"Gimana kata dokter, Nak? Ibu tdi gak bisa nemenin kamu soalnya jualan di pasar belum laku semua" tanya ibu

"Katanya harus scan otak Bu, biar bisa tahu kelanjutannya gimana, berbulan-bulan gak sembuh-sembuh malah makin parah

Setelah 10 bulan mengkonsumsi clobazam, tapi kejang-kejang hampir tiap hari menghantui. Kupikir obat keras yang diberi dokter sekali sepekan akan menghilangkan tapi ternyata cuma meredakan.

"Neng, gak usah ke dokter dulu deh, masih banyak kok nenek kamu di sekitar sini yang biasa ngobatin penyakit kayak gitu, kita ke dukun aja, bapak dulu kalau sakit gak ke dokter, ke dukun tapi sembuh juga"

"Tidak ayah, Ansara gak percaya gitu²an, udah deh sekarang kan dokter udah jago semua nih, lagipula ansara ke dokter kan gratis, udah ada BPJS" jawabku

Kupandangi semua isi kamarku, aku tertegun pada foto perempuan yang sedang memegang toga. Bibirku merekah tapi air mata tidak bisa kubendung, walau berkali-kali menyemangati diri, tapi keadaan membuatku kalah. Dering telepon membuyarkan lamunanku, sahabatku Gita memang rutin menelepon setelah tahu.

" Ra? Semangat yah, ingat aku di sini kok, besok mau ke kebun raya Bogor nih bareng keluarga. Ayo deh udah lama gak ketemu"

Bukan ayah dan ibu, tapi orang pertama yang menangis setelah tahu aku menderita sakit ini adalah sahabatku Gita. Ingat sekali, Gita yang menyelamatkan tumpukan data penelitian yang hampir aku bakar di belakang rumah, dia juga yang mengantar jemput aku bertemu dosen pembimbing dan mengurus semua administrasi hingga berita acaraku dibacakan.

"Gak dulu deh Git, besok mau scan otak pagi-pagi di RSUD Bogor"

"Loh untuk apa scan otak? Kalau gitu diagnosa kemarin gak valid dong?"

"Kurang tau juga Git, aku ikut aja, kata dokternya gitu"

"Yaudah, besok kabarin yah hasil tesnya gimana, aku tunggu loh"

Seperti biasanya, pagi-pagi senyuman ayah terlihat setelah memanaskan motor, ayah bahkan diam-diam suka menyisihkan uang hasil dari menjadi kuli bangunan untuk memodifikasi motor kesayangannya itu. Ibu mulai merapikan sayuran sembari mengomel karena Dila, adik semata wayangku belum bisa melafalkan iqra padahal wisuda qur'an sebentar lagi.

Sebelum berangkat ke rumah sakit, bibirku mendarat di pipi ibu, meminta restu, semoga hasil tes scan otak hari ini sesuai dengan harapanku, harapan orang tuaku, sahabatku Gita.

"Eneng, jangan lupa kalau perasaannya gak enak, minum air yah neng" sahut ibu

"Iya Bu, ini botolnya udah dipenuhin kok" balasku

Tepat jam 9, bersama ayah kutelusuri jalan melewati pegunungan dan hamparan padang rumput yang memanjakan mata, beberapa menit lagi akan memasuki wilayah bandung kota yang udaranya sudah tidak sejuk lagi. Makin dekat dengan tujuan, keresahanku meningkat, ayah mungkin menyadari setelah tanganku menggenggam erat jaket lusuhnya. Sampai tujuan, kupandangi semua orang yang ada di lorong antrian. Bertanya-tanya apakah perasaan mereka juga sama dengan apa yang aku rasa, menelan obat berbulan-bulan dan menyalahkan siapa saja termasuk diri dan tuhan. Tibalah nomor antrianku disebut, karena khawatir aku meminta ayah menemaniku.

Jangan tegang, tapi sebagai orang yang pertama kali mengalami hal itu tentu saja tidak bisa dipungkiri. Dokter menyuruhku berbaring dan merekatkan banyak sekali kabel di kepala, pemeriksaan aktivitas listrik menggunakan EEG ini adalah prosedur bagi penderita epilepsi. Kening dokter mengerucut setelah melihat gelombang di layar komputer, ayah menatapku dalam, berkali-kali mengedipkan mata agar air matanya tidak tumpah.

Sembari melepaskan alat, dokter bergumam bahwa ada yang tidak beres di kepalaku, walau belum mengatakan lebih jelas seperti apa, dadaku seperti ada yang menghantam keras.

“proporsi munculnya gelombang epileptiform di otakmu 0%, artinya kamu tidak sedang menderita epilepsi”

Perasaan apa yang bisa kutampakkan? haruskah bersyukur atau bersedih? lalu berbulan-bulan penyakit yang bersemayam di tubuhku ini apa? mengapa dokter praktek di desa mendiagnosa epilepsi?

“besok datang lagi, kita lakukan pemeriksaan MRI, bisa saja bukan epilepsi yang membuatmu kejang-kejang, tapi penyakit lain”

Apa yang harus disampaikan ke ibu? jika ibu tahu, ibu akan berangkat tiap subuh lagi ke ladang menangis sesenggukan di bawah dahan pisang lalu pulang membawa senyuman terbaik. Mengecup kening di sepertiga malam lalu menangis di shalat menjelang subuh.

“Yah, gak usah kasih tau ibu dulu yah, bilang aja kalau ternyata pasiennya hari ini banyak banget jadi dipindahin besok, aku gak mau ibu kepikiran”

“Iya neng”

Untung saja, ibu hari ini tidak di rumah karena ada tetangga yang sedang melakukan hajatan. Langkah kakiku kupercepat menuju kamar, menghindari Dila yang makin besar makin penasaran dengan apa yang ada di sekitarnya. Gita menelpon menanyakan hasil pemeriksaan hari ini, harus berbohong sebab gita akan mengomel panjang disertai isakan tangis.

“Besok gak usah ayah kamu yang ngantar yah, aku aja, lagi free kok besok, gak kerja”

Ku Iyakan saja, walau dilarang ia akan tetap datang.

“Eh by the way, kamu dengar kabar gak? Kak aris meninggal kemarin, kamu masih sempat komunikasi?”

“Ah masa sih? enggak udah beberapa bulan gak pernah chat-an, sakit apa git?

“Katanya sih komplikasi, kamu ih gak pernah jenguk, padahal kan dulu akrab banget”

“Sumpah git, aku tuh gak tau kalau kak aris lagi sakit, kamu taunya dari mana?

“Dari grup angkatan”

Kak aris salah satu orang yang menawarkan telinga mendengar keluhanku, pernah dekat beberapa bulan tapi aku diam-diam memutuskan komunikasi karena tidak mau menambah beban pikiran.

Hari menjelang sore, bibi saudara ayah lenggak lenggok memasuki rumah, mencari siapa saja yang mau mendengar gosip baru yang didapatnya dari tetangga. Selain memamerkan anaknya, ia juga suka bercerita tentang takhayul atau pamali yang masih dipercayai.

“Dulu tuh bibi kalau masak suka nyanyi, nenek kamu ngomong jangan nyanyi kalau lagi masak nanti dapat jodohnya yang tua, eh beneran dapat tua, duda anak 9 lagi”

Diakhiri dengan ketawa khasnya yang melengking

“Enggak ah, emang dari allah jodohnya bibi kayak gitu” balasku

“Yee, gak mau dibilangin, kamu kalau mau dapat jodoh yang brewok, nyapunya jangan bersih”

“Yah, dimarahin ibu dong bi kalau gak bersih”

“Biarin aja, daripada dapat yang gak brewok hahaha, eh tapi kamu baik-baik aja kan? kemarin tetangga bibi yang rumah biru di seberang itu ngeliat kamu lagi gak sehat katanya”

“Ha? gak sehat gimana bi?”

“Katanya ada yang nutup aura kamu, beneran sehat teh?”

“Sehat kok bi, emang lagi kecapean aja akhir-akhir ini”

Aku tau tujuan sebenarnya bibi datang ke rumah ingin menanyakan hal mengganjal yang ia dengar dari tetangganya, tapi karena tidak mendapat jawaban yang diinginkan, bibi bergegas pulang menuruni anak tangga.