang membawa gadis tersebut di tangannya dan membawanya keluar dari ruangan. Saudarinya berdiri didekatnya. Mata Hadji Ghafour menyoroti ke arah sampingnya.

“Dan kami, anakku,” katanya, dengan halus dan lembut. Dan ia berulang kali menanya-nanyainya agar ia berkata kepada saudarinya. Ia berkata juga secara lembut—lebih lembut ketimbang saudarinya, dengan hanya berkata. “Ia adalah saudariku. Dengannya aku melihat ibuku tewas, dan kini kamu mengambilnya. Kamu dapat membunuhku juga, namun aku tak akan menyerahkan diri kepadamu.”

Orang-orang dari kami yang menyaksikan meliriknya Hadji Ghafour dengan rasa takut. Pada waktu itu, matanya menyipit dan berlinang. “Kamu menyatakannya dengan baik, anakku,” ujarnya, yang masih berbicara dengan lembut kepada putri kesayangannya. “Mungkin lebih baik aku membunuhmu sebagai peringatan kepada anak-anakku yang lain.”

Sang negro dengan cambuknya berdiri mendekat. Hadji Ghafour tak berkata apapun kepadanya—hanya menggerakkan tangannya. Dua pelayan lainnya maju ke depan. Dengan cepat, mereka melucuti pakaian gadis tersebut. Dan kemudian cambuk tersebut dipecutkan ke tubuh telanjangnya.

Aku menutup mataku agar aku tak dapat melihatnya, namun aku tak dapat menutup suara cambuk yang memotong daging, lagi dan lagi, sampai aku tak dapat menghitungnya. Bahkan ketika gadis tersebut tak lagi menjerit dan tewas, cambukan tersebut tak berhenti pada waktu yang lama. Kemudian mendadak aku menyadari bahwa pukulan tersebut telah berhenti. Aku membuka mataku dan menyaksikan salah satu pelayan mengangkat jasad gadis tersebut dari lantai. Ia memegangi pinggangnya, dan tangan dan kakinya berdarah. Ia telah tewas.

Tak ada dari kami yang memiliki keberanian setelah itu. Kami memberikan janji kami kepada Hadji Ghafour. Kami dibawa ke pintu lain, kali ini ke rumah susun wanita, di tempat wanita rumah tangga menunggu untuk menyambut kami.