Asal Mula Puteri Duyung

Asal-Mula Puteri Duyung

Erni H. Ajadajai

Dahulu kala, di sebuah pulau kecil yang terletak di penghujung Sulawesi Tengah, tepatnya di Desa Lipulalongo, yang berarti kampung pedalaman. Desa ini terletak di Kabupaten Banggai Kepulauan. Di desa itu tinggallah sepasang suami istri dengan tiga orang anaknya, yang sulung bernama Sintia berumur tiga belas tahun, yang kedua bernama Yanti berumur sembilan tahun, dan yang bungsu namanya Yundo baru berumur tujuh bulan. Awalnya keluarga ini hidup harmonis. Akan tetapi, keadaan berubah.

Musim gelombang laut yang kencang menghambat mata pencaharian orang-orang di desa itu. Akibatnya, orang-orang yang semula menangkap ikan di laut beralih dengan berburu hewan di hutan dan menangkap ikan di rawa, begitu juga dengan ayah mereka. Siang itu ayahnya berencana berburu di hutan dan segala peralatan telah dipersiapkannya.

Yanti, Yundo, dan Sintia sedang bermain-main di belakang rumahnya. Ibunya pergi ke sungai mencuci baju. Ayahnya mendapatkan Lulumpat di rawa setelah berburu dl hutan tidak mendapatkan hasil seekor pun. Akirnya, ia pun pulang ke rumah dan membakar lulumpat yang didapatnya karena perutnya terasa melilit-lilit.

Yundo, Sintia, Yanti, serta istrinya belum pulang. Sang ayah makan dengan lahapnya. Karena kekenyangan, ia tidak menghabiskan lulumpatnya. Lalu, disimpannya hati lulumpat yang tersisa itu dan ditutupnya dengan tudung saji. Dan, ia pun kembali berburu. Sepulang istrinya dari mencuci pakaian di sungai ia amat kelaparan, dilihatnya di atas meja ada makanan yang ditutup tudung saji. Ia pun tanpa bertanya dan langsung melahap hati lulumpat milik suaminya.

Hari hampir maghrib ketika sang ayah pulang. Kelihatan raut wajahnya yang kelelahan dan putus asa karena tidak mendapatkan buruan seekor pun. Apalagi perutnya yang lapar kembali bernyanyi-nyanyi. Ia teringat siang tadi, ia masih menyisakan hati lulumpat yang rencananya akan disantapnya nanti malam. Namun, alangkah sayangnya ketika tiba di rumah, ia tak mendapatkan hati lulumpatnya itu. Ia lalu berang dan memarahi istrinya.

“Siapa yang sudah berani-beraninya menyantap hati lulumpat yang kusimpan?" tanya si sumai kepada istrinya.

“Maafkan aku Kang, akulah yang memakannya,” ujar istrinya.

“Kurang ajar, dasar istri tak tahu cara menghormati suami," sambil melayangkan tamparan ke pipi istrinya.

Sang istri yang ketakutan pun akhirnya melarikan diri dari rumah karena takut suaminya akan bertambah berang. Sintia dan Yanti hanya bisa menangis sesenggukan di sudut dinding rumahnya karena melihat ibu mereka keluar rumah, ditambah hujan deras mengguyur kampung mereka. Apalagi suasana di luar amat gelap. Sang istri yang kecewa dengan sikap suaminya ini pun berlari ke seberang pulau, karena kecewa dan sakit hati. Ia pun terjun ke laut. Sementara di rumahnya, anak bungsunya Yundo yang berada dalam gendongan Sintia tak berhenti menangis ingin disusui ibunya.

“Kakak, mungkin Yundo minta disusui," ujar Yanti kepada Sintia.

"Iya, tapi bagaimana caranya? Ibu kan sudah pergi, kita mencarinya ke mana. Apalagi di luar hujan deras.”

Karena kelelahan kakak-beradik itu pun akhirnya tertidur. Dalam mimpi mereka bertemu ibunya. Dalam mimpi mereka, ibunya sudah berwujud setengah manusia, setengahnya lagi berwujud ikan, dan dalam mimpi itu pula ibunya berpesan

“Sintia, Yanti, kalau adikmu, Yundo lapar dan menangis minta disusui, bawalah ia ke pantai di ujung timur kampung ini. Bawalah ampas kelapa dan hamburkan di setiap jalan yang kalian lalui agar kalian tak tersesat nanti bila pulang. Jika, kalian sudah tiba di pantai yang Ibu maksudkan nyanyikan syair ini, Ibu. anakmu Yundo minta disusui, datanglah wahai Ibu tersayang. Dan sebagai pertanda kalau Ibu akan datang perhatikan laut yang mulai bergelombang. Ibu pasti akan datang di tepi pantai. Namun, satu hal yang perlu kalian ingat, jangan sampai ayah kalian mengetahui kedatangan kalian ke sini.”

Keesokan paginya, Yanti menceritakan perihal mimpinya kepada kakaknya, Sintia. Sintia pun terkejut karena semalam ia bermimpi seperti itu juga. Akhirnya, mereka pun membuktikan mimpinya itu. Apalagi adiknya si Yundo setiap hari menangis minta disusui. Sintia mulai memarut kelapa sebanyak-banyaknya. Sedangkan, Yanti menggendong Yundo yang terus menangis. Mereka melakukan rencana itu setelah tahu ayahnya telah pergi berburu.

Mereka pun akhirnya berangkat ke pantai di arah barat kampung mereka. Seperti petunjuk sang ibu dalam mimpi. Sesekali Yanti dan Sintia bergantian mengendong Yundo. Tak lupa ampas kelapa yang dibawanya dihamburkan sedikit demi sedikit di jalan yang mereka lalui. Seharian penuh mereka menempuh perjalanan. Akhirnya, sampai juga dan si Yundo mulai menangis kelaparan. Sintia pun mulai menyanyikan syair yang diberi tahu oleh ibu mereka dalam mimpi. "Ibu, anakmu Yundo minta disusui, datanglah wahai ibuku sa yang." Sintia mengulang-ulang syair itu sebanyak tiga kali. Tak lama kemudian, laut pun mulai bergelombang. Perlahan-lahan gelombang itu menghampiri bibir pantai.

"Ibu!" teriak Yanti senang. "Kak Sintia, lihat Ibu datang," perlahan-lahan rambut panjang seorang wanita menyembul di permukaan laut. Kemudian, tampaklah separuh tubuh wanita itu. Akan tetapi, ada yang aneh. Kaki wanita itu tak kelihatan, melainkan yang terlihat adalah ekor ikan yang berwarna keperakan. Di tangan kanankiri Ibunya tampak ikatan ikan beraneka macam.

“Bawalah ikan ini ke rumah. Sintia, Yanti, kemarikan si Yundo. Ibu akan menyusuinya. Nanti setelah ini ibu akan kembali lagi ke dasar laut. Minggu depan kalian ke sini lagi. Ibu akan membawakan kalian ikan-ikan yang segar," ujar wanita yang kakinya telah dipenuhi sisik ikan berwarna keperakan. Usai menyusui, si Ibu akhirnya kembali ke dasar laut. Sintia dan Yanti hanya bisa menangis memanggil-manggil Ibu mereka. Namun, sang Ibu telah berada di dasar laut.

Lelah menangis, ketiga adik-beradik itu pun memutuskan pulang ke rumah. Akhirnya, mereka sampai di rumah ketika hari hampir petang. Dilihatnya ayahnya sedang membersihkan alat buruannya. Kak-beradik itu lalu mulai mengurusi ikan-ikan pemberian ibunya.

“Sintia, Yanti, ikan yang banyak itu kalian dapat dari mana?" tanya sang Ayah.

"Ikan-ikan ini dari tetangga Ayah," ujar mereka berbohong. Ayahnya hanya manggut-manggut keheranan. Hari itu Sintia memasak gulai ikan. Karena ikan itu cukup banyak diasapinya ikan itu sebagian untuk persiapan selama seminggu dan ayahnya sudah pasti takkan lagi pulang petang hari setelah berburu seharian penuh. Sang Ayah dan anak-anaknya pun akhirnya makan dengan lahapnya, namun sang Ayah merasa ada sesuatu yang disembunyikan anak-anaknya.

Pekan kedua pun tiba, sudah waktunya mereka menemui ibunya apalagi sudah beberapa hari ini Yundo tak pernah lagi merasakan air susu sang Ibu. Ketiga anak itu pun berencana kembali menemui ibunya, sudah tentu tanpa sepengetahuan ayah mereka.

Akhirnya, berangkatlah mereka dengan bekal tujuh buah ketupat untuk perjalanan. Ampas kelapa yang biasa mereka taburkan di jalan, tak lagi dibawa sebab mereka telah hafal dengan jalan yang mereka lalui. Sehari penuh mereka menempuh perjalanan dan akhirnya tibalah di tempat yang dituju.

Sintia mulai mendendangkan syair: "Ibuku sayang anakmu Yundo minta disusui, datanglah wahai Ibu tersayang", tak lama laut pun bergelombang pertanda bahwa ibu mereka telah menuju ke bibir pantai. Perlahan-lahan seorang wanita cantik muncul. Namun, kali ini sisiknya yang semula hanya sebatas pergelangan kaki, sekarang telah mencapai lutut. Wanita itu menciumi anaknya dengan penuh kasih, lalu disusuinya anak bungsunya itu.

Kemudian dipanggilnya Sintia dan Yanti mendekat. Ia lalu memeluk mereka dengan air mata seorang ibu yang luruh karena kerinduan pada anaknya. Usai anak-beranak itu melepas rindu, mereka pun kembali ke tempat masing-masing. Sang Ibu kembali menyelam ke dasar laut dan ketiga anaknya kembali pulang ke rumahnya, tentu dengan membawa ikan-ikan segar pemberian ibunya.

Sampai di rumah, mereka pun melakukan aktivitas rutin yang dijalaninya seusai bertemu ibunya, yaitu membersihkan ikan-ikan itu lalu memasaknya. Kemudian, mereka memberikan sebagian pada tetangganya. Malam itu Sintia dan Yanti belum tidur, Yundo adiknya sudah terlelap di ayunan dari petang tadi. Kedua adik-beradik itu duduk di balai-balai bambu depan rumahnya. Mereka membicarakan ayahnya yang mulai curiga dengan mereka, karena sudah beberapa hari ini ayahnya selalu menanyakan siapa tetangga yang memberi ikan-ikan yang banyak itu setiap minggunya. Kedua adik-beradik itu tak tahu menjawab apa. Seandainya mereka berbohong menyebut orang lain, bisa saja ayah mereka akan pergi ke rumah orang itu. Lalu, menanyakannya. Pikiran kedua adik-beradik itu sangat kalut, bulan di langit yang semula terang benderang kini bersembunyi di balik awan, seolah-olah turut bersedih dengan kegundahan hati kedua anak itu.

“Kak Sintia, bagaimana kalau ayah mengetahui tempat ibu, sedangkan ibu melarang kita untuk mengatakan kepada Ayah?" tanya Santi, dengan wajah sendu.

“Entahlah Dik. Kak Sintia juga tak tahu harus berkata apa, tapi sebaiknya kita harus berhati-hati agar ayah tidak mengetahui tempat kita pergi," jawab Sintia sambil membelai rambut adiknya. Dalam hati gadis itu kasihan kepada adik-adiknya yang sekecil ini harus kehilangan kasih sayang ibu. Tak terasa air mata gadis itu meleleh.

Pekan ketiga pun tibalah. Mereka akan pergi ke pantai lagi. Segala bekal telah disiapkan. Akhirnya, mereka pun berangkat dengan berbekal tujuh buah ketupat untuk bekal perjalanan mereka. Kalau-kalau mereka merasa lapar di perjalanan nantinya. Tak terasa akhirnya mereka sampai juga di pantai itu. Mulailah Sintia mendendangkan syair yang telah diajarkan ibunya lewat mimpi. "Ibu, anakmu Yundo minta disusui, datanglah wahai Ibuku sayang", Sintia mengulang-ulang syairnya sebanyak tiga kali, tak lama laut pun mulai bergelombang. Perlahan-lahan gelombang itu medekat ke bibir pantai dan munculah seorang wanita yang berbentuk setengah manusia, setengah lagi ikan dengan sisik yang berwarna keperakan. Kalau dulu hanya sebatas lutut sekarang wanita itu telah bersisik sampai pinggul. Cahaya matahari yang tepat berada di ubun-ubun menyinari sisik ikan wanita itu, terlihat berkilau bak mutiara. Wanita itu lalu menyusui anaknya. Usai menyusui anak bungsunya itu, ia lalu membelai rambut Sintia dan Yanti, lalu diciuminya dan dipeluknya kedua anaknya itu. Setelah itu, diberikannya serumpun ikan yang beraneka ragam untuk dibawa pulang anaknya.

Sampai di rumah, Sintia dan Yanti mulai membersihkan ikan-ikan pemberian ibunya. Ayah mereka entah pergi ke mana. Mungkin ke rawa mencari lulumpat, pikir mereka. Yundo tampak lelap di ayunan kain. Sesekali Yanti menengok adiknya yang sedang terlelap. Aroma ikan dibakar dengan bara tempurung jelas tercium di hidung tetangga-tetangganya, membuat iri tetangga-tetangganya yang tak bisa melaut sebab musim gelombang dan angin laut yang bertiup tak mau kompromi. Usai kakak-beradik itu memasak, mereka lalu mengantarkan separo masakannya itu kepada tetangganya. Bukan main senangnya hati tetangga itu setelah diberi ikan oleh Yanti. Kakak-beradik itu pun akhirnya makan dengan lahapnya. Hari hampir senja, ayah mereka pun pulang. Sang Ayah kelihatan letih dan kelaparan, sampai di depan pintu aroma ikan yang lezat jelas tercium di hidungnya, perutnya kembali bernyanyi-nyanyi mencium aroma itu. Sang Ayah lalu bergegas ke dapur untuk mengisi perutnya yang lapar. Yanti, Sintia, dan Yundo sudah tidur akibat kekenyangan.

Pekan demi pekan berganti, tibalah pekan keempat mereka menemui ibunya dan setiap pekannya sepulang dari pantai, Sintia dan Yanti selalu pulang membawa ikan yang banyak. Sang ayah mulai curiga apa yang dilakukan anaknya. Ia berpikir tak mungkin tetangga begitu baik hati memberi ikan yang banyak di setiap pekannya, apalagi di saat musim kencang angin dan gelombang laut seperti ini. Sang ayah lalu berpikir untuk membuntuti ke mana anak-anaknya pergi. Di pekan kelima sang ibu mulai bertambah sisik di tubuhnya. Yang semula hanya sampai pusar, sekarang sampai di perut wanita itu. Dan perubahan itu tak disadari oleh anak-anaknya. Begitu juga pekan keenam, sisik sang ibu mulai merambat ke dadanya.

Pagi itu Sintia mulai melakuan rutinitasnya setiap pekan, yaitu pergi ke pantai itu lagi. Ia tak lagi memarut kelapa sebab jalan yang dilaluinya setiap pekan sudah sangat dihafalnya. Akhirnya, berangkatlah mereka. lni pekan yang ketujuh kalinya mereka menemui sang ibu. Sintia dan Yanti berpikir ayahnya pasti sudah pergi berburu, padahal mereka tak mengetahui kalau ayahnya bersembunyi di semak-semak samping rumahnya. Ia sedang mengintip apa yang dikerjakan anaknya. Sang ayah lalu membuntuti ke mana anak-anaknya pergi. Dalam perjalanan, Sintia, Yanti bernyanyi-nyanyi, tak sadar kalau ayahnya sedang membuntuti mereka. Mereka hanya ingin cepat-cepat sampai di pantai bertemu ibunya. Akhirnya, tibalah mereka di pantai, sang ayah bersembunyi di balik pohon kelapa mengintip apa yang dilakukan anak-anaknya. Sintia pun mulai menyanyi, tak lama kemudian air laut yang semula tenang mulai bergelombang. Dan, muncullah seorang wanita yang bertubuh separuh ikan, sang ayah pun terkejut melihat kejadian itu. Dilihatnya istrinya menyusui anaknya, Yundo dan ia juga melihat istrinya memberi ikan-ikan yang ditangkapnya. Karena rasa menyesal dan rasa rindu kepada istrinya yang selama ini dipendamnya, akhirnya membuat ia nekad menangkap tubuh istrinya. Namun, sayang karena tubuh si istri sudah bersisik separuh dan sangat licin, lagi pula jika telah mencapai tujuh pekan sang ibu akan sepenuhnya berubah menjadi ikan. Akhirnya, istrinya pun terlepas kembali dan langsung berenang ke dasar laut dan tak pernah kembali. Ia berpikir kalau anak-anaknya sengaja membawa ayah mereka ke tempat itu. Sintia, Yanti, dan Yundo pun menunggu di pekan-pekan berikutnya. Namun, sang ibu tak pernah datang lagi.

Dari kisah inilah asal mula cerita Putri Duyung, dan sampai saat ini cerita rakyat ini masih terus hidup di kalangan masyarakat Banggai Kepulauan. Bahkan, Dugong (alias ikan duyung) sangat disakralkan masyarakat di Desa Lipulalongo. Penduduk di desa ini berkeyakinan bahwa ikan duyung yang sekarang adalah jelmaan sang ibu dalam cerita yang kecewa dengan perlakuan suaminya. Orang-orang di desa ini percaya bahwa air mata ikan duyung itu ada dan disimpan sebagai jimat oleh sebagian penduduk di desa ini supaya membawa berkah dalam kehidi.Jpan, misalnya pembawa rezeki, mudah jodoh, menambah daya tarik laki-laki dan wanita. Dan jika ada laki-laki yang memakai air mata duyung ini sebagai wewangian, ia akan dikejar-kejar wanita.

Pernah seorang nelayan di desa itu menangkap seekor ikan dugong lalu dibawa pulang dan ternyata, sirip ikan dugong di kedua sisi ikan, kalau diiris akan berbentuk lima jari, begitu juga di sebelahnya berbentuk lima jari, ekornya pun demikian bila diiris dengan telaten dan diperhatikan baik-baik membentuk sepuluh jari kaki, makanya penduduk di desa ini bertambah yakin dan percaya kalau dugong (duyung) adalah jelmaan wanita yang kecewa dengan sikap suaminya. lkan duyung juga bisa dibuat dendeng di desa ini untuk persiapan musim kencang gelombang, karena penduduk yang hampir 100% bermata pencaharian nelayan tinggal di Desa Lipulalongo.

  • Lulumpat: nama lokal sejenis ikan yang hidup di rawa.