Cerita Bandit, Virus, dan Seekor Tupai

Cerita Bandit, Virus, dan Seekor Tupai

Dyah Merta

Minggu, 01 Maret 2015

SABTU gaduh. Begitu juru tulis di Keresidenan Batavia mencatat. Nama Entong Tolo termaktub di situ. Surat tersebut ditujukan pada Kepala Gubernur Jendral A W F Idenburg oleh Sekretaris Karesidenan Batavia J Van Gigch. Tempat Gorin kecurian. Hari itu, Sherlock Holmes, Kepala Polisi Hindia Belanda, sudah mengendus kasak-kusuk bahwa pelaku pencurian di tempat Gorin ialah Entong Tolo, “Robin Hood van Batavia” yang antituan tanah.

“Diajukan ke pengadilan pun Inlander itu pasti akan luput dari jerat!” keluh kepala polisi.

Dalam suratnya, sekretaris memohon supaya Gubernur Jenderal mengeluarkan surat pembuangan bagi Entong Tolo berdasarkan Pasal 47 RR, pasal yang mengait pada perbuatan khusus, terlepas orang itu melanggar atau tidak melanggar hukum.

Entong Tolo memang seliat belut. Polisi nyaris tidak bisa memperoleh bukti karena aksinya melibatkan puluhan anak buah yang terampil silat dan kemampuan memanjat selincah bajing. Kabarnya, anak buahnya yang loyal lebih dari 100 orang dan setidaknya dalam setiap kemunculan, sebanyak 50 orang sanggup membuat kaki para pejabat pribumi gemetar dan polisi Hindia Belanda yang memegang bedil lari terkencing-kencing.

Entong Tolo tidak lahir dari langit. Kekacauan yang melanda Batavia dan menyebar di sekujur Jawa itu dimulai dari virus. Para bandit muncul setelah tebu dan kopi terjangkit penyakit sereh. Daun-daun tebu bertutul melipat dan batangnya mengerdil. Sebaran yang sama menjangkiti tanaman tembakau. Begitu kelahiran para bandit. Mereka ialah orang-orang yang tak mau menyerah kalah pada masa yang suram. Klon tebu unggulan yang lahir dari persilangan tebu dengan gelagah baru datang 20 tahun kemudian: harapan bagi mesin-mesin penggiling di pabrik tebu kembali berputar. Itulah mengapa menangkap bandit sulit nian.Tak ubahnya seperti memborgol virus.


OTAKKU membayangkan bokong bandit-bandit. Mereka tidak memakai celana dalam Jockey. Jika ya, aku yakin para noni Belanda akan menjadi orang pertama yang ingin disekap bandit-bandit pribumi. Kalaupun aku memiliki keberanian untuk mengerumit bokong salah satu bandit itu, kurasa gigiku yang bakal tanggal sebab mereka bukan hanya memiliki alat perlawanan, melainkan juga kebal. Tak hanya itu, saksi untuk melawan bandit-bandit agar dapat dimejahijaukan sangat sulit diperoleh. Polisi atau bahkan pejabat saja enggan. Sekali bersaksi, aksi balas dendam dan ancaman dari anak buah Entong Tolo bukan mainmain. Anjing piaraan mereka di pagi buta bisa ditemukan memakai celana dalam si Tuan. Kuda-kuda polisi atau pejabat bisa menjadi sasaran. Mereka dibuat muntah keracunan hingga digorok dan para pembantu mereka akan menjerit-jerit saat menemukan hewan-hewan itu sebelum pemiliknya mendapat giliran. Penduduk juga memilih bungkam kalau tak ingin rumahnya dibakar. Sudah empat tahun Entong Tolo beraksi tanpa segan.Suasana di Meester Cornelis alias Jatinegara makin mengkhawatirkan. Namun, kepala polisi bahkan tidak berani memasang foto Entong Tolo sebagai buruan yang lebih berharga dari harimau jawa.

Entong Tolo dikenal sebagai pemilik Ajian Rawa Rontek. Itu artinya, dia susah dibuat mati. Umurnya 50 tahun. Asalnya dulu cuma pedagang di Pondok Gede, lalu pindah ke Pagerrarang, Jatinegara. Tak ada yang tahu kenapa dia akhirnya menjadi bandit. Akhir babak kehidupan Entong Tolo yang susah dibuat mati itu bukan mati di tangan polisi, melainkan dia dibuang ke Manado setelah sempat tertangkap pada suatu hari di bulan November. Sepanjang masa pembuangan, Residen Manado menyediakan tunjangan bagi Entong Tolo selama enam bulan penuh. Setelah itu dia diberi pekerjaan. Namun, bukannya merasa beruntung. Ada cerita kalau dia bosan hidup seperti itu dan kembali menggarong. Sayangnya, di sana, dia sulit mendapatkan anak buah dan akhirnya mati di tangsi Belanda dengan kuku kaki habis dikerikit tikus.


TAK berselang lama setelah Entong Tolo menghilang dari rimba perbanditan, muncul Entong Gendut dengan tiga kesaktian, yaitu Ajian Rawa Rontek, Pancasona, dan Jenang Dodol. Peluru, keris, samurai, racun, hingga santet dan teluh tidak mempan di tubuhnya.

Hari itu Selasa. Piroen, polisi mandor Kampung Batuampar menemani Asisten Wedana Pasar Rebo dengan beberapa orang polisi. Hari itu mereka mendatangi rumah Said Taba untuk melakukan eksekusi. Rumah dan barang-barang Said Taba, menurut keputusan Pengadilan Negeri Meester Cornelis, harus disita karena dia tak sanggup melunasi hutang.

Di kebun salak Djaimin, dekat rumah Said Taba, sebanyak 50-an orang berkumpul menyerupai tumpukan salak. Di situ ada Entong Gendut, orang Cililitan Besar yang mukim di Batuampar. Kelompok itu menunggu. Belum ada aksi. Menurut Said Abdullah, orang yang semula dicurigai oleh kepala polisi di Meester Cornelis, lalu kemudian berbalik memberi kabar kepada si Meneer bahwa Said Taba bin Achmad Albadat ikut perkumpulan Entong Gendut. “Selain Said Taba, ada Said Muchsin bin Achmad Alatas dari Kampung Cawang dan Said Umar bin Alaydrus dari Kampung Cililitan,” terangnya.

Sudah jelas, demi menggeser statusnya sebagai orang yang dicurigai, dia sengaja membongkar jaringan Entong Gendut dan memilah cerita yang paling menguntungkan dirinya. Setelah menerima laporan itu, pejabat tinggi di Meester Cornelis melalukan usaha untuk menangkap Entong Gendut. Jangan dikira itu mudah. Rumah Entong Gendut dijaga 50 anak buah sepanjang siang dan malam. Mereka bersenjata golok dan parang. Mereka masing-masing juga mengantongi jimat dan ilmu silat.

Perihal kematian Entong Gendut, yakni tiga kesaktiannya tidak tercatat di arsip Belanda. Bukan cuma itu, kebiasaan Entong Gendut berjalan dengan seekor tupai yang nangkring di pundaknya juga tak banyak yang tahu. Menurut warga yang mulutnya mengekor terus kisah Entong Gendut, hingga hari ini masih bisa didengar perihal kesaktiannya. Malah ada yang bilang kalau dia belum mati. Soal tupai, mereka menggeleng.

Satu yang tercatat ialah pada suatu senin, Asisten Residen dan Asisten Wedana Pasar Rebo ditemani pembesar-pembesar polisi, tentu dengan beberapa kompi polisi bersiap-siap di Condet, di sebuah jalan menuju markas Entong Gendut. Ini duel maut. Bedil dan golok. Pasukan Entong Gendut menjemput dengan gagah. Tembakan-tembakan terdengar. Peluru berseliweran di subuh hari pada pukul 04.00 WIB lewat. Kurasa embun pun membeku ketika desing mesiu lewat. Bunyi beduk bertalu-talu dan tidak mau berhenti. Di jalan besar, barisan militer Meester Cornelis datang dan berjaga-jaga. Tidak ada upaya melerai. Mereka justru membangun benteng supaya tidak ada pasukan baru dari bandit-bandit rekanan Entong Gendut yang masuk ke kawasan itu untuk membantu mereka.

Jelang habis masa salat duha, tembakan dan suara beduk baru senyap. Entong Gendut diwartakan meninggal di perjalanan ke rumah sakit akibat luka tembak. Kabar itu merebak. Warga yang sempat digeledah dan diubrak-abrik sepasukan polisi untuk mencari anggota Entong Gendut yang tersisa, tutup mulut. Pasukan Entong Gendut hari itu bisa dipatahkan. Namun, kurasa tidak dengan Entong Gendut sendiri. Kesaktiannya lapis tiga. Tidak mudah menundukkannya.

Di sisi inilah aku memburu kisahnya. Aku menelusuri Kampung Condet, berkeliling ke pelosok Betawi, bahkan hingga ke Lampung dan Sulawesi. Dua manusia itu memiliki nama depan sama, sama-sama Entong. Rekam jejak keduanya tercatat dengan baik, bahwa mereka ialah para pemberontak, begundal yang membikin rusuh warga. Kurasa itu memang sedikit berlebihan khususnya karena para polisi tidak mampu melumpuhkan kesaktian kedua jawara itu dengan senjata apa pun.

Nasib tubuh Entong Gendut yang dibawa ke rumah sakit memunculkan cerita lain. Ratusan anak buahnya memang mati dipopor bedil. Jenazah Entong Gendut oleh polisi dibawa ke rumah sakit supaya tak jatuh ke tangan pribumi dan memicu amarah mereka. Perlawanan rakyat Condet hanya akan menambah masalah. Rencananya, selepas itu, dia akan dikubur. Polisi Hindia Belanda panik, jasad Entong Gendut raib dari kamar jenazah dan musnah. Sudut-sudut rumah warga sudah pasti tak ada yang sudi menyimpan mayat.

Nisan yang disiapkan polisi dibuat menganggur, itu salah satu kuburan yang diperuntukkan bagi Entong Gendut. Berbeda dengan warga Condet, mereka yakin Entong Gendut mati di seberang Kali Ciliwung. Menyeberangi kali itu konon membuat rontok kesaktian Entong Gendut sehingga tubuhnya bisa ditembus peluru. Karena jenazahnya tidak ditemukan, warga membangun cungkup kosong untuk Entong Gendut. Bahkan, ada rumor jika jenazah Entong Gendut sengaja dibuang polisi ke laut dan kabar kaburnya jasad Entong Gendut dari kamar jenazah hanya muslihat. Yang jelas, sejak beduk berhenti, Entong Gendut raib tak tentu rimbanya. Perihal tupai peliharaannya, tak ada yang tahu. Tak ada catatan tentang hal seremeh itu.


TUPAI itu melompat ke meja.

“Ada tupai di mejaku!” aku menjerit.

“Mana?” kau mencari-cari tupai yang aku yakin telah melihatnya. Makhluk mungil berkepala mirip curut dengan ekor lebih panjang dari tubuhnya itu melompat dari meja ke rak dan berputar di sana serta mengibas-ngibaskan ekornya laksana pembersih debu. Dia lebih mirip bajing. Bajing yang meloncat-loncat. “Bajing loncat,” bibirku mendesis.

Sesaat, aku lebih tenang dan duduk kembali. “Apa kau percaya, ada satu orang tapi kuburannya ada di mana-mana?” kataku padamu.

“Maksudmu kuburannya pindah-pindah?” Dia memang tidak terlalu pandai.

“Satu orang, tapi dikubur di mana-mana, bagaimana bisa?” celetukmu lagi.


KUBURAN Entong Gendut diyakini ada di manamana. Dia dipuja para pengikutnya. Sepak terjangnya telah melegenda sejak dia hidup. Bukan sebatas di dekat Kali Ciliwung saja. Para bajing loncat di jalur lintas TransSumatra percaya bahwa roh Entong Gendut berada di salah satu ruas lintas timur perbatasan Lampung Sumatra Selatan, di sebuah kawasan sepi perkebunan karet. Para sopir truk di jalur pantura juga percaya kalau Entong Gendut dulu lari dan sembunyi di Alas Roban, lalu menjadi salah satu penjaga di situ hingga hari ini.

“Lupakan dua bandit itu!” ujarmu.

“Aku menduga peluru polisi itu hanya bersarang di anus Entong Gendut, makanya dia selamat, terlempar ke Kali Ciliwung, dan tubuhnya yang pingsan ditemukan seorang nelayan di tepi pantai,” ujarku.

“Bagaimana jika peluru sekalian bedilnya bersarang di anus?” ujarmu sambil terkekeh.

Aku baru menyadari ketika kau mendekatkan wajahmu ke wajahku.

“Semestinya kau tahu jika kedua bandit itu terkait masalah tanah. Jadi, jangan mengigau lagi!” Kali ini, dia satu langkah lebih pintar dariku. “Apa aku tidur mengigau?” “Kau melihat tupai!” Lampu kamar pun padam dan aku kehilangan bayangan tupai itu. Tak lama dengkur tipis kudengar.

“Bisa jadi cerita anak nelayan itu benar. Menurut yang didengar kakeknya, Entong Gendut berlayar ke Sumatra, menetap di sana, dan melahirkan anak-cucu. Kurasa babak mereka belum berakhir!”