Cerita Dubes Morgenthau/Bab 16
BAB XVI
TURKI BERSIAP UNTUK PERGI DARI KONSTANTINOPEL
DAN MENDIRIKAN IBUKOTA BARU DI ASIA KECIL—
ARMADA SEKUTU MEMBOMBARDIR DARDANELLES
Mungkin satu hal yang mendorong keinginan Jerman untuk perdamaian adalah keadaan di Dardanelles. Pada awal Januari, kala Wangenheim mendorongku untuk menulis suratku ke Washington, Konstantinopel berada dalam keadaan paling menonjol. Sekutu dilaporkan mengumpulkan armada empat puluh kapal perang di mulut Dardanelles dan bahwa mereka berniat untuk berupaya menyerbu selat tersebut. Kala membuat keadaan sangat tegang adalah keyakinan, yang kalai itu umum terjadi Konstantinopel, bahwa upaya semacam itu akan sukses. Wangenheim berbagi keyakinan tersebut, dan dalam bentuk termodifikasi, Von der Goltz mungkin tau lebih banyak tentang pertahanan Dardanelles ketimbang orang lainnya, kala ia singgah selama bertahun-tahun menjadi instruktur militer Turki. Aku menemukan dalam buku harianku, wacana Von der Goltz pada masa itu, seperti yang dilaporkan kepadaku oleh Wangenheim, dan aku mengutipnya seperti yang tertulis pada masa itu: "Meskipun ia menganggapnya nyaris mustahil untuk menyerang Dardanelles, jika Inggris menganggapnya pergerakan penting dari perang umum, kami dapat, dengan mengorbankan sepuluh kapal, mengerahkan penyerbuan, dan melakukannya sangat cepat, dan merebut Marmora dalam sepuluh jam dari waktu kami mengerahkannya."
Pada hari kala Wangenheim memberikanku wacana Von der Goltz, ia membujukku untuk menyetor beberapa kasus berharganya ke Kedubes Amerika. Buktinya, ia membuat persiapan untuk kepergiannya sendiri.
Membaca laporan Cromer tentang bombardemen Dardanelles, aku menemukan bahwa Laksamana Sir John Fisher, kala itu Kepala Kelautan Tingkat Satu, memberikan harga kesuksesan sejumlah dua belas kapal. Buktinya, Von der Goltz dan Fisher tak secara material membedakan perkiraan mereka.
Kala rumor awal bombardemen sekutu mencapai kami, situasi Turki benar-benar tegang. Di segala sisi, terdapat bukti ketakutan dak kepanikan yang tak hanya mengancam masyarakat, namun kelas-kelas resmi. Malapetaka dari segala sudut nampak mendekati negara tersebut. Menjelang 1 Januari 1915, Turki tak melakukan pembenaran keterlibatannya dalam perang. Sebaliknya, negara tersebut mendatangi kekalahan di tempat manapun. Seperti yangt tercatat, Djemal meninggalkan Konstantinopel dalam rangka menjadi "Penakluk Mesir," namun ekspedisinya mengalami kegagalan berdarah dan hina. Upaya Enver untuk merebut Kaukasus dari kekuasaan Rusia menimbulkan bencana militer yang sangat riskan. Ia menghiraukan nasehat Jerman, untuk membiarkan Rusia maju ke Sivas dan menguasainya, dan, sebagai gantinya, ia sangat berupaya untuk merebut wilayah Rusia di Kaukasus. Pasukan ini dikalahkan di setiap titik, namun pengerahan militer tak mengakhiri penderitaannya. Turki memiliki jasa sanitasi dan pengobatan paling menonjol. Tipus dan disentri menyerang seluruh kamp, 100.000 orang tewas akibat penyakit-penyakit tersebut. Cerita yang menghentakkan berdatangan, menceritakan penderitaan-penderitaan para prajurit tersebut. Inggris juga diketahui bersiap untuk menginvasi Mesopotamia, dan tak ada pihak pada masa itu yang memiliki alasan apapun untuk meyakini bahwa ini tak akan sukses. Setiap hari, Turki mendapatkan kabar bahwa Bulgaria mendeklarasikan perang dan berkirab ke Konstantinopel, dan kami mengetahui bahwa serangan semacam itu perlu melewati Rumania dan Yunani. Ini bukanlah rahasia diplomatik bahwa Italia hanya menunggu kedatangan cuaca hanya untuk bergabung dengan Sekutu. Pada kesempatan ini, armada Rusia membombardir Trebizond, di Laut Hitam, dan setiap hari diperkirakan memasuki Bosphorus. Sementara itu, keadaan dalam negeri dihiraukan: lebih dari ribuan penduduk Turki sekarat akibat kelaparan setiap hari, setiap pria bertubuh layak ditempatkan dalam ketentaraan, sehingga hanya sedikit yang tinggal di ladang; rekuisisi kriminal nyaris menghancurkan seluruh usaha; harta benda berada dalam keadaan paling kewalahan ketimbang biasanya, karena penutupan Dardanelles dan blokade pelabuhan-pelabuhan Laut Tengah menghentikan seluruh impor dan pemberian bea cukai; dan peningkatan orang yang nampak ingin melawan Taalat dan para rekannya. Dan kini, dikelilingi oleh peningkatan ketegangan di setiap pihak, Turki menganggap bahwa ini mungkin cara Inggris dan sekutunya untuk menghancurkan pertahanan dan merebut kota tersebut. Pada masa itu, tak ada pasukan yang ditakuti Turki sebesar ketakutan mereka terhadap armada Inggris. Tradisinya sepanjang berabad-abad dari kemenangan tanpa campur tangan sepenuhnya melekangkan khayalan mereka. Mereka memamndang mereka sebagai manusia super—sosok yang memiliki kekuatan lebih yang tak diharapkan untuk menyainginya. Wangenheim dan juga nyaris seluruh pasukan militer dan AL Jerman tak hanya menganggap penyerangan Dardanelles memungkinkan, namun mereka meyakininya tak terhindarkan. Kemungkinan keberhasilan Inggris adalah salah satu topik diskusi paling familiar, dan bobot wacana tersebut, baik awam dan profesional, cenderung mendukung armada Sekutu. Talaat berujar kepadaku bahwa upaya untuk menyerang selat tersebut akan berhasil—ini hanya tergantung pada kehendak Inggris untuk mengorbankan beberapa kapal. Alasan sebenarnya kenapa Turki mengirim pasukan melawan Mesir, tambah Talaat, adalah untuk menghindarkan Inggris dari membuat serangan ke semenanjung Gallipoli. Keadaan pikiran yang ada ditunjukkan oleh fakta bahwa, pada 1 Januari, Pemerintah Turki mempersiapkan dua kereta, yang satu untuk membawa Sultan dan bawahannya ke Asia Kecil, sementara yang lainnya ditujukan untuk Wangenheim, Pallavicini, dan anggota lain dari korps diplomatik. Pada 2 Januari, aku berbincang dengan Pallavicini. Ia menunjukkanku sertifikat yang diberikan kepadanya oleh Bedri, Prefek Kepolisian, memberikannya dan para jurutulis dan pelayannya dengan salah satu kereta darurat tersebut. Ia juga memiliki tiket kursi untuk dirinya sendiri dan seluruh bawahannya. Ia berujar bahwa setiap kereta hanya terdiri dari tiga gerbong, sehingga kereta tersebut dapat membuat kecepatan yang besar. Ia berkata agar setiap hal disiapkan pada jam yang ditentukan. Wangenheim membuat upaya kecil untuk meredam kekhawatirannya. Ia berujar kepadaku bahwa ia membuat seluruh persiapan untuk mengirim istrinya ke Berlin, dan ia mengundang Nyonya Morgenthau untuk mendampingi istrinya, agar ia juga dapat lepas dari zona bahaya. Wangenheim menunjukkan rasa takut, yang kala itu menonjol, bahwa bombardemen sukses akan berujung pada penembakan dan pembantaian di Konstantinopel serta belahan Turki lainnya. Dalam antisipasi gangguan semacam itu, ia membuat saran khas. Ia beruajr, seharusnya armada tersebut melewati Dardanelles agar tak ada orang Inggris di Turki yang akan selamat—mereka semua akan dibantai. Karena ini sangat sulit untuk menyebut orang Inggris dari Amerika, ia mengusulkan agar aku harus memberikan kancing khas kepada orang-orang Amerika untuk dikenakan, yang akan melindungi mereka dari kekerasan Turki. Kala aku menyatakan tujuan sebenarnya Wangenheim untuk menghimpun beberapa hal yang mengidentifikasikan orang Inggris dan diberi perlakuan buruk oleh Turki, aku enggan mengabulkan saran tersebut.
Insiden lainnya menggambarkan ketegangan yang mengkhawatirkan yang timbul pada hari-hari Januari tersebut. Aku menyatakan bahwa beberapa pembidik di Kedubes Inggris dikerahkan, sehingga Nyonya Morgenthau dan aku datang untuk menyelidiki. Pada hari-hari awal, mereka menyegel gedung tersebut, yang ditinggalkan dalam penugasanku, dan ini adalah pertama kalinya kami membongkar segel tersebut untuk masuk. Sekitar dua jam setelah kami kembali dari perjalanan pemerkisaan, Wangenheim datang ke kantorku dengan perasaan yang kini aku rasa familiar. Ia berujar bahwa Nyonya Morgenthau dan aku dilaporkan telah datang ke Kedubes tersebut untuk bersiap untuk memberikannya kepada Laksamana Inggris, yang berharap untuk merebut wilayah!
Semua ini nampak sedikit rancu sekarang, karena pada kenyataannya, armada Sekutu tak melakukan serangan pada masa itu. Pada kesempatan tersebut kala seluruh Konstantinopel sangat menunggui kapal-kapal tempur Inggris, Kabinet Inggris di London mengakui pergerakan usaha semacam itu. Catatan menunjukkan bahwa Petrograd, pada 2 Januari, menghubungi Pemerintah Inggris, bertanya bahwa beberapa bentuk unjuk rasa dibuat melawan orang-orang Turki, yang menekan pasukan Rusia di Kaukasus. Meskipun jawaban yang diajukan langsung dikirim sesuai permintaan tersebut, tak sampai 28 Januari, Kabinet Inggris mengeluarkan perintah untuk menyerang Dardanelles. Ini tak lagi rahasia yang tak meyakinkan dalam mensukseskan perebutan semacam itu. Laksamana Carden mencatat keyakinannya bahwa selat tersebut "tak dapat diusik, namun operasi meluas dengan jumlah kapal besar dapat mensukseskannya." Ia menambahkan, hukuman atas kegagalan akan menjadi kehilangan besar yang akan diderita Inggris dalam pencapaian dan pengaruh di dunia Timur. Cara membenarkan nubuat ini membuatku harus memiliki kesempatan untuk menyorotinya. Sampai masa itu, salah satu operasi AL fundamental dan umum diterima adalah bahwa kapal-kapal perang tak seharusnya berniat untuk menyerang perbentengan darat. Namun, Jerman telah menunjukkan kekuatan meriam-meriam bergerak melawan benteng-benteng dalam penghancuran penempatan mereka di Liége dan Namur, serta terdapat keyakinan pada beberapa kalangan Inggris bahwa kejadian tersebut memodifikasi prinsip AL tersebut. Tuan Churchill, yang pada masa itu menjadi kepala AL, memegang keyakinan besar dalam kekuatan penghancuran dari kapal tempur besar baru yang telah dirampungkan—Queen Elizabeth—dan yang kala itu sedang dalam perjalanannya untuk bergabung dengan armada Laut Tengah.
Kami di Konstantinopel tak mengetahui soal pergerakan tersebut kala itu, namun hasilnya menjadi nampak pada paruh akhir Februari. Pada siang tanggal sembilan belas, Pallavicini, Dubes Austria, mendatangiku dengan kabar-kabar penting. Marquis tersebut adalah sosok bermartabat pribadi yang besar, sehingga nampak bahwa ia kini sangat gugup, dan bahkan, ia tak sanggup untuk menyembunyikan ketakutannya. Ia berujar, armada Sekutu membuka lagi serangan mereka ke Dardanelles, dan kali ini bombardemen mereka sangat ganas. Pada jam tersebut, hal-hal menjadi buruk bagi Austria; Rusia bergerak maju bergemilang kemenangan; Serbia menyerbu garis depan Austria, dan pers Eropa diisi dengan perpecahan Kekaisaran Austria. Sikap Pallavicini pada siang itu menjadi perwujudan sempurna dari bahaya yang kala itu dialami negaranya. Ia adalah sosok yang sensitif berkebanggaan. Kebanggaan akan kaisarnya dan kebanggaan akan apa yang ia pandang sebagai Kekaisaran Austria-Hongaria besar; dan ia kini nampak sangat terbebani oleh kekhawatiran akan penyerbuan Hapsburg, yang telah bertahan dari serangan selama berabad-abad, dengan cepat diambang keruntuhan. Seperti kebanyakan orang lainnya, Pallavicini bersimpati; ia tak menerima apapun dari Wangenheim, yang menempatkannya dalam keyakinannya dan konsisten memperlakukannya sebagai perwakilan negara yang pada dasarnya diajukan untuk berada di bawah kepemimpinan Jerman. Mungkin itu alasan kenapa Dubes Austria menunjukkan kemalangan hatinya padaku. Dan kini, bombardemen Sekutu terhadap Dardanelles menjadi puncak dari seluruh ketegangannya. Kala itu, Blok Tengah meyakini bahwa mereka meredam Rusia; agar mereka menyegel Dardanelles, dan agar negara tersebut dapat merebut gandum untuk dipasarkan maupun mengimpor munisi yang dibutuhkan untuk dibawa saat perang. Sehingga Jerman dan Austria, memiliki kekuatan terhadap musuh raksasa mereka, dan, jika kondisi tersebut dapat tak terelakkan, keruntuhan Rusia akan tak terhindarkan. Pada saat itu, adalah benar, pasukan Czar membuat kampanye kemenangan, dan kejadian itu sendiri memperingatkan Austria; namun suplai bahan peran mereka saat ini akan membuat kewalahan dan kemudian superioritas besar mereka dalam pasukan akan sedikit membantu mereka dan mereka akan secara tak terhindarkan bergerak terpencar. Namun kala Rusia merebut Konstantinopel, dengan kendali atas Dardanelles dan Bosphorus, negara tersebut dapat mengerahkan seluruh munisi yang dibutuhkan untuk perang pada skala terbesar, dan kekalahan Blok Tengah tak lama lagi dapat menyusul; dan kekalahan semacam itu, Pallavicini sangat mengerti, akan jauh lebih serius bagi Rusia ketimbang bagi Jerman. Wangenheim berujar kepadaku bahwa ini adalah rencana Jerman, dalam kasus perpecahan Kekaisaran Austria-Hungaria, untuk memasukkan 12.000.000 orang Jerman di domain Hohenzollen, dan Pallavicini, sebetulnya, familiar dengan bahaya tersebut. Serangan Sekutu ke Dardanelles membuat Pallavicini mengartikannya sebagai kepunahan atas negaranya, karena jika kami benar-benar memahami keadaaan pikirannya, kami harus mengingat bahwa ia percaya, seperti halnya nyaris seluruh sosok penting lain di Konstantinopel, bahwa serangan semacam itu akan berhasil.
Keberadaan Wangenheim membuat keuburukan pada dakwaan menggentayangi yang sama. Kala aku siap menunjukkannya, kemunculan Rusia nyaris secara khusus merupakan penampilan Dubes Jerman. Ia membawa Goeben dan the Breslau ke Konstantinopel, dan lewat pergerakan ini telah mengikutsertakan Turki dalam perang. Pengerahan selat tersebut akan memiliki arti melebihi transformasi Rusia menjadi partisipan permanen dan berkuasa dalam perang tersebut. Itu artinya—dan ini bukan lewat pengartian ketonjolan yang tak berpengaruh dengan Wangenheim—tak menggerakkan pengabdian pribadi besar. Sehingga, Wangenheim menunjukkan keprihatinannya secara sangat berbeda dari Pallavicini. Dalam gaya Jerman yang sebenarnya, ia menggunakan ancaman dan keberanian. ia tak memberikan isyarat tekanan luar, namun seluruh raganya diliputi amarah. Ia tak memperdulikan nasibnya. Ia melihat dengan cara-cara menyerang balik. Ia duduk di kantornya, merokok dengan tenaga lazimnya, dan memberitahuku seluruh hal mengerikan yang ia usulkan untuk dilakukan kepada musuhnya. Hal yang utamanya memangsa pikiran Wangenheim adalah posisi menonjol Kedubes Jerman. Tempat tersebut berada di atas bukit yang tinggi, salah satu gedung paling menonjol di kota tersebut, sebuah target sempurna bagi pengerahan laksamana Inggris. Nyaris merupakan obyek pertama yang terlihat oleh armada Inggris, kala mereka memasuki pelabuhan, berupa monumen kuning Hohenzollens, dan godaan tak tertahankan untuk merebutnya.
"Silahkan mereka menghancurkan Kedubesku!" ujar Wangenheim. "Aku mengembil tindakan terhadap mereka! Jika mereka menembaki satu tembakan kesini, kami ledakkan kedubes Prancis dan Inggris! Pergilah untuk menyatakan kepada Laksamana bahwa, tak maukah kau? Bilang kepadanya juga bahwa kami memiliki dinamit yang sepenuhnya siap untuk digunakan!"
Wangenheim juga menunjukkan kecemasan besar atas usulan pemindahan pemerintah ke Eski-Shehr. Pada awal Januari, kala setiap orang tertarik atas kedatangan armada Sekutu, persiapan dibuat untuk memindahkan Pemerintah ke Asia Kecil; dan kini, pada pengerahan meriam Inggris dan Prancis pertama, kereta-kereta khusus disiapkan sekali lagi, Wangenheim dan Pallavicini sama-sama berujar kepadaku bahwa mereka tak berkehendak untuk menemani Sultan dan Pemerintah ke Asia Kecil. Kala Sekutu merebut Konstantinopel, para dubes Blok Tengah mendapati diri mereka sendiri terputus dari negara-negara asal mereka dan sepenuhnya berada di tangan Turki. "Turki dapat memegang kami sebagai sandera," ujar Wangenheim. Mereka mendorong agar Talaat mendirikan pemerintahan darurat di Adrianopolis, kota tempat mereka dapat sambangi di dalam dan luar Konstantinopel. Kala kota tersebut direbut, mereka dapat melakukan pelarian ke kampung halaman. Di sisi lain, Turki enggan mengadopsi saran tersebut karena mereka mengkhawatirkan serangan dari Bulgaria. Wangenheim dan Pallavicini kini mendapati diri mereka sendiri berada di antara dua marabahaya. Jika mereka tetap di Konstantinopel, mereka dapat dijadikan tahanan oleh Inggris dan Prancis. Di sisi lain, jika mereka pergi ke Eski-Shehr, mereka akan menjadi tahanan Turki. Banyak bukti mendasar yang menjelaskan aliansi Jerman-Turki datang kepada perhatianku, namun ini nyaris sangat menjelaskan. Seperti setiap orang lainnya, Wangenheim memahami bahwa, dalam kasus Prancis dan Inggris merebut Konstantinopel, Turki akan mengerahkan pasukan merretak tak hanya melawan Entente, namun melawan Jerman yang menjerumuskan mereka dalam perang.
Itu semuany nampak sangat aneh sekarang. Dakwaan ini yang dikedepankan dalam pikiran setiap orang pada masa itu—bahwa keberhasilan armada Sekutu melawan Dardanelles tak dapat terhindarkan dan bahwa perebutan Konstantinopel hanyalah persoalan selama beberapa hari. Aku menyerukan kembali diskusi dilakukan di Kedubes Amerika pada siang 24 Februari. Acara tersebut merupakan penyambutan mingguan Nyonya Morgenthau—pertemuan yang nyaris hanya menghiasi kesempatan dalam hari-hari itu untuk pengumpulan para diplomat. Biasanya, semuanya hadir pada siang hari. Bombardemen besar pertama Dardanelles dilakuakn lima hari sebelumnya. Ini artinya menghancurkan perbentengan di muara selat. Hanya ada satu tema diskusi; Akankah armada Sekutu merebutnya? Apa yang terjadi jika mereka melakukannya? Setiap orang menyatakan pendapat, Wangenheim, Pallavicini, Garroni, Dubes Italia; D'Anckarsvard, Perwakilan Swedia; Koloucheff, Perwakilan Bulgaria; Kühlmann; dan Scharfenberg, Sekretaris Pertama Kedubes Jerman, dan ini merupakan pendapat bersama bahwa serangan Sekutu akan berhasil. Aku tentunya mengingat sikap Kühlmann. Ia membahas perebutan Konstantinopel nyaris melalui beberapa hal yang disiapkan. Dubes Persia menunjukkan kekhawatiran besar. Kedubesnya berada tak jauh dari Sublime Porte. Ia berujar kepadaku bahwa ia khawatir gedungnya akan dibombardir dan bahwa beberapa tembakan dapat dengan mudah ditembakkan ke kediamannya sendiri, dan ia bertanya apakah ia dapat memindahkan arsip-arsipnya ke Kedubes Amerika. Rumor terliar berkembang. Mereka berujar bahwa agen Standard Oil di Dardanelles telah menghitung tujuh belas kendaraan yang dikerahkan dengan pasukan; bahwa kapal-kapal perang telah siap menambak 800 tembakan dan menaiki seluruh perbukitan di jalan masuk; dan bahwa pengawal Talaat telah ditembak—implikasi bahwa rudal menghilangkan korban yang ditujukannya. Seluruh masyarakat Turki dikatakan tersulut dengan kekhawatiran bahwa Inggris dan Prancis, kala mereka mencapai kota, akan mengadakan acara dengan serangan sepenuhnya terhadap wanita Turki. Sebetulnya, laporan-laporan tersebut bersifat rancu. Itu merupakan rumor khas yang dimajukan oleh Jerman dan rekan Turki mereka. Fakta bahwa itu merupakan massa besar rakyat di Konstantinopel mungkin mengumpan bahwa serangan Sekutu akan sukses dan sehingga membebaskan mereka dari pengendalian kelompok politik yang kala itu memerintah negara tersebut.
Dan dalam seluruh kehebohan ini, terdapat seorang sosok penyendiri dan putus asa—itu adalah Talaat. Kala aku meliriknya pada hari-hari kritis tersebut, ia menjadi citra kesedihan dan kekalahan. Seperti kebanyakan orang primitif, Turki meluapkan emosi mereka di permukaan, dan dengan mereka transisi dari kegembiraan menjadi keputusasaan terjadi dengan cepat. Gemuruh meriam Inggris di selat nampak terdengar keras pada Talaat. Pembawa pesan Adrianopolis nampak mencapai akhir karirnya. Ia kembali berujar kepadaku soal keinginannya agar Inggris akan merebut ibukota Turki, dan ia kembali berkata bahwa ia meminta maaf soal keterlibatan Turki dalam perang. Talaat sangat mengetahui apa yang terjadi kala armada Sekutu memasuki Laut Marmora. menurut laporan Komisi Cromer Commission, Lord Kitchener, dalam mengabdi kepada ekspedisi angkatan laut, telah menimbulkan revolusi di Turki untuk membuat usaha yang sukses. Lord Kitchener banyak dikritik karena keterlibatannya dalam serangan Dardanelles. Namun aku menyimpannya pada ingatanku yang berujar pada pada masa itu ia benar-benar melakukan hal yang betul. Kala armada Sekutu sekalinya melewati pertahanan di selatan, pemerintahan Turki Muda akan berujung berdarah. Kemudian meriam-meriam mulai ditembakkan, plakat-plakat muncul di timbunan, mengecam Talaat dan para rekannya sebagai pihak yang bertanggung jawab atas segala keburukan yang telah menimpa Turki. Bedri, Prefek Polisi, sibuk mengumpulkan seluruh pria muda pengangguran dan mengirim mereka ke kota tersebut. Tujuannya adalah untuk membebaskan Konstantinopel dari semua pihak yang dapat memulai revolusi melawan Turki Muda. Laporan umum menyatakan bahwa Bedri mengkhawatirkan revolusi tersebut melebihi kekhawatirannya terhadap armada Inggris. Dan ini merupakan marabahaya yang sama yang setiap kesempatan kini menimpa Talaat.
Sebuah peristiwa tunggal menggambarkan perasaan khawatir yang timbul. Dr. Lederer, koresponden Berliner Tageblatt, melakukan kunjungan singkat ke Dardanelles, dan, kala pulang, melaporkan bahwa wanita-wanita tertentu dari kalangan diplomatik menyatakan bahwa para pejabat Jerman berujar kepadanya bahwa mereka mengenakan kain kafan mereka, karena mereka berharap beberapa menit untuk dikebumikan disana. Pernyataan tersebut menyebar ke seluruh kota layaknya kebakaran liar, dan Dr. Lederer diancam akan ditangkap karena menyatakannya. Ia menghadap kepadaku untuk pertolongan. Aku menyerahkannya kepada Wangenheim, yang enggan melakukan hal apapun yang sesuai dengannya. Ia berujar, Lederer adalah warga Austria, walaupun ia mewakili koran Jerman. Kemurkaannya kepada Lederer karena pelaporan tersebut menjadi ekstrim. Namun aku akhirnya berhasil menempatkan wartawan tak populer tersebut ke Kedubes Austria, di tempat ia berlabuh pada malam hari. Dalam beberapa hari, Lederer meninggalkan kota.
Di tengah-tengah seluruh kekhawatiran ini, nampak ada satu orang yang ttak sepenuhnya terganggu. Kala para dubes, jenderal dan politikus dan mengantisipasi keadaan terburuk, suara Enver mententramkan dan tenang. Kejantanan dan jiwa yang benar-benar berani dari sosok tersebut tak pernah timbul sebaik ini. Pada akhir Desember dan Januar, kala kota tersebut mengalami kerusakan pertamanya akibat bombardemen, Enver berjuang melawan Rusia di Kaukasus. Seperti yang disebutkan, pengalamannya dalam kampanye tersebut telah jauh dari kegemilangan. Enver meninggalkan late December Konstantinopel pada bulan November untuk bergabung dengan pasukannya, seorang penakluk tangguh; ia kembali, pada paruh akhir Januari, selaku penglima yang terpukul dan kehilangan moral. Pengalaman mengguncang semacam itu nyaris meruntuhkan pemimpin militer lain, dan bahwa Enver merasa pengerahannya benar0benar terbukti dari cara yang ia tunjukkan sendiri dari pandangan masyarakat. Usai ia kembali, aku mendapatkan isyarat pertamaku darinya untuk memberikan dana Bulan Sabit Merah. pada perkara ini, Enver berdiri di belakang sebuah kota, meskipun ia berniat untuk memungkinkannya terlihat. Ia nampak tenang kala ia tak menentu sebagaimana penyambutannya oleh masyarakat. Seluruh sosok penting di Konstantinopel, Putra Mahkota, anggota kabinet, dan dubes menghadiri acara ini, dan, sesuai dengan kebiasaan lazim, Putra Mahkota mengirim para perwakilan, satu per satu, untuk beberapa kata penyambutan dan selamat. Setelah itu, kunjungan dari kotak ke kotak menjadi umum. Pewaris takhta dikirim ke Enver serta sosok lainnya, dan pengakuan ini benar-benar memberikannya dorongan baru, karena ia mulai akrab dengan para diplomat, yang juga memperlakukannya dengan sangat akrab dan hormat. Enver nampak menganggap sikap menyenangkan tersebut sebagai pembentukan ulang pendiriannya, dan kini sekali lagi ia menyatakan bagian utama dalam krisis. Beberapa hari setelah itu, ia membahas situasi tersebut denganku. Ia berujar bahwa ia sangat mengkhawatirkan ketakutan yang umum terjadi, dan ia bersiap untuk membawa pergi Sultan dan Pemerintah dan meninggalkan kota tersebut di tangan Inggris. Ia tak yakin bahwa armada Sekutu dapat menyerbu Dardanelles. Ia kini memeriksa seluruh benteng dan ia memiliki setiap kepercayaan diri dalam kemampuan mereka dalam mendapatkan lagi kesuksesan. Bahkan meskipun kapal-kapal dikherakan, ia menganggap bahwa Konstantinopel harus dipertahankan sampai pasukan terakhir.
Sehingga, bantuan Enver tak memuluskan para rekannya. Mereka membuat seluruh pengerahan mereka terhadap armada Inggris. Jika, dalam membagi sikap paling heroik yang dapat dilakukan oleh Turki, ini masih nampak seperti bahwa Sekutu nyaris merebut kota tersebut, kekuatan pemerintahan menyiapkan semua rencana terakhir mereka. Mereka berencana untuk melakukannya kepada ibukota besar tersebut seperti halnya yang Rusia lakukan terhadap Moskwa, kala Napoleon nyaris menghampirinya.
"Mereak tak akan pernah merebut kota yang ada," ujar mereka kepadaku, "hanya tumpukan abu." Pada kenyataannya, ini bukanlah ancaman berarti. Aku berujar bahwa kaleng-kaleng bahan bakar telah siap disetor ke seluruh kantor polisi dan tempat lain, siap untuk membakar kota tersebut pada suatu kesempatan. Karena Konstantinopel memiliki banyak bangunan berbahan kayu, ini tak akan menjadi tugas yang sangat sulit. Namun mereka memutuskan untuk menghancurkan lebih dari struktur temporer tersebut. Rencana ditujukan terhadap monumen arsitektural indah yang dibangun oleh orang-orang Kristen lama sebelum pendudukan Turki. Turki utamnya memutuskan untuk mendinamit Masjid Aya Sofya. Bangunan tersebut, yang telah menjadi gereja Kristen selama berabad-abad sebelumnya menjadi masjid Islam, adalah salah satu bangunan paling penting di Kekaisaran Bizantium. Biasanya, nasehat tindak vandalisme semavam itu berkembang pada kita semua, dan aku membuat permohonan kepada Talaat agar Aya Sofya harus dikecualikan. Ia memperlakukan usulan penghancuran dengan ringan.
"Tidak ada dari enam orang dalam Komite Persatuan dan Kemajuan," ia berujar kepadaku, "yang peduli terhadap segala hal yang lama. Kami semua suka hal-hal baru!"
Itu semua adalah pengorbanan yang aku terima dalam persoalan ini pada masa itu.
Desakan Enver agar Dardanelles dapat menyebabkan rekan-rekannya kehilangan kepercayaan dalam keputusannya. Sekitar setahun setelahnya, Bedri Bey, Prefek Kepolisian, memberikanku penjelasan tambahan. Kala Enver masih berada di Kaukasus, Bedri berujar, Talaat telah mengadakan konferensi, sejenis dewan perang, di Dardanelles. Acara tersebut dihadiri oleh Liman von Sanders, jenderal Jerman yang menghimpun kembali tentara Turki. Dalam pemakaiannya, laksamana Jerman yang menjadi jenderal pertahanan pesisir Utsmaniyah, Bronssart, Kepala Staf Jerman dari angkatan bersenjata Turki, dan beberapa orang lainnya. Setiap orang yang hadir memberikannya opini bahwa armada Inggris dan Prancis dapat menyerbut selat. Satu-satunya bahan sengketa, ujar Bedri, adalah apakah mereka akan mengambil kapal-kapal selama delapan atau dua puluh jam menuju Konstantinopel usai mereka menghancurkan pertahanan. Posisi Enver sangat dimengerti, namun dewan tersebut memutuskan untuk menghiraukannya dan membuat persiapan tanpa sepengetahuannya—untuk menyingkirkan Menteri Perang, setidaknya secara sementara, dari keputusan mereka.
Pada awal Maret, Bedri dan Djambolat, yang menjadi Direktur Keamanan Masyarakat, datang untuk menghimpiriku. Pada waktu itu, eksodus dari ibukota dimulai. Wanita dan anak-anak Turki pindah ke wilayah dalam. Seluruh tepi dipakai untuk mengirim emas mereka ke Asia Kecil. Arsip-arsip Sublime Porte siap untuk dibawa ke Eski-Shehr; dan tentunya seluruh dubes dan bawahan mereka, serta kebanyakan pejabat pemerintah, melakukan persiapan untuk pergi. Direktur Museum, yang merupakan salah saru dari enam orang Turki yang Talaat sebut "menggemari hal-hal lama" telah mengubur banyak karya seni terbaik di Konstantinopel pada gudang bawah tanah atau menutupinya untuk perlindungan. Bedri datang untuk menyatakan penjelasan kepergiannya. Sebagai dubes, aku sendiri dipercayakan kepada Sultan, dan pihaknya akan memberikan tugasku, ujar Bedri, untuk pergi ke tempat Sultan berada. Seluruh kereta siap, inmbuhnya. Ia berharap untuk mengetahui berapa banyak orang yang aku putuskan untuk dibawa, sehingga ruang yang layak dapat disiapkan. Untuk proposal ini, aku menemui penolakan datar. Aku memberitahu Bedri bahwa aku berpikir bahwa pertanggungjawabanku membuatnyak membutuhkanku untuk tetap di Konstantinopel. Hanya dubes netral, ujarku, yang dapat terhindar dari pembantaian dan penghancuran kota, dan tentunya aku berhutang pada dunia beradab untuk mencegahnya, jika aku dapat, pada kejadian semacam itu. Jika jabatanku sebagai Dubes membuatnya tak memungkinkan agar aku harus menyusul Sultan, aku akan mengundurkan diri dan menjadi Konjen kehormatan.
Bedri dan Djambolat merupakan sosok yang sangat muda dan kurang berpengalaman ketimbang aku, dan sehingga aku berujar kepada mereka agar mereka membutuhkan sosok yang lebih dewasa untuk menasehati mereka dalam krisis internasional dari jenis ini. Aku tak hanya berkepentingan dalam melindungi warga asing dan lembaga Amerika, namun aku juga memahami, atas dasar kemanusiaan umum, dalam menjaga masyarakat Turki dari hal berlebihan yang umum diharapkan. Kebanyakan kewarganegaraan, yang banyak dari mereka dapat berpeluang menjadi korban penjarahan dan pembantaian, menyebabkan keruwetan besar. Sehingga, aku mengusulkan kepada Bedri dan Djambolat agar tiga dari mereka membentuk jenis komite untuk mengambil kendali dalam krisis tersebut.
Mereka menolak dan ketiganya duduk dan memutuskan penindakan. Mereka menjabarkan peta Konstantinopel dan menandai distrik-distrik yang, di bawah aturan perang yang ada, mereka sepakat agar armada Sekutu akan diberi hak untuk membombardir. Sehingga mereka memutuskan agar Jawatan Perang, Jawatan Kelautan, kantor-kantor telegraf, stasiun-stasiun kereta api, dan seluruh bangunan publik dapat disahkan dengan cepat menjadi target-target meriam mereka. Kemudian, mereka menandai zona-zona tertentu yang mereka dapat menganggapnya kebal. Bagian kediaman utama, dan bagian di tempat seluruh kedubes berada, adalah Pera, distrik di pantai utara Tanduk Emas. Disini, mereka tak ditandai sebagai target serangan. Mereka juga tak membatasi wilayah kediaman tertentu Stamboul dan Galata, bagian-bagian Turki. Aku menghubungi Washington, menanyai Kemenlu untuk memberikan ratifikasi rencana tersebut dan perjanjian untuk menghormati zona keamanan dari pemerintah Inggris dan Prancis. Aku menerima jawaban yang menyepakati tindakanku.
Seluruh persiapan kemudian telah dibuat. Di stasiun, berjejer kereta-kereta yang membawa Sultan dan Pemerintah dan para dubes ke Asia Kecil. Kereta-kereta tersebut telah berangkat, bersiap untuk bergerak dalam semenit. Mereka semua menunggu kedatangan armada Sekutu.