BAB III

"PERWAKILAN PRIBADI KAISER"— WANGENHAIM MENENTANG PENJUALAN KAPAL-KAPAL PERANG AMERIKA KEPADA YUNANI

Pada Maret 1914, Jerman memegang erat cengkeraman mereka terhadap Turki. Datang pada Desember, Liman von Sanders menjadi pengaruh penting dalam angkatan bersenjata Turki. Mula-mula penunjukan Von Sanders tak mengembangkan pergesekan menonjol, karena misi-misi Jerman diserukan untuk melatih angkatan bersenjata Turki, terutama Von der Goltz, dan misi angkatan laut Inggris, yang dikepalai oleh Laksamana Limpus, yang ketika itu berada di Turki dalam mengupayakan tugas sulit merombak angkatan laut Turki. Namun, kami kemudian mendapati bahwa misi militer Von Sanders sangat berbeda dari orang-orang yang aku sebutkan. Bahkan sebelum kedatangan Von Sanders, ia dikabakrkan mengambil komando korps angkatan bersenjata Turki pertama, dan Jenderal Bronssart von Schnellendorf menjadi Kepala Staf. Penunjukan tersebut tidaklah menghasilkan apapun selain Kaiser nyaris merampungkan rencana-rencananya untuk menganeksasi angkatan bersenjata Turki untuk dirinya sendiri. Untuk menunjukan kekuatan yang diberikan kepada Von Sanders, hanya perlu berkata bahwa korps angkatan bersenjata pertama menguasai Konstantinopel. Perubahan tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa Enver Pasha telah menjadi roda gigi dalam sistem Prusia. Secara alamiah, para perwakilan Blok Entente tak dapat mentoleransi perampasan semacam itu oleh Jerman. Para Dubes Inggris, Prancis, dan Rusia langsung dipanggiul ke Wazir Agung dan memprotes dengan lebih hangat ketimbang santun terhadap pengangkatan Von Sanders. Kabinet Turki terjerembap dan terbawa seperti biasa, menyatakan bahwa perubahan tersebut tak penting, namun akhirnya menarik penunjukan Von Sanders sebagai korps angkatan bersenjata pertama, dan menjadikannya Inspektur Jenderal. Namun, ini tak benar-benar meredam situasi, karena jabatan tersebut memberikan kekuatan yang lebih besar kepada Von Sanders ketimbang jabatan yang dipegang olehnya pada masa sebelumnya. Pada Januari 1914, tujuh bulan sebelum Perang Besar dimulai, Jerman menghimpun posisi tersebut dalam angkatan bersenjata Turki: jenderal Jerman menjadi Kepala Staf; lainnya menjadi Inspektur Jenderal; sejumlah perwira Jerman memegang komando penting pertama, dan politikus Turki yang ketika itu menjadi jawara pembicara Jerman, Enver Pasha, menjadi Menteri Perang.

Setelah memegang kemenangan diplomatik tersebut, Wangenheim diberikan cuti—ia tentu menerimanya—dan Giers, Dubes Rusia, pulang dari cuti pada waktu yang sama. Baroness Wangenheim menjelaskan kepadaku—Aku menghiraukan seluruh persoalan diplomasi pada saat ini—yang menambahkan arti terhadap cuti tersebut. Ia berkata, ketiadaan Wangenheim menandakan bahwa Kantor Luar Negeri Jerman memandang masa penugasan Von Sanders sebagai penutupan—dan penutupan dengan kemenangan Jerman. Ia menjelaskan, cuti Giers menandakan bahwa Rusia kurang menerima sudut pandang ini dan bahwa, sepanjang perhatian Rusia, perkara Von Sanders tidaklah berakhir. Aku teringat saat menulis kepada keluargaku bahwa, dalam diplomasi Timur Dekat misterius tersebut, negara-negara berbincang satu sama lain dengan bertindak, bukan dengan kata-kata, dan aku mencontohkan penjelasan Baroness Wangenheim mengenai cuti diplomatik tersebut sebagai penekanan kasus.

Sebuah insiden yang terjadi di rumahku sendiri membuka seluruh mata kami tentang bagaimana Von Sanders benar-benar menggerakan misi militernya. Pada 18 Februari, aku mengadakan makan malam diplomatik pertamaku. Jenderal Von Sanders dan dua putrinya hadir, Jenderal duduk di sebalah putriku Ruth. Namun, putriku tak memiliki waktu yang sangat nyaman. Marsekal lapangan Jerman tersebut, yang duduk disana dengan seragam lengkap, dadanya berhias dengan medali-medali, sulit mengatakan sepatah kata pun sepanjang acara bersantap tersebut. Ia makan makanannya dengan diam dan cemberut, seluruh upaya putriku untuk berbincang jarang terjadi. Perilaku pemimpin militer besar tersebut menunjukan perilaku anak manja.

Pada akhir makan malam, Von Mutius, perwakilan Jerman, mendatangiku dalam keadaan yang sangat bersukacita. Selama beberapa waktu, ia dapat mengendalikan sikapnya untuk mengirimkan pesannya.

"Anda membuat kekeliruan yang mengerikan, Tuan Dubes," ujarnya.

"Apa itu?" tanyaku sambil berbalik.

"Anda sangat melayani Marsekal Lapangan Von Sanders. Anda menempatkannya pada makan malam lebih rendah peringkatnya ketimbang para menlu. Ia adalah perwakilan pribadi Kaiser dan karena itu berpangkat setara dengan para dubes. Ia seharusnya ditempatkan di atas para menteri kabinet dan menlu."

Sehingga, aku menyinggung Kaisar sendiri! Ketika itu, ini merupakan penjelasan dari perilaku kasar Von Sanders. Untungnya, posisiku tak tergoyahkan. Aku tak menghimpun ketentuan tempat duduk pada makan malam tersebut. Aku mengirim daftar tamuku kepada Marquis Pallavicini, Dubes Austria dan kepala korps diplomatik, dan otoritas terbesar di Konstantinopel pada titik yang disukai semacam itu. Marquis tersebut mengembalikan daftar tersebut, menandainya dengan tinta merah terhadap setiap nama urutan pembagian—1, 2, 3, 4, 5, dll. Aku masih menyimpan dokumen ini ketika aku datang dari Kedubes Austria, dan nama Jenderal Von Sanders muncul pada nomor "13" sebelumnya. Namun, aku harus akui bahwa "kursi ke-13" memberikannya keadaan yang baik pada kaki meja.

Aku menjelaskan keadaan tersebut kepada Von Mutius dan membujuk M. Panfili, petugas Kedubes Austria, yang menjadi tamu pada makan malam tersebut, datang dan memberikan segala hal kejelasan untuk diplomat Jerman pemarah tersebut. Ketika Austria dan Jerman adalah sekutu, penempatan tersebut sangat nampak tak intensional, jika penempatan tersebut dilakukan. Panfili berkata bahwa ia memecahkan pertanyaan soal posisi Von Sanders, dan memberikan pertanyaan tersebut kepada Marquis tersebut. Hasilnya adalah bahwa Dubes Austria sendiri menyepakati peringkat Von Sanders berada pada nomor 13. Namun Kedubes Jerman tak serta merta menyepakatinya, karena setelah itu Wangenheim berbicara pada Pallavicini, dan membahas materi dengan kesadaran menonjol.

"Jika Liman von Sanders mewakili Kaiser, siapa yang kamu wakili?" tanya Pallavicini kepada Wangenheim. Argumen tersebut terdengar bagus, karena dubes selalu dianggap sebagai alter ego kedaulatannya.

"Ini bukanlah kebiasaan," lanjut Marquis, "karena kaisar memiliki dua perwakilan dalam kekuasaan yang sama."

Ketika Marquis berkeras hati, Wangenheim membawa pertanyaan tersebut kepada Wazir Agung. Namun Saïd Halim enggan memegang tanggung jawab atas keputusan tersebut dan merujuk sengketa tersebut ke Dewan Menteri. Badan tersebut mempertimbangkan pertanyaan tersebut dan memberikan keputusan ini: Von Sanders harus berpangkat di atas menlu-menlu negara asing, namun di bawah para anggota Kabinet Turki. Kemudian, para menlu mengangkat suara mereka dalam bentuk protes. Von Sanders tak hanya menjadi sangat tak populer karena mengangkat pertanyaan tersebut, namun cara diktatorial dan otokrat yang ia lakukan mengembangkan ketidaksenangan umum. Para menteri menyatakan bahwa, jika Von Sanders memberikan landasan atas fungsi apapun dari jenis ini, mereka akan meninggalkan meja dalam sebuah badan. Hasil bersihnya adalah bahwa Von Sanders tak pernah lagi diundang ke acara makan malam diplomatik. Sir Louis Mallet, Dubes Inggris, memegang kepentingan sengit pada peristiwa tersebut. Ia berkata bahwa untungnya hal tersebut tak terjadi di Kedubesnya. Jika demikian, surat-surat kabar mencantumkan kolom-kolom soal hubungan merenggang antara Inggris dan Jerman!

Setelah semuanya, tindakan tersebut memiliki pengaruh internasional yang besar. Kesombongan pribadi Von Sanders membuatnya mengkhianati rahasia diplomatik. Ia tak menjadi ahli penggerak yang dikirim untuk mengarahkan angkatan bersenjata Turki. Ia menyatakan apa yang ia klaim—perwakilan pribadi Kaiser. Kaiser memilihnya, seperti halnya ia memilih Wangenheim, sebagai alat untuk mengerjakan kehendaknya di Turki. Setelah itu, Von Sanders berkata kepadaku, dengan seluruh kebanggaan yang tercurah pada para aristokrat Jerman ketika membicarakan pemimpin kekaisaran mereka, bagaimana Kaiser berbicara kepadanya selama dua jam sehari ia memilihnya untuk misi Konstantinopel tersebut, dan bagaimana, pada hari ketika mereka memulai, Wilhelm menjalani jam lain memberikan pengarahan terakhirnya. Aku melaporkan insiden makan malam ini ke pemerintahanku sebagai tanda pertumbuhan kebangkitan Jerman di Turki dan aku anggap dubes lain seperti yang dilaporkannya kepada pemerintah mereka. Atase militer Amerika, Mayor John R. M. Taylor, yang hadir, mengatributkan signifikansi paling menonjol tersebut kepadanya. Sebulan usai kejadian ia dan Kapten McCauley, yang mengkomandani Scorpion, pihak penugasan Amerika di Konstantinopel, mengadakan makan siang di Kairo dengan Lord Kitchener. Tempat makan siangnya berukuran kecil, hanya orang-orang Amerika, Lord Kitchener, saudarinya dan seorang bawahan yang mengadakan pesta tersebut. Mayor Taylor mengaitkan insiden tersebut, dan Kitchener menyimpan banyak kepentingan.

"Apa yang kau pikirkan penting?" tanya Kitchener.

"Aku memikirkannya penting," ujar Mayor Taylor, "bahwa ketika perang besar datang, Turki mungkin akan menjadi sekutu Jerman. Jika negara tersebut tak berada daalm aliansi langsung, aku pikir negara tersebut setidaknya akan maju ke garis Kaukasus dan sehingga menghadapi tiga korps angkatan bersenjata Rusia dari palagan operasi Eropa."

Kitchener memikirkan peristiwa tersebut dan kemudian berkata, "Aku sepakat denganmu."

Dan kini selama berbulan-bulan mereka menghadapkan mata mereka pada pergerakan angkatan bersenjata Turki yang sebetulnya berada di bawah kendali Jerman. Para perwira Jerman menggerakkan pasukan setiap hari—semuanya, aku kini sadar, dalam persiapan untuk perang yang mendekat. Tepat apa hasil yang menyertai nampak ketika, pada bulan Juli, terdapat peninjauan militer besar. Peristiwa tersebut merupakan perkara besar dan menonjol. Sultan menghadirinya. Ia duduk di bawah tenda yang kaya akan hiasan di tempat ia mengadakan pertemuan kecil, dan Khedive Mesir, Putra Mahkota Turki, para pangeran berdarah kekaisaran dan seluruh Kabinet juga hadir. Kami kini menyaksikan bahwa, dalam enam bulan sebelumnya, angkatan bersenjata Turki telah merampungkan Prusianisasi. Ketika pada Januari menjadi kurang disiplin, rakyat jelata compang-camping sekarang berparade dengan langkah angsa; pasukan tersebut berpakaian abu-abu lapangan Jerman, dan mereka bahkan mengenakan penutup kepala berbentuk casque, yang sangat mirip dengan pickelhaube Jerman. Para perwira Jerman sangat membanggakan penampilan tersebut, dan transformasi prajurit Turki sejak Januari menjadi pasukan berbusana rapi, melangkah pasti, bergerak manuver benar-benar menjadi pencapaian militer menonjol. Ketika Sultan mengundangku ke tendanya, aku menyambutnya atas kesempurnaan yang ditampilkan pasukannya. Ia tak banyak bersikap antusias. Ia berkata bahwa ia menyesali kemungkinan perang. Ia berhati pasifis. Aku menyatakan ketiadaan tertentu dari jasa Jerman besar ini, untuk para dubes Prancis, Inggris, Rusia, dan Italia telah angkat kaki. Bompard berkata bahwa ia menerima sepuluh tiket namun ia tak menganggapnya sebagai undangan. Wangenheim berujar kepadaku, dengan beberapa kepuasan, bahwa dubes lain merasa iri dan bahwa mereka tak peduli untuk melihat perjuangan yang dibuat oleh angkatan bersenjata Turki di bawah arahan Jerman. Aku tak memiliki pertanyaan menonjol soal para dubes yang enggan menghadirinya karena mereka tak ingin menyambut hari raya Jerman tersebut, meskipun aku tak menyalahkan mereka.

Sementara itu, aku memiliki bukti lain bahwa Jerman memainkan bagiannya dalam politik Turki. Pada Juni, hubungan antara Yunani dan Turki mencapai titik patah. Traktat London (30 Mei 1913) telah memberikan pulau-pulau Chios dan Mitylene kepada Yunani. Sebuah rujukan kepada peta menunjukkan pengaruh strategis pulau-pulau tersebut. Pulau-pulau tersebut berada di Laut Ægea layaknya para penjaga menjaga teluk dan pelabuhan besar Smyrna, dan sangat nampak bahwa negara militer kuat manapun yang secara permanen memegang titik-titik penting tersebut akan secara mutlak mengendalikan Smyrna dan seluruh pesisir Ægean dari Asia Kecil. Keadaan rasial membuat perebutan berlanjut atas pulau-pulau tersebut oleh Yunani akan bahaya militer mutlak Turki. Masyarakat mereka adalah orang Yunani dan Yunani telah ada sejak zaman Homer. Pesisir Asia Kecil sendiri juga terdiri dari orang-orang Yunani. lebih dari separuh penduduk Smyrna, pelabuhan Laut Tengah terbesar di Turki, adalah orang-orang Yunani. Dalam perindustrian, perdagangan dan budayanya, kota tersebut umumnya terdiri dari orang-orang Yunani yang orang Turki biasa sebut sebagai kafir Ismir—"kafir Smyrna." Meskipun penduduk Yunani tersebut berkebangsaan Utsmaniyah, mereka tak menyadari dampaknya bagi tanah air Yunani. Orang-orang Yunani Asiatik tersebut bahkan membuat kontribusi untuk mempromosikan kepentingan nasional Yunani. Pada kenyataannya, kepulauan Ægea dan daratan utamanya disebut Graecia Irredenta; dan Yunani memutuskan untuk merebutnya, seperti halnya negara tersebut merebut Kreta, tanpa kerahasiaan diplomatik. Karena yunani mendaratkan tentara di pantai Asia Kecil tersebut, terdapat sedikit pertanyaan bahwa penduduk Yunani asli akan menyambutnya secara antusias dan bekerjasama dengannya.

TALAAT PASHA, MANTAN WAZIR AGUNG TURKI
Pada 1914, ketika perang pecah, Talaat menjadi Mendagri dan pemimpin paling penting dalam Komite Persatuan dan Kemajuan, organisasi rahasia yang mengendalikan Kekaisaran Turki. Beberapa tahun lampau, Talaat merupakan pengantar surat, dan setelah itu operator telegraf di Adrianopel. Bakat-bakatnya menjadikannya pemimpin politik besar. Ia mewakili Turki dalam negosiasi-negosiasi damai dengan Rusia dan tanda tangannya tertera pada perjanjian Brest-Litovsk
INFANTERI DAN KAVALERI TURKI
Pada Januari 1914, Angkatan Bersenjata Turki merupakan pasukan yang kurang disiplin. Disokong oleh para instruktur militer Jerman, pasukan tersebut menampilkan hasil pelatihan enam bulan

Namun, sejak Jerman memiliki rencananya sendiri untuk Asia Kecil, Yunani di wilayah itu membentuk penghalang terhadap aspirasi Pan-Jerman. Sepanjang wilayahnya masih Yunani, wilayah tersebut membentuk rintangan alami kepada jalan Jerman menuju Teluk Persia, seperti yang dilakukan Serbia. Siapapun yang membaca sastra Pan-Jermania akan familiar dengan metode yang dipakai oleh para penerbit Jerman untuk bersepakat dengan masyarakat yang berpihak pada langkah Jerman. Ini dilakukan lewat deportasi. Peralihan paksa seluruh penduduk dari satu bagian Eropa ke bagian lainnya, seperti mereka menggiring segerombolan sapi, yang selama bertahun-tahun menjadi bagian dari rencana Kaiser untuk ekspansi Jerman. Semenjak perang dimulai, ini adalah perlakuan yang ia terapkan kepada Belgia, kepada Polandia, kepada Serbia; manifestasi paling tersembunyinya, seperti yang aku tunjukkan, terjadi pada Armenia. Bertindak lewat janji dengan Jerman, Turki kini mulai menerapkan prinsip deportasi orang-orang Yunani di Asia Kecil. Tiga tahun setelahnya, laksamana Jerman, Usedom, yang bertugas di Dardanelles selama bombardemen, berkata kepadaku bahwa orang-orang Jerman "yang membuat saran aagr orang-orang Yunani dipindah dari pesisir laut." Sebuah motif Jerman. Laksamana Usedom berujar, murni bersifat militer. Apakah Talaat dan para rekannya menyadari bahwa mereka memainkan permainan Jerman tak dapat aku pastikan, namun tak diragukan bahwa Jerman mempengaruhi mereka dalam tugas tersebut.

Peristiwa-peristiwa yang menyusuk membayangi kebijakan yang diadopsi dalam pembantaian Armenia. Para perwira Turki menghampiri orang-orang Yunani, mengumpulkan mereka berkelompok dan mengkirab mereka menuju kapal-kapal. Mereka tak memberikan mereka waktu untuk mengurusi urusan pribadi mereka, dan mereka tak mengambil kesempatan untuk bersama dengan keluarga. Rencananya adalah membawa orang-orang Yunani ke seluruh kepulauan Yunani di Ægea. Yunani menanggapinya dengan memberontak melawan perlakuan semacam itu, dan terkadang berujung pada pembantaian, khususnya Phocaea, ketika lebih dari lima puluh orang dibantai. Orang-orang Turki menuntut agar seluruh perusahaan asing di Smyrna memecat para karyawan Yunani mereka dan menggantinya dengan Muslim. Salah satu perusahaan Amerika, Singer Manufacturing Company menerima perintah semacam itu, dan meskipun aku campur tangan dan memberikan penundaan enam puluh hari, perusahaan Amerika tersebut mengabulkan perintah tersebut. Sebuah boikot resmi dihimpun melawan seluruh Kristen, tak hanya di Asia Kecil, namun di Konstantinopel, meskipun pemboikotan tersebut tak mendiskriminasi terhadap Yahudi, yang selalu lebih populer pada pihak Turki ketimbang Kristen. Para perwira biasanya meminta para pedagang Yahudi untuk membubuhkan tanda tangan pada pintu-pintu mereka yang menandakan kebangsaan dan perdagangan mereka—seperti tanda "Abraham orang Yahudi, tukang jahit," "Ishak orang Yahudi, tukang sepatu," dan lain sebagainya. Aku memandang pemboikotan tersebut seperti mengikustrasikan organisasi nasional turki, karena disana kami memiliki bangsa yang menghimpun pemboikotan komersial melawan masyarakatnya sendiri.

Prosedur melawan Yunani ini tak menjengkelkanku. Aku tak terlalu menduga pada waktu itu bahwa Jerman melakukan deportasi, namun aku melihat mereka menumbuhkan kekejaman dan chauvinisme Turki. Pada masa itu, aku juga mengenal Talaat. Aku memandangnya nyaris setiap hari, dan ia menyempatkan diri untuk mendiskusikan setiap peristiwa hubungan internasional denganku. Aku menentang perlakuannya terhadap orang-orang Yunani. Aku berkata kepadanya bahwa ini akan membuat tekanan yang mungkin paling buruk di luar negeri dan ini berdampak pada kepentingan Amerika. Talaat menjelaskan kebijakan nasionalnya: blok-blok berbeda di Kekaisaran Turki, ujarnya, selalu bersekongkol melawan Turki; karena pergesekan penduduk asli, Turki kehilangan provinsi demi provinsi—Yunani, Serbia, Rumania, Bulgaria, Bosnia, Herzegovina, Mesir, dan Tripoli. Dengan cara ini, Kekaisaran Turki nyaris berada pada titik ujungnya. Jika ada orang yang meninggalkan Turki untuk bertahan hidup, tambah Talaat, ia harus menyertai orang-orang asing tersebut. "Turki untuk orang-orang Turki" kini menjadi gagasan pengendalian Talaat. Sehingga, ia mengusulkan untuk men-Turkifikasi-kan Smyrna dan kepulauan sekitar. Sekitar 40.000 Yunani telah pergi, dan ia berujar kepadaku lagi agar rumah-rumah usaha Amerika hanya mempekerjakan orang-orang Turki. Ia berkata bahwa catatan-catatan kekerasan dan pembunuhan telah sangat dilebih-lebihkan dan meminta agar sebuah komisi dikirim untuk menyelidiki. "Kami ingin sebuah komisi untuk menyuci putih Turki," ujar Sir Louis Mallet, Dubes Inggris, kepadaku. Benar saja, ketika komisi tersebut memberikan laporannya, laporan tersebut mengkecualikan Turki.

Orang-orang Yunani di Turki memiliki satu langkah besar terhadap orang-orang Armenia, karena orang-orang disana seperti pemerintah Yunani, yang telah melindungi kepentingan mereka. Orang-orang Turki mengetahui bahwa deportasi tersebut akan menimbulkan perang dengan Yunani. Pada kenyataannya, mereka menyambut perang dan bersiap untuknya. Orang-orang Turki sangat antusias ketika mereka mengumpulkan uang lewat perintah wajib masyarakat dan membeli kapal tempur Brasil yang ketika itu sedang dibuat di Inggris. Pemerintah juga memesan kapal tempur kedua di Inggris, dan sejumlah kapal selam dan kapal penghancur di Prancis. Keperluan persiapan angkatan laut tersebut bukanlah rahasia di Konstantinopel. Tak lama mereka menerima kapal-kapal tersebut, atau bahkan satu kapal tempur yang nyaris rampung, Turki berniat untuk menyerang Yunani dan merebut kembali kepulauan tersebut. Sebuah kapal tempur modern tunggal seperti Sultan Osman—ini adalah nama yang diberikan oleh Turki kepada kapal Brasil tersebut—dapat dengan mudah mengalahkan kekuatan seluruh angkatan laut Yunani dan mengendalikan Laut Ægea. Karena kapal kuat tersebut akan dirampungkan dan dikerahkan dalam beberapa bulan, kami semua memastikan perang Yunani-Turki pecah pada musim gugur. Apa yang mungkin dapat dilakukan oleh angkatan laut Yunani melawan bahaya tertunda tersebut?

Keadaan semacam itu terjadi ketika, pada awal Juni, aku menerima seorang pengunjung paling menonjol. Ia adalah Djemal Pasha, Menteri Kelautan Turki dan salah satu dari tiga orang yang ketika itu mendominasi Kekaisaran Turki. Aku sulit memandang orang yang nampaknya lebih khawatir ketimbang Djemal pada saat itu. Ketika aku mulai berbincang dengan penerjemahku dalam bahasa Prancis, this occasion. As he began talking excitedly to my interpreter in French, kumisnya bergetar karena emosinya dan tangannya bergerak dengan luar, ia nampak nyaris disampingku sendiri. Aku mengetahui perkataannya dalam bahasa Prancis, dan kabar yang dibawa olehnya—ini adalah pertama kali aku mendengarnya—yang menjelaskan niatnya. Ia berkata, pemerintah Amerika bernegosiasi dengan Yunani untuk penjualan dua kapal tempur, Idaho dan Mississippi. Ia meminta agar aku harus langsung bertindak untuk mencegah penjualan semacam itu. Sikapnya dalam meminta; ia menawarkan, ia membujuk agar aku harus campur tangan. Ia berujar, sepanjang semuanya, Turki menganggap Amerika Serikat sebagai sahabat mereka. Aku sering menyatakan niatku untuk menolong mereka. Sehingga, ini adalah kesempatan untuk menunjukkan perasaan baik kami. Fakta bahwa Yunani dan Turki diambang perang, ujar Djemal, benar0benar membuat penjualan kapal menjadi tindakan yang tak netral. Ujarnya lagi, jika transaksi tersebut murni bersifat komersial, Turki akan memiliki kesempatan untuk menawar. "Kami akan membayar lebih ketimbang Yunani," tambahnya. Ia mengakhirinya dengan permohonan bahwa aku harus menghubungi pemerintahku mengenai masalah tersebut, aku aku berjanji untuk melakukannya.

Buktinya, Yunani juga menghubungi musuh mereka. Turki terlalu berani menyatakan niatnya menyerang Yunani karena Turki menerima kapal-kapal tempur. Kedua kapal yang kini dinegosiasikan oleh Yunani langsung disediakan untuk pertempuran! Idaho dan Mississippi bukanlah kapal yang diperlukan untuk AL Amerika. Kami tak dapat mengambil tempat mereka pada baris pertempuran pertama. Namun, mereka sanggup untuk menggerakan seluruh AL Turki dari Ægea. Buktinya, Yunani tak berniat untuk menangguhkan perang tertunda sampai kapal-kapal tempur Turki rampung, selain menyerang tak lama usai mereka menerima kapal-kapal Amerika tersebut. Sebetulnya, pendirian Djemal tak memiliki pengesahan hukum. Namun ketika ancaman perang besar timbul, Turki dan Yunani sebetulnya masih berdamai. Yunani memiliki banyak hak untuk membeli kapal-kapal perang di Amerika Serikat seperti halnya Turki membelinya di Brasil atau Inggris.

Namun Djemal bukanlah satu-satunya negarawan yang berupaya mencegah penjualan tersebut. Dubes Jerman menyimpan niat menonjol tersebut. Beberapa hari usai kunjungan Djemal, Wangenheim dan aku mendaki perbukitan utara Konstantinopel. Wangenheim mulai membicarakan soal Yunani, yang ia sikapi dengan antipati, soal kesempatan perang, dan rencana penjualan kapal-kapal perang Amerika. Ia membuat pernyataan panjang soal penjualan tersebut, alasannya sangat mirip dengan Djemal—sebuah fakta yang menumbuhkan kecurigaanku bahwa ia sendiri melatih Djemal untuk mewawancaraiku.

"Lihatlah bahaya yang engkau himpun," ujarnya Wangenheim. "Ini nampak bahwa Amerika Serikat terkadang menemukan dirinya dalam posisi seperti Turki sekarang ini. Ketika kamu menghadapi perang dengan Jepang; kemudian Inggris dapat menjual armada kapal tempur kepada Jepang. Apakah Amerika Serikat akan seperti itu?"

Dan kemudian ia membuat pernyataan yang menyiratkan apa yang benar-benar berada di balik penentangannya. Aku memikirkannya berkali-kali pada tiga tahun terakhir. Peristiwa tersebut menekan pikiranku. Ketika itu, kami duduk di atas kuda-kuda kami. Hutan kuno hening Beograd terbentang di sekeliling kami, sementara di kejauhan Laut Hitam berkemilauan akan matahari siang. Wangenheim mendadak menjadi pendiam dan sangat tertegun. Ia melirik mataku dan berkata:

"Aku tak berpikir bahwa Amerika Serikat menyadari masalah serius tersebut. Penjualan kapal-kapal tersebut dapat menjadi sebab yang akan berujung pada perang Eropa."

Perbincangan tersebut dilakukan pada 13 Juni. Ini sekitar enam pekan sebelum pertikaian pecah. Wangenheim sangat memahami bahwa Jerman bersiap untuk konflik besar tersebut, dan ia juga menyadari bahwa persiapan tersebut tidaklah sepenuhnya rampung. Seperti seluruh dubes Jerman, Wangenheim menerima perintak untuk tak menyulut krisis apapun yang akan menimbulkan perang sampai seluruh persiapan tersebut rampung. Ia tak menentang pengusiran orang-orang Yunani, karena itu sendiri merupakan bagian dari persiapan tersebut. Namun, ia sangat terganggu atas kemampuan Yunani yang dapat mengerahkan pasukan bersenjata mereka sendiri dan mengganggu kondisi yang ada di Balkan. Pada saat itu, Balkan adalah gunung berapi yang bergemuruh. Eropa telah melewati dua perang Balkan tanpa terlibat sepenuhnya, dan Wangenheim mengetahui bahwa peristiwa lainnya akan membuat seluruh benua tersebut meletus. Ia menyadari bahwa perang akan terjadi, namun ia hanya tak menginginkannya saat itu. Singkatnya, ia berupaya mempengaruhiku pada kesempatan itu untuk memberikan sedikit waktu lebih untuk Jerman.

Sejak ini, ia berkata kepadaku untuk secara pribadi menghubungi Presiden, menjelaskan keseriusan keadaan, dan menyerukan perhatiannya kepada telegram-telegram yang datang ke Kemenlu soal usulan penjualan kapal. Aku menganggap permohonannya sebagai hal kurang ajar dan mengurungkan niat terhadapnya.

Kepada Djemal dan pejabat Turki lainnya yang masih menekanku, aku meminta agar dubes mereka di Washington harus memajukan persoalan tersebut secara langsung dengan Presiden. Mereka bertindak atas nasehat ini, namun Yunani kembali menghadap mereka. Pada jam dua, 22 Juni, perwakilan Yunani di Washington dan Panglima Tsouklas, dari AL Yunani, berseru kepada Presiden dan mendorong penjualan tersebut. Ketika mereka meninggalkan kantor Presiden, Dubes Turki masuk—tepat lima belas menit lebih terlambat!

Aku menduga bahwa Tuan Wilson tertantang untuk penjualan tersebut karena ia mengetahui bahwa Turki bersiap untuk menyerang Yunani dan meyakini bahwa Idaho dan Mississippi akan mencegah serangan semacam itu dan menghimpun perdamaian di Balkan.

Bertindak di bawah pengarahan Kongres, pemerintah menjual kapal-kapal tersebut pada 8 Juli 1914, kepada Fred J. Gauntlett, senilai $12,535,276.98. Kongres langsung menyepakati uang yang diberikan dari penjualan untuk pembangunan kapal tempur modern yang besar, California. Tuan Gauntlett mengirim kapal-kapal tersebut kepada Pemerintah Yunani. Diganti nama menjadi Kilkis dan Lemnos, kapal-kapal tempur tersebut langsung dikerahkan pada tempat mereka seperti halnya kapal-kapal paling kuat dari AL Yunani, dan ketertarikan Yunani dalam mengerahkannya menjadi tak terbendung.

Pada waktu itu, kami pindah dari Kedubes ke rumah musim panas kami di Bosphorus. Sepanjang musim panas, kedubes-kedubes ditempatkan disana, dan tempat paling indah yang tak pernah aku lihat. Rumah kami adalah bangunan tiga lantai, terkadang dengan gaya Venesia. Di belakangnya terdapat tebing, dengan beberapa taman berteras yang dihimpun satu sama lain. Bangunan tersebut berdiri sangat berdekatan dengan pesisir dan perairan Bosphorus yang berarus cepat ketika kami duduk di luar, khususnya pada malam bulan purnama, kami bagai menduduki bagian atas dek kapal yang berlayar cepat. Pada siang hari, Bosphorus, dengan luas sedikit lebih dari satu mil, nampak dengan keadaan berwarna. Aku menyebutnya cuplikan animasi dengan penglihatan tertentu karena aku masih memikirkannya pada beberapa bulan setelahnya, ketika Turki terlibat perangakibat penutupan selat tersebut. Hari demi hari kapal-kapal uap Rusia berlayar pada perjalanan mereka dari pelabuhan-pelabuhan Laut Hitam ke Smyrna, Alexandria, dan kota-kota lain, membuat jelas pengaruh selat perairan kecil tersebut, dan menjelaskan persaingan berdarah negara-negara Eropa, meluas sepanjang seribu tahun, untuk pengerahannya.

BUSTÁNY EFFENDI
Mantan Menteri Perdagangan dan Pertanian dalam Kabinet Turki. Ia mendatangi Tuan Morgenthau pada Januari 1914, meminta bantuan Amerika dalam membenahi keuangan Turki
MOHAMMED V, SULTAN TURKI
Kemuliaannya menjadikannya pria tua bermurah hati, sepenuhnya menghiraukan dunia dan kurang berunsur dan berinisiatif pribadi. Gambar bawah menampilkan kereta Sultan di Kedubes Amerika, menunggu untuk membawa Tuan Morgenthau ke acara kekaisaran

Namun, awal bulan musim panas tersebut berjalan damai. Seluruh dubes dan menteri beserta keluarga mereka berkumpul bersama. Disini, para perwakilan dari seluruh kekuatan berkumpul setiap hari selama empat tahun terakhir meredam perang paling berdarah dalam sejarah. Ketika itu, semuanya nampak bersahabat, duduk di sekeliling meja makan yang sama, berjalan bergandengan tangan menuju kendaraan-kendaraan. Dubes dari salah satu kekuatan akan sangat terhormat untuk makan malam dengan istri dari seluruh negara lainnya yang mungkin sangat berseberangan dengan negaranya sendiri. Sedikit kelompok yang akan berkumpul setelah makan maalm. Wazir Agung akan mengadakan penyambutan di satu sudut, para menteri kabinet akan berhadapan dengan lainnya. Sekelompok dubes akan membahas keadaan Yunani saat keluar dari kendaraan. Para pejabat Yunani akan terhibur dengan adegan animasi dan mungkin banyak berkomentar dengan bahasa mereka sendiri. Dubes Rusia akan dibawa ke sekitaran ruangan, meminta seseorang yang diharapkan untuk berbincang dengannya, mengunci pintu dan mendorongnya ke sudut untuk berbincang satu sama lain. Sementara itu, para putra dan putri kami, para anggota junior dari korps diplomatik, dan para perwira dari beberapa tempat penugasan, menari dan bersapa, nampak berpikir bahwa seluruh kejadian berjalan dengan sendirinya untuk hiburan mereka. Dan untuk menyadarinya, ketika semua ini berjalan, Wazir Agung, maupun pejabat Turki tingkat tinggi lainnya, akan meninggalkan rumah tanpa pengawalan dan pengamanan untuk melindungi mereka dari pembunuhan—ketika perasaan lainnya yang selaras dengan keadaan menjadi timbul, ini tentunya muncul dengan kepentingan. Aku juga merasa bahwa terdapat beberapa hal menyengat tentang ini semua. Perang menjadi topik perbincangan yang disukai. Setiap orang nampak menyadari bahwa kehidupan damai tersebut berubah, dan bahwa pada kesempatan apapun dapat mendatangkan percikan yang menyulut setiap hal.

Sehingga, ketika krisis timbul, ini tak menghasilkan sensasi langsung. Pada 29 juni, kami mendengar pembunuhan Haryapatih Austria dan permaisurinya. Setiap orang yang menerima kabar tersebut menjadi hening. Sehingga, ada perasaan bahwa suatu hal menonjol telah terjadi, namun tidak ada yang terpikat. Sehari atau dua hari usai tragedi tersebut, aku berbincang panjang dengan Talaat mengenai persoalan diplomatik. ia tak membuat rujukan kepada seluruh peristiwa tersebut. Aku kini berpikir bahwa kami semua berdampak oleh jenis kelumpuhan emosional—seperti kami mendekati bagian tengah ketimbang kebanyakan orang, kami tentunya menyadari bahaya akan keadaan tersebut. Selama sehari atau dua hari, lidah kami nampak melemah, karena kami mulai berbincang—dan memperbincangkan perang. Ketika aku melirik Von Mutius, perwakilan Jerman, dan Weitz, diplomat-koresponden Frankfurter Zeitung, kami juga membahas konflik yang tertunda, dan kembali kami memberikan kemajuan penjamahan Jerman. Ketika perang terjadi, ujar mereka, Amerika akan mengambil pergerakan untuk mengambil seluruh perdagangan Meksiko dan Amerika Selatan!

Ketika aku memanggil Pallavicini untuk menyatakan duka cita terhadap kematian Haryapatih-nya, ia menerimaku dengan perasaan yang sangat tertegun. Ia sadar bahwa ia mewakili keluarga kekaisaran, dan perasaannya nampak bersifat pribadi. Seseorang akan berpikir bahwa ia telah kehilangan putranya sendiri. Aku mengekspresikan pengecamanku dan bangsaku atas tindakan tersebut, dan simpati kami dengan kaisar yang berusia lanjut.

"Ja, Ja, es ist sehr schrecklich" (ya, ya, itu sangat mengerikan), ia menjawab, nyaris dengan kibasan.

"Serbia akan terkutuk atas tindakannya," ujarnya. "Ia akan dituntut untuk memberikan ganti rugi."

Beberapa hari kemudian, ketika Pallavicini berbincang denganku, ia membicarakan masyarakat nasionalistik yang diijinkan oleh Serbia untuk berdiri dan keputusannya untuk menganeksasi Bosnia dan Herzegovina. Ia berkata bahwa pemerintahannya akan berniat untuk mengabaikan masyarakat tersebut dan tuntutannya, dan mungkin ekspedisi punitif ke Serbia akan dibutuhkan untuk menghindari pergolakan seperti pembunuhan Haryapatih. Disini, ia memiliki penjalinan perdananya terhadap ultimatum 22 Juli yang terkenal.

Seluruh korps diplomatik menghadiri misa requiem untuk Haryapatih dan Haryapatni, yang diadakan di Gereja Sainte Marie pada 4 Juli. Gereja tersebut berada di Grande Rue de Pera, tak jauh dari Kedubes Austrian. Untuk mencapainya, kami turun dari penerbangan yang berjarak empat puluh langkah. Di atas tangga, para perwakilan Kedubes Austria, berbusana seragam lengkap, dengan crêpe di lengan kiri, bertemu kami, dan mempersilahkan kami untuk duduk. Seluruh dubes duduk di baris depan. Aku memandangnya dengan perasaan aneh pada saat ini, untuk terakhir kalinya kami duduk bersama. Upacara tersebut berlangsung khidmat dan indah. Aku mengenangnya dengan perasaan khusus karena suasananya berseberangan dengan yang tak lama menyusul. Ketika imam berjubah mengakhirinya, kami semua berjabat tangan dengan Dubes Austria, kembali ke kendaraan kami, dan mulai berkendara delapan mil di sepanjang Bosphorus menuju ke Kedubes Amerika. Pada hari ini tak hanya hari ketika kami menyatakan bela sungkawa kepada pewaris otokrasi abad pertengahan yang dibunuh. Ini juga merupakan Empat Juli. Suasana dua latar tersebut melambangkan dua gagasan nasional. Aku sering memikirkan kelompok dubes ini mendatangi gereja, untuk berbela sungkawa kepada Haryapatih, dan kemudian pergi ke Kedubes Amerika yang kaya akan hiasan, didekorasi dan dihias untuk menghormati hari nasional kami, dan para dubes dan menteri menyerukan regalia penuh. Dari taman depan, kami dapat melihat tempat Darius melintas dari Asia dengan pasukan Persia-nya pada 2.500 tahun lampau—salah satu otokrat kuno yang berbaris yang tak sepenuhnya punah. Kami juga dapat melihat Robert College yang menakjubkan, sebuah lembaga yang mewakili pembentukan jalan Amerika untuk "mempenetrasi" Kekaisaran Turki. Pada malam hari, taman kami berhias lentera Tionghoa. Kembang api Amerika menyinari perbukitan sekitar dan Bosphorus, dan bendera Amerika berkibar di depan gedung, nyaris nampak dipakai sebagai tantangan untuk ingatan otokrasi dan penekanan yang kami alami pada paruh awal hari. Tak lebih dari satu mil di seberang perairan perbukitan Asia yang gelap dan hening, selama berabad-abad menjadi tempat lahir despotisme militer, menangkap keredupan dan, aku pikir, nuansa nubuat dari penerangan.

Dalam menyertai kelompok dubes di gereja dan, setelah itu, penambutan kami, aku terkejut menyadari bahwa seorang figur familiar telah hilang. Wangenheim, sekutu Austria, tak hadir. Hal ini membingungkanku pada waktu itu, namun setelah itu aku mendapatkan penjelasan dari mulut Wangenheim sendiri. Ia pergi beberapa hari sebelumnya ke Berlin. Kaiser mengajaknya ke istana kekaisaran, yang dilakukan pada 5 Juli, dan memutuskan untuk membawa Eropa menuju perang.