Libur sekolah telah datang. Kami sekeluarga seperti biasa mengunjungi rumah kakek yang jauh di kaki Gunung Wilis. Aku dan kedua adik yang jarang melihat suasana persawahan sangat asyik menikmati perjalanan dengan kereta api. Si Kecil Fifi kerap menyanyikan lagu Naik Kereta Api dengan gembira karena ini perjalanan pertamanya. Aku dan Si Tengah Faiz sibuk berbincang apa saja yang akan kami lakukan di desa nanti. Seperti mandi di kali, menjelajah hutan kecil, dan mencari burung. Sampailah kami di stasiun Nganjuk. Paman Solikhin melambaikan tangan. Dengan mobil yang dibawa paman kami bergerak. Setelah keluar dari jalan besar, maka petualangan yang sebenarnya dimulai. Jalan terasa sangat sempit. Apabila berpapasan dengan kendaran lain, salah satu harus berhenti lebih dahulu dan memberikan ruang agar yang di depan bisa lewat. Di kiri kanan jalan masih banyak terlihat pepohonan besar. Berbeda dengan kota yang setiap jengkal tanah berisi rumah dan bangunan. Pada akhirnya kami sampai. Di depan rumah sudah menunggu Kakek Nenek beserta kerabat lain. Sepupu yang seumuran bermain di halaman yang terbilang luas. Setelah bersalaman, aku dan Dik Faiz langsung bergabung bermain. Akan halnya Dik Fifi masih lelah dan tidur. Tanpa terasa kami semua bermain sampai hari menjelang sore. Ibu kemudian menuntun kami menuju blumbang atau kolam kecil di dekat musholla untuk mandi. Setelah bersih, ibu mempersiapkan makanan untuk kami semua. Tidak seberapa lama kemudian kami makan. Malam tersebut bulan terlihat sempurna. Setelah usai sholat maghrib dan mengaji, kami cucu kakek di teras bermain dakon. Sampai pada akhirnya kakek datang duduk bersama kami. “Wah, siapa yang pintar main dakon?” tanya Kakek. Dik Faiz mengacungkan jari. Disusul oleh sepupu kami yang bernama Luluk. “Apakah Kakek bisa main dakon?” tanya Mahmud, putra Pakdhe Imam. Kakek menggelengkan kepala, “Tidak. Kakek tidak bisa dakon, hanya saja Kakek bisa bercerita kepada kalian semua. Apakah mau mendengar cerita Kakek?” Karena kami tahu Kakek memang pandai bercerita, sontak semua menganggukkan kepala. Dik Fifi mendekat minta kupangku. Tanpa kuduga ia berani bertanya, “Apakah yang akan Kakek ceritakan? Kalau Kancil dan Harimau, Fifi sudah sering dengar.” Dengan senyum Kakek menjawab, “Ini cerita tentang Dewi Pertiwi dan Pemuda Nusantara.” “Apa itu Kek?” sahut kami bersamaan. Maka mulailah Kakek bercerita. “Pada zaman dahulu, di negeri ini terdapatlah seorang putri cantik bernama Dewi Pertiwi. Ia memerintah kerajaan dengan kebijaksanaan sehingga dicintai oleh rakyat. Akan tetapi pada suatu hari datanglah rombongan orang asing berambut jagung dan menaklukkan Dewi Pertiwi. Sehingga kerajaan pada akhirnya dikuasai orang berambut jagung.” Aku menyela, “Apakah tidak ada yang berani melawan Kek?” Kakek terkekeh, “Ada. Akan tetapi semua dapat dikalahkan orang berambut jagung. Mereka memiliki senjata yang canggih dari para pasukan Dewi Pertiwi. Dan yang paling penting adalah siasat yang dalam buku sejarah disebut sebagai politik adu domba. Sesama rakyat Dewi Pertiwi diadu. Dengan cara salah satu pihak diberi jabatan, dukungan, senjata dan harta benda. Sementara yang lain tidak. Dengan demikian muncul persaingan dan ketidakpercayaan kepada saudara atau juga sesama rakyat Dewi Pertiwi.” “Lantas apa yang terjadi dengan Dewi Pertiwi, Kek?” Mahmud bertanya. Maka Kakek melanjutkan, “Dewi Pertiwi dikurung dalam tahanan bawah tanah yang sangat dalam. Sehingga tidak ada yang bisa menyelematkannya.” Pada masa sebelum orang-orang suku matahari menguasai kerajaan Dewi Pertiwi, terdapatlah Pemuda Nusantara yang merasa cemas akan nasib kerajaan dan Dewi Pertiwi. Pemuda Nusantara ini merupakan gabungan para pemuda mulai dari Sabang sampai Merauke. Mereka memiliki semangat dan kepedulian yang sama. Bahwa kerajaan dan Dewi Pertiwi harus dibebaskan dari belenggu penjajahan.” Pemuda Nusantara sering bertemu untuk membicarakan bagaimana membebaskan kerajaan dan Dewi Pertiwi dari cengkeraman orang berambut jagung. Ada yang mengusulkan dengan perlawanan bersenjata. Namun usul tersebut ditolak karena perlawanan dengan senjata pernah dipakai namun gagal serta menimbulkan korban yang banyak. Sampai pada akhirnya ada yang mengusulkan menggunakan persatuan dan kesatuan sebagai kunci perlawanan.” Wahid sulung Lik Gin bertanya, “Melawan senjata canggih dengan persatuan dan kesatuan, apa bisa Kek?” Kebetulan di dekat Kakek ada sapu lidi. Maka diambillah dan dicabut sebatang lidi. “Nah Wahid, coba patahkan lidi ini!” pinta Kakek. Dengan mudah Wahid mematahkan lidi yang sebatang. Setelah itu Kakek menyuruh Wahid mematahkan sapu lidi yang sudah terikat dengan tali. Wahid mengalami kesulitan. Kami pun dipersilahkan untuk mencoba mematahkan sapu lidi yang ada. Semua tidak ada yang bisa. Setelah semua cucunya tidak ada yang berhasil mematahkan sapu lidi, Kakek berkata, “Itulah manfaat dari persatuan dan kesatuan. Karena bersatu kita teguh...” Kusahut dengan cepat, “Bercerai kita runtuh.” Kakek tersenyum. “Dengan bekal semangat persatuan dan kesatuan itu, Pemuda Nusantara pada pertemuan kedua menggagas sumpah pemuda sebagai tali pengikat agar semangat yang ada bisa disatukan dan dikuatkan menjadi alat pembebasan dan perlawanan. Membebaskan Dewi Pertiwi dan juga melawan penjajahan bangsa asing.” Dengan persatuan dan kesatuan, Pemuda Nusantara memiliki spirit dan kesabaran yang tinggi. Mereka rela menunggu waktu yang tepat untuk membebaskan Dewi Pertiwi dari cengkeraman penjajah. Sampai pada akhirnya pada 17 Agustus 1945, Dewi Pertiwi bisa dibebaskan. Ketika Dewi Pertiwi bebas, seluruh rakyat menyatakan dengan gembira, haru biru, dan membaur dalam alam kemerdekaan.” Dengan semangat persatuan dan kesatuan, Pemuda Nusantara mempertahankan kemerdekaan yang ada serta menjaga Dewi Pertiwi dari ancaman pihak asing yang ingin menjajah lagi.” Kakek menandangku lekat. Setelah itu bertanya, “Inti cerita Kakek apa Johar?” “Pentingnya persatuan dan kesatuan, Kek.” “Betul. Ada lagi?” Kami semua menggelengkan kepala. Kakek kemudian menambahkan, “Harus ada yang menyalakan obor semangat persatuan dan kesatuan. Terlebih setelah Dewi Pertiwi dibebaskan, masalah yang dihadapi Pemuda Nusantara tidak sedikit. Musuh mereka dalam menjaga kedaulatan Dewi Pertiwi makin bertambah. Baik dari dalam maupun dari luar. Karena itulah harus ada yang menyalakan obor semangat persatuan dan kessatuan.” “Bagaimana caranya, Kek?” sambung Dik Faiz. Sambil tersenyum Kakek menjawab, “Belajarlah dengan baik dan benar. Belajarlah sejarah bangsa, belajarlah budaya bangsa, belajarlah kearifan leluhurmu. Dan jangan lupa belajarlah budaya dan ilmu dari bangsa lain. Agar ketika kau dewasa, mampu menjadi bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut menjaga ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi.” Luluk sepertinya masih kebingungan. Maka ia memberanikan diri bertanya, “Kalau untuk anak-anak seperti kami, bagaimana bentuk menjaga semangat persatuan dan kesatuan?” Dengan bijak Kakek menjawab, “Rukunlah dengan saudaramu. Mengalahlah dengan adik-adikmu.” Setelah itu Kakek beranjak ke dalam karena Nenek memanggil untuk makan malam.



Nganjuk, 12-23 Februari 2023.