Nyeri merupakan sensorik dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan yang terkait dengan adanya kerusakan jaringan baik yang bersifat potensial maupun aktual atau hal lain yang dirasakan pada kerusakan yang semacam itu. Nyeri bersifat subyektif sehingga para tenaga kesehatan profesional menilai nyeri berdasarkan informasi dari pasien.

Patofisiologi sunting

Patofisiologi nyeri melibatkan jaringan susunan syaraf yang kompleks pada otak yang berespon karena adanya stimulus dari saraf aferen yang menjadi penyebab timbulnya nyeri. Pada nyeri akut, proses tersebut berlangsung singkat, namun pada beberapa kondisi, perubahan yang terjadi dapat bersifat menetap dan berkembang menjadi nyeri kronik. Klasifikasi nyeri berdasarkan patofisiologinya dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu nyeri nosiseptif dan nyeri neuropati.

Nyeri nosisiseptif sunting

Nyeri nosisiseptif dapat diklasifikasikan baik sebagai nyeri somatik (timbul dari kulit, tulang, persendian, atau jaringan penghubung) atau nyeri viseral (nyeri yang timbul dari organ dalam seperti usus besar atau pankreas). Umumnya nyeri somatik berupa nyeri yang berdenyut dan terlokalisasi pada lokasi atau tempat nyeri tertentu, sedangkan nyeri viseral  dapat bermanifestasi pada rasa nyeri apabila muncul dari struktur lain atau fenomena nyeri yang terlokalisasi dengan baik.

Lima tahap dalam patofisiologi nyeri nosiseptif meliputi: stimulasi, transmisi, persepsi, modulasi, dan tahap peradangan adaptif.

Stimulasi sunting

Tahap awal yang menyebabkan munculnya rasa nyeri adalah stimulasi dari nosiseptor. Reseptor ini ditemukan baik pada bagian somatik maupun viseral. Reseptor tersebut dapat membedakan stimulus yang berbahaya dan yang tidak membahayakan; diaktivasi dan disensitisasi oleh impuls mekanik, thermal, dan kimiawi.  Mekanisme ketiga stimulus tersebut dapat menyebabkan pelepasan bradikinin, ion-ion hidrogen dan kalium, prostagalandin, histamin, interleukin, TNFα, serotonin, dan substansi P yang dapat mensentisasi atau mengaktifkan nosiseptor. Aktivasi reseptor menyebabkan transmisi aksi potensial sepanjang serabut saraf aferen ke sumsum tulang.

Transmisi sunting

Transmisi nosiseptif berlangsung di serabut saraf Aδ dan C-aferen. Stimulasi serabut saraf Aδ berdiameter besar, dengan sedikit bermielin menimbulkan rasa nyeri yang tajam dan terlokalisasi, sedangkan stumulasi pada pada serabut yang tidak bermielin dan dengan diameter kecil, menghasilkan nyeri yang tumpul, menetap, dan tidak terlokalisasi.

Persepsi nyeri sunting

Pada titik transmisi ini, nyeri menjadi pengalaman nyata yang terjadi pada struktur kortikal yang lebih tinggi. Bagian otak dapat mengakomodasi hanya sejumlah kecil sinyal, fungsi kognitif dan perilaku dapat memodifikasi nyeri yang dirasakan. Relaksasi, pengalihan nyeri, meditasi, dan penyesuaian persepsi psikis dapat menurunkan nyeri melalui penurunan pengolahan sinyal nyeri. Sebaliknya, perubahan neurobiokimia yang terjadi pada kasus depresi dan kecemasan dapat memperburuk persepsi nyeri yang dirasakan.

Modulasi sunting

Tubuh memmodulasi nyeri dengan melibatkan sejumlah proses yang kompleks misalnya melalui sistem sistem opioid endogen, terdiri dari neurotransmiter (misal enkefalin, dinorfin, endorfin) dan reseptor (misal reseptor μ, δ, κ) yang terletak di sistem saraf pusat. Seperti halnya opioid eksogen, opioid endogen berikatan dengan sisi  reseptor opioid dan memodulasi transmisi impuls saraf. Tipe reseptor lain juga dapat memengaruhi sistem ini. Aktivasi reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA), yang terletak di dorsal horn dapat menurunkan responsivitas reseptor μ terhadap opioid.

Sistem saraf pusat juga terdiri dari sistem pengontol transmisi nyeri yang sangat terkoordinasi dengan baik. Sistem yang berada di otak tersebut dapat menghambat transmisi nyeri sinaptik pada dorsal horn. Neurotransmitter penting yang terlibat meliputi opioid endogen, serotonin, norepinefrin, γ-aminobutyric acid (GABA), dan neurotensin.

Peradangan adaptif sunting

Nyeri inflamasi dapat dinilai sebagai proses peralihan tubuh dari mencegah kerusakan jaringan ke proses penyembuhan atau perbaikan (misak luka bedah, kerusakan traumatik). Sebagai hasil dari proses inflamasi, ambang nyeri berkurang dan dan area luka menjadi lebih sensitif terhadap nyeri. Proses tersebut menyebabkan penurunan kontak dan pergerakan area luka, sehingga dapat mempercepat proses perbaikan. Apabila proses tersebut berlangsung lebih lama dari seharusnya atau ketika disebabkan suatu penyakit seperti artritis, maka dapat terjadi perubahan permasalahan akut menjadi kronis (proses inflamasi maladaptif). Sebagai respon terhadap kerusakan jaringan dan peradangan, perubahan signifikan terjadi pada komposisi kimiawi dan sistem persarafan pada jaringan radang. Perubahan tersebut menunjukkan proses alamiah dan tingkat dari berbagai protein yang diekpresikan oleh saraf sensorik. Perubahan produksi dari beberapa protein tersebut dapat memodifikasi fenotip dan sel saraf, mengubah karakteristik transduksi, dan transmisinya. Nyeri inflamasi juga dapat terkait dengan peningkatan pada eksitabilitas dan responsivitas sel saraf dalam sistem saraf pusat, yang dikenal dengan istilah central sensitization.

Nyeri Neuropati atau Fungsional sunting

Nyeri neuropati dan nyeri fungsional berbeda dengan nyeri nosiseptif, terlepas dari stimulus yang membahayakan atau proses perbaikan dan umumnya dikategorikan sebagai nyeri kronik. Nyeri neuropati merupakan akibat dari kerusakan saraf, sedangkan nyeri fungsional dinilai sebagai abnormalitas proses pada sistem saraf.

Beberapa sindrom nyeri neuropati misal neuralgia pasca-herpes, neuropati diabetik, dan sindrom nyeri fungsional seperti fibromyalgia, Irritable Bowel Disease, nyeri kepala tipe tegang, dan beberapa nyeri dada non-kardiak. Sebagian besar nyeri tersebut tidak teridentifikasi dan sulit untuk ditangani. Selain itu, laporan nyeri tidak dapat dibuktikan dengan pemeriksaan fisik.

Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap nyeri neuropati dan nyeri fungsional dapt merupakan proses dinamis endogen dalam sistem saraf. Kerusakan saraf atau derajat penyakit tertentu dapat menimbulkan perubahan yang dapat terlihat pada nyeri inflamsi, eksitabilitas ektopik, peningkatan transmisi sensorik, pengaturan kembali struktur saraf, dan hilangnya penghambatan modulasi nyeri.

Secara klinis, pasien dengan transmisi nyeri spontan (umumnya digambarkan sebagai rasa terbakar, kesemutan) menunjukkan respon nyeri hebat terhadap stimulus berbahaya (hiperalgesia) dan atau respon nyeri terhadap stimulus tidak berbahaya (allodynia). Perubahan ini secara berangsur dapat menjelasakan mengapa tipe nyeri ini umumnya bermanifestasi lama setelah kerusakan aktual pada saraf atau ketika tidak ada luka aktual yang teridentifikasi.

Klasifikasi Nyeri sunting

Nyeri Akut sunting

Nyeri akut merupakan peringatan proses fisiologis seseorang terkait tingkat keparahan penyakit dan berpotensial menandakan kondisi kesehatan yang membahayakan. Sayangnya, nyeri berat, terus-menerus, tidak mendapat terapi yang sesuai, nyeri akut, jika melebihi proses biologis normal dapat menyebabkan efek yang merugikan seprti munculnya permasalahan psikologis. Nyeri akut umumnya nosiseptif, meskipun juga dapat berupa nyeri neuropati dalam perkembangannya, yang memiliki keterkaitan kuat dengan derajat patologis penyakit. Beberapa penyebab umum nyeri akut termasuk pembedahan, penyakit akut, trauma, melahirkan, prosedur medis. Pada nyeri akut dapat menyebabkan peningkatan respon aktivitas saraf simpatis (misal peningkatan tekanan darah, takikardia, takipnea); respon tersebut umumnya berkurang seiring progresivitas nyeri akut yang berkembang menjadi nyeri kronis.

Nyeri Kronis sunting

Saat kondisi normal, nyeri akut dapat mereda secara cepat seiring proses penyembuhan menurunkan stimulus penyebab nyeri; namun demikian, nyeri juga dapat bertahan selama beberapa bulan hingga tahun, menyebabkan tingkat nyeri kronis dengan manifestasi yang sedikit berbeda dengan nyeri akut. (Tabel 1.)

Tabel 1. Perbedaan Nyeri Akut dengan Nyeri Kronik

Karakteristik Nyeri Akut Nyeri Kronik
Ketergantungan dan toleransi pada pengobatan Tidak umum Umum
Unsur Psikologis umumnya tidak ada seringkali menjadi masalah utama
Penyebab organik umum seringkali tidak
Pengaruh pada lingkungan/keluarga rendah signifikan
insomnia tidak umum sering
tujuan terapi mengobati perbaikan fungsional
Depresi tidak umum umum

Tipe nyeri ini dapat berupa nosiseptif, neuropatik/fungsional atau bahkan keduanya. Subtipe dari nyeri tersebut termasuk nyeri yang bertahan selama proses perbaikan akibat cedera akut, nyeri yang terkait penyakit kronis (misal nyeri sekunder pada osteoartritis), nyeri tanpa penyebab organik yang dapat diidentifikasi (misal fibromyalgia), dan nyeri pada kanker.

Nyeri Kanker sunting

Nyeri yang terkait dengan kondisi yang berpotensi mengancam jiwa seringkali dinamakan nyeri malignansi atau secara sederhana disebut nyeri kanker. Tipe nyeri ini termasuk kategori nyeri akut manupun kronis serta umumnya memiliki berbagai penyebab. Nyeri yang muncul akibat penyakit kanker yang dialami (misal akibat adanya invasi tumor, obstruksi organ), terapi (kemoterapi, radiasi, insisi pembedahan), atau prosedur diagnostik (misal biopsi).

Manifestasi Klinik sunting

Manifestasi klinik dari nyeri yang dialami dapat ditetapkan melalui penilaian nyeri yang baik. Pendekatan yang berorientasi pasien merupakan hal penting dan metode evaluasi sebaiknya tidak berbeda dengan yang diterapkan pada kondosi medis lainnya. Oleh karena itu, penelusuran sejarah (penyakit, terapi) komprehensif dan pemeriksaan fisik penting untuk dilakukan untuk dapat mengevaluasi penyakit yang mendasari munculnya nyeri dan kemungkinan faktor lain yang berkontribusi. Karakteristik baseline dari nyeri yang dirasakan pasien dapat diperoleh apoteker ketika melakukan tahap pembangunan basis data sebagai bagian dari rangkaian tahap pelayanan kefarmasian pada pasien dengan nyeri pada kanker. Tiga prinsip dalam penerapan pelayanan kefarmasian pada pasien nyeri dengan kanker adalah:

1. Penggalian informasi komprehensif yang meliputi sejarah dan hasil pemeriksaan fisik penting untuk dilakukan untuk dapat mengevaluasi penyakit penyebab dan kemungkinan adanya faktor-faktor yang berkontribusi terhadapnya munculnya rasa nyeri pada pasien. Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan saat pembangunan basis data tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Pertanyaan yang Dapat Diajukan Apoteker saat Building Patient’s Database pada Pasien Nyeri pada Kanker

No Parameter Pertanyaan yang Dapat Diajukan Saat Building Patient’s Database oleh Apoteker
1 Mula dan Durasi Kapan rasa nyeri mulai dirasakan dan berapa lama nyeri tersebut Saudara rasakan ?
2 Faktor Paliatif Hal-hal apa saja yang dapat menyebabkan rasa nyeri tersebut mereda ?
3 Faktor Provokatif Hal-hal apa saja yang dapat menyebabkan rasa nyeri tersebut memburuk ?
4 Kualitas Apakah Saudara dapat menggambarkan rasa nyeri yang dirasakan ?
5 Lokasi Pada bagian mana Saudara merasa nyeri ?
6 Keparahan/Intensitas Bagaimana rasa nyeri saat ini jika dibandingkan rasa nyeri yang Saudara pernah alami?
7 Faktor Temporal Apakah intensitas nyeri yang dirasakan berubah seiring waktu ?

Beberapa perangkat penilaian nyeri yang sudah tervalidasi (numeric rating scale, visual analog scale; Belum ada penelitian validasi kedua perangkat penilaian nyeri tersebut dalam versi bahasa Indonesia). Moron Merchante dkk (2013) telah merangkum perangkat/instrumen penilaian nyeri dan kaitan nyeri dengan kualitas hidup (Moron dkk., 2013). Instrumen tersebut dapat bermanfaat untuk Apoteker Pelayanan Farmasi Klinik maupun peneliti serta dapat digunakan dengan uji reliabilitas dan uji validitas sebelumnya. Jikalau sudah tervalidasipun, perlu adanya konsistensi dan clinical judgement yang sesuai.

2. Pelayanan kefarmasian yang sesuai pada pasien nyeri pada kanker termasuk evaluasi pengelolaan nyeri yang telah dilakukan. Intensitas nyeri, reda/belum rasa nyeri yang dirasakan, reaksi obat antinyeri yang tidak dikehendaki (misal golongan opioid dapat menyebabkan sedasi atau konstipasi) haris dinilai dan dinilai ulang pada rentang waktu tertentu. Waktu dan keteraturan penilaian tersebut tergantung dari tipe nyeri dan jenio obat antinyeri yang digunakan. Nyeri setelah operasi dan nyeri akut pada pasien kanker dapat dilakukan setiap jam, sedangkan nyeri kronik pada pasien non kanker dapat dilakukan setiap hari ataupun dengan frekuensi yang lebih jarang.

Penilaian intensitas nyeri penting dilakukan pada kondisi nyeri akut, sedangkan pada nyeri kronis diutamakan kemampuan fungsional pasien. Empat parameter yang direkomendasikan untuk dilakukan penilaian pada pasien dengan nyeri kronis meliputi: - reda/tidaknya rasa nyeri - kemampuan menjalani aktivitas sehari-hari - reaksi obat yang tidak dikehendaki pada penggunaan obat nyeri - hal-hal yang dirasakan saat menggunakan obat antinyeri (misal adakah muncul nyeri meski telah menggunakan obat nyeri secara rutin pada kondisi nyeri kronis yang dialami).

Manifestasi Klinik Nyeri sunting

Faktor mental atau emosional perlu diperhatikan karena dapat mengubah ambang nyeri seseorang. Kecemasan, depresi, kelelahan, kemarahan, dan ketakutan diketahui dapat menurunkan ambang nyeri, sedangkan istirahat, perbaikan mood simpati, pengalihan rasa nyeri dapat meningkatkan ambang nyeri.

Tabel 3. Manifestasi Klinik Nyeri

Parameter Nyeri Akut Nyeri Kronik
Umum umumnya ketidaknyamanan jelas (misal pada kondisi trauma) Dapat tanpa terlihat ketidaknyamanan yang nyata
Gejala Dapat digambarkan sebagai rasa tajam, perih, menusuk, intensitas fluktuatif, pada lokasi yang bervariasi (Hal ini terjadi berkaitan erat dengan stimulus penyebab nyeri yang dialami) Dapat digambarkan sebagai rasa tajam, perih, menusuk, intensitas fluktuatif, pada lokasi yang bervariasi (Hal ini sering terjadi TANPA ada kaitannya dengan stimulus penyebab nyeri yang dialami)
Tanda a. Hipertensi, takikardia, diaphoresis, midriasis, pucat, namun tanda-tanda tersebut BUKAN untuk keperluan DIAGNOSTIK

b. Pada beberapa kasus, tidak ditemukan tanda-tanda yang jelas

c. Kondisi komorbiditas umumnya tidak ada

d. Hasil terapi umumnya dapat diprediksi

a. Hipertensi, takikardia, diaphoresis, midriasis, pucat JARANG muncul

b. Pada BANYAK kasus, tidak ditemukan tanda-tanda yang jelas

c. Sering disertai kondisi komorboditas (misal gangguan tidur, depresi, masalah berinteraksi sosial)

d. Hasil terapi seringkali TIDAK dapat diprediksi

Tes Laboratorium a. Nyeri selalu bersifat subyektif

b. Penilaian nyeri terbaik berdasarkan deskripsi dan riwayat nyeri pada pasien

c. Tidak ada uji laboratorium spesifik untuk nyeri

a. Nyeri selalu bersifat subyektif

b. Penilaian nyeri terbaik berdasarkan deskripsi dan riwayat nyeri pada pasien

c. Tidak ada uji laboratorium spesifik untuk nyeri; namun riwayat dan atau pemeriksaan diagnostik setelah trauma (misal computed tomography) atau status penyakit saat ini (misal autoantibodi) dapat bermanfaat untuk diagnostik penyebab nyeri

Para tenaga profesional kesehatan, termasuk apoteker, sebaiknya senantiasa memahami bahwa nyeri bersifat subyektif. Observasi obyektif seperti mimik wajah pasien yang menunjukkan menahan nyeri dan takikardia dapat bermanfaat dalam menilai rasa nyeri maupun mengevaluasi terapi nyeri, namun tanda-tanda tersebut umumnya tidak ditemukan pada pasien dengan nyeri kronis akibat lesi struktur. Tidak ada parameter neuropsikologis dan parameter kimiawi yang dapat digunakan untuk mengukur nyeri. Para tenaga profesional kesehatan dapat melakukan penilaian nyeri dan mengevaluasi efektivitas antinyeri hanya berdasarkan laporan (keluhan atau parameter obyektif berdasarkan hasil pemeriksaan pasien (misal tekanan darah, kecepatan pernapasan, denyut nadi).

Pengelolaan Nyeri sunting

Terapi Nonfarmakologi sunting

Penerapan strategi pengelolaan nyeri dengan terapi nonfarmakologi sebenarnya bukan merupakan kompetensi Apoteker Indonesia. Namun demikian, Apoteker Indonesia diharapkan dapat memberikan alternatif terapi non farmakalogi sesuai dengan kondisi pasien (tertera pada Standar Kompetensi Apoteker Indonesia SK Pengesahan Standar Kompetensi Apoteker Indonesia, 2010).

Terapi Stimulasi

Beberapa terapi nonfarmakologi diketahui dapat bermanfaat dalam pengelolaan baik nyeri akut dan kronis, termasuk terapi panas, terapi dingin, masasse, atau gerakan latihan tertentu. Di beberapa negara maju, Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) telah digunakan untuk mengelola baik terapi akut dan kronis (misal pada nyeri pembedahan, traumatik, nyeri punggung, artritis, neuropati, fibromyalgia, dan nyeri area mulut-wajah). Namun demikian, bukti kemanfaatan penerapan TENS berdasarkan penelitian yang dipublikasikan adalah terbatas. Oleh karena itu, strategi TENS belum dapat direkomendasikan secara luas pada pengelolaan nyeri.

Pendekatan Psikologis

Meskipun aspek kognitif, behavioral, dan aspek sosial pada nyeri telah diketahui secara luas, namun pendekatan psikologis dalam pengelolaan nyeri belum banyak digunakan. Intervensi sederhana (misal penyampaian informasi kepada pasien tentang sensasi nyeri yang dirasakan setelah prosedur tertentu) dapat mengurangi tekanan psikologis pasien dan dapat menurunkan nyeri secara baik setelah prosedur invasif tertentu. Teknis pendekatan psikologis lainnya yang juga bermanfaat termasuk relaksasi, hipnotik, dan teknik pengalihan nyeri lainnya telah terbukti efektif dalam pengelolaan nyeri setelah prosedur invasif maupun nyeri pada kanker.

Pendekatan spiritual SANGAT PENTING dalam pengelolaan nyeri terutama pada nyeri kronis dan nyeri pada kanker. Penelitian pada 37.000 pasien berusia lebih dari 15 tahun merekomendasikan bahwa pendekatan spiritual menjadi bagian strategi komprehensif pengelolaan pada nyeri kronik (Baetz dan Bowen, 2008). Sebanyak 100 pasien nyeri pada kanker dengan stadium lanjut menunjukkan bahwa pendekatan spiritual dapat menurunkan persepsi nyeri (Delgado-Guay dkk., 2011). Penelitian lain pada 69 pasien nyeri pada kanker stadium lanjut yang mendapatkan terapi radiasi menunjukkan terapi spiritual menunjukkan kualitas hidup yang lebih baik (Vallurupalli dkk., 2012). Namun demikian, diperlukan pemahaman dan kemampuan spiritual yang baik pula dari para tenaga profesional kesehatan yang melayani pasien. Penelitian pada 34 caregivers pasien nyeri pda kanker stadium lanjut menunjukkan adanya tekanan psikologis dan penurunan kualitas hidup yang dialami para caregivers (Delgado-Guay dkk., 2013). Dibutuhkan keikhlasan, kerja keras, dan kemampuan spiritual yang baik dari para caregivers terutama pada caregivers pada ranah pelayanan nyeri pada kanker sebagai upaya memberikan pelayanan terbaik untuk peningkatan kualitas hidup pasien nyeri pada kanker stadium lanjut.

Terapi Farmakologi sunting

Secara umum, terapi nyeri terbagi atas obat golongan narkotika dan non-narkotika. Golongan non-narkotika termasuk golongan NSAID dan non NSAID. Golongan NSAID terbagi atas golongan obat yang selektif menghambat siklo-oksigenase 2 yang merupakan jalur mekanisme utama NSAID dalam mengatasi nyeri dan peradangan dan golongan obat yang tidak selektif menghambat siklo-oksigenase 2. Dikatakan tidak selektif karena selain menghambat enzim siklo-oksigenase 2, golongan obat ini juga menghambat enzim siklo-oksigenase 1 yang berkontribusi dalam menyebabkan efek yang tidak diinginkan pada penggunaan NSAID seperti gangguan pada saluran pencernaan, gangguan pada ginjal, namun memiliki efek penghambatan pembentukan trombus sehingga bermanfaat untuk kelompok pasien dengan pembentukan trombus dihindari untuk mencegah komplikasi penyakit seperti stroke dan gagal jantung. Rasio selektivitas penghambatan terhadap siklo-oksigenase 1 dan siklo-oksigenase 2 memengaruhi keamanan penggunaan pada saluran pencernaan, ginjal, maupun efek terhadap kardiovaskular. Obat dengan tingkat selektivitas penghambatan terhadap siklo-oksigenase 2 yang tinggi memiliki risiko gangguan saluran pencernaan dan ginjal yang lebih rendah namun risiko gangguan ke sistem kardiovaskular (terutama pada pasien yang disertai penyakit penyerta berupa gangguan sistem kardiovaskular).

Tabel 4. Uraian Golongan Obat Analgesik di Indonesia

NO NAMA OBAT MEKANISME KERJA KETERSEDIAAN HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN
I ANALGESIK NARKOTIK
1 Fentanil Berikatan dengan reseptor stereospesifik pada beberapa lokasi di SSP, meningkatkan ambang nyeri, memperbaiki persepsi nyeri, menghambat penghantaran  nyeri Formularium Nasional 2013: inj 0,05mg/ml (iv), patch 12,5 mcg/jam, 25 mcg/jam, dan 25 mcg/jam

Tersedian pada fasilitas kesehatan TK 2 dan TK 3

Inj: hanya untuk nyeri sedang – berat yang tidak respon dengan opioid lainnya dan harus diberikan oleh tim medis yang dapat melakukan resusitasi

Patch: untuk nyeri pada pasien kanker yang tidak teratasi dengan analgesik opiod. Terapi harus dimulai dari non opioid terlebih dahulu jika memungkinkan (Kemenkes, 2013)

1. Termasuk kategori HIGH ALERT MEDICATION

2. Besaran dosis: titrasi dosis, mulai dengan dosis terendah yang masih efektif

3. Bila digunakan dengan obat depresi SSP lainnya, kurangi dosis

4. Hati-hati penggunaanya pada pasien bardikardia atau bradiaritmia

5. Sediaan injeksi berikan secara perlahan 3-5 menit

6. Keamanan penggunaan pada ibu hamil: C/D (penggunaan jangka panjang atau dosis tinggi saat melahirkan).

7. Fentanil dapat menembus plasenta dan telah terbukti aman digunakan saat melahirkan.

8. Keamanan penggunaan pada ibu menyusui: terekskresikan dalam ASI; tidak direkomnendasikan

9. Bukti keamanan dan efikasi terbatas pada katefori usia < 16 thn; fentanil sediaan patch terbatas bukti kemanan dan efikasi pada anak-anak usia ≥ 2 thn

2 Kodein Berikatan dengan reseptor opioid di SSP, menyebabkan menghambat penghantaran nyeri; memperbaiki persepsi dan respon terhadap stimulus nyeri; dapat menekan batuk melalui aksi dada medula tengah secara langsung (aksi kodein sebagai antitusif); menyebabkan depresi SSP secara umum Formularium Nasional 2013: Tablet: 10 mg dan 20 mg

TERSEDIA pada fasilitas kesehatan tingkat 1, 2, dan TK 3


SEDIAAN KOMBINASI DI INDONESIA (TIDAK TERMASUK DAFTAR Formularium Nasional 2013)

1. Sediaan kombinasi kodein-parasetamol dengan kekuatan sediaan parasetamol 500 mg dan kodein 30 mg digunakan untuk meningkatkan efektivitas keduanya sebagai antinyeri

2. Digunakan untuk nyeri sedang-berat

1. Termasuk kategori HIGH ALERT MEDICATION

2. Digunakan untuk nyeri ringan-sedang titrasi dosis, mulai dengan dosis terendah yang masih efektif

3. Besaran dosis: TIDAK direkomendasikan besaran dosis > 1,5 mg/kg BB

4. Keamanan penggunaan pada ibu hamil: C/D (penggunaan jangka panjang atau dosis tinggi saat melahirkan).

5. Keamanan penggunaan pada ibu menyusui: terekskresikan dalam ASI; gunakan dengan perhatian


KODEIN SEBAGAI ANTITUSIF

1. Tidak direkomendasikan sebagai pengontrol batuk pada batuk produktif; tidak direkomendasikan sebgai antitusif pada anak usia < 2 thn.

3 Morfin HCl Berikatan dengan reseptor opioid di SSP, menyebabkan penghambatan pada pengahntaran nyeri, memperbaiki persepsi dan respon terhadap stimulus nyeri; menyebabkan depresi SSP secara umum


















Formularium Nasional 2013: Tablet 10 mg, tablet SR (sustained Released) 10 mg, tablet SR 15 mg; Inj 10 mg/ml (i.m/s.k/i.v)

TERSEDIA pada fasilitas kesehatan TK 3

Hanya untuk pemakaian pada tindakan anestesi atau perawatan di RS dan untuk mengatasi nyeri kanker yang tidak respon terhadap analgetik non narkotik atau nyeri pada serangan jantung

1. Termasuk kategori HIGH ALERT MEDICATION

2. Digunakan untuk nyeri akut kategori menengah – berat dan nyeri kronik; meredakan nyeri pada miokard infark; meredakan dispneu pada gagal jantung kiri akut dan edema pulmo; terapi obat pada premedikasi

3. Besaran dosis: mulai dengan dosis terendah yang masih efektif

4. Sediaan controlled, extended, atau produk sustained release diindikasikan untuk pemberian berulang pada periode waktu tertentu

5. Keamanan penggunaan pada ibu hamil: C/D (penggunaan jangka panjang atau dosis tinggi saat melahirkan).

6. Keamanan penggunaan pada ibu menyusui: terekskresikan dalam ASI; gunakan dengan perhatian

7. Bila dikehendaki dalam pemberian infusi drip, perhatikan dosis pemberian (konsentrasi dalam mg/ml) BUKAN hanya volume (ml)

8. Ketika diberikan melalui injeksi epidural, PERLU pemantauan efek sedasi yang tertunda

9. Dapat diberikan pada anak > 6 bulan dan BB < 50 kg pada nyeri akut menengah – berat

10. Pasien yang menggunakan obat gol.opioid dalam jangka waktu kronik dapat mengalami toleransi dan membutuhkan dosis lebih tinggi jika dibandingkan dosis lazim  pemeliharaan untuk mendapatkan efek yang dikehendaki

11. Toleransi dapat diminimalkan dengan pemberian dosis opioid secara TITRASI DOSIS (mulai dosis terendah yang efektif)

12. Tidak ada dosis optimal dan maksimal penggunaan morfin dalam terapi nyeri kronik.

13. Besaran dosis opioid yang SESUAI adalah besaran dosis yang dapat meredakan nyeri MELALUI pertimbangan pengaturan interval pemberian tanpa menyebabkan efek samping yang tidak dikehendaki.

14. Durasi sediaan immediaterelease: 4 jam; tablet /kapsul extended release: 8-24 jam tergantung formulasi sediaan

15. Morfin dapat menyebabkan ketidaknyamanan pada saluran cerna; minum obat morfin bersamaan dengan makanan bila efek tersebut terjadi.

4 Petidin Formularium Nasional 2013: Inj 50 mg/ml (i.m/s.k/i.v)

TERSEDIA pada fasilitas kesehatan TK 2 dan TK 3

Hanya untuk tindakan anestesi dan nyeri sedang – berat pada psien yang dirawat di RS; TIDAK digunakan untuk nyeri kanker

5 Sufentanil Formularium Nasional 2013: Inj 5 mcg/ml (i.v)

Hanya untuk tindakan anestesi yang diberikan dokter anestesi

TERSEDIA TERSEDIA pada fasilitas kesehatan TK 2 dan TK 3

6 Metadon Formularium Nasional 2013: Syr 50 mg/ 5 ml

Obat untuk Program Ketergantungan

TERSEDIA TERSEDIA pada fasilitas kesehatan TK 2 dan TK 3

II ANALGESIK NON NARKOTIK
1 Asam Mefenamat








Menghambat secara reversible enzim siklo-oksigenase 1 dan siklo-oksigenase 2 sehingga menurunkan pembentukan prekursor prostaglandin yang merupakan mediator nyeri























Formularium Nasional 2013: kapsul 250 mg dan 500 mg

TERSEDIA pada fasilitas kesehatan TK 1, 2 dan TK 3

1. Digunakan dalam jangka waktu singkat untuk meredakan nyeri ringan – sedang termasuk dismenorea primer; durasi maksimal 7 hari

2. . Keamanan penggunaan pada ibu hamil: C/D (trimester ketiga)

2 Ibuprofen Formularium Nasional 2013: tablet 200 mg dan 400 mg; Syr 100 mg/5 ml dan 200 mg/5 ml

TERSEDIA pada fasilitas kesehatan TK 1, 2 dan TK 3

1. Digunakan untuk meredakan nyeri ringan – sedang termasuk dismenorea primer; antipiretik

2. Keamanan penggunaan pada ibu hamil: C/D (trimester ketiga)

3. Keamanan penggunaan pada ibu menyusui: terekskresikan dalam ASI; gunakan dengan perhatian

3 Ketoprofen








Dexketoprofen trometamol

Formularium Nasional 2013: sup 100 mg

Untuk nyeri sedang-berat pada pasien yang tidak dapat menggunakan analgetik secara oral

TERSEDIA pada fasilitas kesehatan TK 2 dan TK 3


KETERSEDIAAN DI INDONESIA (Tidak termasuk daftar Formularium Nasional 2013)

Ketoprofen: Kapsul Lepas Lambat 200 mg, Tablet 12,5 mg, 50 mg, 100 mg;Injeksi Ampul 100 mg / 2 ml; gel 25 mg


Dexketoprofen trometamol: injeksi  50 mg/2 ml




Ketoprofen

1. Digunakan untuk meredakan nyeri ringan – sedang termasuk dismenorea primer, pengelolaan nyeri akut dan kronik pada rematoid artritis dan osteoartritis

2. Keamanan penggunaan pada ibu hamil: C/D (trimester ketiga)

3. Keamanan penggunaan pada ibu menyusui: ekskresi melalui ASI tidak diketahui; tidak direkomendasikan

Dexketoprofen trometamol

Penelitian yang mengevaluasi efikasi analgesia dan efek obat yang tidak dikehendaki pada penggunaan parasetamol iv dan dexketoproven iv dengan masing-masing obat dikombinasikan dengan morfin iv setelah menjalani tindakan histerektomi menunjukkan 60 pasien klasifikasi I-II Berdasarkan American Society of Anesthesiologist Physical Status. Hasil penelitian menunjukkan Kombinasi dengan dexketoprofen atau parasetamol secara signifikan tidak merubah skor nyeri pasien, namun terjadi peningkatan kenyamanan pasien. Meskipun penggunaan morfin secara keseluruhan pada penggunaan keduanya, insidensi mual muntah pada penggunaan kombinasi dengan parasetamol jika dibandingkan dengan dexketoprofen adalah sebanding. Hasil penelitian TIDAK MEREKOMENDASIKAN penggunaan parasetamol atau dexketoprofen sebagai terapai anlgesik tambahan pada pasien yang telah terkontrol nyerinya dengan morfin paska menjalani tindakan histerektomi (Ünal dkk., 2013)

4 Ketorolak Formularium Nasional 2013: inj 30 mg/ml

Untuk nyeri sedang – berat untuk pasien yang tidak dapat menggunakan analgetik secara oral

Pemberian maksimal 2 hari

Tersedia di pelayanan kesehatan TK 2 dan TK 3


KETERSEDIAAN DI INDONESIA Tidak termasuk daftar Formularium Nasional 2013)

Tablet 10 mg;30 mg

1. Sediaan oral dan injeksi diindikasikan untuk terapi nyeri akut sedang – berat yang memerlukan pereda nyeri sebanding dengan opioid; penggunaan maksimal 5 hari

2. Keamanan penggunaan pada ibu hamil: C/D (trimester ketiga)

Ketorolak kontraindikasi penggunaannya selama melahirkan (dapat menghambat kontraksi uterus dan menyebabkan dampak yang tidak dinginkan pada fetus)

3. Keamanan penggunaan pada ibu menyusui: terekskresikan dalam ASI; kontraindikasi

4.Penggunaan pada anak 2 – 16 tahun: penelitian keamanan terbatas

5. Hindari penggunaan bersama NSAIDslain, pentoksifilin, probenesid

5 Natrium Diklofenak Formularium Nasional 2013: tablet 25 mg dan 50 mg

TERSEDIA pada fasilitas kesehatan TK 1, 2 dan TK 3


BENTUK SEDIAAN LAIN DI INDONESIA (tidak termasuk daftar Formularium Nasional 2013)

Diklofenak dietilamonium 1%  (bentuk sediaan gel; Inj Na-diklofenak 75 mg/3 ml)

1. Digunakan untuk meredakan nyeri ringan – sedang termasuk pengelolaan nyeri akut dan kronik pada rematoid artritis dan osteoartritis

2. Keamanan penggunaan pada ibu hamil: gel topikal (kategori B), oral (C)àD (trimester ketiga)

3. Keamanan penggunaan pada ibu menyusui: ekskresi melalui ASI tidak diketahui; tidak direkomendasikan



6


NSAIDs non selektif lainnya: Piroksikam, Tenoxicam, Aspirin, Fenilbutazon, indometasin, naproksen, indometasin TIDAK TERMASUK DAFTAR Formularium Nasional 2013


1. Digunakan untuk meredakan nyeri ringan – sedang termasuk pengelolaan nyeri akut dan kronik pada rematoid artritis dan osteoartritis, nyeri akut pada gout, dismenore primer

2. Keamanan penggunaan pada ibu hamil: C/D (trimester ketiga)

3. Keamanan penggunaan pada ibu menyusui: terekskresikan dalam ASI; tidak direkomendasikan

7 Meloksikam TIDAK TERMASUK DAFTAR Formularium Nasional 2013


Tablet 7,5 mg; 15 mg; ampul 10 mg/1,5 ml; sup 15 mg

1. Diketahui memiliki efek penghambatan yang lebih lemah pada jalur siklo-oksigenasi 1 di saluran pencernaan dan ginjal. Oleh karena itu risiko menyebabkan gangguan salura pencernaan maupun gangguan fungi ginjal pada penggunaan jangka panjang lebih rendah jika dibandingkan golongan NSAIDs tidak selektif lainnya

2. Penggunaan hanya sehari 1 tablet (7,5 – 15 mg/hari)

8 Selekoksib Menghambat secara reversible dan selektif enzim siklo-oksigenase 2 sehingga menurunkan pembentukan prekursor prostaglandin yang merupakan mediator nyeri


TIDAK TERMASUK DAFTAR Formularium Nasional 2013


kapsul 100 mg; 200 mg

Digunakan untuk pengelolaan osteoartritis, rematoid artritis

Selekoksib

Metanalisis pada beberapa penelitian RCT menunjukkan kejadian kardiovaskular sebanding antara penggunaan selekoksib dengan NSAIDs yang tidak selektif (diklofenak,ibuprofen,naproksen,ketoprofen, loksoprofen-tidak tersedia di Indonesia). Kajian ini TIDAK DAPAT menunjukkan bahwa ada peningkatan risiko kejadian kardiovaskular pada penggunaan selekoksib jika dibandingan obat yang lain (White dkk., 2007)

Etorikoksib

Review pada 3 penelitian yang melibatkan 34701 pasien dengan 24913 pasien osteoartritis dan 9787 rematoid artris yang menggunakan etoricoxib dibandingkan dengan diklofenak selama 18 bulan. Hasil review menunjukkan kejadian kardiovaskular-trombotik sebanding antara kelompok dengan terapi etorikoksib dengan kelompok yang menggunakan diklofenak (Cannon dkk., 2006)

9 Etorikoksib TIDAK TERMASUK DAFTAR Formularium Nasional 2013


Tablet 120 mg

10 Parasetamol

(memiliki efek antipiretik melalui inhibisi psat pengatur suhu di hipotalamus)

Menghambat sisntesis prostaglandin di sistem saraf pusat dan memblokade penghantaran impul nyeri di perifer Formularium Nasional 2013: tablet 500 mg; syr 120 mg/5 ml; tts 60 mg/0,6 ml; drips (infus) 1000 mg/100 ml hanya untuk pasien ICU yang memerlukan antipiretik berkelanjutan


TERSEDIA pada fasilitas kesehatan TK 1, 2 dan TK 3 (khusus bentuk drips/infus HANYA TERSEDIA di fasilitas kesehatan TK 3

11 Tramadol Tramadol dan metabolit aktif (M1) berikatan dengan reseptor opioid μ di SSP menyebabkan menghambat penghantaran  nyeri; memperbaiki persepsi dan respon terhadap stimulus nyeri;juga menghambat reuptake serotonin dan nor-epinephrin yang juga berperan dalam memodifikasi penghantaran nyeri Formularium Nasional 2013: inj 50 mg/ml; opioid-like agents

Hanya untuk nyeri sedang-berat pasca operasi yang tidak dapat menggunakan analgesik oral

TERSEDIA pada fasilitas kesehatan TK  2 dan TK 3


KETERSEDIAAN DI INDONESIA Tidak termasuk daftar Formularium Nasional 2013)

Tablet 50 mg; kombinasi tramadol-parasetamol

12 Antalgin / Metampiron Mekanisme aksi antalgin belum dapat dijelaskan secara baik dan jelas. Mekanismenya diduga baik antalgin maupun metabolitnya (4-N-Methylaminoantipyrin) bekerja di SSP dan juga memiliki efek melalui penghambatan pembentukan prostaglandin TIDAK ADA DALAM Formularium Nasional 2013; sudah ditarik oleh FDA dan beberapa negara (baca bagian beberapa EBM)

Tablet; inj;syr;tts


SEDIAAN KOMBINASI

1. Metampiron-kafein-thiamin

2. Metampiron-diazepam

Beberapa EBM Efektivitas dan Keamanan Obat Golongan Analgesik sunting

Penggunaan Metamizole Na/ Antalgin/ Metampiron/Dipiron sunting

  • Obat ditarik oleh FDA AS pada Juni 1977 akibat agranulositosis fatal; tetapi obat ini masih beredar di Indonesia dan beberapa negara lainnya.
  • Tidak ada perbedaan antara metamizole dan plasebo, parasetamol dan NSAID sebagai anlgesik pada penggunaan kurang dari 2 minggu pada 79 penelitian yang melibatkan 4000 pasien (kajian sistematik dan meta-analisis). Hanya terjadi beberapa kejadian yang tidak dikehendaki serius, yang tidak ada perbedaan antara metamizole dengan analgesik lainnya. Tidak ada kejadian agranulositosis maupun kematian pada penggunaan metamizole (Kötter dkk., 2015)
  • Risiko kejadian diskrasia darah (agranulositosis atau anemia aplastik) pada penggunaan metamizole adalah sangat rendah berdasarkan penelitian di Polandia (Basak dkk., 2010)

Penggunaan kombinasi analgesik sunting

  • Kombinasi Tramadol-Parasetamol: review article penggunaan kombinasi parasetamol-tramadol untuk pengelolaan nyeri kronis menyatakan kombinasi tersebut efektif dengan toleransi yang baik, terutama pada pasien geriatri dengan penggunaan analgesik NSAID yang terbatas (Moron dkk., 2013)
  • Kombinasi parasetamol-diklofenak: RCT crossover design pada 30 sukarelawan sehat yang membandingkan kombinasi parasetamol-tramadol dengan parasetamol-diklofenak menunjukkan bahwa kombinasi parasetamol-tramadol lebih efektif jika dibandingkan parasetamol-diklofenak pada nyeri dengan radiant heat model pada sukarelawan sehat (Tripathi dkk., 2012)
  • Kombinasi parasetamol dan ibuprofen: sistematika review penggunaan kombinasi parasetamol dan ibuprofen untuk nyeri paska operasi pada pasien dewasa menunjukkan kombinasi tersebut memberikan efek analgesia yang lebih baik jika dibandingkan penggunaan tunggal (pada dosis sama) dengan kebutuhan analgesik yang lebih rendah selama 8 jam serta dengan kemungkinan kejadian efek samping yang rendah (Derry dkk., 2013)
  • Kombinasi parasetamol dan kodein: sistematika review penggunaan kombinasi parasetamol dan kodein untuk nyeri paska operasi pada pasien dewasa menunjukkan kombinasi tersebut dapat meredakan nyeri pada 50% pasien dengan tingkat nyeri sedang-berat, jika dibandingkan plasebo (20%) (Toms dkk., 2009) Perlu ada dosis tambahan berdasarkan kebutuhan antinyeri individual pasien yang dapat menekan secara baik nyeri yang dirasakan.
  • Kombinasi ibuprofen dan kodein: sistematika review penggunaan kombinasi ibuprofen dan kodein (ibuprofen 400 mg dan kodein 25,6 – 60 mg) untuk nyeri akut tingkat menengah – berat paska operasi memberikan efek analgesia yang baik. Data penelitian (sangat terbatas) yang menunjukkan kombinasi tersebut lebih baik jika dibandingkan dalam pemberian tunggal dosis sama, dengan kejadian yang tidak diharapkan sebanding dengan kelompok plasebo (Derry dkk., 2015)

Keamanan Penggunaan NSAIDs pada Kelompok Geriatri (atau pasien dengan risiko gastritis, perdarahan saluran cerna) dan Opioid pada kelompok geriatri sunting

  • Studi kohort retrospektif untuk membandingkan risiko fraktur terkait penggunaan awal opioid dengan NSAIDs, dan variasi risiko berdasarkan penggunaan opioid, durasi aksi, dan durasi penggunaan menunjukkan pasien geriatri dengan artritis yang mendapatkan terapi awal dengan opioid lebih berisiko mengalami fraktur jika dibandingkan kelompok pasien yang menggunakan NSAIDs pada 2 minggu pertama, namun tidak setelahnya. Golongan opioid aksi singkat memiliki risiko lebih tinggi mengakibatkan fraktur jika dibandingkan opioid aksi lama (Miller dkk., 2011).
  • Sistematika review mengenai potensi kejadian yang tidak dikehendaki pada penggunaan analgesik pada pasien geriatrik dengan osteoartritis (OA) menunnjukkan parasetamol merupakan terapi analgesik pemeliharaan pilihan untuk nyeri OA pada pasien geriatri. Penggunaan NSAIDs sebaiknya terbatas, hanya untuk penggunaan jangka pendek. Dan untuk nyeri OA kategori menengah-berat, golongan opioid dapat digunakan dengan kewaspadaan kejadian ketergantungan, dan lain-lain (O’Neil dkk., 2012).
  • Golongan analgesik yang direkomendasikan pada pasien geriatri adalah golongan obat dengan risiko pada saluran cerna, ginjal, cerebrovaskular, sistem saraf pusat rendah. Parasetamol, nonasetil salisilat, NSAIDs t1/2 pendek (mis.ibuprofen) atau opioid dosis rendah/kombinasi opioid-like agents dengan parasetamol (pada pasien yang sesuai) menjadi pilihan obat analgesik pada kelompok geriatri (Marcum dan Hanlon, 2010).

Keamanan Penggunaan NSAIDs pada Pasien Asma sunting

Mekanisme NSAIDs dalam menghambat siklo-oksigenase 1 dan siklo-oksigenase 2 menyebabkan produksi leukotrien sebagai mediator asma dapat meningkat. Penggunaan NSAIDs pada pasien dengan penyakit asma diduga dapat meningkatkan risiko eksaserbasi. Prevalensi  eksaserbasi asma yang diinduksi penggunaan aspirin pada pasien dengan asma sebanyak 4,3% di Polandia , 8,8% di Finlandia, dan 10,5% di Australia. Kejadian ini lebih sering pada pasien perempuan (Gohil dkk., 2010).

Terapi Analgesik pada Anak sunting

Meta-analisis pada 31 peneltian RCT untuk mengetahui efek penambahan parasetamol atau NSAIDs terhadap penurunan kebutuhan golongan opioid, memperbaiki efek analgesia dan menurunkan efek obat yang tidak diharapkan. Kajian meta-analisi merekomendasikan penambahan NSAIDs dan atau parasetamol pada penggunaan opioid sistemik sebagai terapi nyeri peri-operatif pada anak (Wong dkk., 2013).

Daftar Pustaka sunting

Baetz, M. dan Bowen, R., 2008. Chronic pain and fatigue: Associations with religion and spirituality. Pain Research & Management : The Journal of the Canadian Pain Society, 13: 383–388.

Basak, G.W., Drozd-Sokołowska, J., dan Wiktor-Jedrzejczak, W., 2010. Update on the Incidence of Metamizole Sodium-Induced Blood Dyscrasias in Poland. Journal of International Medical Research, 38: 1374–1380.

Cannon, C.P., Curtis, S.P., FitzGerald, G.A., Krum, H., Kaur, A., Bolognese, J.A., dkk., 2006. Cardiovascular outcomes with etoricoxib and diclofenac in patients with osteoarthritis and rheumatoid arthritis in the Multinational Etoricoxib and Diclofenac Arthritis Long-term (MEDAL) programme: a randomised comparison. The Lancet, 368: 1771–1781.

Delgado-Guay, M.O., Hui, D., Parsons, H.A., Govan, K., De la Cruz, M., Thorney, S., dkk., 2011. Spirituality, religiosity, and spiritual pain in advanced cancer patients. Journal of Pain and Symptom Management, 41: 986–994.

Delgado-Guay, M.O., Parsons, H.A., Hui, D., De la Cruz, M.G., Thorney, S., dan Bruera, E., 2013. Spirituality, religiosity, and spiritual pain among caregivers of patients with advanced cancer. The American Journal of Hospice & Palliative Care, 30: 455–461.

Derry, C.J., Derry, S., dan Moore, R.A., 2013. Single dose oral ibuprofen plus paracetamol (acetaminophen) for acute postoperative pain. The Cochrane Database of Systematic Reviews, 6: CD010210.

Derry, S., Karlin, S.M., dan Moore, R.A., 2015. Single dose oral ibuprofen plus codeine for acute postoperative pain in adults. The Cochrane Database of Systematic Reviews, 2: CD010107.

Dipiro J (ed), 2011, Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach : Pain Management, 8th ed, McGraw-Hill, Medical Publishing Division, New York.

Gohil, U., Modan, A., dan Gohil., P., 2010. Aspirin Induced Asthma - a Review.Global Journal of Pharmacology, 4: 19-30

IAI, 2010, Standar Kompetensi Apoteker Indonesia, SK Pengesahan Standar Kompetensi Apoteker Indonesia, No.004/RAKERNAS-IAI/XII/2010

Kötter, T., da Costa, B.R., Fässler, M., Blozik, E., Linde, K., Jüni, P., dkk., 2015. Metamizole-Associated Adverse Events: A Systematic Review and Meta-Analysis. PLoS ONE, 10: e0122918.

Lacy CF, Armstrong LL, Goldman MP, Lance LL, 2010, Drug Information Handbook, 18th Ed, Lexi-comp, Ohio, USA

Marcum, Z.A. dan Hanlon, J.T., 2010. Recognizing the Risks of Chronic Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug Use in Older Adults. The annals of long-term care : the official journal of the American Medical Directors Association, 18: 24–27.

Miller, M., Stürmer, T., Azrael, D., Levin, R., dan Solomon, D.H., 2011. Opioid Analgesics and the Risk of Fractures Among Older Adults with Arthritis. Journal of the American Geriatrics Society, 59: 430–438.

Moron Merchante, I., Pergolizzi, J.V., van de Laar, M., Mellinghoff, H.-U., Nalamachu, S., dkk., 2013. Tramadol/Paracetamol Fixed-Dose Combination for Chronic Pain Management in Family Practice: A Clinical Review. International Scholarly Research Notices, 2013: e638469.

O’Neil, C.K., Hanlon, J.T., dan Marcum, Z.A., 2012. Adverse Effects of Analgesics Commonly Used by Older Adults with Osteoarthritis: Focus on Non-Opioid and Opioid Analgesics. The American journal of geriatric pharmacotherapy, 10: 331–342.

Toms, L., Derry, S., Moore, R.A., dan McQuay, H.J., 2009. Single dose oral paracetamol (acetaminophen) with codeine for postoperative pain in adults. The Cochrane Database of Systematic Reviews, CD001547.

Tripathi, S., Shah, R., dan Sharma, D.C., 2012. Analgesic activity of fixed dose combinations of paracetamol with diclofenac sodium and paracetamol with tramadol on different pain models in healthy volunteers - A randomized double blind crossover study. Journal of Anaesthesiology, Clinical Pharmacology, 28: 465–469.

Ünal, Ç., Çakan, T., Baltaci, B., dan Başar, H., 2013. Comparison of analgesic efficacy of intravenous Paracetamol and intravenous dexketoprofen trometamol in multimodal analgesia after hysterectomy. Journal of Research in Medical Sciences : The Official Journal of Isfahan University of Medical Sciences, 18: 897–903.

Vallurupalli, M., Lauderdale, K., Balboni, M.J., Phelps, A.C., Block, S.D., Ng, A.K., dkk., 2012. The Role of Spirituality and Religious Coping in the Quality of Life of Patients With Advanced Cancer Receiving Palliative Radiation Therapy. The Journal of Supportive Oncology, 10: 81–87.

White, W.B., West, C.R., Borer, J.S., Gorelick, P.B., Lavange, L., Pan, S.X., dkk., 2007. Risk of Cardiovascular Events in Patients Receiving Celecoxib: A Meta-Analysis of Randomized Clinical Trials. The American Journal of Cardiology, 99: 91–98.

Wong, I., St John-Green, C., dan Walker, S.M., 2013. Opioid-sparing effects of perioperative paracetamol and nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) in children. Paediatric Anaesthesia, 23: 475–495.