Asal Mula Pakis Berbulu

Asal Mula Pakis Berbulu

Ovi Novianti

Pada zaman dahulu kala di pedalaman Kalimantan hiduplah sebuah keluarga. Mereka adalah keluarga dan suku Dayak Kanayaan. Keluarga itu terdiri dari ayah, ibu, dan seorang anak perempuannya. Anak perempuan itu diberi nama Uti-Uti.

Uti-Uti adalah anak semata wayang. Walaupun anak satu-satunya, tetapi ayah dan ibunya tidak pernah memanjakan. Sejak kecil Uti-Uti selalu dibawa oleh ayah dan ibunya ke ladang karena tidak ada yang menjaganya di rumah. Selain itu, ayah dan ibunya menginginkan agar Uti-Uti dapat mengetahui perjuangan mereka untuk hidup. Harapan mereka agar kelak jika Uti-Uti telah tumbuh dewasa ia tidak menjadi anak yang malas, tetapi menjadi seorang manusia yang giat bekerja dan menghargai mereka. Mereka mengolah ladang dan menanami apa saja agar nantinya berbuah untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.

Dalam rumah yang sangat sederhana, mereka hidup rukun dan damai. Saat matahari belum terbit, ibu sudah bangun. Dengan tangkasnya ibu segera mengerjakan pekerjaan rumah. Asap sudah mengepul dari arah dapur rumah mereka. ltu pertanda ibu sudah mulai memasak. Biasanya yang pertama kali ia masak adalah air. Sedikit saja yang ia masak, hanya sekadar untuk membuat kopi buat ayah. Setelah itu, barulah ia lanjutkan dengan memasak air dalam jumlah yang ban yak.

Tungku dapur mereka agak panjang sehingga dapat dipergunakan untuk memasak dua jenis masakan. Di sisi tungku yang lain ibu mulai memasak nasi. Sambi! menunggu masakannya matang, ibu mulai menyapu lantai rumah. Lantai rumah mereka yang terbuat dari kayu belian selalu hitam mengkilap. Tiap hari ibu selalu menyapu dan mengepelnya. Walaupun harus bekerja di ladang, ibu tidak pernah melupakan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Ibu adalah sosok perempuan Dayak yang tangguh.

Matahari mulai menampakkan diri di ujung timur ketika mereka sekeluarga mulai meninggalkan rumah menuju ladang. Ladang mereka terletak di balik bukit yang ada di depan rumah mereka. Ladang itu agak jauh letaknya. Oleh karenanya, mereka harus berangkat lebih awal agar tidak kesiangan sampai di tujuan.

Kaki-kaki tanpa alas itu mulai menapaki rumput-rumput yang masih basah oleh embun. Bertiga mereka jalan beriring. Dimulai oleh ayah, ibu, dan Uti-Uti. Di pinggang ayah terselip mandau senjata khas suku Dayak. Tangan kananya memegang tugal. Tugal adalah alat yang dipergunakan petani Dayak untuk membuat lubang yang akan diisi dengan bibit padi. Hari ini mereka akan mulai menanam padi.

Ibu berjalan di belakang ayah. Di kepalanya tersangkut tali angkin yang diambinnya. Angkin adalah sejenis keranjang yang dipergunakan oleh suku Dayak untuk membawa barang-barang. Cara membawanya agak unik, karena tali untuk mengangkat angkin diletakkan di atas kepala. Angkin itu berisi benih padi dan makanan untuk makan siang mereka. Menu mereka hari ini adalah nasi, rebung rebus, dan ikan sepat bakar. Mereka memang keluarga yang sangat sederhana.

Perjalanan hari ini mereka lalui penuh semangat. Hari ini mereka akan memulai menaburkan benih di ladang mereka. Setelah beberapa hari yang lalu mereka menebasi ladang mereka.

Tahun ini mereka akan menanam padi. Padi yang mereka tanam adalah padi khas daerah pegunungan. Beras yang dihasilkan berwarna merah dan harum baunya.

Ketika matahari sudah setinggi pohon tengkawang muda, mereka tiba di ladang. Ladang itu tidak seberapa luas. Sebenarnya lahan di sekitar ladang mereka cukup luas. Namun, mereka hanya mengerjakan ladang sesuai dengan kemampuan mereka.

Bertiga mereka berjalan menuju gubuk kecil di tengah ladang. Gubuk itu merupakan tempat persinggahan mereka. Tempat mereka melepas Ieiah selama bekerja di ladang.

Ibu melepaskan angkin yang sedari tadi bergantung di kepalanya. Diletakkannya angkin itu perlahan-lahan. Saat Uti-Uti sudah agak besar, angkin itu tidak terlalu terasa berat. Dulu ketika Uti-Uti masih kecil, beban yang dibawa oleh ibu lebih berat dibandingkan sekarang karena sama seperti perempuan Dayak lainnya, ibu membawa Uti-Uti kecil dengan cara memasukkannya ke dalam angkin.

Mereka beristirahat sebentar. Sebentar saja. Sekadar melepaskan Ieiah setelah menempuh perjalanan dari rumah menuju ladang. Tak lama kemudian, ayah mulai meraih tugal yang dibawanya dari rumah. Ibu pun mulai mengeluarkan beih padi. Mereka akan mulai menanam benih-benih itu.

Dengan tugal di tangannya, ayah mulai membuat lubang. Setiap kali langkahnya mengayun mundur, setiap pula ia menghujamkan tugalnya ke tanah.

Ibu menyusul langkah ayah. Tiap lubang yang dibuat ayah, dimasukkan oleh ibu dua atau tiga biji benih padi.

Sampai di ujung ladang, ayah kembali memutar ke arah yang berlawanan, demikian juga ibu. Pekerjaan itu mereka lakukan hingga matahari sudah rapat di atas kepala mereka.

Ketika ayah dan ibunya sedang sibuk bekerja di ladang, Uti-Uti pun sibuk dengan pancingnya. Ia menggali tanah di sebelah gubuk. Dibongkarnya tanah itu. Uti-Uti sedang mencari cacing yang akan digunakannya sebagai umpan pancingnya. Di tanah yang subur seperti itu, Uti-Uti menemukan cacing dengan mudah. Diambilnya beberapa ekor cacing yang gemuk, lalu dibungkusnya dengan daun simpar. Ia pun berjalan menuju sungai.

Setiap hari pekerjaan ini Uti-Uti lakukan. Ada kalanya ia juga membantu ayah dan ibunya mengerjakan pekerjaan di ladang. Akan tetapi, ia merasa lebih senang jika diperbolehkan memancing karena sambil memancing ia dapat berenang-renang di sungai.

Di sungai kecil yang mengalir tenang, Uti-Uti duduk di atas batu besar. Tangan kanannya memegang batang pancing. Hingga siang hari sudah tiga ekor ikan yang didapatnya. lkan itu akan jadi lauk mereka esok hari.

Sebentar kemudian, Uti-Uti menceburkan tubuhnya ke sungai kecil itu. Sekadar menghilangkan rasa panas. Lalu, ia pun kembali ke gubuk. Di sana ayah dan ibunya sudah menunggu. Mereka akan makan siang bersama.

Nasi dari beras merah, rebung rebus, dan ikan bakar menjadi menu mereka hari ini. Ayah tampak lahap menikmati makanannya. Tenaganya yang telah banyak terkuras menyebabkan nafsu makannya bertambah. Ibu dan Uti-Uti pun sama halnya, makanan yang sederhana itu sudah cukup bagi mereka.

Setelah mengemaskan bekas makan siang mereka, Uti-Uti dipanggil oleh ibu. "Uti-Uti, kemari Nak. Ada sesuatu yang akan Ibu katakan kepadamu.” Uti-Uti segera menghampiri ibunya.

“Ada apa Bu?" tanya Uti-Uti.

“Uti-Uti, kau sekarang sudah besar, Nak. Umurmu sekarang sudah dua belas tahun. Sudah saatnya kau mengetahui tugas-tugas sebagai seorang perempuan. Mulai besok kau jangan ikut dengan kami ke ladang. Besok kau bertugas menjaga rumah. Selama kami tidak ada di rumah, kau harus membersihkan rumah dan memasak makanan untuk kita.”

Tidak lama kemudian, saat matahari sedang bersinar dengan terang, tiba-tiba saja hujan turun.

“Hah, hujan panas?" Hati Uti-Uti agak bimbang.

Hujan panas merupakan pertanda ada penunggu hutan yang akan datang. Uti-Uti hanya berdiam diri di dalam rumah. Lalu, dari jauh didengarnya suara seperti tapak kaki yang sedang melangkah. Namun, suara itu sangat nyaring terdengar.

“Pouuk! Pouuk! Pouuk!"

Suara itu semakin lama semakin jelas terdengar. Semakin dekat suara itu. Uti-Uti pun mulai mendengar suara pohon-pohon yang tumbang.

“Pouuk! Pouuk! Pouuk!”

Suara itu semakin jelas terdengar dan semakin mendekati rumah Uti-Uti. Uti-Uti hanya berdiam diri. Ia hanya dapat berdoa kepada Yang Kuasa agar diberikan keberanian.

Lalu terdengar suara keras memanggil Uti-Uti.

“Uti-Uti! Kau ada di dalam?”

Uti-Uti merhberanikan diri mengintip dari celah-celah dinding rumah. Siapa gerangan yang memanggil dirinya.

Betepa terkejutnya Uti-Uti melihat sesosok tubuh yang sangat besar di luar rumahnya. Tubuh makhluk itu penuh dengan bulu berwarna putih dan berjalan membungkuk. Makhluk itu terus mendekati rumah Uti-Uti. Makhluk itu membawa tongkat di tangan kanannya. Makhluk itu sungguh sangat menyeramkan. Makhluk itu adalah penunggu hutan. Makhluk itu menaiki tangga rumah sambil memanggil Uti-Uti.

“Uti-Uti, Kau ada di dalam rumah?" panggilnya lagi.

Uti-Uti menjawab panggilan makhluk itu, “Ya Nek, aku ada di dalam."

“Tolong bukankan pintu!" pinta makhluk itu.

“Tidak Nek, aku tidak akan membukakan pintu untukmu. Ayah dan Ibuku melarangku membuka pintu," jawab Uti-Uti.

Akan tetapi, penunggu hutan itu tetap berusaha untuk dapat masuk ke rumah Uti-Uti. Berbagai cara ia lakukan. Akhirnya, ia dapat juga masuk ke dalam rumah.

Di dalam rumah Uti-Uti, penunggu hutan itu mulai mengatur siasat agar mendapat makanan dari Uti-Uti. Rupanya bau masakan Uti-Uti telah menggoda selera makan penungu hutan itu.

“Uti-Uti aku datang kemari karena mencium bau makanan yang kau masak. Aku ingin menikmati makanan yang kau masak. Cepat hidangkan untukku," pinta penunggu hutan.

"Tidak, aku akan memberimu makanan. Aku memasak makanan itu untuk ayah dan ibuku karena mereka sudah letih bekerja di ladang,” jawab Uti-Uti.

Setelah mendengar jawaban Uti-Uti, penunggu hutan itu menjadi marah.

“Baiklah kalau kau tak mau memberikan makanan yang kaumasak. Kaulah yang akan kumakan," ancam penunggu hutan.

Ketika mendengar ancaman penunggu hutan, Uti-Uti menjadi ketakutan.

“Jangan ... jangan makan aku. Aku anak satu-satunya yang dimiliki Ayah dan Ibu. Jika aku mati, tentu mereka akan sangat sedih. Aku tidak mau mereka sedih. Baiklah aku akan memberimu makanan," Uti-Uti bergegas ke dapur mengambil makanan.

Hanya dalam waktu sekejap, makanan yang terhidang habis disantap penunggu hutan. Setelah kenyang, tanpa mengucapkan terima kasih, ia lalu meninggalkan rumah Uti-Uti.

Sore hari ketika ayah dan ibunya pulang dari ladang, mereka merasa sangat lapar. Pekerjaan di ladang hari ini benar-benar telah menguras tenaga mereka. lngin rasanya mereka segera menggantikan tenaga yang terkuras itu dengan memakan makanan yang dimasak oleh anak kesayangannya.

Alangkah terkejutnya ketika mereka tidak melihat satu makanan pun di atas meja .

"Uti-Uti, mana makanan yang kaumasak hari ini?" tanya ibu.

“Tadi pagi ada makhluk menyeramkan yang datang ke rumah kita. Tubuhnya besar dan berbulu. Ia meminta makan kepadaku. Aku sudah menolaknya, tetapi ia mengancam akan memakanku. Aku takut. Jadi, makanan yang sudah aku masak untuk Ayah dan Ibu, kuberikan kepadanya,” jelas Uti-uti.

Ayah dan ibunya tahu makhluk itu adalah penunggu hutan. Mereka memahami perbuatan yang dilakukan Uti-Uti.

Keesokan harinya, ketika ayah dan ibunya akan berangkat ke ladang, mereka berpesan agar Uti-Uti menutup semua pintu dan jendela serta tidak membiarkan makhluk berbulu itu masuk ke dalam rumah mereka.

Setelah ayah dan ibunya pergi, Uti-Uti mulai mengerjakan pekerjaan rumah. Seperti hari kemarin, kejadian itu terulang kembali. Makhluk penunggu hutan kembali datang ke rumah Uti-Uti.

“Uti-Uti bukakan pintu untukku!" pinta makhluk penunggu hutan.

Uti-Uti hanya diam saja. Ia tidak mau menjawab permintaan penunggu hutan. Penunggu hutan mulai mengeluarkan tipu muslihatnya.

“Aku tahu kau ada di dalam. Uti-Uti, aku datang kemari atas perintah ayah dan ibumu. Aku sudah menemui mereka di ladang. Mereka berpesan kau harus memasak untukku sebelanga nasi. Sebagai lauknya kau harus memotong semua ayam yang ada di kandang.”

Setelah mendengar semua itu adalah perintah ayah dan ibunya, Uti-Uti segera melaksanakan perintah itu. Ia lalu memasak sebelanga nasi dan memotong semua ayam yang ada dalam kandang.

Dengan lahapnya penunggu hutan memakan makanan yang dihidangkan oleh Uti-Uti. Tidak sedikit pun yang tersisa. Hanya tulang-belulang yang berserakan di lantai.

Sore hari ketika ayah dan ibunya pulang, mereka terkejut melihat ayam mereka tidak seekor pun ada dalam kandang. Ibu lalu memanggil Uti-Uti.

“Uti-Uti ke mana ayam-ayam kita? Tidak seekor pun ada dalam kandang," tanya ibu.

“Makhluk itu datang lagi. Kali ini ia mengatakan bahwa kedatangannya atas perintah ayah dan ibu. Oleh karenanya, aku mematuhi perintahnya. Ia meminta dimasakkan sebelanga nasi dan memotong semua ayam yang berada dalam kandang. Lalu ia menyantap semua makanan itu,” jelas Uti-Uti.

“Tidak. Tidak Uti-Uti. Kami tidak pernah berpesan agar kau menyediakan makanan untuknya. ltu semua hanya tipu muslihatnya saja,” ayah berusaha meluruskan.

Wajah anak manis itu berubah sendu. Timbul penyesalan dalam dirinya. Mengapa ia begitu mudah percaya dengan tipu muslihat penunggu hutan itu.

“Sudahlah Uti-Uti, tidak perlu kau sesalkan. lni semua bukan kesalahanmu, tetapi ini tidak bisa kita biarkan begitu saja. Lama-kelamaan habis semua persediaan makan kita. Perbuatan penunggu hutan itu harus kita hentikan," tegas ayahnya.

Lalu, ketiga anak beranak itu pun mengatur siasat untuk melawan penunggu hutan. Keesokan harinya, ayah dan ibunya berpura-pura akan pergi ke ladang. Dengan suara yang keras ibu berpesan kepada Uti-Uti agar memasak makan yang enak.

“Uti-Uti hari ini kaumasak daging babi yang ayah dapat kemarin. Masaklah yang banyak agar sepulang dari ladang kami dapat menyantapnya sebanyak mungkin." Suara ibu sengaja dibuat agak keras agar penunggu hutan dapat mendengarnya.

Ayah dan ibu tidak berangkat ke ladang. Ayah dengan tombak di tangan bergantung di para-para rumah, sedangkan ibu membawa mandau menunggu di balik pintu.

Uti-Uti segera memasak daging babi perolehan ayahnya. Bau masakan Uti-Uti membuat penunggu hutan kembali datang ke rumah Uti-Uti.

“Uti-Uti kau ada di dalam?" tanya penunggu hutan.

“Ya, Nek. Aku ada di dalam. Masuklah!" Tidak seperti biasanya Uti-Uti mempersilakan penunggu hutan masuk ke dalam rumah.

Walaupun agak heran, penunggu hutan segera saja masuk ke dalam rumah. Ketika penunggu hutan melewati pintu, dari balik pintu ibu segera menebaskan mandaunya. Lalu, ayah melompat dari para-para sambil menghunjamkan tombak ke arah tubuh makhluk berbulu itu. Tubuh makhluk penuh bulu itu roboh dan mati.

Mereka bertiga lalu membuang tubuh makhluk berbulu itu ke sebuah tanjung. Setelah beberapa lama, di tanjung tempat mereka membuang jasad makhluk penunggu hutan itu tumbuh tanaman sejenis paku-pakuan. Tumbuhan itu ketika masih muda tumbuh melengkung dan dilapisi dengan bulu-bulu berwarna putih.