Cina-Tionghoa Dalam Hipotesis Deskriptif

Cina-Tionghoa Dalam Hipotesis Deskriptif
oleh Tan Swie Ling

Kemalangan yang Membingungkan

sunting

Suatu hari di awal-awal tahun 1967, penulis berurusan dengan pihak militer. Penulis mengalami masa-masa apes. Diinterogasi oleh seorang Mayor CPM yang namanya sudah tidak teringat lagi. Seingat penulis, penulis bersikap kooperatif. Memberikan jawaban dengan semangat lugu selugu-lugunya pada berbagai pertanyaan yang diajukan pihak interogator. Keluguan yang namun menghasilkan kemalangan Sebuah kemalangan yang membingungkan. Kebingungan yang mendorong penulis akhirnya selama berpuluh tahun lamanya merenung dan merenung. Bertanya dan bertanya pada diri sendiri. Salah ngomong apa saya waktu itu? Sehingga bernasib apes. Apes. Karena tiba-tiba saja saya terkapar bersama dengan kursi yang saya duduki, dengan muka berlumuran darah yang mengucur dari dahi yang robek dihajar gagang pistol, bersamaan dengan berakhirnya saya mengucapkan kata “Tionghoa

Kata “Tionghoa” Melekat Dalam Kenangan.

sunting

Ya, saya ingat. Perkataan “Tionghoa” itu meluncur keluar dari mulut saya untuk menjawab pertanyaan, “apa suku bangsa kamu? Pertanyaan yang diajukan setelah saya menjawab dua pertanyaan berturut-turut sebelumnya. Yaitu ”Apa kebangsaan dan kewarganegaraan kamu?” Yang keduanya saya jawab, ”Indonesia!” Saya sudah menerangkan, Indonesia kebangsaan saya. Dan Indonesia pula kewarganegaraan saya. Maka saat saya ditanya “apa suku bangsamu?”, Mengingat nama saya Tan Swie Ling, maka dalam keluguan, spontan saya menjawab, “suku Peranakan Tionghoa”. Sedikitpun saya tidak menduga, kalau perkataan “Tionghoa” yang saya ucapkan akan membuat sedemikian marah perwira yang menginterogasi saya, ketika itu. Kemarahan yang sampai-sampai membuat tangan perwira yang menginterogasi saya bergerak lebih cepat dari ucapan kemarahannya, menghajar saya dengan gagang pistolnya, membuat saya terkapar bersama kursi yang saya duduki. Gerakan tangannya memang lebih cepat dari ucapan kemarahannya. Karena bunyi ucapan kemarahannya yang menggeledek bersamaan dengan debum suara bunyi tinjunya ke atas meja itu, bukan saya dengar sebelum saya di hajar, melainkan pada saat mata saya nanar, berkunang-kunang terhajar gagang pistol sang perwira.

Saat itulah saya mendengar pekik kemarahan perwira itu. “Cinaaaa!!! Teriaknya membahana.. Tidak ada Tionghoa!!! Kamu Cina! Kamu Cinaaaaa!!! Mengerti!? Jangan sekali lagi kamu ngomong Tionghoa, ya!” Saya tak menyangka, kata “Tionghoa” yang saya ucapkan ketika itu akan menjadi kemalangan membingungkan yang menimpa saya dan akhirnya melekat dalam kenangan pribadi hingga hari ini.

Bukan Kebencian Individu Perwira

sunting

Maka sejak itu saya berusaha mencari tahu. Mengapa perkataan “Tionghoa” membuat seorang perwira marah besar, lepas kendali. Saya mencari tahu. Apakah perkataan “Tionghoa” yang saya ucapkan hanya kebetulan saja membuat marahnya seorang perwira secara individual, ataukah perkataan “Tionghoa “ tersebut memang menimbulkan rasa tidak sukanya seluruh perwira? Dan hasil penelitian saya menerangkan bahwa perilaku perwira yang menghajar saya setelah mendengar saya mengucapkan perkataan “Tionghoa” bukanlah perilaku individual seorang perwira, melainkan perilaku buah dari sebuah kebijakan sebuah lembaga yang terstruktur. Kebijakan yang berlahiran menyusul diselenggarakannya Seminar AD II Seskoad, 25-31 Agustus 1966. Yang sehubungan dengan Seminar tersebut, Jenderal Soemitro (kini sudah almarhum) dalam memoarnya yang berjudul “Dari Panglima Mulawarman sampai Pangkopkamtib”, antara lain berkata: “Di mata saya ORBA lahir dari seminar ini. ORBA berasal dari Bandung…. Seminar AD II ini yang menjiwai komposisi kabinet, yakni kerjasama ABRI [baca: AD] dengan para teknokrat.”

Memoar Jenderal Soemitro juga mengisahkan wajah kebijaksanaan politik beliau semasa menjadi Pangdam Jawa Timur, yaitu menolak dan tidak suka pada apa saja yang berbau Cina. Kata Jenderal Soemitro yang kemudiannya adalah Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) dalam memoarnya “… Yang berbau Cina saya hilangkan. Saya larang pemakaian bahasa Cina di muka umum. Saya larang mereka melakukan pembukuan dalam bahasa Cina. Jualan dengan memakai bahasa Cina juga saya larang. Tentang agama saya sarankan mereka memilih agama yang ada di daerahnya, yaitu antara lain Islam, Kristen, Buddha dan Hindu. Suku mereka adalah di mana mereka lahir. Saya himbau bagi WNI agar nama diganti dengan nama Indonesia, atau suku di mana mereka lahir. Semua ini saya keluarkan pada tanggal 1 Januari 1967.”

Tanpa tedeng aling-aling Jenderal Sumitro bertutur tentang segala kebijakannya yang dengan sepenuh kesadaran menindas komunitas Tionghoa di Jatim yang tersarikan dalam sebuah kalimat ringkas. “... pendeknya, segala yang berbau Cina, saya larang,” sampai kepada kreativitasnya menyusun hadiah Tahun Baru 1 Januari 1967 berupa paket peraturan yang pada dasarnya melucuti seluruh HAM manusia beretnik Tionghoa di negeri ini. Seperti diubahnya sebutan kata Tiongkok/Tionghoa menjadi “C i n a” (Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Tentang Masalah Cina No.SE-06/Pres.Kab/6/67), dan berbagai peraturan lain seperti Pelarangan penggunaan bahasa Mandarin, pelarangan melaksanakan tradisi/budaya/adat-istiadat yang dikenal dengan sebutan Inpres No.14/1967 (telah dicabut) dll.

Terseret Dalam Lumpur Euforia

sunting

Sayang hal-hal demikian tidak menarik perhatian pada semua pihak yang memposisikan diri dalam kubu yang pro- dan kontra- pada masalah sebutan kata Tionghoa maupun Cina. Sehingga terasa menyedihkan bila sejenak kita mengikuti perdebatan mereka yang menolak sebutan Cina dan menuntut untuk disebut sebagai Tionghoa dan sebaliknya. Karena sepertinya sejak bebas dari penindasan Orba, kita justru terseret dalam lumpur eforia buta. Asik beradu argumentasi justru dalam gaya dan semangat Orba itu sendiri. Mereka saling adu kegagahan, antara sesama korban Orde Baru. Baik sesama korban Orde Baru dari orang sekomunitas maupun dengan sesama korban Orde Baru dari etnik lain. Etnik yang tidak jarang benar-benar tidak mengerti (bukannya pura-pura tidak mengerti) tentang nuansa apa yang diselundupkan ke dalam perkataan “Cina” oleh Orde Baru. Sehingga ketika mereka merasa dituntut harus mengganti kata Cina dengan Tionghoa, dalam ketidakmengertiannya, mereka menjadi tidak simpati pada pihak yang menuntut agar disebut sebagai Tionghgoa. Karena dalam benar-benar ketidakmengertiannya, sikap etnik Tionghoa yang semacam itu, dirasakan arogan dan berlebihan.

Jadi demi menghindarkan hal-hal yang tidak perlu, rasanya, terutama tokoh-tokoh organisasi yang secara terbuka dan terang-terangan memasang merek “Tionghoa”. sepatutnya merasa berkewajiban menjernihkan permasalahan, dengan cara melakukan penelitian. Apa sih batasan-batasan kata Cina dan Tionghoa. Tentunya dengan merujuk pada akar sejarahnya. Dengan demikian para tokoh tersebut benar-benar berperan sebagai pemimpin yang tidak membiarkan masyarakat di bawah kepemimpinannya terus lelap dalam eforia buta. Untuk niat semacam itulah tulisan ini disajikan. Disertai harapan dapat berperan mengangkat kita semua sama-sama keluar dari kubangan lumpur eforia.

Seputar Sebutan

sunting

Sebutan, pada apa pun, selalu terkait pada dua pihak. Pihak yang disebut dan pihak yang menyebutnya. Dan sebutan ini, bukanlah. sesuatu yang lestari. Sebutan, sepenuhnya terikat dengan keberlakuannya hukum ruang dan waktu. Materi yang sama yang berada di dalam ruang yang sama pula, namun berada dalam kurun waktu berbeda, bisa terjadi memperoleh sebutan yang tidak sama. Ambilah contoh! Sebuah kesatuan masyarakat (sebagai materi), hidup di sebuah kawasan Asia (sebagai ruang) dalam kurun waktu beberapa dekade yang lalu, mereka disebut dengan sebutan Burma. Kesatuan masyarakat tersebut sampai sekarang masih sama, mereka juga berdiam di ruang yang sama seperti waktu-waktu sebelumnya. Namun karena perubahan kurun waktu, ternyata sebutan mereka pun menjadi berubah. Dari Burma menjadi Myanmar! Demikian halnya dengan sebutan “Cina”. Sebutan ini tidak lestari.

Misalnya sejak adanya pihak yang disebut, sebutan itu akan terus menjadi sebutannya, sampai seandainya dunia mungkin kiamat nanti. Kesatuan besar masyarakat manusia yang hidup di salah sebuah kawasan Asia yang oleh lidah bangsa rumpun Melayu disebut Cina, tidak sejak dahulu disebut begitu oleh bangsa rumpun Melayu itu itu sendiri. Apa sebutan mereka sebelum disebut sebagai Cina oleh lidah bangsa rumpun Melayu? Para ahli sejarahlah kiranya yang bisa memberikan jawaban. Mungkin mereka pada masa itu disebut sebagai orang “Tang” mengacu pada dinasti Tang yang terkenal menghasilkan puisi-puisi terkenal di samping produk porselein. Atau mungkin “Sangley” (lihat Sangley di Filipina dan Cino di Indonesia, dalam Sinergi edisi ke-2)

Yang pasti, kenyataan bangsa rumpun Melayu sendiri tidak diam statis melainkan bergerak dinamis. Hal yang menyebabkan bangsa rumpun Melayu ini sendiri memperoleh sebutan yang tidak sama. Sebagian kecil, memperoleh sebutan “Brunei” Sebagian yang lebih besar disebut Malaysia. Dan sebagian yang lebih besar lagi, disebut Indonesia. Sebutan yang niscaya tidak sama dengan sebutan masing-masing di masa-masa lalu Dan mungkin juga di masa yang akan datang. Mengingat di antara sekian banyak faktor, sebutan itu biasanya melekat seiring dengan daya atau kekuatan yang mendukung eksistensi masyarakat manusia yang menerima sebutan bersangkutan.

Indonesia misalnya.

Adakah sebutan ini sudah melekat sejak dahulu kala, di mana kita senang disebut atau bangga menyebut diri kita sebagai Indonesia? Rasanya tidak! Ketika kita disebut Inlander, bukankah ada masanya kita ragu-ragu meluruskan sebutan itu dengan Indonesia? Bukankah ada masanya kita lebih bangga menyebutkan diri kita sebagai kawula Sriwijaya, kawula Majapahit atau kawula Mataram, ketimbang Inlander? Demikian halnya dengan bangsa atau masyarakat manusia yang oleh lidah rumpun Melayu sekarang disebut sebagai Cina. Ternyata oleh bangsa Eropa dahulu, kesatuan masyarakat manusia atau bangsa ini pernah disebut dengan perkataan Serica, yang di dalam lidah kita berbunyi dan berarti “sutera.” Karena masyarakat penyebutnya, menyebut kesatuan besar masyarakat atau bangsa dimaksud berdasarkan produk unggulan yang dihasilkan orang Tiongkok semasa itu. Yaitu, sutera.

Perbendaharaan Kata China/Cina Produk Kapitalisme

sunting

Ketika sejarah perkembangan masyarakat manusia beringsut meninggalkan masa zaman praindustri, dan masuk ke zaman industri, sepenuhnya hal ini terjadi di kawasan Eropa. Walau kala itu industri masih tumbuh sebatas di Eropa saja, namun bagaimanapun dampak industri kapitalisme memang telah mulai mengubah wajah dunia. Betapa tidak. Kalau kenyataannya di masa zaman praindustri, untuk memproduksi sebatang jarum orang membutuhkan waktu berhari-hari, ternyata di zaman industri kapitalisme, dalam 1 jam beratus-ratus jarum dapat dihasilkan?. Konsekuensinya, kelebihan hasil produksi tersebut menuntut adanya pasar sebagai muara di mana berbagai hasil produksi dialirkan ke dalamnya. Ketika pasar di dalam Eropa mulai tak mampu menampung produk industrinya sendiri, mulailah dilakukan penjelajahan dunia. Untuk mencari negeri yang di samping bisa berfungsi sebagai pasar penyerap produk industrinya, juga sekaligus berperan sebagai sumber bahan mentah dan sebagai sumber tenaga kerja murah pula. Dalam hal ini rata-rata negeri industri di Eropa meyakini, negeri yang demikian itu adalah Tiongkok. Mengapa? Karena masa itu Tiongkok diyakini merupakan negeri yang kondisi standar hidup masyarakatnya berada pada posisi yang dapat dikategorikan mewakili puncak kehidupan tingkat akhir zaman praindustri, yang lazim dikenal sebagai zaman feodalisme.

Pada kenyataannya Tiongkok masa itu merupakan negara feodal terkuat di dunia. Hal yang tercermin penuh pada tingkat peradabannya. Bayangkan betapa tingginya kemakmuran dan kejayaan feodalisme di Tiongkok semasa itu. Kalau saja kita merenungi. Mesiu, barang yang oleh masyarakat Eropa dianggap luar biasa nilainya, di negeri masyarakat penemunya justru hanya dijadikan barang hiburan, seperti petasan atau kembang api. Tegasnya, hanya di dalam masyarakat yang taraf hidupnya telah mencapai tingkat peradaban mapan yang mampu menghadirkan suasana tenteram dalam segala kecukupan materi sajalah yang sanggup mensepelekan benda berharga seperti mesiu tidak dimanfaatkan sebagai alat memcapai sesuatu yang dapat meningkatkan kejayaan dan kemakmuran negeri dan rakyatnya, melainkan difungsikan hanya sekedar barang mainan belaka. Ya, hanya pada sebuah masyarakat yang tingkat kemakmuran dan peradabannya telah tinggi sajalah yang mungkin dapat berbuat seperti yang diperbuat Tiongkok. Sebuah tingkat peradaban yang semasa itu sampai-sampai dijadikan lambang ukuran status sosial masyarakat Eropa terkemuka di negeri masing masing. Antara lain sutera, teh dan porselein adalah produk Tiongkok yang menjadi lambang status sosial yang tinggi bagi masyarakat atas Eropa pada masanya. Pada masa-masa ini dunia belum mengenal sebutan China atau Cina.

Inggris Marah dan Dendam Pada Tiongkok

sunting

Masa itu adalah masa ketika semua orang asing yang menghadap kaisar Tiongkok, harus melalui proses bersembah menyentukan jidat ke lantai (kotow), Sebuah tradisi yang menggambarkan betapa tingginya posisi masyarakat Tiongkok yang diwakili oleh kaisarnya dalam hubungan dengan dunia luar.

Melalui proses waktu yang panjang, Inggris tumbuh berkembang menjadi negara industri termaju. Jadi Inggris pun sangat ngiler untuk bisa menjadikan Tiongkok sebagai negeri pasar bagi produk industrinya. Maka pada kurun waktu tertentu, tercatatlah sebuah peristiwa. Konon, di Tiongkok bertahta kaisar Qian Long (1735-1795). Kaisar besar dan handal kedua setalah kakeknya, kaisar Kang Xi menjadi kaisar besar pertama dari dinasti Qing. Sementara pada zaman bersamaan, di Inggris bertahta Raja George III. Dalam rangka memenuhi kebutuhan pasar dari industrinya yang paling maju di antara sesama negeri industri di Eropa, maka dengan disertai iringan berpeti-peti hadiah yang semuanya merupakan produk industri negerinya, Raja George III mengirim utusan datang ke Tiongkok, menyampaikan suratnya kepada kaisar Tiongkok.

Utusan Inggris yang merasa datang dari sebuah negeri industri maju, merasa tidak patut untuk kowtow di hadapan kaisar Tiongkok seperti dilakukan oleh kebanyakan utusan negeri Eropa yang lain. Terjadilah negosiasi sebelum utusan tersebut menghadap kaisar Tiongkok. Hasilnya, utusan Raja Inggris diperbolehkan memberi hormat kaisar Tiongkok seperti ia memberi hormat pada rajanya sendiri. Yaitu hanya menekuk sebelah lutut, tidak sepenuhnya berlutut menyentuhkan jidat ke lantai. Dalam suratnya, Raja George III meminta kepada kaisar Tiongkok untuk dapat menerima duta tetap dari kerajaan Inggris, memberikan izin kapal-kapal Ingris berlabuh dan berniaga di banyak pelabuhan di samping pelabuhan Kanton, izin berdagang dan menimbun barang di Beijing, dan izin untuk mengembangkan agama. Kesemua permintaan Raja George III tersebut ditolak oleh Kaisar Qian Long. Atas penolakan kaisar Qian Long pada semua yang dikehendaki Raja Inggris tersebut, tentu saja tidak hanya membuat kecewa Raja Inggris, pun membuat Raja George III merasa gusar karena merasa sangat direndahkan. Semua keinginannya untuk duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan Tiongkok, semuanya ditolak. Sayangnya, betapa kecewa dan gusarnya menerima perlakuan Kaisar Tiongkok, di mana semua suvenir Raja George III dari Inggris diterima kaisar Tiongkok sepenuhnya hanya sebagai tanda upeti, toh Inggris hanya bisa memendam rasa kesal dan dendam. Kala itu Inggris belum punya keberanian untuk berlaku kasar dan keras kepada Tiongkok.

Jadilah Inggris sampai pada waktu itu menyebut Tiongkok sebagai China. Konsekuensinya lidah bangsa rumpun Melayu pun belum menerima perbendaharaan kata baru China tersebut, yang dilaraskan dengan lidahnya sendiri sebagai C i n a

Perkataan China, Buah Kekalahan Tiongkok Dalam Perang Candu

Tapi enam-tujuhpuluh tahun kemudian dari masa Raja Inggris, George III, dilecehkan oleh Qian Long, kaisar ke-3 dinasti Qing, Maka berkat revolusi industri di Eropa, industri Inggris maju melompat ke depan, membawa Inggris ke posisi adidaya dunia pertama di dunia kala itu. Dalam posisinya yang demikian itu, oleh tuntutan kebutuhan pasar bagi produk industrinya, Inggris kembali mengincar Tiongkok. Dihantui oleh rasa kurang percaya diri apakah bisa secara langsung dapat memaksa Tiongkok membuka diri, maka terjadilah. Inggris memberi contoh kepada barang siapa di dunia ini ingin mencapai tujuanya, untuk menghalalkan segala cara. Jadi “penghalalan segala cara,” menurut sejarahnya adalah alat politik kapitalisme untuk mencapai kepentingannya. Alat politik yang untuk pertama kalinya dipraktikkan oleh bangsa/negara kapitalis termaju pada zamannya, yaitu Inggris. Dan kalau namanya alat politik, biasanya memang tidak mempedulikan masalah etika dan moral. Demikianlah Inggris yang dari Tiongkok menerima dan menikmati daun teh, membalas budi kepada masyarakat Tiongkok dengan daun candu, yang terlebih dahulu telah banyak ditanam di India, setelah negeri bersangkutan berhasil dikuasainya.

Demikianlah. Setelah penduduk Tiongkok berhasil dibikin teler melalui candu, para birokratnya pun mulai diam-diam getol berdagang candu gelap, maka moral Konfusianisme yang telah eksis selama ribuan tahun lamanya, runtuh berguguran. Di mana keruntuhan moral tersebut telah berakibat membuat tercabut keluarnya kekuatan bangsa tersebut baik secara fisik maupun mental. Dalam kondisi demikian, maka ketika Inggris datang untuk kedua kalinya memaksa Tiongkok agar membuka diri untuk dijadikan pasar bagi produk industrinya, maka Inggris tidak menemui kesukaran apa pun. Karena kondisi bangsa di negeri tersebut telah berubah menjadi bagai masakan tahu dalam piring, yang tidak memerlukan tenaga untuk menyendoknya dan kemudian menyuapkannya ke mulut serta menelannya. Dengan amat mudah Tiongkok dikalahkan oleh Inggris dalam Perang Candu.

Demikianlah akibat kekalahan Perang Candu tersebut, maka lahir Persetujuan Nanking (1842) dan sejumlah persetujuan-persetujuan lain sebagai akibat kekalahan Tiongkok dalam Perang Candu tersebut. Sejak itu, Tiongkok berubah menjadi dipandang hanya sebagai negeri sumber penghasil bahan baku dan pasar produk industri negeri para penakluknya. Selain Inggris, kapitalisme Jerman, Belanda, Portugis, AS, Rusia, dan Jepang dll. ramai-ramai menjarah-rayah Tiongkok. Di bawah tekanan keroyokan negeri-negeri kapitalis, Tiongkok benar-benar terpuruk. Harus membayar ganti rugi kepada Inggris atas candu yang musnah terbakar dalam Perang Candu, serta seluruh biaya yang telah dikeluarkan oleh Inggris untuk membiayai Perang Candu tersebut. Ganti rugi yang telah menyeret Tiongkok ke dalam jurang utang internasional yang tak mungkin terlunasi. Keunggulan militer bangsa-bangsa Barat memberikan pengaruh maupun dominasi politik dan ekonomi yang negatif pada kehidupan bangsa dan rakyat Tiongkok. Hal-hal tersebut merupakan faktor pendukung memasyarakat-luasnya pemakaian istilah “China” yang diberikan Inggris sebagai pemenang perang, kepada Tiongkok yang telah total dikalahkannya.

Jadi istilah sebutan China memang terjadi dalam kondisi ketiadaan keseimbangan antara Inggris sebagai pemberi nama dan Tiongkok si penerima sebutan. Inggris dalam puncak kejayaan sebagai adidaya dunia, sedangkan Tiongkok dalam posisi yang lemah selemah-lemahnya. Sampai di sini kita boleh tarik kesimpulan, bahwa perkataan “China” yang dalam lidah rumpun bangsa Melayu memperoleh pelarasan lafal menjadi”Cina”, baru dikenal dalam masyarakat dunia sejak dikalahkannya Tiongkok oleh Inggris di dalam Perang Candu. Barangkali Perjanjian Nanking (1842) bisa kita jadikan tonggak waktu, kapan istilah “Cina” atau “Cino” berawal.

Dasar Pembentukan Istilah “China” Atau “Cina”

sunting

Salah satu pertimbangan yang dipakai untuk resmi menggunakan istilah “Cina” sebagai pengganti istilah “Tiongkok” dan “Tionghoa” seperti dikemukakan dalam Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Tentang Masalah Cina Nomor: SE-06/Pres.Kab/6/1967, tertanggal Jakarta, 28 Juni 1967- adalah, bahwa ras Cina itu pernah berada di bawah pemerintahan dinasti Qin. Padahal Tiongkok tidak hanya pernah diperintah dinasti Qin. Ada banyak dinasti yang pernah memerintah Tiongkok. Seperti dinasti Xia (2205-1766 SM), dinasti Shang (1766-1122 SM), dinasti Chou (1122-249 SM), dinasti Qin (220-206 SM), dinasti Han Barat (206-25 SM), dinasti Han Timur (25 SM-221 M), Enam Dinasti - Wei, Shu, Wu, Qin Barat, Qin Timur, Liu (220-589 M), dinasti Sui (581-618 M), dinasti Tang (618-906 M), dinasti Sung (960-1279 M), dinasti Yuan (1279-1368 M), dinasti Ming (1368-1644 M), dan dinasti Ching (1644-1911 M).

Tentu, kita terangsang untuk bertanya. Mengapa dinasti Qin yang masanya terpendek (220-206SM) digunakan sebagai dasar untuk membentuk sebutan “China”-”Cina?” Bukankah dinasti Ming lebih layak. Karena bukan saja kurun masanya lebih dekat, pun di dalam dinasti ini hubungan Tiongkok-Nusantara berlangsung cukup intens. Laksamana Chengho berkali-kali melakukan pelayaran laut ke Nusantara. Periode hubungan ini malah meninggalkan bukti-bukti sejarah seperti “Kelenteng Gedung Batu” di Semarang, kelenteng di Welahan. Kelenteng di mana salah seorang pahlawan nasional kita R.A. Kartini pernah memperoleh kesembuhan mukjizat, disembuhkan dari sakit yang dideritanya, setelah sebelumnya gagal menjalani pengobatan konvensional. Sehingga sejak itu R.A. Kartini menyebut dirinya sendiri sebagai “Bocah Budha” yang selalu pantang memakan makanan yang berasal dari mahluk berjiwa. Seperti diceritakannya sendiri dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon, salah seorang sahabatnya. Bahkan, malah kisah kesasteraan “Dampo Awang” atau “Sam Po Kong” telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kesasteraan seni drama Ketoprak di Jawa, yang cukup populer.

Lalu, mengapa Pemerintah ORBA kok justru memilih dinasti Qin yang masa kuasanya bahkan lebih singkat ketimbang masa kuasa ORBA sendiri? Padahal Sekretaris Presidium Kabinet Ampera Brigjen. TNI Sudharmono, S.H. yang menanda tangani Surat Edaran No. SE-06/Pres.Kab/6/1967 dapat dipastikan belum tentu beliau benar-benar tahu seluk beluk dinasti Qin tersebut. Jadi, apakah sebenarnya dasar yang melatarbelakangi pengubahan sebutan Tionghoa/Tiongkok menjadi Cina itu? Apakah tidak sama dengan Inggris semasa ia menamakan manusia dan negeri tersebut sebagai China? Yaitu posisi di atas angin. Sama denga posisi Inggris ketika baru saja berhasil mengalahkan Tiongkok, ORBA yang baru saja mengalahkan ORLA, yang karena prasangka rasialnya yang kebablasan, berangggapan bahwa komunitas Tionghoa Indonesia disebabkan oleh faktor kesamaan ketionghoaan menjadi potensial sewaktu-waktu bisa bertindak sebagai kaki-tangan RRT, yang merupakan musuh besar bagi negara-negara majikan ORBA, yang oleh karenanya mentalnya harus segera dihancurkan dengan cara mengubah sebutan Tionghoa menjadi Cina disertai dengan berbagai tindakan-tindakan pemusnahan segala yang berbau Tionghoa, seperti dilarangnya bahasa mandarin, atau pergi beribadah ke kelenteng dlsb?

Jadi sebutan China oleh Inggris pada pertengahan abad XIX maupun Cina oleh rezim ORBA pada tahun 1967, kesemuanya adalah tindakan politik yang dilakukan oleh sebuah kekuatan politik yang berkuasa terhadap pihak lemah yang berada dalam genggaman kuasanya. Sudah barang tentu sepenuhnya semuanya kental beraroma pelecehan. Semoga dengan ini para pihak yang selama ini bertahan pada pendapat bahwa penolakan disebut Cina sebagai sikap arogan, mulai bisa melihat, bahwa nuansa pelecehan tersebut memang cukup kental. Kalau tidak, untuk apa rezim Orba di tahun 1966/1967 (Seminar AD II Seskoad Bandung, 25-31 Agustus 1966 dan Presidium Kabinnet Ampera, 28 Juni 1967) di tengah-tengah tingginya kesibukan melakukan konsolidasi kekuasaan yang masih belum mantap, lalu berperilaku seperti orang kurang pekerjaan, iseng mengkutak-katik perubahan sebutan dari Tionghoa/Tiongkok menjadi Cina?

Apakah tindakan mengganti sebutan Tionghoa/Tiongkok menjadi Cina memang lebih penting dari tindakan konsolidasi kekuasaan yang baru diraihnya? Pertanyaan yang salah! Karena tindak penghancuran mental Tionghoa dengan penggantian sebutan Tionghoa menjadi Cina dan berbagai tindakan yang mengiringinya seperti disebut di atas, adalah justru bagian dari tindakan Rezim Orba untuk mengkonsolidasi kekuasaan politik yang baru saja diraihnya, melalui media peristiwa pollitk G-30-S tahun 1965. Sampai di sini semoga perdebatan tentang sebutan Cina atau Tionghoa di antara sesama korban kebrutalan rezim Orba disudahi. Selanjutnya bersatu guna bersama-sama memperjuangkan dicabutnya SE-06/Pres.Kab/6/67 dan kemudian biarkan kedua sebutan kembali seperti sebelum terjadinya peristiwa G 30 S, dipergunakan secara berbarengan sebagai perbendaharaan kata komunikasi saja, tanpa nuansa politis apa pun

Makna Kata Tionghoa dan Kapan Ia Dikenal

sunting

Seperti kata Indonesia, kata Tionghoa mengandung semangat dan makna “berjuang membebaskan diri” baik dari feodalisme maupun terutama dari penindasan imperialisme. Agar bisa duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain siapa pun di dunia ini. Kata "Indonesia" yang secara resmi menjadi nama sebuah bangsa baru di kawasan Nusantara diperkenalkan oleh Adolf Bastian, terjadi pada pertengahan abad XIX. Jadi sebelum itu di dunia ini tidak ada yang tahu kalau penduduk yang sekarang mendiami NKRI ini bernama Indonesia. Merujuk kepada arti kepulauan penghasil rempah-rempah, Belanda menamakannya sebagai Hindia Belanda. Maknanya kepulauan penghasil rempah milik Belanda. Bukan Indonesia.

Demikian halnya dengan nama Tionghoa. Sebelum awal abad XX tidak ada orang yang mendengar atau mengenal bangsa berjumlah terbesar di dunia tersebut dengan nama Tionghoa. Mengapa? Karena bangsa terbesar jumlah warganya itu tidak menyebut diri sebagai bangsa Tionghoa, melainkan menyebut dirinya sendiri sebagai bangsa Han. Dan bangsa Han tentu tidak sama dengan bangsa Tionghoa. Karena kalau seperti bangsa Indonesia yang tidak identik dengan Jawa, demikian pula bangsa Tionghoa tidak identik dengan bangsa Han. Bangsa Tionghoa terdiri dari semua suku-suku bangsa termasuk suku Manchu di samping Han sebagai suku bangsa terbesar di negerinya. Sebelumnya, bangsa Han pantang mengakui suku Manchu sebagai bagian dari bangsanya. Walau pun Manchu dalam fakta sejarahnya pernah berkuasa pada dinasti terakhir di negeri itu cukup lama (1644-1911M)

Bagaimana bangsa Han bisa berubah menjadi bangsa Tionghoa

sunting

Bangsa dengan jumlah warga terbesar yang berdiam di daratan Asia itu tergolong salah satu bangsa tertua dengan perdaban tinggi di dunia, yang terbius oleh kemakmuran hidup dan ketinggian peradabannya menjadi cenderung memandang rendah bangsa-bangsa di luar dirinya sendiri. Kecenderungan yang membuat kurangnya kesediaan melihat dan mengakui perubahan zaman. Membuat bangsa ini tidak mengetahui, bahwa bangsa Inggris yang pernah dilecehkannya pada perempat terakhir abad XVIII, sejak perempat pertama abad XIX telah melejit menjadi negeri industri termaju di dunia yang telah mengantarkannya pada kedudukan adidaya dunia yang pertama. Kemakmuran, ketinggian peradaban serta keangkuhan bangsa berjumlah penduduk terbesar di dunia tersebut, telah membuat negeri-negeri industri yang sama-sama ingin menjadikannya menjadi pasar produk industrinya masing-masing, bersatu. Bahu-membahu menaklukkannya.

Sejak jauh waktu negeri ini ditaklukkan negeri-negeri industri, telah banyak bangsa dan negeri ditaklukkan oleh bangsa-bangsa Barat terlebih dahulu. Pada umumnya sebuah bangsa dan negeri dikuasai oleh sebuah bangsa dari negeri industri. Berbeda dengan itu adalah bangsa berpenduduk terbesar di dunia itu. Negerinya dikapling-kapiling oleh negeri-negeri pengeroyoknya. Inggris, Perancis, Jerman, Portugis, Belanda, Rusia, AS, Jepang dll. Dalam kondisi demikian, berlakulah hukum alam. Semakin keras bola dibanting ke lantai, semakin tinggi bola tersebut akan melenting ke atas. Tak syak lagi akibat tingginya intensitas keroyokan negeri-negeri Barat tersebut, membuat kebangkitan rakyat negeri itu relatif terjadi lebih cepat.

Demikianlah, rakyat dari bangsa yang negerinya kita sebut Tiongkok, yang relatif lebih belakangan dikalahkan dan dikuasai oleh sejumlah negeri imperialis, relatif pula bangkit lebih awal ketimbang sesama bangsa terjajah lainnya. Kalau Perjanjian Nanking (1842) kita jadikan tonggak waktu kekalahan dan kehancuran Tiongkok dan Gerakan Pembaharuan 100 Harinya Kang Yu Wei (1898), juga Gerakan Tinju Keadilan/Boxer dan gerakan kebangkitan nasionalnya Sun Yat Sen kita jadikan tonggak waktu kebangkitan dan kemenangan, ternyata prosesnya perjuangan mengubah kedudukan dari bangsa terjajah dan terhina kembali menjadi bangsa terpandang yang setara hanya terjadi dalam periode waktu setengah abad, tidak berabad-abad seperti kebanyakan bangsa terjajah/terhina lainnya.

Jadi proses perubahan dari bangsa Han menjadi bangsa Tionghoa, berlangsung sejak mulai tumbuhnya semangat perlawanan terhadap orang asing, sampai berhasilnya revolusi di bawah pimpinan Sun Yat Sen, Oktober 1911. Revolusi tersebut mengakhiri monarki di Tiongkok dan menggantinya dengan republik, yaitu Republik Tiongkok. Sayang, barangkali oleh rasa masih minder penduduk Tiongkok kepada bangsa-bangsa Barat, maka para pemimpin republik sepertinya tidak merasa perlu meluruskan sebutan Republik of China dari negeri-negeri Barat, dengan Zhong Hua Min Guo, seperti bangsa Indonesia selalu tidak kenal lelah meluruskan sebutan Inlander dengan sebutan Indonesia. Maka akhirnya keterlanjuran sampai sekarang. Bahkan Kedutaan Besar RRT dalam suratnya kepada salah satu organisasi berbasis massa Tionghoa di Jakarta, meminta agar disebut sebagai The People Republic of China dengan singkatan dalam bahasa kita menjadi RRCh. Jelas, dengan Ch, pihak kedutaan besar Tiongkok menolak disebut Cina, namun memilih untuk melestarian nama pemberian penakluknya, Inggris. Pihak Kedutaan Besar Tiongkok seolah bersilat lidah bahwa kata China sama sekali berbeda arti dengan kata Cina. Padahal keduanya sami mawon. China yang lidah Inggris dilaras dalam lidah Melayu menjadi Cina, sebutan yang ditolak oleh pihak Kedubes Tiongkok. Kita dibuat senyum kecut. Karena seperti disuguhi dagelan yang tidak lucu! China? OK. Cina? No! Padahal semestinya: Kedubes Tiongkok memluruskannya dengan meminta disebut dengan sebutan Zhong Hua Ren Min Gong He Guo, yang lebih ringkasnya menjadi Zhong Guo atau Tiongkok. Dengan demikian pelurusan Kedubes bukannya meminta RRC diganti dengan RRCh, melainkan RRC minta agar dikembalikan menjadi RRT. Republik Rakyat Tiongkok. Karena inilah istilah yang dipakai sejak awal mula kedua negara menjalin hubungan diplomatic. RI – RRT. Bukan RI – RRC atau RI-RRCh.

Tionghoa Adalah Khas Nama Sebuah Etnik di Indonesia

sunting

Penjajah ternyata tidak menggunakan pola seragam dalam memperlakukan masyarakat masing-masing negeri jajahannya. Hal ini menyebabkan yang dialami komunitas Tionghoa di berbagai negeri jajahan di Asia Tenggara, misalnya, tidaklah sama. Dasar sejarah inilah yang menerangkan mengapa apa yang dialami oleh komunitas Tionghoa di bekas negeri jajahan Inggris dan Spanyol di Tanah Melayu dan Filipina, tidak sama dengan yang dialami komunitas Tionghoa di bekas jajahan Belanda. Semua masyarakat terjajah/tertindas sama-sama menderita. Namun belum tentu penderitaan komunitas Tionghoa di bawah penjajah Inggris dan penjajah Spanyol sama kadarnya dengan yang dialami komunitas Tionghoa di bawah penjajahan Belanda di Hindia Belanda. Ketingian kadar derita yang dialami komunitas Tionghoa di Hindia Belanda inilah kemungkinan besar yang menjadi faktor pembeda. Kenapa pengaruh Gerakan Pembaharuan 100 Hari Kang Yuwei, Gerakan Tinju Keadilan/Boxer, dan Gerakan Kebangkitan Nasional Sun Yat Sen di akhir abad XIX dan awal abad XX tidak membuat bangkitnya komunitas baik di Tanah Melayu maupun di Filipina, namun tumbuh subur di Hindia Belanda?

Pengaruh ketiga gerakan di Tiongkok akhir abad XIX dan awal abad XX, di Hindia Belanda segera merupa dalam wujud berdirinya Rumah Perkumpulan Tionghoa atau Tiong Hoa Hwee Koan pada 17 Maret 1900 di Batavia. Setahun kemudian, bak cendawan di musim hujan, di banyak kota di Jawa berdiri sekolah-sekolah yang juga bernama Tiong Hoa Hwee Koan. Tidak hanya sekolahan-sekolahan Tiong Hoa Hwee Koan berdiri, juga surat-surat kabar yang pada umumnya berbahasa Melayu-Tionghoa bermunculan. Termasuk surat kabar yang kemudian paling handal, Sinpo, muncul terbit oleh dorongan kebangkitan nasionalisme Tionghoa yang semula bersumber dari bumi Tiongkok

Api yang membakar semangat komunitas Tionghoa di Hindia Belanda untuk bisa berbuat sama dengan para pejuang nasionalis di Tiongkok, agaknya sama sekali bukan faktor kesamaan ketionghoaan, melainkan sepenuhnya oleh faktor keinginan komunitas Tionghoa Hindia Belanda untuk dapat segera lepas dari penderitaan penindasan Belanda. Terbukti, kalau faktornya kesamaan ketionghoaan, mengapa di Malaya/Malaysia dan Filipina tidak juga bertumbuhan Tiong Hoa Hwee Koan setempat. Mengapa Tiong Hoa Hwee Koan hanya tumbuh di Hindia Belanda? Demikianlah halnya yang akan terjadi. Seandainya pemerintah dan bangsa kita gagal meredam suhu diskriminasi terhadap komunitas Tionghoa di negeri ini meningkat dan meningkat, maka terutama mereka yang berkemampuan dari komunitas Tionghoa di negeri ini akan berpaling kiblat ke negeri-negeri lain, yang dipercayainya akan menjadi tanah harapan baru. Dan kalau ini terjadi, pastilah ini tidak disebabkan faktor ketionghoaan. Karena tanah harapan barunya belum tentu Tiongkok, melainkan ke Amerika, Australia atau New Zealand. Maka akan tertinggalah komunitas Tionghoa yang tersisa tinggal di negeri ini, lapisan mereka yang berekonomi lemah, dan juga ber-SDM lemah. Karena seandainya mereka tidak lemah, maka oleh pekatnya polusi udara diskriminasi, merekapun boleh dipercaya juga akan tergoda mencari tanah harapan baru. Ini suatu hal yang sangat manusiawi.

Maka logikanya, seandainya dalam kondisi ketertindasannya di Hindia Belanda dahulu, gerakan kebangkitan nasionalisme Indonesia tumbuh lebih dahulu dari gerakan serupa yang tumbuh di Tiongkok, maka dapat dipastikan kalau komunitas Tionghoa di Hindia Belanda niscaya akan menyatukan dirinya dengan gerakan kebangkitan nasional Indonesia. Karena sesungguh dan sebenarnya, baik penyatuan diri atau penerimaan komunitas Tionghoa di Hindia Belanda terhadap gerakan kebangkitan nasional di Tiongkok maupun terhadap gerakan kebangkitan nasional Indonesia -seandainya yang disebut belakangan ini muncul sebelum yang timbul di Tiongkok- kesemuanya bermotivasi tunggal. Yaitu ingin selekasnya membebaskan diri dari belenggu penindasan kolonialisme Belanda. Motivasi inilah yang membuat komunitas Tionghoa di Hindia Belanda pasti akan segera menyatukan diri dengan gerakan kebangkitan nasional Indonesia, seandainya gerakan semacam ini lahir lebih dahulu dari yang lahir di Tiongkok. Begitulah, karena nyatanya gerakan pembebasan nasional terlebih dahulu muncul di Tiongkok, maka komunitas Tionghoa yang sudah pengap dengan penindasan kolonialismne di Hindia Belanda, segera mudah saja menerima ide nasionalisme yang andaikan cahaya, bersinar-sinar memancar ke seluruh pelosok negeri terjajah di seluruh dunia. Karena dalam logikanya, dengan adanya Tiongkok baru yang kuat, komunitas Tionghoa di Hindia Belanda dapat berharap kolonialisme Belanda tidak terlalu semena-mena memperlakukan dirinya. Untuk alasan inilah komunitas Tionghoa di Hindia Belanda menerima konsep “Tionghoa”. Yang sama dengan konsep “Indonesia”. Konsep “Tionghoa” tersebut mengandung semangat dan makna nasionalisme. Yaitu semangat selalu siap melawan penindasan demi mencapai kedaulatan diri sebagai sebuah bangsa atau komunitas yang setara dengan bangsa-bangsa atau komunitas-komunitas lain.

Dengan demikian, walaupun benar konsep “Tionghoa” diadopsi dari Tiongkok, namun sebutan Tionghoa pada kenyataannya adalah sebutan khas untuk komunitas bersangkutan di Indonesia. Sebagaimana faktanya, kecuali hanya di provinsi Fujian, Tiongkok, kita boleh tanya, apakah penduduk Taipeh mengenal “Tionghoa”? Apakah penduduk Beijing mengenal “Tionghoa”? Apakah penduduk Hongkong mengenal Tionghoa? Saya kira tidak! Apa lagi di tempat-tempat di luar ketiganya. Seperti di negeri-negeri Barat bahkan Asia Tenggara, dari mulai Indocina, Muangtai, Filipina, Malaysia, dan bahkan Singapura, rasanya mereka lebih mengenal China/Cina ketimbang Tionghoa. Karena itu kata Tionghoa dapat diyakini khas sebutan etnik yang berleluhur di daratan Tiongkok untuk Indonesia. Dengan demikian “Tionghoa” adalah nama salah satu etnik anggota bangsa Indonesia seperti halnya dengan etnik Jawa, Sunda, Aceh, Minang, Batak, Bali dll, yang tersebar menghuni segenap pelosok bumi Indonesia.

Karena itu kepada semua saja yang mengaku warga bangsa Indonesia, yang di satu sisi dengan mudah bisa menerima etnik-etnik lain seperti etnik Badui, Sakai, sampai etnik terasing namun di lain pihak menggap etnik Tionghoa sebagai bangsa asing, nyata, mereka belum mengerti apa itu Indonesia! Walaupun yang bersangkutan lantang mengaku dirinya sebagai bangsa Indonesia. Demikian halnya dengan komunitas Tionghoa sendiri. Selama perasaan mereka persis seperti yang sering disuarakan lapisan elit komunitas Tionghoa seperti yang sering mereka suarakan, yang dalam nada kegembiraannya sering berkata, “sekarang kita sudah diterima sebagai suku Indonesia”. Artinya yang bersangkutan sendiri sebelumnya tidak merasa sebagai salah satu etnik anggota bangsa Indonesia. Sehingga ketika tiba waktunya ia merasa diterima sebagai “suku“ Indonesia, perasaannya seperti orang yang baru selesai mengurus naturalisasi. Di dalam dirinya pun tetap tersimpan perasaan sebagai orang Indonesia yang baru. Ini adalah perasaan yang perlu diperbaiki. Bahwa etnik Tionghoa di Indonesia sudah merupakan bagian dari tubuh bangsa Indonesia. Kalau toh pada kenyataannya ada pihak-pihak yang menyangkali kebenaran akan hal itu, hal tersebut adalah masalah politik sesat, yang harus diluruskan. Dan perjuangan meluruskan masalah politik yang sesat itu, janganlah membuat komunitas Tionghoa sendiri mudah larut dengan cara mudah merasa bahwa keberadaan dirinya di negeri ini adalah tamu. Komunitas Tionghoa bukan tamu dalam bangunan tubuh bangsa Indonesia. Apakah ia tulang paha, tulang lengan, tulang punggung atau tulang rusuk, komunitas Tionghoa adalah salah satu tulang dari tubuh bangsa Indonesia. Jangan minder! Justru salah satu makna dari kata “Tionghoa” yang tumbuh pada awal abad XX, adalah semangat dan tekad untuk duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan bangsa/komunitas lain berdasarkan prinsip kesetaraan.

Akhirnya mari kita sudahi tulisan ini dengan sebuah kesimpulan. Sebutan kata “Cina” dan “Tionghoa” tidak sejak dahulu mula memang sudah ada. Keduanya baru muncul dikenal oleh masyarakat manusia setelah sejarah perkembangan masyarakat meninggalkan zaman praindustri dan memasuki tahap perkembangan zaman industri. Industri yang produknya memerlukan adanya tempat yang disebut pasar. Pasar, yang untuk mendapatkannya, segala cara dihalalkan. Dalam rangka membuka negeri Tiongkok menjadi pasar produksi inndustri kapitalisme itulah lahir istilah “China”, sekitar pertengahan abad XIX. Jadi kata “China” berlepotan dengan lumpur penderitaan dari penjajahan. sedangkan kata “Tionghoa” lahir sebagai panji yang melambangkan semangat perlawanan terhadap penjajahan asing. Sebagai panji yang melambangkan semangat yang mendambakan kesetaraan kedudukan sesama manusia

Sebagai panji yang melambangkan semangat sebuah masyarakat yang menolak untuk terus menerus hidup di bawah penindasan, apa pun bentuknya. Dan yang demi itu siap berjuang untuk mendapatkannya. Kata “Tionghoa ini mulai dikenal di dunia lewat gerakan pembebasan nasional.

Sedangkan kata “Cina” semula ia tidak mengandung nuansa apa pun selain hanya sebagai sebuah perbendaharaan kata sebagai alat komunikasi. “Cina” hanyalah pelarasan lidah Melayu untuk kata “China”. Kata “Cina” baru bermuatan sesuatu yang tidak pada tempatnya, menyusul segera setelah terjadinya peristiwa politik yang terkenal dengan sebutan G-30-S tahun 1965. Peristiwa yang melahirkan kekuasan baru yang menamakan dirinya sebagai Orde Baru. Dalam rangka konsolidasi kekuasaan baru yang diperoleh dengan jalan kekerasan tersebut, rezim Orba merasa perlu mennghancur remukan mental dan nyali politik dari semua pihak yang diprasangkai menjadi musuh-musuhnya. Secara pokok musuh-musuh Orba itu dirumuskan Partai Komunis Indonesia dan Partai Komunis Tiongkok Oleh prasangka rasialnya yang kebablasan, Rezim Orba, bahwa jalur operasi PKT adalah melalui komunitas Tionghoa di Indonesia. Karena itu untuk menghancur-remukan mental dan nyali politik kedua golongan tersebut, maka rezim Orba membentuk dua lembaga. Yang satu disebut lembaga KOPKAMTIB. Lembaga ini berperan sebagai mikroskop, yang menempatkan semua saja yang dicurigai berindikasi PKI, diletakkan di bawah lensanya, untuk terus-menerus dideteksi. Yang satu lagi lembaga yang disebut Badan Koordinasi Masalah Cina, sebagai kelanjutan dari lembaga yang bernama Staf Chusus Urusan Tjina (SCUT). Lembaga ini sama berperan sebagai mikroskop yang meletakkan komunitas Tionghoa di Indonesia sebagai mikrobanya. Mereka selalu dideteksi. Anehnya kalau lembaga yang berususan dengan PKI (KOPKAMTIB) sudah lama dibubarkan, sebaliknya lembaga yang selalu memikroskopi komunitas Tionghoa belum juga dibubarkan. Padahal pemerintahan produk reformasi telah berganti presiden tiga kali.

*) Ketua Umum LKSI