Pengarang

sunting

Emshol, biasa menulis pengetahuan ilmiah populer untuk pembaca dewasa dengan gaya bahasa suka-suka. Belum terlatih menulis fiksi, apalagi untuk anak-anak, dengan gaya bahasa sesopan Wikipedia.

Ringkasan Cerita

sunting

Arufin, anak seorang nelayan di Brondong, Lamongan, sedang menunggu ayahnya pulang dari melaut. Namun, ayahnya ternyata meninggal dunia di laut karena perahunya karam dihantam ombak.

Lokasi Cerita

sunting

Pesisir Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur dan Laut Jawa.

Cerita Pendek

sunting

Ayahku seorang nelayan. Ayah teman-temanku juga nelayan. Tetapi tidak ada satu pun di antara kami yang bercita-cita menjadi nelayan. Waktu Bu Rahma bertanya mengenai cita-cita, kami menjawab ingin jadi dokter, polisi, guru, koki, atau tentara.

Ada yang ingin menjadi pemain sepakbola seperti Messi atau Ronaldo. Ada juga yang ingin menjadi youtuber seperti Atta Halilintar. Aku sendiri tidak ingin menjadi semua itu. Tetapi aku belum tahu cita-citaku.

 
Perahu Ijon-Ijon

Ayahku seorang pejuang. Hari Senin, sebelum berangkat melaut, ia menyiapkan bekal makanan banyak sekali untuk rombongannya. Kira-kira cukup untuk makan dua sampai tiga minggu di laut.

Selama tiga minggu itu dia terombang-ambing di lautan demi mencari uang buat keluarga. Sementara aku di sini bermain bersama teman-teman.

Perahu yang dinakhodai Ayah membawa balok es batu hampir satu truk. Es batu ini digunakan untuk mengawetkan ikan agar tidak busuk selama perjalanan. Ikan hasil tangkapan ini nanti akan dijual di tempat pelelangan ikan.

Hasil penjualan ikan akan dibagi-bagi di antara nelayan dan pemilik perahu. Pemilik perahu mendapatkan bagian paling banyak karena dia yang membiayai semua keperluan pelayaran. Ayahku hanya seorang nelayan buruh.

Perahu nelayan di sini dinamai ijon-ijon. Dibuat dari kayu jati, kayu ulin, dan kayu meranti yang terkenal sangat kuat, tahan air asin, dan tidak mudah lapuk. Bagian luarnya dicat tebal untuk melindunginya dari air asin.

Ijon-ijon bisa muat sampai belasan orang. Para nelayan itu tidur, memasak, bekerja, dan salat di atas perahu yang terus-menerus bergoyang di atas ombak.

Ayahku seorang pendongeng. Sebelum berangkat melaut, ia bercerita tentang kisah Nabi Yunus yang ditelan paus. Ayah menyebutnya ikan paus. Kata Majalah Bobo yang aku baca di internet, paus bukan ikan melainkan mamalia seperti manusia.

Paus mengandung, melahirkan anak, dan bernapas dengan paru-paru seperti manusia. Sementara ikan bertelur dan bernapas dengan insang. Ayah tidak bisa membedakan ikan dan mamalia karena memang dulu di sekolahnya tidak diajari.

Ayahku seorang penyayang. Hari Selasa, ia berangkat melaut dari Pelabuhan Brondong. Saat hendak berangkat, ia berjanji sepulangnya nanti akan membelikan aku sepatu baru dan tas yang besar untuk dibawa ke pesantren.

Aku sudah didaftarkan SMP di Pesantren Al-ishlah. Bulan depan aku akan berangkat. Ini adalah terakhir kalinya Ayah melaut sebelum aku masuk pesantren.

Ayahku seperti seorang YouTuber. Saat melaut, ia selalu mengirimkan foto dan video dari perahunya yang sedang berlayar. Di tengah laut tidak ada sinyal telepon. Biasanya Ayah mendapat sinyal saat sudah dekat ke pulau besar.

Dari gambar-gambar yang dikirimkan Ayah, aku jadi tahu macam-macam hasil tangkapan nelayan. Ada banyak hewan laut yang mirip, misalnya udang dan lobster.

Ada juga hewan yang punya lengan dan tentakel seperti musuh Spiderman. Mereka juga serupa tapi tak sama yaitu gurita, sotong, dan cumi-cumi.

Ada pula hewan bercapit yang namanya sering tertukar, yaitu kepiting dan rajungan. Aku selalu membuka Google dan Wikipedia setiap kali penasaran dengan hewan laut yang ditangkap Ayah.

Ayahku seorang petualang. Saat melaut, ia berkelana ke mana-mana, ke pulau-pulau yang jauh. Ada yang namanya Pulau Bawean di sebelah utara Gresik. Ada pula Pulau Pajangan di sebelah timur Madura.

Ada juga Pulau Masakambing yang berada di antara Madura dan Kalimantan. Ada juga Pulau Kangean di sebelah utara Bali.

Tiap kali Ayah menyebut nama pulau, aku mengeceknya di Google Maps. Dari nama-nama pulau ini, aku jadi tahu ternyata wilayah Madura itu luas sekali, sampai pulau-pulau yang letaknya di sebelah utara Pulau Bali. Pulau-pulau yang dikunjungi Ayah ini semuanya indah-indah. Andai saja aku bisa bermain ke sana.

Ayahku seorang petarung. Walaupun pekerjaan ayahku tampak asyik, mengunjungi pulau-pulau indah, ia sebetulnya setiap hari bertarung dengan ombak dan angin. Setiap saat para nelayan itu bisa saja tenggelam dan mati.

Setiap beberapa bulan ada saja berita perahu nelayan desa kami yang tenggelam. Biasanya mereka masih bisa diselamatkan oleh penumpang kapal atau perahu lain.

Jika tidak mendapat pertolongan, mereka akan terombang-ambing di laut berhari-hari. Mereka berpegangan pada balok kayu atau jeriken. Mereka tidak makan, tidak minum berhari-hari. Hewan laut akan menggigiti kaki mereka seperti ikan Garra rufa menggigiti kulit kaki manusia di kolam.

Jika tidak kuat lagi, mereka akan meninggal tenggelam dan jasadnya hilang dimakan ikan. Tetapi ayahku tidak takut mati tenggelam. Kata dia, kematian sudah ditentukan oleh Tuhan.

Ayahku seorang pekerja keras. Hasil tangkapan nelayan seperti pasang surut air laut. Kadang banyak, kadang sedikit. Bahkan tak jarang Ayah pulang dengan tangan kosong.

Bulan-bulan sekitar Januari adalah bulan sepi buat nelayan. Saat puncak musim hujan, ombak sangat tinggi, badai sering datang tiba-tiba. Jika sudah begitu, nelayan tak berani melaut.

Di bulan-bulan ini, Ayah biasanya tidak punya uang sebab tidak bekerja. Aku sebetulnya kasihan tetapi juga senang karena Ayah jadi punya banyak waktu buatku. Saat sedang tidak melaut, ia mengajak aku pergi Pantai Putri Klayar Paciran untuk mencari hewan-hewan pantai.

Di sini kami bisa menemukan rumput laut, kerang, udang, ubur-ubur, dan hewan yang awalnya aku kira sebagai keong. Ketika aku membuka Google dan Wikipedia, aku baru tahu hewan itu bukan keong melainkan kelomang.

Keong punya cangkang sendiri. Kelomang tidak punya cangkang. Ia meminjam cangkang bekas milik keong yang sudah mati. Ajaib sekali.

Laut selalu membuatku takjub. Aku selalu terpesona dengan hewan-hewan dan tumbuhan laut. Walaupun Ayah sering tidak punya uang, aku sangat senang menjadi anak nelayan.

Anak-anak seusiaku mungkin hanya bisa melihat hewan-hewan laut dari YouTube. Aku bisa menyentuhnya langsung dengan tanganku.

 
Anggur laut (latoh)

Laut adalah sekolahku yang kedua. Aku paling suka jika menemukan anggur laut di pantai. Orang desa kami menyebutnya latoh. Ini adalah sejenis rumput laut yang bentuknya seperti dompolan anggur kecil-kecil.

Jika digigit, keluar suara meletup saat anggur pecah di mulut. Aku paling senang makan anggur laut mentah yang diberi urap kelapa. Renyah, asin, dan gurih.

Ayah bukan orang kaya. Beberapa tahun lalu ia bahkan pernah berbulan-bulan tidak melaut karena nelayan dilarang menangkap ikan menggunakan jaring cantrang. Katanya, jaring ini merusak terumbu karang.

Padahal jaring ini adalah alat tangkap yang digunakan Ayah sehari-hari. Aku sampai penasaran dan membuka YouTube untuk mencari tahu kenapa jaring cantrang bisa merusak terumbu karang di dasar laut.

Ayahku seorang penyabar. Walaupun hidupnya sulit, ia tidak pernah mengeluh, apalagi marah-marah. Hari ini, sudah seminggu ia berlayar. Aku semakin tidak sabar menunggu ia berkirim kabar. Aku berharap semoga Ayah mendapat ikan yang besar-besar, agar ia bisa membelikan aku tas yang besar dan lebar.

Selama ini aku sering merepotkan Ayah karena minta dibelikan macam-macam. Tetapi Ayah tidak pernah marah kepadaku. Ia seperti lautan. Kelihatan tenang di permukaan. Mungkin saja di dadanya ada perasaan yang berkecamuk tetapi tidak kelihatan.

Seminggu, dua minggu sudah lewat. Biasanya beberapa hari lagi Ayah akan pulang. Aku semakin tidak sabar menunggu kedatangan Ayah. Menjelang kepulangan Ayah, hari-hari terasa berjalan sangat lambat. Satu hari rasanya seperti 48 jam.  

Di tengah penantian yang terasa sangat lama ini, tiba-tiba Paman Kardi datang ke rumah membawa kabar penting. Perahu Kencana Bahari yang dinakhodai Ayah hilang kabar di perairan dekat Pulau Masakambing, di sebelah utara Madura, di sebelah selatan Kalimantan.

Ibu seketika panik mendengarnya. Jantungku terasa seperti berhenti berdegup. “Ya Allah, selamatkan ayahku. Dia pahlawan kami sekeluarga,” aku berdoa di dalam hati.

Aku sudah membayangkan yang tidak-tidak. Bagaimana jika perahu Ayah tenggelam lalu ia berpegangan pada balok dan terombang-ambing di laut, tidak makan, tidak minum, tubuhnya menjadi bancakan hewan laut, lalu meninggal dunia?

Aku merasa takut sekali. Seumur hidupku baru kali ini aku merasakan ketakutan seperti ini. Aku takut kehilangan Ayah.

Sejak mendengar kabar dari Paman Kardi, Ibu tidak bisa memejamkan mata. Aku sangat kasihan kepadanya, apalagi Ibu sedang hamil delapan bulan. Bulan depan adikku akan lahir. Di malam hari ia terus terjaga.

Aku juga gelisah terus. Aku berjanji, jika Ayah selamat dan bisa pulang, aku akan bersikap baik kepadanya. Aku tidak akan merepotkan dia, tidak akan lagi meminta untuk dibelikan macam-macam.

Hari kedua sejak berita hilang kabar, masih belum ada perkembangan. Aku dan Ibu makin gelisah. Kalau mereka berhasil diselamatkan nelayan lain, biasanya ada kabar dari polisi di mana mereka sekarang.

Beberapa kali perahu nelayan desa kami juga tenggelam. Mereka diselamatkan nelayan dari Jawa Tengah dan nelayan dari Madura.

Hari ketiga, Paman Kardi datang lagi membawa kabar penting. Nelayan dari Sumenep, Madura, menemukan sembilan nelayan perahu Kencana Bahari yang terombang-ambing di laut.

Rupanya perahu Ayah tenggelam karena dihantam ombak besar di malam hari di sebelah utara Pulau Madura. Tetapi Ayah dan dua nelayan lain belum ditemukan. Mereka mungkin terseret ombak.

Hari keempat, masih belum ada kabar lagi. Ibu berdoa tak henti-henti. Hari kelima, masih belum ada kabar. Kami makin gelisah berdebar-debar.

Hari keenam, masih belum ada berita. Kami hanya bisa berserah diri kepada Yang Maha Kuasa. Hari ketujuh, Ibu sudah tidak bisa lagi diajak bicara. Ia sering berdiam diri di dalam kamar.

Aku berharap ini semua hanya mimpi. Di malam hari, aku selalu merasa seperti mendengar bunyi langkah kaki Ayah di depan rumah dengan suara khas sandal selopnya.

Tiap kali menjelang subuh, aku seperti mendengar suara Ayah di depan pintu rumah. "Buka pintunya, Ufin." Bulu kudukku merinding.

Hingga minggu kedua, tetap tidak ada kabar. Paman Kardi bilang sebaiknya kami mengikhlaskan saja daripada setiap hari menangis tanpa henti. Nelayan yang tenggelam sampai seminggu tanpa kabar biasanya sudah meninggal dunia.

Tetapi entahlah, aku yakin Ayah masih hidup. Mungkin dia ditelan paus dan nanti akan dimuntahkan dalam keadaan hidup seperti Nabi Yunus. Seperti kisah yang baru saja ia ceritakan kepadaku menjelang ia berangkat melaut.

Hari demi hari lewat, minggu demi minggu datang, hingga hampir sebulan, tidak ada kabar mengenai keberadaan Ayah. Adik sebentar lagi lahir. Minggu ini aku juga harus berangkat ke pesantren. Tanpa tas baru dan sepatu baru.

Sekarang aku mulai berubah pikiran. Mungkin memang sudah waktunya Ayah pulang kembali ke Sang Pencipta Lautan. Selama ini ia hidup dari laut. Sekarang ia kembali ke laut. Selama ini ia menaiki ombak. Sekarang ia bersatu dengan ombak. Mungkin aku memang harus menjadi yatim supaya aku lebih cepat mandiri dan tidak manja.

Hari ini, menjelang aku berangkat ke pesantren, masih belum ada kabar tentang Ayah. Tetapi aku sudah tahu cita-citaku, menjadi menteri yang mengurusi laut dan nelayan, agar aku tetap bisa sering bertemu dengan Ayah.