Channi dan Legenda Jembatan Pulau Kemaro

sunting

Sinopsis

sunting

Channi akhirnya bisa berkenalan dengan Ranensis, seekor kura-kura yang sebatang kara. Ranensis pun menyayangi sahabat barunya, Channi yang baik dan ceria serta patuh pada papa mamanya. Ranensis ikut bahagia ketika menyaksikan impian Channi tentang legenda sebuah jembatan bisa terwujud.

1. Channi

2. Ranensis (Cuora amboinensis)

3. Channar

Lokasi

sunting

Pulau Kemaro, Palembang

Cerita Pendek

sunting

Persahabatan

sunting
 
Cuora amboinensis yang polos

Ranensis si kura-kura ambon betina sedang berjemur menikmati sinar matahari sore ketika dia melihat seekor ikan gabus menatapnya lama-lama sehingga Ranensis pun dapat merasakan bahwa ada yang sedang memperhatikannya dari jauh. Sejenak dia berpikir untuk menegurnya, tetapi ikan itu sudah lebih dulu menyapanya dengan riang.

“Halo... namaku Channi..” sapa si ikan dengan ceria sambil berenang mendekati tempat Ranensis bersantai. Dia adalah ikan dengan nama Latin Channa striata dan dikenal sebagai ikan predator yang memangsa di habitat aslinya. “Namamu siapa?”

“Aku?” tanya Ranensis kaget, belum pernah ada ikan yang menyapanya seperti itu. “Mmm, namaku Ranensis.”. Ia termasuk kura-kura batok (Cuora amboinensis) yang termasuk kura-kura semi aquatic atau dapat hidup di darat dan di air, tidak seperti kura-kura darat.

“Oh nama yang unik. Aku sering melihatmu berdiam di situ setiap senja sendirian. Jadi aku ingin berkenalan.” Ungkap Channi. “Sebetulnya kurang aman juga sih aku terlalu dekat dengan pulau ini dan berenang lama-lama pula di permukaan air, kata mamaku nanti aku bisa dijaring manusia untuk dimakan. Sebab daging kami ini sangat bagus untuk kesehatan manusia.”

 
Channa striata yang ceriwis

“Ah masa sih?!” tanya Ranensis. “Kurasa semua ikan sama saja.” Tambahnya dengan cuek.

“Itu kata mamaku, yang pernah tidak sengaja mendengar obrolan bapak-bapak nelayan, daging kami itu bisa untuk membantu menjaga kesehatan mata dan ibu hamil; dapat mempercepat penyembuhan luka, dan memperbaiki gizi buruk.” celoteh Channi dengan mimik serius. “Mamaku juga pernah bilang kalau ikan gabus lebih mahal daripada ikan lain.”

“Ohh, begitu ya?” mata Ranensis melebar karena tertarik dengan cerita Channi. “Lalu kenapa kamu berani ke sini sendirian?”

“Oh iya, itu karena aku penasaran dengan kamu. Dimana keluargamu? Sepertinya aku tak pernah melihat siapapun di sampingmu?” ujar Channi terus terang. “Ooh...” timpal Ranensis yang mendadak kehabisan kata-kata. “Aku juga tidak tahu mereka dimana. Sebab aku masih kecil ketika aku tiba-tiba terjatuh di tanah di pulau ini.”

“Hah?” celetuk Channi polos. “Jadi bagaimana kamu tahu namamu?”

“Aku masih ingat aku pernah dipanggil dengan nama Ranensis waktu aku masih bersama ibuku dan adik-adikku.” Jelasnya dengan muram.

“Oh iyah, maafkan aku ya,” tukas Channi buru-buru. “Ohya, kalau kau mau, aku akan menemanimu bercerita setiap sore. Tapi kita sesekali cari tempat yang berbeda ya, agar aku tidak ditangkap manusia! Hahaha..” ajaknya penuh semangat. “Kapan-kapan aku ajak juga adikku untuk berkenalan denganmu.”

Ranensis tersenyum penuh terima kasih pada teman barunya itu. Dia pun mengangguk.

“Oh iya, kamu tahu tidak tentang legenda pulau ini?!” tanya Channi memberi tebakan dengan ceria.

“Iya, aku pernah dengar tentang kisah putri Siti Fatimah dan Pangeran Tan Bun An pedagang dari Tiongkok kan?” jawab Ranensis bersemangat. “Tan Bun An mengajak Siti Fatimah sang pujaan hati ke negara asalnya untuk meminta restu dari orangtuanya. Setelah merestui pernikahan sang anak, orangtua Tan Bun An katanya memberikan hadiah guci-guci besar yang berisi emas kepada sang anak dan menantu. Akan tetapi di perjalanan ketika dilihat, ternyata isinya sawi busuk, sehingga Tan Bun An membuang guci-gucinya. Terus, waktu dia akan membuang guci terakhir ke Sungai Musi, guci itu terjatuh di atas dek kapal dan pecah. Eh, ternyata di dalamnya terdapat emas. Nah, terus karena dia merasa bersalah telah membuang pemberian orangtuanya, Tan Bun An lalu terjun ke dalam Sungai Musi untuk mengambil emas tersebut...” terang Ranensis. Dia tidak memperhatikan bahwa Channi sedang senyum-senyum. Sehingga Ranensis pun melanjutkan kisahnya dengan serius.

“Kemudian karena melihat Tan Bun An turun ke Sungai Musi, seorang pengawalnya ikut terjun, tetapi kedua orang itu rupanya tidak kunjung muncul. Akhirnya Siti Fatimah ikut terjun menyusul Tan Bun An. Namun, ia juga tidak terlihat. Beberapa waktu kemudian, dari tempat sejoli itu terjun muncul pulau kecil. Nah, begitu kan?!” todong Ranensis bersemangat.

“Oh.. bukan, bukan yang itu. Kalau itu legenda dari nenek moyangku. Aku tahu itu.. tapi ada satu lagi!” seru Channi kegirangan sebab Ranensis belum berhasil menebak.

Ranensis mengernyit heran. Banyak teka-teki nih si ikan ini, pikirnya.

“Nahh, mau tau yaa? Mau tau aja apa mau tau bangett? Hahaha...” Channi mulai usil pada Ranensis. Ranensis pura-pura jengkel. Padahal dia ikut geli dengan kejahilan Channi.

“Kata papaku, di pulau ini ada jembatan besar yang hanya ada di hari-hari tertentu dan kadang jadi seperti lautan manusia gitu, penuh dengan manusia dan banyak lampu dimana-mana.” Cerocos Channi.

“Apa maksudmu?” tanya Ranensis tak mengerti.

“Iya, ada jembatan besar yang bisa dipakai oleh manusia berjalan di atas air, hebat kan?!” jawab Channi seru. “Manusia yang tak punya sirip seperti aku, jadi tidak khawatir jatuh dan tenggelam di sungai Musi yang besar ini. Jembatan itu kata papaku, akan sampai ke sebuah pulau yang jauh lebih besar di seberang Sungai Musi ini.”

“Benarkah?” tanya Ranensis dengan mata berbinar-binar.

“Iya, kata papaku, pulau itu disebut dengan Kota Palembang oleh para nelayan.”

“Wow, bagus yah... apa itu benar?” seru Ranensis.

“Iya, aku juga ingin sekali membuktikan apakah itu hanya legenda atau kenyataan yah, haha..” timpal Channi semangat. “Oya, aku pulang dulu yah! Pasti mama papaku sudah menungguku di rumah. Kata nenek, aku harus patuh pada mama papa, supaya jadi anak beruntung! Tapi untunglah tadi aku sudah pamit pada mereka bahwa aku ingin kemari, mengunjungimu. Aku sudah lama bercerita tentangmu pada keluargaku.”

Ranensis tersenyum penuh syukur dan melambaikan tangan depan mungilnya ketika Channi berbalik dan menyelam ke sungai yang dalam.

Keesokan harinya, Channi benar-benar datang menengok Ranensis. “Hai Ranensis! Hari ini ayo kita pergi ke arah sana? Supaya aku tidak dijadikan sasaran empuk oleh pak nelayan! Hahaha..” canda Channi sambil berenang terus. Ranensis mengangguk. Dia pun turun ke air dan ikut berenang dengan perlahan menuju tempat di dekat Channi memilih untuk berhenti berenang.

Hari itu Channi diikuti oleh seekor ikan lain yang sangat mirip dengannya tetapi berukuran lebih kecil, dan lebih aktif berenang berkecipak kecipuk riang. “Itu adikmu ya Chan?” tanya Ranensis ketika dia sudah naik lagi ke daratan, di sebuah area rerumputan liar yang luas dan penuh ilalang. “Berenangnya semangat amat ya?! Lebih gesit dari kamu...” Sambungnya geli.

“Iya Ranensis, kenalkan yah! Namanya Channar, dia lucu yah, masih kecil soalnya..” Channi menjelaskan dengan riang.

“Hihihi.. ah Channi, kamu ini kayak yang kamu udah gede aja?!” timpal Ranensis tertawa geli.

“Iya juga sih, kita juga masih kecil ya.. hihi... Tadi mama papa membolehkan dia ikut. Hari ini aku hanya sebentar saja main kesini. Sebab adikku penasaran ingin kenal dengan kamu, si kura-kura imut. Hahaha..” canda Channi usil.

Ranensis tersenyum ramah pada Channar. Mereka pun mengobrol tentang makanan, juga tempat-tempat yang paling mereka suka.

“Aku paling suka makan ikan-ikan kecil, serangga, dan hewan air kecil, Ranensis. Mereka enak sekali rasanya. Kalau kamu apa?” tanya Channi.

“Makanan favorit aku itu buah, terus juga aku suka juga makan ikan kecil, cacing, dan jangkrik.” jelas Ranensis.

“Wow, apa itu jangkrik? Sepertinya enak, aku boleh coba juga ya kak kapan-kapan?” tanya Channar polos. Kakaknya dan Ranensis tertawa.

“Jangkrik itu adalah serangga, Channar, sedikit mirip dengan belalang. Tapi tubuhnya kecil, kepala hampir bulat, dan punya sungut panjang. Terus yaa, Channar tau gak, jangkrik itu kadang warnanya hitam banget dan hobi melompat-lompat tinggi, tinggi lompatannya bisa sampai 70 cm. Kalau kamu makan jangkrik, nanti kamu jadi tambah item dan bisa lompat-lompat kayak gitu juga lho?!” tukas Ranensis geli. Channi ikut tertawa lagi.

“Ihh, kak Ranensis usil ternyata.. sama dengan kak Channi! Sebel!” ujar Channar langsung pura-pura cemberut.

“Ya sudah, sekarang giliran Channar yang cerita ya, kamu paling suka main dimana?” tanya Ranensis dengan penuh perhatian.

“Aku suka sekali main di saluran-saluran air hingga ke sawah-sawah sebetulnya, tapi oleh papaku aku tidak boleh sampai sawah-sawah kecil yang di Pulau Kemaro itu, nanti bisa ditangkap manusia. Jadi aku hanya bermain di sungai aja.” Jawab Channar.

“Iya Ran, kata papa kami, biasanya ikan gabus seperti kami habitatnya di danau, rawa, sungai, dan sawah-sawah.” Channi menambahkan. “Ohya, berarti makanan kamu banyak banget dong di sini? Bisa makan banyak tuh. Kalau kami sih tiap ingin makan banyak harus rajin berburu!” canda Channi.

“Hahaha.. bisa aja Channi.” Sahut Ranensis yang memang termasuk hewan omnivora.

“Ohh, begitu yah.. Ohya, kami punya cara adaptasi yang bagus lho. Kami bisa mengembangkan ruang udara di belakang insang yang disebut ruang suprabranchial kata papaku. Makanya kami bisa muncul ke permukaan, mengambil udara terus menyelam lagi ke dasar dengan menggunakan oksigen di ruang khusus itu. Ini membuat kami sanggup melakukan migrasi jarak pendek di atas darat kalau perairan habitat kami sedang kering. Itu kisah dari nenek moyang kami...” Channi mengutarakan dengan penuh syukur.

“Wah hebat ya?!” sahut Ranensis kagum.

“Kalau aku sih, tidak suka dengan julukan untuk kami, masak kami tuh dijuluki snakehead coba kak?!” timpal Channar gemas.

“Oh iya, itu soalnya kami dianggap memiliki bentuk kepala yang mirip ular, tubuh memanjang, dan warna gelap. Hahaha... sedangkan Channar kan masih merasa dirinya imut, alih-alih mengerikan seperti ular!” Channi kegelian dengan adiknya. “Eh, kami harus pulang sekarang!”

“Ahhh, iya kak! Semoga papa mama tidak marah sama kita ya kak?! Aduh gawat sekali ini, seharusnya tidak berlama-lama kan hari ini...” gerutunya pada diri sendiri sembari memandang dengan cemas ke arah kakaknya.

“Tak apa! Jangan panik, yang penting kita segera kembali ke rumah, tetap tenang dan hati-hati!” teriak Channi pada adiknya yang seakan ingin terbang melesat. Ranensis tersenyum dan melambaikan tangan pada dua ikan lucu itu. Dia sungguh bersyukur Tuhan menganugerahinya teman yang baik.

Legenda Jembatan Pulau Kemaro

sunting

Persahabatan kura-kura dan ikan gabus itu terus berlanjut. Setiap sore mereka mengobrol dan kadang-kadang saling mencari makan di lahan masing-masing. Mereka sesekali berpindah tempat bermain. Terkadang mereka membicarakan tentang legenda jembatan yang penuh manusia menuju pulau tersebut. Channi yang ceria ternyata memiliki impian besar untuk membuktikan legenda yang diceritakan oleh papanya itu. Tetapi dalam hatinya ia tahu bahwa itu sangat mustahil.

Ranensis yang menyayangi sahabatnya itu jadi ikut berharap mereka suatu hari nanti akan menemukan jalan agar dapat membuktikan kebenaran legenda tersebut. Channi telah memberinya bukti sebuah kalimat indah yang pernah tak sengaja ia dengar, bahwa rumah seorang sahabat tidak pernah jauh. Meskipun berbeda wujud, tetapi Channi selalu tak pernah berhenti menemaninya yang kebetulan sebatang kara. Ranensis hanya dapat berdoa agar impian Channi bisa terwujud.

Hingga pada suatu pagi, tiba-tiba terdapatlah beberapa manusia yang sibuk menyusun kapal-kapal ponton di sebuah lokasi di dekat tempat bermain mereka yang terakhir kemarin. Ranensis ketakutan dan langsung sembunyi. Ia mengamati dengan teliti apa yang sedang manusia-manusia itu kerjakan. Beberapa jam yang lama ia menunggu, hingga sore hari ia masih belum paham apa yang mereka lakukan.

Suara-suara manusia yang sedang bekerja semakin ramai. Juga denting alat-alat yang mereka gunakan semakin memusingkan Ranensis. Sehingga ia pun memilih untuk sebisanya istirahat hingga sore hari.

Ketika Channi datang, ia juga terkejut dengan situasi itu tetapi untunglah Ranensis segera memberitahunya agar pulang saja dulu dan jangan berisik. Ranensis memintanya untuk tidak datang kesitu sampai 2 hari karena menurutnya akan sangat berbahaya. Channi pun menuruti nasihatnya. Ranensis juga memintanya untuk ditemani papa mamanya jika ia ingin mencoba keluar ke tempat itu dua hari kemudian. Apalagi jika adik-adiknya juga ingin ikut, sebaiknya harus ada orangtua mereka agar tidak ada yang terlibat dalam kesulitan besar.

 
Jembatan ponton Pulo Kemaro

Dua hari kemudian, Ranensis yang masih terus mengamati aktivitas manusia-manusia itu tiba-tiba menyadari kejutan indah yang ada di hadapannya. Kapal-kapal ponton itu telah berubah menjadi jembatan! Jembatan itu dapat digunakan untuk ribuan manusia yang ingin menuju Pulau Kemaro. Jembatan itu terdiri dari 6 buah kapal yang disusun sejajar, dan sangat panjang. Ranensis yang penasaran berusaha untuk mencari tahu apa yang terjadi, sembari berusaha agar tidak terlihat siapapun.

Beruntunglah, ia mendapatkan informasi yang ia butuhkan. Ternyata perayaan Cap Go Meh! Pulau Kemaro menjadi tujuan bagi banyak orang hari ini. Bukan hanya pengunjung dari Indonesia, tetapi juga dari luar negeri, seperti Tiongkok, Singapura, dan negara di Asia lainnya. Sungguh menakjubkan.

 
Pagoda pulo kemaro

Luar biasa pemandangan yang ada di depannya. Lautan manusia hilir mudik ternyata benar-benar terlihat sekarang. Tak hanya berwarna merah, begitu banyak manusia yang dilihatnya datang ke pulau ini, berwarna-warni baju mereka. Lampu yang terang benderang ada dimana-mana dan banyak juga dilihatnya lampion-lampion sehingga sungguh semarak Pulau Kemaro. Sama sekali tak pernah terbayangkan olehnya. Berapa hari keadaan ini akan seperti ini, ia masih tak tahu.

Legenda yang diimpikan Channi untuk dia buktikan ternyata betul-betul nyata. Ia tak sabar menunggu senja kali itu tiba, agar bisa menemani Channi dan keluarganya untuk menyaksikan impian Channi benar-benar telah terwujud.


TAMAT