Batu Di Tengah Air

Premis sunting

Setelah kedua orangtua Delima meninggal dunia, ia harus mengurus sendiri segala kebutuhan hidup adiknya. Mampukah dia menjalani semuanya sendiri? Bagaimana Delima menyikapi masalah yang ia hadapi?

Lakon sunting

Delima

Nara

Dion

Lokasi sunting

Danau Souh di provinsi Lampung

Cerpen sunting

Cahaya matahari menembus cela-cela jendela. Burung-burung saling berkicau menyapa fajar di ufuk timur. Nampak seorang gadis termenung menatapi kertas-kertas yang terbengkalai di meja. Wajah yang pucat dengan lingkaran hitam di kelopak mata menandakan, dia tidur tidur semalan. Semuanya berawal dari usianya yang meninjak dewasa, tetapi watak kanak-kanak masih melekat padanya. Sebut saja Delima namanya, kehidupan yang gelamor dan semua fasilitas yang dia mau selalu disediakan orang tuanya sampai dia tumbuh menjadi gadis manja. Hal ini membuatnya tidak mampu menghadapi segala masalah yang datang dalam hidupnya, setelah kedua orang tuanya meninggal dunia.

Saat ini, Delima berusaha menjadi tulang punggung untuk adiknya. Dengan tekun, ia selalu bekerja siang dan malam, tetapi gajinya tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Dia pun bingung harus bagaimana lagi. Matanya yang merasa kantuk masih tetap dipaksa menatap kertas-kertas itu, tetapi bayangan pikirannya terbang entah ke mana. Dia terus berfikir cara agar bisa mendapatkan uang untuk pendidikan adiknya. Karena hari ini merupakan masa tenggang pembayaran sekolah adiknya. Hingga suara anak kecil membuatnya tersadar dalam lamunannya.

“Kakak tidak berangkat kerja, ya?“ tanya anak kecil tersebut.

“Berangkat kok, Nar.Tapi nanti“ balasnya.

"Ada masalah ya, Kak. Kok dari tadi adik perhatian Kakak ngelamun terus” ucapnya penasaran.

“Tidak ada, Nar” ucap Delima sambil tersenyum.

“Hmm Kak, sebenarnya adik ada tunggakan SPP yang harus dibayar. Jika tidak dilunasi, adik tidak bisa ikut ujian” sambil menyodorkan kertas.

“Iya, besok Kakak langsung bayar, supaya kamu bisa ikut ujian dan jadi anak pintar” ucapnya delima sambil mengacak-cakak geas rambut adiknya. "Jangan,Kak. Nanti tatanan rambut adik rusak" sambi berusaha menyingkirkan tangan Delima di kepalanya.

"Hahaha, Gemesnya"sambil mencubit pipi Nara.

"Sakit, Kak. Nyebelin" sambil merucut bibirnya kesal atas ulah kakaknya yang jail.

“Ya udah kakak siap-siap dulu ya, mau berangkat kerja. Kamu hati-hati di rumah.” Sambil beranjak pergi.

"Oke,Kak" sambil menatap punggung kakaknya.

Saat berangkat kerja, diperjalanan Delima terus memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang hari ini. Tanpa sengaja Delima bertemu dengan temannya.

“Dion”

“Eh, Delima, ya!. Gimana kabar kamu, lama aku tak pernah melihatmu” seru Dion senang bisa bertemu dengan Delima.

“Aku baik-baik aja, Dion. Tapi...”ucapnya lesu.

“Kamu kenapa? Ada masalah, ya?” Tanya Doni.

“Aku capek hidup kayak gini, rasanya semenjak ditinggal orang tuaku berat banget Dion. Aku rasanya sudah tidak kuat lagi.”

“Kok kamu ngomongnya gitu, pasti ada masalah berat. Sini cerita sama aku, siapa tahu bisa aku bantu” ucap doni sambil mengelus bahu gadis itu.

“Aku udah kerja keras tiap hari buat mencukupi kebutuhanku dan adikku. Namun, kenyatannya kebutuhan kami berdua masih belum bisa tercukupi dan sekarang aku rasa lelah hidup seperti ini terus. Pengen banget bisa hidup seperti dulu saat orang tuaku masih ada.”

“Istigfar, Delima. Kamu harus ikhlas. Seperti ada yang perlu dilurusin, ayok ikut Aku!” Sambil menarik tangan Delima.

“Mau kemana, Doni?”

“Udah, Ayok ikut aja"jawabnya.

Setiap perjalanan Delima hanya mengikuti langkah kaki Doni. Ada rasa penasaran yang muncul dibenak Delima terhadap Doni. Sampai akhirnya Doni berhenti di suatu tempat yang kumuh. Banyak sekali sampah-sampah berserakan di sekitarnya. Delima bingung dengan apa yang dilakukan Doni. Kenapa dia harus dibawa kesini. Doni pun mulai menunjuk seseorang yang sedang mengorek-ngorek tong sampah. Terlihat di sana seorang wanita sedang mencari makan sisa di tong sampah. Mata Delima langsung mengarah kepada Doni, terlihat keningnya mengerut menandakan dia merasa bingung maksud dari doni membawanya ke sini.

“Kamu masih kurang paham?” tanya Doni kepada Delima.

“Tidak” sambil menggelengkan kepala.

“Coba kamu bandingkan hidupmu dengan wanita itu. Apakah kamu mau menjadi sepertinya?” Ucap Doni.

“Tentu saja, Aku tak mau jadi seperti itu.” Balasnya.

“Lalu nikmat mana yang tak kamu syukuri, Delima?” pria itu menatap tajam.

“Apakah wanita tersebut juga mau hidup dalam keadaan tersebut?” lanjutnya.

“Sepertinya wanita tersebut juga tidak ingin berada dalam kondisi itu” ucap Delima.

“Namun, wanita itu tidak mengeluh apalagi menyerah terhadap keadaannya dan ia tetap mensyukuri” ujar Doni sambil melihat wanita tersebut.

“Lihatlah wanita itu, memberikan makanan yang Ia dapat kepada anaknya yang duduk di atas kardus sana"lanjutnya.

“Aku malu sama Allah.” Ucap Delima sedih.

Doni hanya tersenyum dan mengajak Delima untuk pergi di suatu tempat. Disepanjang jalan hanya ada keheningan, karena mereka berdua saling sibuk dengan pikirannya sendiri. Akhirnya, Doni mulai membuka pembicaraan kepada Delima.

“Apa yang kamu dapat dari pembelajaran wanita tadi?” tanya nya.

“Terkadang kita perlu sadar. Ketika kita diberi cobaan kepada Allah, kita seharusnya bersyukur dan bukannya mengeluh. Karena di luar sana ada yang lebih berat cobaannya dari kita.” Ucapnya.

“Nah gitu dong. Jadi kamu harus semangat ya!” serunya.

“Iya Doni. Makasih ya, udah mau mengajarkanku bahwa di luar sana masih banyak yang hidupnya kurang beruntung sehingga hal ini dapat menjadikan pelajaran bagiku untuk terus bersyukur kepada Allah dan menerima segala keadaan.” Sambil tersenyum.

"Syukurlah kalau kamu sudah mengerti,tapi ini belum selesai. Masih ada yang harus aku tunjukkan kepadamu.”

"Apa lagi, Don?"

"Tenang aja, ikut denganku. Pasti kamu akan suka dengan tempatnya" ujar doni bersemangat.

Setelah berjalan beberapa lama akhirnya mereka berdua telah sampai di tempat yang dituju. Angin bertiup, menggoyakkan pohon yang rindang di pinggir sungai. Daun-daun mulai berjatuhan akibat ulah angin. Burung-burung berkicauan seolah alam sedang bahagia. Mereka duduk di bawah pohon yang rindang dekat pinggiran danau Suoh.

"Bagaimana, indah bukan?"

"Iya, indah dan ditambah lagi udara di sini segar sekali” serunya senang.

“Iya, karena belum tercemar dengan polusi kendaraan dan banyaknya pohon yang tumbuh di sekitar danau Suoh”.

“Hemm, sepatutnya kita sebagai manusia harus perlu melestarikan lingkungan. Karena apabila lingkungannya sehat pasti manusianya juga sehat. Seperti di tempat ini. ujar Delima.

“Benar katamu, Del. Lihat danau Suoh ini, belum ada sampah yang mencemarinya dan tidak ada polusi udara karena letaknya jauh dari perkotaan.”

“Memang benar, kita harus bangga kalau danau Souh di Lampung ini masih terjaga keasriannya dan kita sebagai generasi mudah harus melestarikannya, Don.” Sambil melihat pemandangan.

“Iya, betul sekali. Kita harus punya kesadaran untuk melestarikannya sebagai tempat wisata dan bagian budaya yang ada di Lampung. Namun, aku mengajakmu ke sini bukan buat nikmatin pemandangan di sini saja.” Ucapnya sambil bangkit dari duduknya.

Delima hanya melihat pergerakan Doni yang mulai memunguti batu-batu yang Dia kumpulkan di pinggir danau. Lalu, Doni mengambil daun -daun yang jatuh karena di tiup angin. Satu persatu Dia ambil daun tersebut dan di taruhnya di sebelah batu. Setelah itu Dia menghampiri Delima dan mengajaknya di pinggir danau dan menyuruh Delima melempar batu dan daun-daun tersebut secara bergantian ke sungai.

“Coba kamu lihat, apakah ada perbedaannya antara batu dan daun yang kamu lempar ke sungai tadi?” Tanya Doni.

“Ada.”

“Apa coba?” Sambil menaikkan alis sebelah. “Batu yang Aku lempar tenggelam, sedangkan daunya mengapung di air.”

“Jadi menurutmu lebih baik jadi batu atau daun?” sambil menatap teduh kearah delima.

“Emm, daun Don" jawab Delima.

“Kenapa mau jadi daun bukannya batu?” ujarnya bingung mendengar jawaban delima.

“Tidak tahu, Aku hanya asal memilih saja,Don Lagipula itu tidak terlalu penting mau batu ataupun daun.” ucap Delima.

“Jangan salah, kamu harus memperhatikannya. Banyak sekali pelajaran yang dapat kita ambil lewat alam. Coba kamu lihat Aku saat melempar daun dan batu ini secara bersamaan.”

Doni mulai melempar daun dan batu tersebut ke sungai secara bersamaan. Delima dengan serius melihat apa yang dilakukan Doni.

“Coba kamu pikirkan, kenapa menurutku lebih baik menjadi batu daripada daun yang di lempar ke dalam air tadi?” Ucap Doni. “Kenapa?” Tanya Delima yang semakin bingung degan perkataan Doni.

“Jika kamu menjadi daun, kamu memang tidak akan tenggelam di air, tapi kamu akan terbawa arus entah pergi ke mana. Seperti halnya kita jika menghadapi masalah dalam hidup,tetapi kita malah mencoba menghindari masalah tersebut dan mudah terpengaruh omangan orang lain sehingga apapun masalahnya tidak akan terselesaikan”.

“Lalu jika kita menjadi batu akan seperti apa nantinya?” Tanya Delima penasaran.

“Jika kita menjadi batu di air, pastinya kita akan tenggelam. Di mana nanti kita akan mencoba bertahan terhadap masalah yang kita alami. Sekuat apapun arus yang mencoba menghayutkannya batu tersebut, batu akan terus bertahan pada tempatnya. Jadi sekuat apapun orang mempengaruhi pikiran kita, tapi kita akan tetap kukuh dengan keyakinan kita dan berusaha menghadapi masalah tersebut” Ucapnya.

“Wah ternyata alam juga bisa mengajarkan kita, bagaiman cara memposisikan diri dalam mengahadapi masalah kehidupan.” Ucap Delima kagum.

“Benar, Delima. Semua yang ada di sini mengajarkan kita banyak arti kehidupan yang perlu kita pelajari” balasnya.

“Intinya kita harus tetap bersyukur dan kuat dalam menghadapi cobaan. Seperti batu di tengah air yang tidak akan mudah hanyut di bawa oleh arus.”

Mereka pun duduk dan menikmati pemandangan di sekitar pinggiran danau Suoh.