Bodeng preman pekok
Bondeng Preman Pekok. (1)
Tung Widut
"Mana ni gurunya. Masak anak yatim piatu nggak dapat daging kurban?"kata seorang bapak-bapak setengah berteriak.
Lelaki itu kelihatan memang sengaja bicara keras di halaman sekolah. Penampilannya lusuh. Memakai celana pendek dibawah lutut. Rambut acak-acakan agak keriting. Jaket jeans sudah memudar warnanya. Wajah arongan tanpa senyum.
"Ada yang bisa dibantu pak?" tanya satpam.
"Ini anak saya yatim piatu tak mendapatkan daging kurban. Bagaimana gurunya kok nggak perhatian," jawabnya sambil memutar sepeda motornya ke luar halaman sekolah.
Sang satpam menggaruk kepala yang tak gatal.
"Ini anak saya yatim piatu," menirukan lirih sambil mencerna kata-kata itu.
Bel tanda istirahat berbunyi. Gerak cepat kepala sekolah mengumpulkan semua wali kelas di ruang meeting. Satu persatu wali kelas dimintai keterangan cara memilih siswa yang mendapatkan daging kurban. Masing-masing sudah sesuai dengan ketentuan. Tidak ada permasalahan.
"Jul, selain aku tak berani kan gertak guru-guru itu," kata Bondeng dengan bangga.
"Gertak apa?" tanya Jul.
"Tentang pembagian daging," jawab Bondeng.
"Memang masih dagingnya, nyembelih kan kemarin lusa?" Jawab Jul.
Bondeng hanya tersenyum kecut. Bahkan Jul memberi beberapa cara agar mendapat daging kurban tanpa harus demo. Salah satunya mngusulkan anaknya sebelum hari raya Qurban.
"Deng, Bodeng mainkan sedikit otakmu," kata Jul meremehkan.
Siang itu terdengar deru sepeda motor beriringan. Membelah bukit nan indah. Pengendara dengan pakaian keamanan lengkap. Helm standar, masker, jaket kulit, sarung tangan, celana jeans, dan sepatu. Bahkan banyak yang memakai sepatu boot.
Tiba-tiba salah satu dari mereka melambatkan sepeda motornya. Mereka yang berada di belakangnya secara bersama mengurangi kecepatan.
"Bocor Mo?" tanya seorang teman.
Orang yang disebut Mo pun memeriksa ban belakangnya. Lalu memberi berita kepada anggota lain melalui ht.
"Kendala ban hejes bos. Di km 673," kata Mo.
"Ok. Ok. Siap berhenti menunggu," jawab ketua yang berada di urutan paling depan.
"Bondeng, Bondeng, posisi," tanya ketua club.
Tak lama Bondeng pun ngerem sepedanya.
Dia mendapat kode dari Mo untuk berhenti.
"Kerja bos," perintah Mo.
Dengan semangat Bondeng menambal ban sepeda motor milik Mo.
Mo pun dibonceng sepeda motor ke arah rest area yang berjarak 100 meter dari tempat kejadian. Menghindari matahari terlihat tengah hari.
Beberapa kala Bondeng menyeka peluhnya yang mulai membasahi tubuhnya. Beberapa saat bekerja rasa panas tak tertahan. Terpaksa jaketnya dilepas. Matanya mulai melihat ke kiri ke kanan. Mencari tempat teduh. Tapi tak ada pula. Justru terlihat aspal yang mengeluarkan asap. Membentuk fakta Morgana. Seakan bagai air yang bergelombang.
"Dem,"
Tiba-tiba terdengar letusan keras dari arah Bondeng bekerja. Semua mata yang ada rest area tertuju padanya.
Terkejut karena letusan, badan Bondeng atuh terduduk. Wajahnya memerah. Jantungnya berdetak lebih kencang. Hatinya sangat khawatir dengan tambal ban yang Dia kerjakan.
Benar saja. Tak tahu penyebab yang jelas ban semestinya belum terisi angin penuh sudah meletus.
"Ada apa Deng?" tanya Mo
Bondeng sibuk memeriksa setiap sisi sepeda motor. Padahal dia sebenarnya sudah tahu.
"Jangan pura-pura tak tahu. Gunakan matamu. Lihat. Ban sobek sebesar itu," kata Mo.
Bondeng tak berkutik. Dia hanya bisa menelan ludah yang sudah mengering karena udara terlalu panas.
Sebentar dari HT terdengar suara Mo. Dia mengabarkan bannya meletus. Tak mungkin lagi diperbaiki dengan menambal. Beberapa anggota club mulai berdiskusi mengatasinya.
"Bekerja yang sungguh-sungguh. Bagaimana kalau sudah begini?" tanya Mo dengan emosi.
Di pegangnya kerah baju Bondeng. Wajahnya memerah emosi.
"Ok, ok, saya meluncur," suara seseorang dari HT.
Mo pun melepaskan cengkeramannya dengan menghempaskan tubuh Bondeng yang mungil. Bondeng jatuh terduduk.
Setelah beberapa saat salah satu anggota club touring yang membawa ban datang. Setelah menyerahkan sebuah ban baru, Mo menepuk pundaknya mengajak ke rest area.
"Mbak, soda gembira satu," kata Bondeng sambil menahan haus.
Kakinya melangkah menuju sebuah meja yang di penuhi anggota club touring.
"Jangan sebut Bondeng kalau tak mampu mengatasi masalah dengan cepat," katanya sombong.
Kata itu diucapkan dengan penuh percaya diri. Sambil tangan kanannya menepuk-nepuk dada.
Mo yang berada di meja sebelahnya merasa muak.
"Kita lanjut. Mas bos sudah menunggu," kata Mo.
Tanpa basa-basi semua berdiri menuju sepeda motor masing-masing. Tak lupa Meniggalkan selembar uang dua puluh ribuan di hadapan Bondeng.
Kini Bondeng tinggal sendiri di sebuah kafe di rest area itu. Menikmati kaosnya yang basah dan mulai bau asam. Rambut ikalnya yang berantakan diusap ke belakang memakai tangan.
"Pak, lima belas ribu," kata pelayan gemoy saat dia akan meninggalkan kafe.
"Sudah dibayar sama bos tadi," katanya cuek.
"Belum Pak," jelas pelayan.
"Sudah, jangan macam-macam kamu. Orkay ini clubnya orang-orang kaya. Ada polisi,DPR , bos yang punya pabrik besar. Mau kau digusur dari sini," kata Bondeng dengan congkak.
"Ada apa ini?" kata seorang lelaki yang tiba-tiba datang tiba-tiba.
Bondeng segera menoleh ke arah suara. Seorang lelaki kekar tiba-tiba muncul. Entah dari arah mana.
"Ini mas. Bapaknya kan belum kebayar tadi," jawab sang pelayan yang gemoy itu.
Melihat tatapan tajam lelaki kekar itu, Bondeng segera merogoh saku celananya. Kiri kanan, saku jaket semua dicoba. Tak selembar uangpun si dapat.
"Bagaimana Mas?" tanya lelaki kekar itu.
Bondeng semakin panik. Dia ingat betul tadi Memberinya uang dua puluh ribu.
"Sebentar Mas," jawabnya dengan panik.
"Jangan pura-pura," lanjut lelaki kekar.
Bondeng kembali ketempat duduknya. Dia mulai menunduk mencari uang dua puluh ribuan tadi. Tak ada juga di sekitar meja. Dia mulai putus asa. Diliknya lelaki kekar yang tes menatapnya.
Masih dengan keadaan panik. Bondeng membuka jaket kulit yang dipakai. Semua barang yang berada dalam saku jaket di keluarkan. Ada satu pak rokok yang tinggal dua. Jaket kusam itu tetap tak menjanjikan keberadaan selembar uang tadi.
Dia mulai pasrah. Duduk dengan menghela nafas panjang. Sambil mengingat dia meletakkan uang.