Di Lanskap Kalibata
Di Lanskap Kalibata
'virtual untuk spiritual'
"Jika kepada kosong aku ditempatkan, lantas kepada siapakah kosong dipantaskan?"
Mungkin ini pertanyaan mendasar saat kehidupan hiperealisme menjadi nyata. Sesungguhnya, tidak ada yang benar-benar berubah dalam memasuki penihilan abad dunia, selain kebiasaan dan kembali merasakan proses keseharian sebagai pengalaman individu yang paling personal. Hanya saja, tidak semua dari kita terlibat langsung dalam muara konflik peradaban dunia. Bahkan, tidak semua dari kita akan mampu mengerti sekaligus apa tujuan peperangan ini, selain; 'manusia sebagai kebudayaan.' Bahwa di kontemporer pandemik ini, kita mendadak terputar dalam satu gelombang besar keseharian tepat pada titik akhir, di planet bumi. Inikah realita dari optikal ilusi yang kita pahami sebagai memori negatif dalam fotografi? Suatu memori mendadak hadir dan menjadi ruang gelap yang penuh sesak. Semacam somatis dalam menguji klinis.
"- Wagner: (Anxiously.)
Welcome, to the planet of the hour!
(Whispering.)
But stifle your breath, and words’ power,
A noble work is likewise being weighed.
- Mephistopheles: (Whispering.)
What might it be?
- Wagner: (Whispering.)
A Man is being made."
Part II Act II Scene II: A Laboratory, from FAUST, by Johann Wolfgang von Goethe.
Begitulah bahasa menjadi kekayaan dari yang paling terkelam dan, "psychologically our thought-apart from its expression in words is only a shapeless and indistinct mass." (Ferdinand de Saussure, from: Course in General Linguistics). Namun kini aku teringat Mpu Tantular dalam Kakawin Sutasoma (XXI:2) yang menuliskan, bahwa: "Di masa lampau, setelah Raja Pandawa pulang ke surga mencapai kelepasan. Semua raja di dunia yang merupakan penjelmaan para dewa. Semua surut karena ketakutan akan datangnya zaman kegelapan." Pada kosong dunia yang gelap, ilusi memori, optikal non-harapan, hingga gejala psikosomatis seakan menjadi gerbang menuju peradaban digital. Proses ini telah mengingatkan kita untuk kembali melatih diri sebagai rupa pengalaman tubuh 'deep learning' yang sesungguhnya menjadi bentuk satire atas perilaku manusia itu sendiri. Artificial Intelligence (AI) menjadi alternatif teknis dalam membawa pikiran masyarakat modern untuk kembali kepada diri sendiri, 'temet nosce'. Manusia dengan perilaku bersosial yang kian absurd menjadi satu pola perenungan tentang matrix peradaban atas kekacauan yang tidak pernah tuntas bagaikan unitarian. Aku merekam segalanya dari sudut pandang individual yang terlahir sebagai bagian dalam masyarakat urban. Psiko-sosial telah menjadi refleksi dunia yang gelap pedih, penuh duka, dan kehidupan bergerak pada susunan kesedihan.
"after all, I am myself
“mirroring as a mirror”
there is nothing, but death,
the shadow stands
this darkness heart
as a cold dawn air
I see pod on
the blue lake opened
at the kilometer of the ankle
the shape of an ocean drop falls
after all, I am myself
“mirroring as a mirror”
no more piles are rising left
solitude bounded the steps of mine"
(THE IMPRESSION OF A FRAGILE, by Okty Budiati, 2007)
Peperangan, pembunuhan, penghapusan, dan pembodohan kepada yang bersifat individual sebagai tubuh yang intelejensia. Individu berubah tanpa kesadarannya, menjadi robot-robot etalase masing-masing. Dunia modern mengabaikan sesuatu yang paling sederhana dan sewajarnya. Modernisasi tidak lebih dari kumpulan pertikel-partikel keseharian yang terisolasi. Dan pandemik COVID-19 sewujud sarkastis keras bagi dunia: "Bhineka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa". Ada hal mendasar yang terlewatkan dalam individu manusia saat beradaptasi dalam detail kesehariannya. "My power is my property. My power gives me property. My power am I myself, and through it am I my property." (Max Stirner, The Ego and Its Own)
Dunia tidak ubahnya serupa fractal pada visual pot kristal. Pada setiap bidang ruang, ia memiliki sudut yang berbeda, mengisi warna yang berbeda, menyimpan waktu yang berbeda. Begitu pula manusia dengan kehidupannya. Keberbedaan ini menjadi pertanyaan bagi kita semua. Pertanyaan sederhana atas keseharian dalam mata rantai kehidupan semesta raya. Apakah post-struktural telah berhasil merealisasikan imajinasinya tentang kesejahteraan dan perdamaian dunia? Kehidupan terserang kanker, namun teknologi tetap mencari inovasi sebagai solusi. Betapa konyolnya saat para bandit terus hidup bermanipulasi dengan segala cara, sehingga inovasi yang telah diupayakan yang bersumber dari hasil bumi hingga transmisi farmasi sebagai hasrat cita-cita manusia atas kebaikan hidup tidak sepenuhnya dapat dirasakan manusia. Maka, hati terdalamku kembali bertanya; "masihkan kita semua bergerak atas nama counterculture dan counterterrorism jika penyeragaman tradisi menjadi satu-satunya budaya di planet bumi?" Namun keterasingan telah membawa self-sovereign sebagai refleksi self-defense of nations, bahwa yang bernyawa berdiri pada titik paling tragis. Kornea merekam segala hal menjadi rasis. Soma mengulang perilaku menjadi fasis. Spirit kembali menjadi taruhan mendasar dalam memaknai ketuhanan sekaligus kemanusiaan.
Sebagai satu pengalaman personalku saat menyusuri jejak pencarian akar aksara dalam upaya membaca perjalanan tubuh masyarakat, khususnya eksplorasiku atas aksara Sansekerta-Jawa melalui performance art hingga penelitian pada artefak, literasi maupun arsitektur, apa yang tersusun pada seluruh pengalaman tersebut, aku melihat, bahwa pengalaman tubuh individu sebagai personal sekaligus sosial akan sangat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh tradisi keseharian yang mana siklus tersebut secara otomatis menjadi budaya keseharian di masanya. Satu pengalaman menelusuri jejak aksara pada codec 'Aryabhatiyam', aku bertemu dengan seorang performance artist asal China di Performance Art Festival - NIPAF tahun 2017. Kami berbagi kisah sejarah, bahasa, hingga seni dan puisi, khususnya untuk puisi Haiku beserta ilustrasi Haiga yang menjadi awal eksplorasiku. Saat itu, aku diperkenalkan pada aksara 'weh renhua' yang secara langsung mempengaruhi makna minimalisme pada Haiku dan Haiga. Hingga akhirnya, pada tahun 2018-2019 India menjadi puncak pencarian tubuh sebagai kebudayaan, di Morni Hills Performance Art Festival di Chandigarh - Himalaya, India, KIPAF dan Performance Art Independent di Shantiniketan - Kolkata, India. Aku menemukan jawaban atas Sansekerta-Jawa. Naskah yang tetap utuh di Indonesia. Ia semakna artefak filosofi tubuh manusia dalam alam semesta. Satu naskah yang bersifat soma-filosofis itu bernama HANACARAKA. Sepulang dari India, aku mulai menelusuri seluruh arsip dan artefak seputar 'hanacaraka' sebagai muara pengetahuan tubuh dalam kebudayaan. Tersudut oleh pandemik COVID-19 tidak menyurutkan penelusuranku tentang membaca detail keseharian, namun memberikan kesadaran yang bersifat continuum. Aku terlahir di ruang denah khatulistiwa, lengkap terlindungi oleh dunia agraria sekaligus maritim. Pencarianku tentang akar sejarah serta tanah kelahiran telah membawaku pada planet bumi di bagian selatan yang seringkali tersamarkan dalam catatan sejarah kebudayaan dunia. Sebuah catatan pertikaian hanya tersiarkan antara dunia timur-barat, utara-selatan menghilang dan bermutasi di dalam manuskrip Plato. Aryabhatiyam menjadi gerbang lain dalam membaca ulang tentang digital serta pertanian nuklir, hingga pengolahan ruang hidup sebagai aktivitas produksi dan reproduksi kebutuhan keseharian. Masa isolasi menjadi solusi lain untuk mempraktikkan aktivitas tersebut, khususnya bagi mereka yang tinggal di wilayah urban dan megapolitan. Namun, tidak semua aktivitas tersebut dapat dilaksanakan secara langsung. Ada banyak perilaku keseharian yang memang harus berubah, khususnya bagi mereka yang bekerja sebagai buruh di kota besar. Ini menjadi tantangan dunia kesenian dalam bereksplorasi, terus mengikuti perkembangan inovasi teknologi, hingga menemukan solusi penggunaan tools tersebut dengan metode paling sederhana (minimalis) secara maksimal untuk menunjangan aktivitas masyarakat umum dalam menyesuaikan abad hiperealisme.
Kembali pada sistem pertanian nuklir, Jepang dengan inovasinya dalam dunia pertanian telah menarikku untuk kembali membaca serta mengurai pemahaman pengetahuan akan kosakata 'nuklir' sebagai spot senyawa tersendiri. Bagaimana tubuh menjadi terikat erat dengan inovasi tersebut, yang menjadi partikel utama dalam anatomi tubuh manusia. Sedangkan dari India, aku mengerti tentang pentingnya memaknai 'mataram' sebagai sejarah perjalanan anatomi kebudayaan dan konektivitas pada alam semesta. Seluruh aktivitas tubuh manusia serta mahluk hidup lainnya di planet bumi hingga alam semesta saling terkait. Ini menjadi hal yang cukup absurd manakala diriku memiliki latar belakang seni tari balet klasik dan tradisional tari Bali harus meneliti dunia atom, hingga sistem kerja matrix pada nerves systems. Namun dari seluruh kompleksitas ini, aku mengerti, bahwa dunia paralel sangat berhubungan erat dengan emosional, mental, spiritual pada laku keseharian, baik secara individu maupun kolektif. Keterikatan sebab akibat pada sistem jaringan partikel atau atom menjadi perputaran kehidupan baru dalam memasuki dunia frekuensi total atau 5G. Di mana secara langsung, individu mengalami proses 'deep learning' yang tidak lagi terfokus kepada hasrat selfish personal, namun secara langsung diajak untuk kembali mengolah ruang emosional dalam hal empati, mengolah pengadaan bahan pangan sehari-hari dengan hydroponic, hingga reproduksi pendapatan ekonomi dapat terolah dengan pola pengembangbiakan kolam serta pengemasan produk sampah di lingkungan hidup masing-masing. Inilah salah satu falsafah dalam tubuh 'hanacaraka'. "By three methods we may learn wisdom: First, by reflection, which is noblest; Second, by imitation, which is easiest; and third by experience, which is the bitterest. " (Confucious)
Menjadi sebuah tantangan bagi setiap negara untuk kembali membaca ruang kebutuhan masing-masing sebagai self-defense of nations. Bahwa di planet bumi, segala hal saling terhubung semacam jaring laba-laba. Ada hal yang tidak dapat diabaikan begitu saja, bahwa cuaca serta realita agraria dari setiap negara tetaplah berbeda. Kita tidak bisa menyeragamkan kebutuhan tersebut hanya dengan menggunakan satu sudut pandang. Di titik ini, peradaban kosong perlahan dikembalikan kepada kosong yang lain. Maka, pentingnya artist (multi-dicipline arts), writer-journalist, scientist, hingga economist memiliki peran dan mendorong perubahan kosong menuju awal peradaban baru dengan pikiran yang lebih terbuka. Di mana dunia kesehatan menjadi tonggak engeering kehidupan mendatang.
Betapa satirnya manusia dengan alamnya dan, betapa tragisnya keberadaan manusia dengan seluruh ambivalennya. "The weapons of divine justice are blunted by the confession and sorrow of the offender." (Dante, The Divine Comedy II: Purgatory) - Kesehariannya yang kompleks atas eksistensi kelahiran masing-masing telah menjadikan individu-individu terpojok, sedangkan "The Universe is worked and guided from within outwards - Gently to hear, kindly to judge." - Shakespeare." (Helena Petrovna Blavatsky, The Secret of Doctrine) - Personal individual pada proses meraih imajinasi dalam struktur hiperealisme membawaku kepada catatanku sendiri tentang cinta dan perang yang bersifat individu. "Sesaat, kembali teringat kepada Marquis de Sade untuk kekejaman suatu pikiran yang begitu liar dan brutal, halusinasi yang sangat gelap horor, sesuatu yang dipenuhi oleh intrik dan rahasia, sebagai hadiah yang terkemas indah di atas panggung agung. Namun, di waktu yang lain, Louise Bourgeois mengingatkanku, bahwa; "The twentieth-century artist who uses symbols is alienated because the system of symbols is a private one. After you have dealt with the symbols you are still private, you are still lonely, because you are not sure anyone will understand it except yourself. The ransom of privacy is that you are alone." (Perang dan Cinta: 'hancurnya pengorbanan dan sastra', Okty Budiati, 2021).
Mungkin kosong dipantaskan kepada kosong yang lain. Sementara manusia ramai-ramai terduduk menatap sang surya merambati langit dari arah timur saat di tempat yang lain hujan deras jatuh. Dan pada daratan lain, pelangi membentuk lengkung abadi di mana surya perlahan undur diri dan mempersilahkan bayangan tubuhnya menjadi cahaya pada gelap galaksi dan melupakan keberadaan binatang serta tumbuhan yang juga membutuhkan perhatian khusus sebagai keberlangsungan rotasi kehidupan alam semesta. Aku dari bingkai jendela tua menatap kepada perpecahan tiga dunia, merenungi negara dalam mengirim barisan bersenjata dengan tubuh warganya atas nama perdamaian. Aku mengutuk militerisme yang terlilit kapital dan terus tersasar. Mitologi tetap tergelincir.
Di Lanskap Kalibata
Okty Budiati
February 2021