Bumi dan Cahaya Mencari Permata yang Bersinar
Sinopsis
suntingSang Raksasa kembali mendatangi desa untuk mencari makan. Namun, karena makanan yang diperolehnya kurang, saang Raksasa menjadi marah dan menculik penduduk desa. Bumi yang sedang mencari neneknya bertemu Cahaya, yang sedang mencari Permata yang Bersinar untuk melumpuhkan sang Raksasa. Keduanya sepakat memulai petualangan bersama.
Tokoh
sunting1. Bumi
2. Cahaya
3. Raksasa
4. Nenek
Cerpen
suntingJauh di tengah hutan belantara, berdirilah sebuah desa yang permai. Sungai-sungai mengaliri keempat sisinya. Kebun-kebun yang rimbun dan subur membentang di sekelilingnya.
Di sebuah rumah kecil di sisi bukit yang menghijau, tinggallah seorang nenek bersama cucu laki-lakinya. Bumi namanya. Setiap hari, Nenek bekerja di ladang, merawat pohon cokelat dan jambu mente. Di musim panen, Nenek sangat sibuk. Nenek ingin Bumi membantunya di ladang. Namun, Bumi lebih senang tertidur sampai siang hari.
Bumi kerap dipuji oleh para tetangga karena kulitnya putih bersih, dan wajahnya yang manis. Akan tetapi, menurut Nenek, semua itu tidak penting. Wajah manis dan kulit putih tidak bisa dipakai bekerja di ladang. Nenek hanya ingin agar Bumi rajin belajar dan sesekali membantunya di ladang jika sedang tidak belajar.
“Bumi!” teriak nenek pada suatu pagi.
Matahari belum terbit, tetapi Nenek sudah bersiap pergi ke ladang. Hari ini Nenek akan menengok buah-buah cokelatnya yang sudah menguning. Sebentar lagi musim panen tiba. Nenek amat membutuhkan bantuan Bumi. Namun, lihat sendiri, kan? Bumi tidak bisa dibangunkan.
Karena lama tidak mendapatkan jawaban, Nenek pun berangkat sendirian. Nenek memang selalu tidak tega membangunkan cucu semata wayang yang amat disayanginya itu.
Ketika sedang asyik tertidur dan bermimpi indah, tiba-tiba kamar Bumi terasa bergoyang. Mimpi Bumi seketika buyar. Padahal Bumi sedang bermimpi menjadi pangeran kaya raya. Bumi duduk di istana, makan buah-buahan lezat, hidangan dari daging dan sayuran yang lezat.
“A-apa yang terjadi? Apa yang terjadi?” teriak Bumi, terlonjak dari tempat tidurnya.
Kamarnya berguncang sekali lagi.
“Apakah ada gempa?” teriak Bumi lagi. “Neneeek! Apakah ada gempa?” Tentu saja Nenek tidak mendengar teriakannya. Nenek sekarang sudah berada di ladang.
Bumi yang penasaran, akhirnya mengintip ke luar jendela. Pada saat itulah Bumi melihat sesosok raksasa sedang berjalan mondar-mandir di sisi bukit. “Astaga! Raksasa datang lagi!” Bumi tercekat.
Setahun sekali, sang Raksasa mengunjungi desa Bumi. Sepanjang tahun raksasa akan tertidur di dalam gua yang terletak di belakang bukit. Ketika tahun nyaris berakhir, sang raksasa akan keluar untuk mencari makan dan minum. Raksasa akan mengobati rasa dahaganya dengan mengisap sungai-sungai hingga kering. Ia akan mengobati rasa laparnya dengan merampas hasil kebun penduduk desa untuk dihabiskannya sendiri. Penduduk desa yang ketakutan tak dapat berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa pasrah melihat sungai-sungai menjadi kering, dan kebun-kebun menjadi kosong.
Bumi mulai menangis. Dia takut kalau kalau sang raksasa akan merubuhkan rumah mereka lalu menangkapnya. Ada kalanya, jika raksasa kelaparan tak mendapatkan makanan yang cukup, ia juga akan menculik anak-anak dan membawanya ke gua.
“Aku tidak mau diculik,” bisik Bumi sambil terisak. “Aku tidak mau dimakan raksasa. Nenek, Nenek di mana?“
Bumi menahan tangisnya sambil memadamkan lentera agar tidak menarik perhatian raksasa. Untunglah, matahari segera terbit. Sang Raksasa berjalan kembali ke balik bukit. Bumi akhirnya memberanikan diri keluar rumah untuk mencari Nenek. Bagaimanapun, Nenek adalah keluarganya satu-satunya. Bumi ingin memastikan kalau Nenek baik-baik saja.
Bumi menuju ladang sendirian. Ladang milik Nenek terasa begitu jauh. Bumi berkali-kali harus berhenti untuk beristirahat.
“Hhh … capeknya,” keluh Bumi. Kakinya terasa pegal. Dia mengusap keringat yang mengalir dari pelipis ke pipinya. “Huuh, berapa lama lagi aku harus berjalan?”
“Memangnya kau mau ke mana?” tiba-tiba terdengar sebuah suara.
Bumi menoleh dengan cepat. Dia terkejut, karena mendapati seorang anak perempuan sedang berjalan sendirian. “Aku mau ke ladang nenekku. Aku ingin memastikan kalau nenekku tidak kenapa-napa. Tadi Raksasa datang.”
“Kau tidak tahu ya, seluruh penduduk desa yang berada di ladang diculik Raksasa?” ucap anak perempuan itu.
Tubuh Bumi gemetar. “Itu artinya … nenekku juga?”
“Kalau nenekmu sedang berada di ladang saat raksasa datang, berarti nenekmu juga ….”
Bumi jatuh terduduk dan menutup wajahnya. “Nenek ….”
“Jangan menangis. Kita tidak punya banyak waktu. Ayahku juga sedang berada di ladang untuk memanen madu waktu raksasa itu datang. Kudengar, raksasa marah karena hasil kebun kita hanya sedikit. Itu tidak cukup untuk membuatnya kenyang.”
“Apakah kau juga akan mencari ayahmu?” Bumi mendongakkan wajahnya.
“Kurasa untuk sekarang, tidak. Aku mau mencari permata yang bisa bersinar selamanya.”
“Permata? Kenapa kau malah mencari permata?”
“Karena permata itulah yang bisa mengusir raksasa selamanya.”
“Bagaimana kau bisa tahu?”
“Ayahku yang bilang begitu. Raksasa tidak suka cahaya. Itu akan melumpuhkannya.”
“Jadi, kalau kau sudah mendapatkan permata itu, apakah kau akan mencoba mengalahkan raksasa itu sendirian?”
“Benar,” ucap anak perempuan itu dengan penuh tekad.
Bumi mengamati lagi anak perempuan itu. Dalam hati, Bumi berkata, siapa anak ini? Tubuhnya pendek dan bajunya jelek. Sudah usang begitu masih saja dipakai. Rambutnya keriting dan wajahnya jauh dari manis. Sok pemberani sekali dia. Bagaimana mungkin anak jelek seperti dia mengalahkan raksasa?
“Siapa namamu?” tanya Bumi.
“Namaku Cahaya.”
“Baiklah, Cahaya. Aku akan ikut denganmu,” ucap Bumi.
“Siapa namamu?” tanya Cahaya.
“Bumi.”
“Baiklah Bumi, apa kau yakin bisa membantuku? Perjalanan mencari permata bukan perjalanan yang mudah. Kau harus terlatih berjalan jauh. Lihat saja dirimu. Baru hendak pergi ke ladang saja, kau sudah kepayahan begitu. Kau yakin, bisa ikut mencari permata bersamaku?”
Bumi berpikir sebentar. Cahaya benar. Belum apa-apa dia sudah kelelahan.
“Kau pasti anak yang pemalas, ya?” ucap Cahaya. “Lihat saja, kau tidak terbiasa berjalan jauh. Kamu pasti malas membantu nenekmu.”
Bumi menjadi jengkel karena Cahaya meremehkannya.
“Jangan bicara sembarangan, ya. Kau tidak lihat, aku lebih tinggi darimu? Para tetangga bilang, wajahku ini manis dan imut. Aku pasti bisa menemukan permata itu.”
“Wajah imut saja tidak cukup,” sahut Cahaya. “Itu tidak ada hubungannya dengan keberanian dan kecepatan berlari. Biarpun kau ini manis dan imut, belum tentu kau gesit dan berani dan pintar. Kau mengerti, tidak?”
“Memangnya apa yang bisa dilakukan anak sependek dan tidak manis sepertimu?” tantang Bumi.
Cahaya berusaha menahan amarahnya. “Aku mungkin tidak manis dan tubuhku pendek, bajuku juga tidak sebagus bajumu, tapi aku pemberani. Dan aku bisa berbicara dengan burung. Aku juga bisa berjalan jauh dan menahan lapar lebih lama. Asal tahu saja, permata itu tidak berada di desa ini, melainkan jauh di dalam hutan. Untuk bisa mengalahkan Raksasa, kita harus meletakkan permata itu di puncak gunung sana. Dan untuk sampai ke sana dengan selamat, kau butuh banyak keahlian. Aku sih, bisa mencapai gunung itu. Tidak tahu bagaimana denganmu.”
Bumi menatap gunung di kejauhan. Rasa-rasanya dia ingin berubah pikiran saja. Namun, dia juga tidak mau Cahaya meremehkannya. Jadi, demi menyelamatkan harga dirinya, Bumi berkata dengan mantap, “Kalau cuma gunung itu saja, tidak ada apa-apanya bagiku.” Dalam hatinya, sebenarnya Bumi merasa gentar juga. Tapi sekali ucapan terlontar, pantang menariknya kembali.
Cahaya akhirnya memimpin perjalanan mencari permata. Bumi mengekorinya di belakang. Ternyata, Cahaya memang tangkas. Langkahnya gesit dan gerakannya lincah. Bumi tertinggal jauh di belakangnya. Sering kali, Bumi akan mengeluh karena kehausan dan kelaparan. Namun, air sungai sudah kering. Sementara itu, buah-buahan di kebun penduduk sudah hampir habis. Bumi dan Cahaya hanya bisa memakan sisa-sisa buah yang hampir busuk yang ditinggalkan raksasa di berbagai tempat di sepenjuru desa. Cahaya mengumpulkan buah-buahan itu untuk bekal mereka selama perjalanan.
Begitu melewati ladang Nenek, Bumi merasa semakin sedih. Belum apa-apa, dia sudah merindukan neneknya. Semoga saja raksasa itu tidak mencelakai Nenek. Begitu Bumi berdoa di dalam hati. Dia berjanji, jika neneknya kembali, Bumi akan rajin bangun pagi dan membantunya mengerjakan pekerjaan rumah, juga pekerjaan di ladang.
Lewat tengah hari, Cahaya dan Bumi akhirnya tiba di ujung desa.
“Perjalanan yang sebenarnya baru dimulai,” begitu Cahaya memperingatkan Bumi.
Begitu keluar dari desa, Cahaya dan Bumi disambut oleh hutan belantara yang amat lebat. Pepohonannya sungguh tinggi, begitu pula dengan semak belukar yang mereka temui. Sering kali semak belukar itu berduri. Bumi mulai menangis karena tangannya penuh luka gores.
“Anak imut seharusnya tidak menangis hanya karena semak belukar,” ucap Cahaya. Dia mencari-cari batang kayu yang bisa dijadikan alat untuk menyingkirkan semak yang menghalangi jalan mereka.
“Tetaplah di belakangku,” kata Cahaya.
Cahaya berjalan di depan sambil menyingkirkan semak, sehingga ketika Bumi melewati semak itu, dia tidak lagi terluka. Namun, langkah Bumi tetap saja tertinggal. Dia sudah sangat kelelahan.
“Kita harus cepat, Bumi. Kita harus menemukan permata itu sebelum hari gelap.”
“Memangnya permata itu ada di mana?”
“Permata itu dijaga oleh sang Anoa.”
“Anoa? Memangnya kau bisa berbahasa anoa?”
“Tidak, tapi aku akan meminta bantuan Burung Maleo.”
Setelah berjalan sekitar satu kilometer lagi, Cahaya dan Bumi memasuki bagian paling dingin dari hutan belantara. Di sanalah sang Anoa terduduk, menjaga permata paling bersinar. Karena sinar permata, hutan itu tampak begitu terang benderang.
Melihat dua orang anak berjalan mendekat, sang Anoa kemudian berdiri dan memamerkan tanduknya.
“Sepertinya dia akan menanduk kita,” bisik Bumi, ketakutan.
Tiba-tiba saja Cahaya bernyanyi. Suaranya yang merdu bergema di sepenjuru hutan. Nyanyian itu memanggil Burung Maleo.
Burung Maleo yang anggun hinggap di sebatang dahan yang rendah. “Nyanyianmu indah sekali, anak baik,” ucapnya.
Cahaya berseru dengan girang. “Burung Maleo yang baik! Kami membutuhkan pertolonganmu untuk berbicara dengan Tuan Anoa.”
Karena kehadiran Burung Maleo, perhatian sang Anoa teralihkan selama sesaat. Dia berbicara kepada Burung Maleo. Sayangnya, baik Cahaya maupun Bumi, tidak bisa memahaminya karena mereka berbicara dengan menggunakan bahasa hewan rimba.
“Anak-anak,” ucap Burung Maleo. “Tuan Anoa menanyakan maksud kedatangan kalian. Jika kalian datang untuk mencuri permatanya, dia akan menanduk kalian sekarang juga.”
Bumi mulai gemetar ketakutan. Sementara itu Cahaya berkata dengan suara lantang. “Burung Maleo yang baik budi, tolong katakan kepada Tuan Anoa yang bijaksana, kami tidak datang untuk mencuri permatanya. Kami datang untuk memintanya baik-baik.”
Burung Maleo mengangguk. Dia kembali berbicara kepada sang Anoa, lalu berkata kepada Cahaya. “Maafkan aku, anak-anak, tetapi Permata yang Bersinar adalah pusaka rimba. Dan benda itu dipercayakan kepada Tuan Anoa. Tuan Anoa akan menjaganya dengan jiwa raganya. Dia tidak akan menyerahkannya kepada siapa pun, termasuk kalian.”
“Keberadaan pusaka rimba bertujuan untuk menjaga kedamaian rimba. Saat ini kedamaian rimba sedang terancam," tutur Cahaya. "Sang Raksasa sedang keluar dari gua untuk mencari makan. Kita tidak bisa membiarkannya mengisap sungai dan merusak pohon-pohon terus-menerus. Harus ada yang menghentikannya. Aku dan temanku membutuhkan permata itu untuk menghentikan sang Raksasa.”
Burung Maleo kembali mengangguk, lalu berbicara kepada sang Anoa lagi. Pembicaraan itu berlangsung cukup lama. Tampaknya, sang Anoa mulai mempertimbangkan usul ide untuk melenyapkan sang Raksasa.
“Tuan Anoa berkata, dia tidak percaya kepada kalian karena kalian manusia,” ucap Burung Maleo.
“Kami anak-anak yang baik,” kata Cahaya. “Kami bisa dipercaya. Kalau Tuan Anoa bersedia menyerahkan Permata yang Bersinar, aku akan meninggalkan kalung emas peninggalan mendiang ibuku. Ini hartaku yang paling berharga. Akan kukorbankan untuk mengusir sang Raksasa yang sudah menculik nenek dan ayah kami, juga hampir semua penduduk desa.”
Cahaya melepaskan kalung di lehernya, lalu berjalan mendekat ke arah sang Anoa.
“Jangan, Cahaya,” Bumi melarang. “Dia bisa menandukmu.” Namun, Cahaya terus bergerak maju hingga dia berada begitu dekat dengan Tuan Anoa. Dia memakaikan kalungnya di leher sang Anoa.
“Berjanjilah untuk menjaga kalung ini selamanya.” Burung Maleo menyampaikan ucapan Cahaya itu kepada Tuan Anoa.
Tiba-tiba Tuan Anoa bergerak mundur. Burung Maleo pun berkata, “Tuan Anoa mengizinkanmu membawa Permata yang Paling Bersinar. Dia berpesan, jangan biarkan sang Raksasa atau manusia mana pun merusak kedamaian rimba. Kerabat Tuan Anoa banyak yang dimangsa raksasa, juga ditangkap oleh manusia untuk diambil kulit dan tanduknya. Tolong jangan biarkan itu terjadi lagi.”
“Aku berjanji,” Cahaya berkata.
Cahaya meraih Permata yang Bersinar, lalu dengan hati-hati membawanya menuju gunung. Kali ini, setiap tempat yang mereka lewati menjadi terang akibat sinar yang dipancarkan oleh permata. Cahaya dan Bumi sudah hampir tiba di gunung saat tanah tiba-tiba berguncang.
“Raksasa sepertinya sudah keluar gua!” seru Bumi. Cahaya dan Bumi kesulitan berjalan karena tanah berguncang dengan keras.
“Ayo, kita harus lebih cepat, Bumi. Ayo, lari sekarang!” perintah Cahaya. Keduanya berlari sekuat tenaga menuju gunung. Namun, tiba-tiba saja mereka melihat sang Raksasa sedang berjalan ke arah mereka.
“Itu dia di sana!” teriak Bumi. “Begini saja. Kau berlarilah sekuatnya menuju gunung, dan letakkan permatanya, sementara aku akan mengalihkan perhatian raksasa.”
Cahaya menyetujui rencana itu. Dia berlari sekencang mungkin mencapai gunung. Sementara itu, Bumi berlari ke arah lain untuk mengalihkan perhatian raksasa. Sang Raksasa kebingungan karena hutan tampak terang sebagian, sementara sebagian lainnya gelap. Sang Raksasa menghindari tempat-tempat yang terang karena itu membuatnya lumpuh. Bumi bersembunyi di kegelapan, berharap raksasa tidak menemukannya.
“Aku mencium bau manusia,” ucap sang Raksasa. Bumi menahan napas sembari berjongkok di bawah semak untuk bersembunyi.
“Cahaya, cepatlah. Kumohon.”
“Aha, di sana kau rupanya, anak manusia!” seru sang Raksasa girang.
Raksasa menyingkirkan semak belukar dengan mudah, lalu mengulurkan tangan untuk menangkap Bumi. Namun, tiba-tiba saja seisi hutan disinari oleh cahaya yang terang benderang. Sang Raksasa berteriak karena cahaya silau membutakan matanya dan membuat kepalanya pusing. Rupanya Cahaya telah berhasil meletakkan Permata yang Bersinar di puncak gunung, sehingga malam pun terasa seperti siang hari.
Semenjak hari itu, Raksasa tak pernah lagi tampak. Berkat permata yang bersinar, malam-malam di desa dan seluruh rimba selalu terang benderang. Soal ke mana sang Raksasa pergi, tak pernah ada yang tahu.