Cerita Dubes Morgenthau/Bab 12


BAB XII

TURKI MERUPAYA UNTUK MEMPERLAKUKAN MUSUH-MUSUH ASING DENGAN SOPAN NAMUN JERMAN MEMINTA AGAR MENINDAS MEREKA

Tak lama usai bombardemen Odessa, aku berpapasan dengan Enver, membahas subyek yang kemudian paling dikedepankan dalam pikiran seluruh orang asing di Turki. Bagaimana Pemerintah memperlakukan musuh-musuh residennya? Akankah menangkapi mereka, mendirikan kamp-kamp konsentrasi, mendakwa mereka dengan dakwaan Jerman dan mungkin menerapkan tindakan kesukaan Turki terhadap umat Kristen — penyiksaan dan pembantaian? Ribuan subyek musuh saat itu tinggal di Kekaisaran Utsmaniyah. Kebanyakan dari mereka menjalani seluruh masa hidupnya disana. Yang lainnya bahkan lahir di tanah Utsmaniyah. Kala Turki ikut perang, semua orang memiliki setiap alasan untuk mencegah jenis pelakuan terkeras. Yak banyak penjelasan untuk dikatakan bahwa kebanyakan mereka tinggal dalam kekhawatiran akan pembunuhan. Dardanelles telah ditutup, sehingga hanya ada sedikit kesempatan bantuan luar dapat mencapai orang-orang asing tersebut; hak-hak menyerah, di tempat mereka tinggal selama berabad-abad, telah ditolak. Tak ada hal apapun yang benar-benar ada antara pemukim asing dan penghancuran kecuali bendera Amerika. Keadaan perang kini membuatku, sebagai Dubes Amerika, menjadi pelindung seluruh penduduk Inggris, Prancis, Serbia, dan Belgia. Aku menyadari dari permulaan tugasku akan menjadi hal sulit. Di sisi lain adalah orang Jerman, yang memajukan gagasan penindasan dan brutalitas terbaik mereka, sementara di sisi lain adalah orang-orang Turki, dengan perlakuan tradisional mereka terhadap umat Kristen dan pemikiran alami mereka untuk memperlakukan buruk orang-orang yang tak tertolong di tempat kekuasaan mereka.

Sehingga, aku memiliki argumen kuat tertentu di pihakku dan aku kini dipanggil menghadap Enver untuk keperluan agar menyerahkan mereka di hadapannya. Turki menginginkan tanggapan bagus dari Amerika Serikat dan berharap untuk menemukan dukungan kalangan pakar keuangan Amerika usai perang. Pada masa itu, seluruh kedubes di Konstantinopel menganggap bahwa Amerika Serikat akan menjadi juru damai. Jika Turkey menerima kami sebagai temannya, aku kini berkata kepada Enver, ia akan memperlakukan orang-orang musuh asing dengan cara yang beradab.

"Anda berharap untuk kembali menjadi kekuatan dunia," ujarku. "Anda harus ingat bahwa dunia beradab akan secara hati-hati menyorotimu; status masa depanmu akan bergantung pada bagaimana kau melakukannya sendiri dalam perang." Kelas-kelas pemerintah di kalangan orang Turki, termasuk Enver, menyadari bahwa dunia luar menganggap mereka sebagai orang yang tak menghormati kesakralan nyawa manusia atau emosi yang lebih baik dan mereka menarik sikap tersebut. Aku kini mengingatkan lagi Enver bahwa Turki memiliki kesempatan untuk menyanggah seluruh kritikan tersebut. "Dunia dapat menyatakan bahwa kamu adalah orang barbar," ujarku; "tunjukkan dengan cara Anda memperlakukan musuh-musuh asing bahwa kau tidak demikian. Hanya dengan cara ini kau dapat tetap bebas dari penghirauan kapitulasi. Tunjukkan bahwa kamu dengan baik beremansipasi dari bimbingan asing. Jadilah beradab — jadilah modern!"

Dalam pandangan dari apa yang terjadi di Belgia dan utara Prancis kala itu, aku memakai kata "modern," yang merupakan sedikit ketidakberuntungan. Enver dengan cepat melihat penekanan tersebut. Sepanjang masa itu, ia mengeluarkan sikap lazim yang gagah dan bermartabat, dan wajahnya, seringkali menarik perhatian, sangat tenang, nyaris tanpa ekspresi. Kini dengan cepat, seluruh sifatnya berubah. Kesopanannya patah menjadi senyum sinis, ia menyadari, menempatkan kepala tangannya ke meja,dan berujar:

"Modern! Tidak; namun Turki sedang berperang, setidaknya kami tidak harus menjadi 'modern.' Itu semua adalah sistem paling barbar. Kami singkatnya harus berupaya untuk mengurungkannya!"

Secara alami, aku menganggapnya sebagai janji. Namun, aku memahami perubahan sikap Turki dengan baik untuk mengetahui bahwa lebih dari janji yang dibutuhkan. Jerman bergegas menghasut para pejabat Turki, mendorong mereka untuk mengadopsi rencana kesukaan Jerman melawan musuh-musuh asing. Jerman memajukan banyak prinsip perang kuno dan abad pertengahan, salah satu kebangkitan paling barbarnya dari masa lalu menjadi praktek mempertahankan perwakilan penduduk tertentu, orang-orang yang khas dan berpengaruh, sebagai sandera untuk "perilaku baik" pihak lainnya. Pada kesempatan ini, staf militer Jerman membujuk Turki untuk membiarkan pemukim asing untuk keperluan tersebut. Seperti halnya Jerman mempertahankan orang-orang tak bersenjata di Belgia sebagai pengamanan untuk "ketidakbersahabatan" Belgia, dan menempatkan wanita dan anak-anak Belgia di atas laju tentara mereka, sehingga orang-orang Jerman di Turki kini berencana untuk memakai pemukim Prancis dan Inggris sebagai bagian dari sistem perlindungan mereka melawan armada Sekutu. Pengaruh jahat tersebut kuketahui bekerja dengan baik. Sehingga, aku seharusnya perlu menemuinya langsung, dan, jika memungkinkan, mengadahkan tangan pada sedari dulu. Aku memutuskan bahwa keberangkatan para diplomat dan pemukim Entente dari Konstantinopel akan benar0benar menempatkan uji kemampuanku untuk melindungi warga asing. Jika seluruh orang Prancis dan Inggris yang benar-benar berharap untuk pergi dengan selamat ke luar Turki, aku meyakini bahwa demonstrasi tersebut akan memiliki pengaruh yang kuat, tak hanya pada Jerman, namun atas naungan dunia resmi Turki.

Tak lama kala aku datang ke stasiun kereta api, sehari usai persoalan tersebut, aku menyaksikan bahwa tugasku telah menjadi hal sulit. Aku meminta dua kereta kepada otoritas Turki; satu untuk pemukim Inggris dan Prancis, yang pergi pukul tujuh, dan satu untuk para diplomat dan sta mereka, yang pergu pukul sembilan. Namun permintaan tersebu tak bekerja seturut jadwal. Stasiun tersebut dikepung dan diserang massa. Polisi dikerahkan secara penuh, mendorong kerumunan mundur. Kejadian tersebut adalah perpaduan dari para prajurit, gendarme, diplomat, bagasi, dan fungsioner Turki.

Salah satu tokoh paling menonjol adalah Bedri Bey, kepala polisi, politikus, pengacara, yang kini naik jabatan, dan yang menyadari pengaruh jabatan barunya. Bedri adalah teman dekat dan bawahan politik Talaat dan salah satu alat paling berharganya. Ia meraih peringat tinggi dalam Komite Persatuan dan Kemajuan, dan bersikukuh untuk mendapatkan jabatan kabinet. Mungkin, motif paling menonjolnya adalah kebenciannya terhadap warga asing dan pengaruh asing. Di matanya, Turki adalah tanah yang dikhususkan untuk orang-orang Turki. Ia menghiraukan seluruh unsur lain dalam penduduknya, dan ia tentunya menarik kuasa yang dimiliki oleh kedubes-kedubes asing sepanjang bertahun-tahun sesuai dengan perhatian domestik negaranya. Sehingga, terdapat sedikit orang Turki yang menganggap peniadaan permanen kapitulasi sebagai hal serius. Sepanjang berbulan-bulan berikutnya, aku sering menyoroti Bedri. Ia melintasi batasnya, mengambil tindakan yang nyaris jahat dalam campur tangan dengan setiap tindakan yang dibuat olehku dalam kepentingan warga asing. Sikapnya setengah memprovokasi, setengah bergurau. Kami selalu berniat untuk mengamati satu sama lain. Aku berniat untuk melindungi Prancis dan Inggris. Bedri selalu menganggapnya sebagai rintangan terhadap upayaku. Sehingga, pertikaian untuk orang-orang asing nyaris terjerembap menjadi duel pribadi antara Prefek Kepolisian dan Kedubes Amerika. Bedri adalah orang yang handal, berpendidikan baik, sangat lincah dan tidak terlalu bersikap buruk, namun ia gemar mempermainkan warga asing yang tak tertolong. Biasanya, ia mengurusi pekerjaannya pada sore hari.

"Apakah semuanya nyaris bersitegang?" tanyaku kepada Bedri.

"Kalian mengubah pikiran kami," ujarnya, dan perilakunya menunjukkan bahwa perubahan tersebut tidaklah selaras dengannya. "Kalian harus masuk kereta untuk mengambil para dubes dan staf mereka. Namun kami memutuskan untuk tak membiarkan kelas-kelas tak resmi untuk pergi — kereta yang diambil mereka tidak akan pergi."

Stafku dan aku bekerja keras untuk memberikan pengamanan untuk warga negara musuh. Kini nampak beberapa pengaruh yang memperburuk upaya kami. Perubahan mendadak dalam rencana menghasilkan kebingungan dan ketakutan yang mencolok. Di stasiun, terdapat dua kelompok penumpang, yang satu akan dapat pergi dan yang lainnya tak dapat melakukannya, Para dubes Inggris dan Prancis tak berharap untuk meninggalkan warga negara mereka, dan dubes Prancis enggan meyakini bahwa kereta mereka, yang dijanjikan pihak Turki, tak akan datang pada sore hari. Aku langsung menghubungi Enver, yang mengulang kembali pernyataan Bedri. Turki memiliki banyak orang di Mesir, ujarnya, yang situasinya menyebabkan kecemasan yang besar. Sebelum penduduk Prancis dan Inggris dapat meninggalkan Turki, asuransi-asuransi harus diserahkan agar hak-hak penduduk Turki di negara tersebut akan terlindungi. Aku tak memiliki kesulitan untuk menjelaskan penjelasan ini, karena Sir Louis Mallet langsung memberikan asuransi yang dibutuhkan. Namun, ini tak menyelesaikan persoalan tersebut. Sehingga, ini lebih sedikit ketimbang permulaan. Bedri masih enggan untukmembiarkan kereta tersebut berangkat. Ia berujar bahwa perintah tersebut tidka bisa dibatalkan karena hal tersebut akan mengavaukan jadwal umum dan dapat menyebabkan kecelakaan. Aku menyadari bahwa semua ini sebagai pencegahan Turki dan aku mengetahui bahwa perintah tersebut datang dari sumber selain Bedri; yang masih tak dapat dilakukan pada kesempatan tersebut. Selain itu, Bedri tak akan membiarkan siapapun untuk menaiki kereta diplomatik sampai ia sendiri mengidentifikasikannya. Sehingga, aku berdiri di gerbang kecil, dan melewati setiap calon penumpang. Setiap orang, entah ia masuk kelompok diplomatik atau tindak, berniat untuk memaksa dirinya sendiri melalui jalur perlintasan sempit tersebut, dan kami memiliki Jembatan Brooklyn bergaya lama pada skala kecil. Orang-orang berlarian ke segala arah, memeriksa bagasi, membeli tiket, beradu kata dengan para pihak, menekankan perhatian terhadap wanita dan anak-anak, sementara Bedri, tenang dan menguasai diri, menyaksikan seluruh pandemonium dengan senyuman tak bersahabat. Topi-topi dilepas, baju dilepas, dan, untuk menambahkan kebingungan, Mallet, Dubes Inggris, menjadi terlibat dalam persoalan dengan pihak Turki — orang Inggris memenangkan kehormatan pertamanya dengan mudah dan aku mendapati Bompard, Dubes Prancis, bersalaman dengan polisi Turki. Seorang wanita menurunkan bayinya di lengannya, kemudian orang lainnya menyerahkanku bayi mungil, dan kemudian, kala aku berdiri di gerbang, mengidentifikasi para tamu keberangkatan Turki, salah satu jurutulis Inggris menjadikanku penjaga anjingnya. Sementara itu, Sir Louis Mallet menjadi ribut dan enggan untuk pergi.

"Aku harus tetap disini," ujarnya, "sampai warga Inggris terakhir meninggalkan Turki."

Namun aku berkata kepadanya bahwa ia tak lagi menjadi pelindung orang-orang Inggris; bahwa aku, sebagai Dubes Amerika, memegang pertanggungjawaban ini; dan bahwa aku sendiri dapat membuat diriku lebih bekerja keras dalam kesempatan ini jika ia bertahan di Konstantinopel.

"Tentunya," ujarku, "orang-orang Turki tak akan mengakuimu bertugas dalam kepentingan Inggris jika kau masih disini."

Selain itu, aku menyarankan agar ia tetap di Dedeagatch selama beberapa hari, dan menunggui kedatangan orang Inggris sejawatnya. Sir Louis akhirnya menerima sudut pandangku dan menumpangi kereta tersebut. Kala kereta berlalu, aku mendapati penglihatan terakhirku dari Dubes Inggris, duduk di mobil pribadi, nyaris terkubur dalam sekumpulan koper, tas, kotak, dan kantong diplomatik, dikelilingi oleh staf kedubesnya, dan disaksikan oleh anjing jurutulisnya.

Para warga asing tak resmi bertahan di stasiun selama beberapa jam, berharap agar, pada kesempatan terakhir, mereka akan diijinkan untuk pergi. Namun, Bedri tak membiarkannya. Posisinya nyaris putus asa. Mereka telah meninggalkan persinggahan mereka di Konstantinopel, dan kini menyadari diri mereka sendiri terjebak. Beberapa diambil oleh para teman pada malam hari dan yang lainnya diberikan akomodasi di hotel-hotel. Namun keadaan mereka menyebabkan kekhawatiran besar. Buktinya, disamping seluruh janji resmi, Turki memutuskan untuk mempertahankan warga asing tersebut sebagai sandera. Di satu sisi adalah Enver dan Talaat, yang berkata kepadaku bahwa mereka berniat untuk ikut perang untuk alasan kemanusiaan, dan, di sisi lain, adalah penjelasan mereka, seperti Bedri, berlaku dengan gaya yang memandang buruk seluruh sikap beradab. Fakta bahwa para pejabat membahas di kalangan mereka sendiri soal perlakuan terhadap warga asing; dan Staf Umum Jerman menyatakan kepada Kabinet bahwa mereka membuat kekeliruan besar dalam menunjukkan sikap kepada para warga asing musuh mereka. pada akhirnya, aku terus berupaya untuk membiarkan mereka pergi pada keesokan harinya. Dalam perasaan bercampur, Bedri menjalani siang itu di kedubes, mengurusi paspor. Mereka berdua datang ke stasiun pada sore hari dan mendatangkan kereta dengan aman menuju Dedeagatch. Aku memberikan sekotak permen — "Turkish Delights," kepada setiap orang dari liam puluh wanita dan anak-anak di kereta. Ini menjadi pesta bahagia dan mereka tak membuat upaya apapun untuk menyembunyikan pelepasan mereka kala meninggalkan Turki. Di Dedeagatch, kami bertemu korps diplomatik, dan reuni pun terjadi, yang aku kemudian menyadari, secara sangat menyentuh. Aku dibuat bahagia oleh penerimaan banyak pernyataan rasa syukur mereka, terutama sebuah surat, yang ditandatangani oleh lebih dari seratus orang, menyatakan terima kasih mereka kepada Nyonya Morgenthau, staf kedubes, dan diriku.

SIR LOUIS MALLET
(Di kiri.) Dubes Inggris di Konstantinopel kala perang dimulai.
Di kanannya adalah M. Bompard, Dubes Prancis
JENDERAL LIMAN VON SANDERS
Ini adalah kepala misi militer yang dikirim oleh Kaiser ke Konstantinopel pada paruh akhir 1913, untuk merombak tentara Turki dalam persiapan untuk perang mendatang. Ia benar-benar mengarahkan mobilisasi pada Agustus 1914—tiga bulan sebelum Turki mendeklarasikan perang

Masih ada banyak orang yang berharap untuk pergi dan keesokan harinya aku memanggil Talaat atas perantaraan mereka. Aku menemukannya dalam perasaan paling ramahnya. Ia berujar bahwa Kabinet secara hati-hari menganggap seluruh persoalan pemukim Inggris dan Prancis di Turki, dan ia menambahkan bahwa pernyataanku telah sangat mempengaruhi mereka. Mereka mencapai keputusan resmi bahwa warga-warga asing musuh dapat pergi atau menetau, sesuai yang mereka inginkan. Tak akan ada kamp konsentrasi, warga sipil dapat menjalankan usaha lazim mereka dengan damai, dan sepanjang mereka menjaga diri mereka sendiri, mereka tak akan menjamahnya.

"Kami memutuskan untuk menunjukkan," ujar Talaat, "lewat perlakuan kami terhadap warga-warga asing, bahwa kami bukanlah ras barbar."

Dalam balasan atas janji tersebut, ia menanyai kesukaanku: akankah aku tak melihat bahwa Turki dpuji dalam pers Amerika dan Eropa untuk keputusan ini?

Setelah kembali ke kedubes, aku langsung dikirim ke Tuan Theron Damon, koresponden Associated Press, Doktor Lederer, koresponden Berliner Tageblatt, dan Doktor Sandler, yang mewakili Paris Herald, dan memberikan mereka wawancara, memuji sikap Turki terhadap warga asing. Aku juga memberikan kabar tersebut ke Washington, London, dan Paris beserta seluruh konsul kami.

Secara mendadak, aku merampungkan diri dengan para koresponden kala aku kembali menerima berita peringatan. Aku memutuskan untuk mendatangkan kereta lain pada sore hari, dan aku mendengar bahwa pihak Turki enggan mengurusi paspor orang-orang yang keberangkatannya disediakan olehku. Datang tepat sesuai janji Talaat, kabar tersebut sebetulnya mengganggu. Aku langsung dayang ke stasiun kereta api, dan aku makin murka dengan Mendagri tersebut. Sekelompok orang pengganggu memenuhi pagar penutup; wanita menangis, dan anak-anak menjerit, kala pleton prajurit Turki, yang dikomandoi oleh seorang mayor, menggerakkan setiap orang ke luar dari stasiun dengan mengarahkan senapan mereka. Seperti biasanya, Bedr ada disana, dan seperti biasanya, ia benar-benar menikmati kejadian tersebut. Ia berkata kepadaku bahwa sejumlah penumpang tersebut belum membayar pajak pemasukan mereka, dan, karena alasan tersebut, mereka tak diijinkan untuk pergi. Aku mengumumkan bahwa aku akan secara pribadi bertanggung jawab atas pembayaran tersebut.

"Aku tak dapat mengambil dari Anda, Tuan Dubes, bisakah aku?" ujar Bedri, dengan tawa. Dari sini, kami semua berpikir bahwa permohonanku telah menyelesaikan persoalan tersebut dan kereta akan datang sesuai jadwal. Namun mendadak pada saat itu, datang perintah lain yang juga didatangkan.

Sejak aku menerima janji dari Talaat, aku memutuskan untuk menemukan fungsioner dan mempelajari seluruh pemanfaatannya. Aku lompat ke kendaraanku dan datang ke Sublime Porte. Disana, ia biasanya memiliki markas besarnya. Tak menemukan siapapun disana, aku berkata kepada chauffeur untuk diantar langsung ke rumah Talaat. Beberapa waktu sebelumnya, aku mendatangi Enver untuk mengurusi urusan domestiknya dan kali ini aku diberi kesempatan untuk membandingkan kebiasaan hidupnya dengan rekan paling berkuasanya. Kerseberangan satu sama lain. Aku mendapati bahwa Enver hidup dalam kemewahan, dalam salah satu bagian paling aristokratis di kota tersebut, sementara aku kini menggerakkan salah satu kalangan paling malang. Kami datang ke jalan sempit, dibatasi oleh rumah-rumah kayu tak bercat melingkar yang kecil. Hanya satu hal yang membedakannya, semuanya dari seluruh belahan lain di Konstantinopel dan menyarankan agar tempat tersebut menjadi tempat yang layak untuk orang paling berkuasa di Kekaisaran Turki. Di ujungnya, berdiri seorang polisi, yang tak membiarkan seorang pun masuk yang tak dapat memberikan alasan pasti untuk melakukannya. Seperti seluruh orang lainnya, kami mendadak terhenti, namun kami diijinkan lewat kala kami menjelaskan siapa kami. Berseberangan dengan istana Enver, dengan ruangan dan perabotan besar tak terhitung, rumah Talaat berupa gedung tiga lantai, berkayu, reyot dan tua. Usai aku memahaminya, ini semua adalah bagian dari setting yang dimajukan Talaat sepanjang karirnya. Seperti kebanyakan politikus Amerika, ia mendapati posisinya sebagai tokoh "masyarakat", suatu aset politik yang berharga, dan aku mengetahui bahwa penataan mendadak kemakmuran dan kelebihan akan membangun pengaruhnya dengan Komite Persatuan dan Kemajuan, yang kebanyakan anggotanya, seperti diriku sendiri, timbul dari perjalanan hidup yang rendah. Isi rumah tersebut sama halnya dengan bagian luar. Tak ada unsur Oriental. Perabotannya berharga murah. Sedikit cetakan gantungan yang digantung di tembok, dan satu atau dua sajadah yang dirajut dengan baik dihamparkan ke tanah. Di satu sudut berdiri meja kayu, dan di atasnya diletakkan alat telegraf— yang sempat dijadikan alat Talaat untuk menjalani hidup, dan kini alat tersebut dipakai olehnya untuk berkomunikasi dengan rekan-rekannya. Pada kondisi menegangkan saat itu di Turki, Talaat terkadang mengirim pesan melalui telegrafnya sendiri!

Di sekelilingnya, aku menunggui masuknya Bos Besar Turki selama beberapa menit. Kala pintu dibuka di ujung ruangan lainnya, dan sosok bergemilang perhiasan dan tinggi masuk. Aku mulai menghadap kepadanya. Talaat menyambut sosok tersebut yang telah menjadi sosok akrab dengannya di Sublime Porte. Tak lama kemudian, Talaat memakai busana Eropa dan bertingkat layaknya orang Eropa. Pria yang kini aku lihat nampak seperti gispi Bulgaria yang sebenarnya. Talaat mengenakan fez Turki merah biasa. Pada bagian lainnya, ia mengenakan baju tidur abu-abu tebal. Dari perpaduan tersebut, wajahnya tersenyum. Perasaannya separuh ramah, separuh remeh. Talaat sangat memahami apa yang ditekankan dalam bisnis yang membuatku merasuki privasi mendalamnya, dan perilakunya kini mengingatkan pada anak nakal kurang ajar di sekolah. Ia datang dan duduk dengan baik, dan mulai disambut. Diam-diam, pintu dibuka lagi, dan seorang gadis kecil didorong ke ruangan tersebut, mengirim senampan rokok dan kopi. Kali ini, aku melihat bahwa seorang wanita muda, yang nampak berusia sekitar dua puluh lima tahun, yang berdiri di belakang gadis tersebut, membujuknya untuk masuk. Kemudian, hadir istri Talaat dan putri angkat. Aku langsung menyadari bahwa, meskipun wanita Turki tak pernah masuk masyarakat atau bertindak sebagai pelayan, kami benar-benar mendalami perihal para tamu suami mereka, dan nampaknya memberikan kisi-kisi dari mereka. Buktinya pada kesempatan itu, Madame Talaat tak selaras dengan pandangan terdahulunya karena beberapa menit setelahnya ia melirik ke jendela yang berada di sebelahku, namun tak nampak keseluruhan oleh suaminya, dan memandangi arah lainnya, dan ia masih sangat diam dan sangat mengamati selama beberapa menit. Kala ia berada di rumah, ia melepas cadarnya. Wajahnya elok dan cerdik. Ini sangat menunjukkan bahwa ia menikmati pandangan jarak dekat dengan dubes Amerika.

"Sesungguhnya, Talaat," ujarku, menyadari bahwa waktu itu telah datang untuk berbincang, "tidakkah kau mengetahui bagaimana dengan bodohnya kau bertindak? Anda berkata kepadaku beberapa jam lalu bahwa kau memutuskan untuk memperlakukan orang-orang Prancis dan Inggris dengan baik dan Anda membujukku untuk menerbitkan kabar tersebut dalam pers Amerika dan asing. Aku sempat dipanggil pihak koran dan berkata kepada mereka bagaimana kau bertingkah. Dan ini atas permintaanmu sendiri! Seluruh dunia akan membaca tentang hal tersebut esok, akankah janjimu menepatiku? Akankah kau mengabulkan mereka, atau Anda berniat untuk tetap mengubah pikiranmu sepanjang waktu? Kini mari memahami hal yang sebenarnya. Hal yang kami orang Amerika tentunya membanggakan diri kami sendiri dalam mempertahankan perkataan kami. Kami melakukannya sebagai seseorang dan sebuah bangsa. Kami enggan untuk bersepakat dengan orang-orang seperti kesetaraan pihak yang tak melakukannya. Anda dapat memahaminya dengan baik sekarang bahwa kami tak dapat melakukan usaha dengan satu sama lain tanpa aku dapat bergantung pada janji-janjimu."

"Kini, ini bukanlah kesalahanku," jawab Talaat. "Pihak Jerman yang bersalah karena menghentikan kereta tersebut. Kapal Staf Jerman baru kembali dan melakukan pekerjaan besar, berkata bahwa kami terlalu mudah dengan Prancis dan Inggris dan bahwa kami tak harus membiarkan mereka pergi. Ia berkata bahwa kami harus menahan mereka untuk penyanderaan. Ini merupakan campur tangannya yang melakukan hal tersebut."

Itu pastinya yang telah aku duga. Talaat memberikanku janjinya, kemudian Bronssart, kepala Staf Jerman, dalam prakteknya memutarbalikkan perintahnya. Pengakuan Talaat memberiku pembukaan yang aku harapkan. Pada waktu itu, hubunganku dengan Talaat menjadi sangat bersahabat agar aku dapat berbincang padanya dengan sangat terus terang.

"Sekarang, Talaat," ujarku, "Anda telah membiarkan siatu pihak mendorongku dalam hubunganmu dengan warga asing. Anda harus memilih dalam pikiranmu apakah Anda memilihku atau Staf Jerman. Jangan Anda pikir akan membuat kekeliruan jika Anda menempatkan dirimu sendiri sepenuhnya di tangan Jerman? Waktu dapat datang kala kau akan membutuhkanku melawan mereka."

"Apa artinya itu?" tanyanya, menyaksikan untuk jawabanku dengan rasa penasaran mendalam. "Jerman sepakat untuk mendorongmu melakukan banyak hal yang tak kau ingin lakukan. Jika kau dapat menyatakan kepada mereka bahwa Dubes Amerika menentang, dukunganku dapat sangat berguna padamu. Selain itu, Anda tau bahwa Anda sepenuhnya mengharapkan perdamaian selama beberapa bulan. Kau tau bahwa Jerman benar-benar tak memperdulikan Turki, dan tentunya kamu tak memiliki klaim atas Sekutu demi bantuan. Hanya ada satu negara di dunia yang dapat kau pandang sebagai teman yang pengertian dan itu adalah Amerika Serikat."

Fakta ini sangat nampak aku sangat butuhkan untuk memajukannya dalam penjelasan besar manapun. Namun, aku memiliki argumen lain bahwa hantaman masih mendekati dalam negeri. Pada akhirnya, perjuangan antara departemen perang dan kekuatan sipil telah dimulai. Aku tau bahwa Talaat, walau ia adalah Mendagri, dan warga sipil, memutuskan untuk tak mengorbankan gelar otoritasnya pada the Enver, Jerman, dan para perwakilan militer.

"Jika kau membiarkan Jerman menang saat ini," ujarku, "kau berada dalam kekuasaan mereka. Kau kini adalah kepala urusan, namun kau masih warga sipil. Apakah kau mendekati militer, diwakili oleh Enver dan staf Jerman, melebihi perintahmu? Nampaknya itu yang terjadi saat ini. Jika kau mengajukannya, kau akan menemukan bahwa kami akan melarikan hal-hal dari sekarang. Jerman akan merebut negara ini di bawah darurat militer; kemudian dimana kau akan menjadi warga sipil?"

Aku dapat melihat argumen ini berdampak pada Talaat. Ua sangat terdiam selama beberapa waktu, sesambil menyimak pernyataanku. Kemudian ia berujar kepadaku, dengan pernyataan menohok,

"Aku ingin menolongmu."

Ia berbalik ke mejanya dan mulai mengerjakan alat telegrafnya. Aku seharusnya tak pernah melupakan gambaran tersebut; orang Turki tinggi tersebut, duduk disini dengan piyama abu-abu dan fez merahnya, bekerja dengan kunci telegrafnya sendiri, istri mudanya mengamatinya lewat jendela kecil dan matahari siang menyinari ruangan tersebut. Buktinya penguasa Turki tersebut memiliki ketegangannya, dan, seperti arhumen yang dayang dari telegraf, Talaat akan menancapkan kuncinya dengan sangat kuat. Ia berujar kepadaku bahwa jalur utama di stasiun diatur atas perintah tertulis Enver — karena perintah tersebut memakai jaringan yang dapat dengan mudah dipalsukan. Ini memberikan beberapa waktu kepada Talaat untuk menempatkan Enver, dan kemudian sengketa tersebut nampaknya dimulai kembali semuanya. Sepucuk kabar yang diterima oleh Talaat pada kesempatan tersebut pada jaringan tersebut nyaris meruntuhkan kasusnya. Usai memasukkan kembali alatnya, wajah Talaat berubah dari ramah menjadi nyaris sadis, ia mengarah kepadaku dan berujar:

"Inggris membombardir Dardanelles pagi ini dan menewaskan dua orang Turki!"

Dan kemudian ia berujar:

"Kami berniat untuk membunuh tiga orang Kristen untuk setiap Muslim yang dibunuh!"

Pada kesempatan ini, aku pikir segalanya telah lenyap. Wajah Talaat hanya menunjukkan satu perasaan — kebencian terhadap Inggris. Setelah itu, kala membaca laporan Cromer tentang Dardanelles, aku mendapati bahwa Komite Inggris menstigmatisasi serangan awal tersebut sebagai kekeliruan, karena ini memberikan peringatan awal rencana mereka kepada Turki. Aku dapat menguji bahwa ini adalah kekeliruan untuk alasan lain, karena aku kini menemukan bahwa sedikit tembakan aneh nyaris menghancurkan rencanaku untuk membawa warga asing keluar dari Turki. Talaat menjadi murka, dan aku bergerak lebih jauh lagi, namun akhirnya aku berhasil menenangkannya sekali algi. Aku melihat bahwa ia terpikat antara keinginannya untuk menghukum Inggris dan keinginannya untuk menyerahkan otoritasnya sendiri kepada Enver dan Jerman. Beruntungnya, motif terakhir diterima. Pada segala marabahaya, aku memutuskan untuk menunjukkan bahwa ia adalah bos.

PARA PERWIRA JERMAN DAN TURKI MENUMPANGI "GOEBEN"
Seluruh pasukan, kecuali yang paling kiri dan yang paling kanan, adalah orang Jerman. Dua bulan sebelumnya, Turki ikut perang Eropa. Laksamana Souchon—sosok tengah dalam kelompok ini—mengendalikan AL Turki. Sepanjang waktu, Pemerintah Jerman mendorong agar Goeben dan Breslau "dijual" ke Turki
BEDRI BEY, PREFEK KEPOLISIAN DI KONSTANTINOPEL
Pemimpin Turki muda dan teman dekat Talaat. Upaya Tuan Morgenthau untuk melindungi orang-orang Inggris dan Prancis menjadi persaingan antara Bedri dan dirinya sendiri, yang menerima pandangan Jerman bahwa warga asing seharusnya tak diperlakukan dengan "keringanan yang terlalu besar"
DJAVID BEY, MENTERI KEUANGAN DALAM KABINET TURKI
Berdarah Yahudi namun beragama Islam; seorang anggota berpengaruh dari partai Turki Muda. Ia merupakan Pro-Sekutu dalam simpatinya, dan mengundurkan diri kala Turki ikut perang pada pihak Jerman, meskipun setelah itu ia kembali menjabat.

Kami masih disana selama lebih dari dua jam, pemanduan sukarelaku terhenti sekarang dan kemudian menghubunginya untuk menghiburku dengan gosip politik terbaru. Ia berujar bahwa Djavid, sang Menkeu, telah mundur, namun berjanji untuk bekerja untuk mereka di dalam negeri. Disamping ancaman-ancamannya, Wazir Agung didorong untuk mempertahankan jabatannya. Para warga asing di dalam negeri tak akan tersentuh kecuali Beirut, Alexandretta, atau beberapa pelabuhan tak berbenteng dibombardir, jika serangan semacam itu dibuat, mereka akan menimpakkannya pada Prancis dan Inggris. Perbincangan Talaat menunjukkan bahwa ia tak terlalu disukai Jerman. Ia berujar, mereka terlalu sombong dan kurang ajar untuk ikut campur dalam hal militer dan memperlakukan Turki dengan penghinaan.

Pada akhirnya, kereta pun dayang. Talaat menunjukkan banyak perasaan dalam wawancara ini. Ia telah ganti berganti menjadi cemberut, baik hati, sangar dan penurut. Terdapat satu fase dari sifat Turki yang tidak dilirik orang-orang Barat dan bahwa itu adalah rasa humornya. Talaat sendiri sangat suka lelucon dan cerita lucu. Kini, ia menjalin kembali hubungan persahabatan dan menebus lagi janjinya, Talaat sekali lagi menjadi terhibur.

"Orang-orangmu dapat pergi sekarang," ujarnya seraya tertawa. "Inilah waktu untuk membeli permen-permenmu, Tuan Dubes!"

Sebetulnya, ini adalah rujukan untuk hadiah kecil yang aku berikan kepada wanita dan anak-anak semalam sebelumnya. Aku langsung kembali ke stasiun. Disana, kami mendapati para penumpang terduduk menunggu kabar baik. Kala aku berujar kepada mereka bahwa kereta akan datang pada sore itu, mereka menyatakan terima kasih dan rasa syukur.