Bengawan Solo dan Aku yang Hanyut
Bengawan Solo dan Aku yang Hanyut oleh Fanny Chotimah |
Tahun 2012 ini Bengawan Solo telah terpilih menjadi salah satu peserta dari Rivers of The World-Thames River Festival, sebuah ajang festival tahunan Sungai Thames di London, Inggris. Festival ini melibatkan siswa-siswi SMP di 6 sekolah yang terpilih. Di Solo keenam sekolah tersebut ialah: SMPN 1 Surakarta, SMPN 4 Surakarta, SMPN 9 Surakarta, SMP Kasatriyan 1, SMP Kalam Kudus dan SMP Muhammadiyah 7. Setiap sekolah memilih 20 siswa yang akan membuat karya seni visual, dikerjakan secara kolektif. Karya tersebut akan dipamerkan pada pertengahan September di Rivers of The World - Thames River Festival di London. Kita boleh gembira diberi kepercayaan untuk mewakili Bengawan Solo dan Indonesia di ajang festival tersebut.
Dalam pengerjaan karya seni para siswa peserta menjalani workshop karya yang didampingi oleh tim fasilitator seni dari Yayasan Kampung Halaman Yogya, dan dua seniman lukis dari Solo. Para siswa telah melalui tahapan riset, pengolahan temuan, perencanaan ide, dan eksekusi karya. Sehingga kini karya-karya tersebut telah rampung dan menunggu untuk dipamerkan.
Saya teringat di bulan Januari, hari pertama pertemuan dengan panitia Thames River Festival, kala itu direktur festival, Adrian Evans, mempresentasikan sejarah festival dan sungai Thames. Ia menampilkan foto Sungai Thames di tahun 1950, yang kondisinya tak berbeda jauh dengan Bengawan Solo, kotor, terpolusi limbah pabrik dan kota London membangun dirinya menjauhi sungai Thames. Namun kondisi itu berbalik pada tahun 1976, muncul kesadaran untuk mengubah sungai Thames dan menjadikannya menjadi bagian penting dari kota London. Sehingga pada saat itu, mulai dibuat kebijakan untuk tidak ada pembangunan pabrik di sepanjang Sungai Thames. Sebagai gantinya dibangun Pusat kebudayaan, Gedung Pemerintahan dan taman-taman sebagai ruang publik di mana warga bisa mengaksesnya dengan leluasa.
Dan secara resmi pada tahun 1997 Thames River Festival untuk pertama kalinya diselenggarakan. Festival ini melibatkan pelajar, seniman, dan warga umum mulai dari pameran karya seni, musik dan pesta kembang api. Saat ini menjadi lebih meriah lagi dengan adanya street art, instalasi, circus, paduan suara, tarian, musik dan makanan. Tahun 2008 semenjak dibangun London Eye’s, semacam bianglala raksasa yang menjadi icon kota London, juga wahana wajib para turis, telah 20 juta orang mengunjungi festival ini setiap tahun. Muncul pula kesadaran dari panitia festival Thames untuk mengajak serta sungai di belahan dunia lain, dan menampungnya dalam program Rivers of The World.
Bengawan Solo kini sudah memiliki festival sederhana setiap tahunnya, dimulai dari festival Gethek yang menjadi agenda tahunan kota Solo. Dengan napak tilas Joko Tingkir sebagai spirit tradisi. Lalu Gunungan Boat Race, yang digagas oleh Yayasan Gunungan dimotori Michael Micklem, warga negara Australia yang sudah 12 tahun ini tinggal di kota Solo. Michael berharap dari boat race yang digelarnya akan tumbuh kesadaran warga untuk menjaga kebersihan sungai sebagai sumber kehidupan.
Upaya-upaya tersebut saya kira merupakan hal yang positif. Dan saya harap dalam perkembangan festival-festival Bengawan Solo ini, tidak hanya dimaknai sebagai sebuah perayaan saja. Namun, bisa mengarah pada sebuah gerakan untuk membangun konsep kota yang menempatkan sungai Bengawan Solo menjadi latar depan. Bukan latar belakang, sebagai tempat pembuangan sampah. Pembangunan ini pun harus disertai dengan pembangunan budaya untuk tidak membuang sampah sembarangan. Bisa melalui cara penerapan peraturan hukum yang tegas, kepada para pelaku yang tak menjaga kebersihan. Juga sosialisasi terus menerus di bidang pendidikan formal dan lingkungan masyarakat akan pentingnya menjaga kebersihan.
Kota Solo telah memilih kepala kapal Rajamala, sebagai icon kota. Ini bisa menjadi modal besar, untuk menghidupkan dan menggali sejarah kota. Kepala kapal Rajamala ini tersimpan di Museum Radya Pustaka, kondisi kelayakan sebagai sebuah museum perlu terus ditingkatkan. Petilasan Langenharjo pun sebagai situs sejarah perlu dirawat dan dikembangkan lagi. Sehingga bisa memberi sumbangan besar pada ilmu pengetahuan sejarah dan budaya.
Para siswa peserta Rivers of The World dibekali 6 tema untuk menyelami Bengawan Solo, tema tersebut yaitu: Culture Rivers, Polluted Rivers, Resourceful Rivers, River of Live, River City dan Working River. Judul-judul karya pun beragam mulai dari Tales of Rajamala, A potret of Life, The Gate of Hope, Gesang, Spirit of Bengawan, dan Stream of Solo. Dari proses ini mereka mengenal Bengawan Solo melalui perspektif yang kaya. Salah satu siswa peserta workshop bercerita, sudah 3 tahun semenjak kuburan keluarganya digusur, prosesi pemakaman keluarganya harus berubah. Setelah pengremasian lalu dilarungkan di Bengawan Solo. Saya tidak bisa membayangkan abu orang yang kita kasihi harus dilarungkan bersama-sama dengan timbunan sampah, kotoran dan hitamnya limbah pabrik. Maka Bengawan Solo merupakan pekerjaan rumah kita bersama. (*)