Premis

sunting
 
Samidjo hanya bisa berakrab dengan singkong, sembari mengamalkan mantra ajaibnya

Samidjo, santri yang mudah lupa untuk segala hal, dapat membuktikan kekuatan keyakinannya kepada Pak Kyai

Samidjo, Pak Kyai

Lokasi

sunting

Wonosobo, Jawa Tengah

Cerita Pendek

sunting

Pada suatu masa ada anak yang oleh orang tuanya dimasukkan ke pesantren. Orang tua pemuda tersebut sudah pasrah mendidik anaknya karena begitu sulitnya dia menerima pelajaran. Sebut saja nama anak itu Samijo.

Samijo adalah seorang remaja yang tergolong pelupa. Dia mudah sekali lupa, sulit mencerna pesan maupun informasi dan kurang peka dengan keadaan. Bapak dari Samijo seorang petani, ingin sekali melihat Samijo menjadi seorang ulama besar seperti Kyai Nurdin. Akan tetapi dengan keadaan Samijo seperti itu, Sang Bapak menjadi pesimis. Maka harapan satu satunya adalah memasukkan Samijo ke pesantren Kyai Nurdin agar dia dapat dididik di pesantren. Dititipkanlah Samijo ini ke pesantren Kyai Nurdin.

Dimasukkanlah Samijo ke pesantren. Selama berada di pesantren, Kyai Nurdin merasa kewalahan menghadapi Samijo. Dia memang bukan anak yang bandel, tapi dia tergolong santri yang sulit untuk dididik. Diajari baca tulis tidak bisa, diajari masalah agama juga kesulitan. Diberi amanah oleh Pak Kyai mengurus ladang tidak mampu, memandikan sapi atau kambing juga tidak bisa.

Samidjo pun sempat hampir putus asa dan mulai frustasi. Dia merasa tak berguna hidup di dunia ini. Di rumah tidak bisa diandalkan, di pesantren apalagi. Bingunglah Pak Kyai untuk memberikan pelajaran kepada si Samidjo.

Sampai akhirnya Pak Kyai memperoleh aktivitas yang cocok untuk Samidjo, yaitu sebagai pembersih singkong di dapur umum pesantren. Tugasnya hanya membersihkan singkong setelah dipanen di ladang Pak Kyai, tidak perlu memasak, karena yang mengolahnya adalah santri lain. Tugas tersebut sederhana tapi setidaknya dapat membuat si Samidjo menjadi orang yang merasa berguna. Dengan sabar Pak Kyai memberikan arahan untuk membersihkan singkong.

“Jadi, Djo, cara untuk membersihkan singkong ini gampang dan sederhana.” Jelas Pak Kyai

“Gimana Pak Kyai? Saya takut lupa pak caranya.” Jawab Samidjo dengan agak ragu

“Kamu baca bismillah dulu, lalu bilang Buk Buk (sambil singkong dipukulkan ke tanah pelan-pelan), Sik sik (permukaan singkong dibersihkan dengan tangan).”

Pak Kyai mengulangi penjelasannya beberapa kali. Sampai si Samidjo manthuk-manthuk (mangguk-mangguk) seraya paham dengan penjelasan Pak Kyai.

“Simpel kan Djo? Gak repot? Tinggal kamu lakukan aja itu dengan yakin dan ikhlas mengharap ridho Allah. Itu yang penting.” Kata Pak Kyai dengan optimis

“ohh gitu ya Pak.. Saya coba deh pak… bismillah buk buk sik sik..” Samidjo menurut kata Pak Kyai.

Aktivitas itu dilakukan Samidjo hingga hampir dua tahun. Karena memang hanya itu yang dapat Samidjo lakukan. Pernah Pak Kyai mengajari dia baca-tulis, tetap saja belum bisa. Pak Kyai tetap sabar dan terus sabar.

Suatu ketika Pak Kyai diminta tolong oleh desa sebelah yang letaknya agak jauh untuk mengisi ceramah acara Maulid Nabi. Desa tersebut terpisah oleh sungai dengan daerah pesantren Kyai Nurdin. Jalan satu satunya menuju desa tersebut adalah melalui jembatan tua yang terbuat dari bambu. Pak Kyai meminta Samidjo untuk menemani beliau mengisi ceramah di desa tersebut. Samidjo mengiyakan ajakan Pak Kyai.

Di tengah perjalanan ketika akan melewati jalan menuju jembatan tua, terlihat dari jauh sungai begitu keruh dan alirannya deras. Sepertinya telah terjadi banjir di sungai itu. Sembari istirahat Pak Kyai meminta Samidjo untuk mengecek kondisi jembatan yang akan mereka lewati. Apakah masih bisa digunakan atau tidak.

Samidjo pun turun melihat kondisi jembatan. Ternyata jembatan yang akan dilewati mereka ambruk diterjang banjir besar. Dia mencoba berfikir bagaimana agar dia dan Pak Kyai bisa menyeberangi sungai tersebut. Dia teringat pelajaran dari Pak Kyai ketika membersihkan singkong selama ini. Luruskan nia, lalu baca bismillah sambil mengucap “buk buk sik sik. Haaapppp…!!!” Dia melompat menyeberangi sungai yang panjangnya hampir mencapai 200 meter tersebut. Dengan yakin dia bisa sampai ke ujung lagi. Lalu dia mencoba lagi kembali ke tempat semula sembari melakukan hal yang sama, luruskan niat, yakin karena Allah, berucap bismillah buk buk sik sik. Kembalilah dia ke tempat semula.

Samidjo menemui Pak Kyai. Dia dengan mantap melaporkan bahwa mereka bisa menyebrangi sungai. Pak Kyai pun bangkit dari istirahatnya melanjutkan perjalanan. Sesampai di bibir jembatan Pak Kyai kaget bukan kepalang melihat jembatan yang akan disebranginya rusak terkena aliran sungai yang amat sangat deras. Semangat Pak Kyai kendor begitu saja, karena dikiranya laporan Samidjo dengan nada optimis tadi sungguhan. Tapi kenyataannya jalan satu-satunya yang menghubungkan ke desa sebelah putus. Belum sempat Pak Kyai berucap mengungkapkan kekecewaan pada santrinya, Samidjo langsung memegang tubuh Pak Kyai dan langsung memposisikannya di punggung Samidjo untuk digendong.

“Pak Kyai pegangan Samidjo dengan erat yaa.. Bismillah… BUK BUK SIK SIK… Cyaaaaatttt…. “ Teriak Samidjo. Mereka berdua melayang di atas sungai sepanjang 200 meter tersebut. Pak Kyai kaget dan tidak berkata apa apa selain berdzikir mengucap kalimat Thayyibah. Samidjo masih semangat dan dengan erat memegang Pak Kyai agar beliau tidak terjatuh. Seolah waktu bergerak perlahan. Mereka berdua akhirnya sampai di tepi sungai menuju jalan desa sebelah. “Pak Kyai, kita dah sampai lho pak. Pakk… Pakk… kok bengong pak… Kita dah sampai Pak.” Kata Samidjo sambil menggoyang-goyangkan badan Pak Kyai.

“Owalah, MasyaAllah… Sudah sampai to… Lailahaillallah. Kita barusan terbang ya Djo. Kok bisa sih? Saya mimpi ya?” Pak Kyai membenarkan letak baju dan sorbannya.

“Lha mimpi gimana Pak, kita sudah sampai sini kok Pak, dan kita bisa melanjutkan perjalanan lagi. Ayoo Pak.. Waktu sudah semakin siang Pak, hampir sholat dzuhur Pak.”

“Kamu kok bisa-bisanya sih Djo bawa aku terbang melewati sungai itu?” Pak Kyai masih belum percaya dengan kejadian barusan.

“Kan Pak Kyai yang ngajarin Samidjo. Pak Kyai lupa yaa?”

“Ahhh.. Jangan main main kamu, aku gak pernah ngajarin orang terbang kayak gitu..”

“Pak Kyai, kan Pak Kyai pernah ngajarin Samidjo untuk meluruskan niat dan hanya mengharap ridho Allah, lalu setelah itu baca bismillah. Nha terus saya lanjutin pak BUK BUK SIK SIK. Itu saya yakini sekali Pak Kyai, saya tekuni, saya renungi setiap saat. Saya pikir dengan modal yakin dan kepercayaan yang kuat Allah akan bantu saya dimanapun dan kapanpun. Makanya saya pikir saya bisa kok melewati sungai kayak barusan.”


“MasyaAllah Djo… Semoga kamu menjadi manusia yang bermanfaat bagi lingkungan kamu. Semoga Allah menganugerahkan ilmu yang bermanfaat buat kamu serta rezeki yang barokah. Allah memang selalu memberikan rezeki yang tidak disangka-sangka bila hambaNya ikhlas dan hanya berharap ridhoNya. Siapapun dia apapun keadaannya, Allah memang Sang Maha Pemberi Cinta.” Kata Pak Kyai dengan hati lega dan penuh syukur muridnya mengamalkan ajarannya yang sederhana tapi ikhlas.

“Mari Pak kita lanjutkan perjalanan, hampir sholat dzuhur ini Pak.”

Mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju desa sebelah untuk memberikan wejangan di desa sebelah. Samidjo sebenarnya tidak tahu, bahwa hal yang dia lakukan dikategorikan hal yang diluar kemampuan manusia normal. Makanya dia santai saja dan merasa lumrah.

Ada hal menarik yang coba disampaikan dalam cerita singkat tersebut. Bahwa keyakinan adalah modal dasar kita bertindak dalam mengarungi kehidupan. Tentunya keyakinan haruslah dibangun dengan cara yang benar. Keyakinan seorang manusia bermuarakan keikhlasan tanpa kepentingan apapun.