Di Sela Rimbun Rumpun Bambu
Suara celoteh anak-anak begitu riang dari sela rumpun bambu, mengusik Angga untuk mengintip siapa yang berada di sana. Matanya tajam menyelisik di antara rimbunnya dedaunan rumpun bambu. Suara yang tak asing di telinga membuat Angga untuk lebih mendekati sumber suara.
“Ayo,.... tendang yang kuat,” teriak Dino pada Alwin yang sedang ambil ancang-ancang menendang bola ke gawang yang pembatasnya undakan batu itu. Bola itu langsung melayang, bukan masuk pada gawang tapi justru ke tempat Angga yang sedang mengintip mereka main. Angga tergagap lalu dengan refleks mengambil bola yang meluncur mengenai pundaknya dan untung bola itu bisa ditangkapnya.
“Sedang apa di sana Angga? ayo main bola bersama,” serentak Dino dan Alwin mengajak Angga untuk main.
“Aku sedang menunggu kedatangan Bian dan Brian, sepupuku dari Jakarta, jadi tidak bisa main,” sanggah Angga sambil melempar bola pada mereka.
“Oh, si kembar itu ya? asyik kita punya teman untuk bermain bola lagi, banyak orang pasti tambah seru, seperti libur sekolah kemarin ya,” kata Alwin sambil menangkap dengan sigap bola yang dilempar dari Angga.
- * *
Di dalam pesawat terdengar pilot mengarahkan penumpang dari loudspeaker “Attention all passengers the plane will arrive at Praya airport at 12.30 all passengers please be prepared to use your seat belts, because we will be arriving at the airport soon. Thank you for your attention.” (Perhatian para penumpang, pesawat akan tiba di bandara Praya pukul 12.30 para penumpang agar menggunakan seat belt-nya karena pesawat akan segera mendarat. Terima kasih atas perhatiannya.)
“Asik, kita sudah mau sampai!” teriak Brian pada adiknya yang sedang melihat keluar jendela.
“Yes, kita bisa main bola sepuas-puasnya,” dengan semangat Bian menjawabnya.
“Awas kalau kalah, jangan memalukan lagi, masa kita dibuat kalah sama mereka,” Brian memperingatkan adiknya tentang permainan bola pada libur kemarin yang kalah karena Bian memasukkan bola pada kandang sendiri.
“Biasanya kamu kan jadi lawan aku, jadi aku lupa kalau kita kemarin di satu tim,” sambil terkekeh Bian mengenang peristiwa permainan bola ketika mereka libur di bulan Januari kala itu.
- * *
Dengan perjalanan 2 jam dari bandara Praya, akhirnya Brian, Bian dan ayahnya telah sampai ke rumah Pak Bahang, adik dari ayahnya Brian dan Bian. Biasanya Brian dan Bian memanggil Om dan tante pada ayah Angga itu. Rumah itu di pinggiran Praya, sehingga masih banyak pohon-pohon dan juga rumpun bambu. Rumah sederhana tapi sangat bersih dan ditata dengan apik oleh si empunya rumah, membuat betah untuk berlama-lama di rumah itu, karena begitu indah dengan bunga dan pohon-pohon yang ditata sangat indah. Halamannya luas, apalagi di belakang rumah, membuat Brian dan Bian selalu merindukan rumah ini, bila ada di Jakarta.
“Angga, kita main yookkk,” segerombolan anak-anak sudah berada di depan rumah dengan wajah-wajah lugu mereka. Wajah Angga menyembul di balik pintu sambil tersenyum semringah dan teriak pada Bian dan Brian agar mereka cepat-cepat ke depan menemui teman-temannya.
“Ayo Bian, Brian,.... kita sudah ditunggu teman-teman,” teriak Angga dari balik pintu depan.
“Hai,.... teman-teman, kenalkan nih, saudaraku dari Jakarta,” dengan rasa bangga, Angga memperkenalkan Brian dan Bian pada teman-temannya yang datang, terutama pada Doni, Idon dan Leka yang belum kenal dengan Brian dan Bian.
“Kembar ya?” tanya Leka takjub. Angga menjawab dengan mengangguk singkat.
Sambil berlari riang, mereka saling kejar kejaran menuju tempat lapang untuk bermain bola yang di batasi sebagian kerimbunan pohon bambu.
Ketika permainan bola hampir selesai dan rasa penat mulai dirasakan, begitu mendengar bunyi keliningan es, langsung konsentrasi mereka saat itu jadi buyar. Leka yang sedang menggocek bola jadi hilang konsentrasi dan menoleh pada tukang es yang sedang menonton mereka bermain bola dan kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Bian, langsung bola itu di rebut dengan lincah oleh kaki Bian dan keberuntungan di pihak Bian, untuk menit-menit terakhir, bola itu pun masuk ke gawang lawan dan tim Bian memperoleh skor sehingga kedudukan menjadi dua satu untuk tim Bian. Waktu Pun berakhir dan tim Bian bersorak girang, karena mereka memenangkan pertandingan.
“Hayo, yang kalah jangan lupa traktiran kita seperti kesepakatan ya,” teriak Alwin pada tim Brian.
“Siapa takut,” jawab Brian sambil merogoh uang dari saku celananya.
“Asik,.... hayo,.... kita serbu !!!” sambil berlari, semua memadati tukang es cream yang sedang asyik nongkrong melihat pertandingan mereka. Tukang es merasa senang karena jualannya kali ini laris dengan cepat sampai bingung untuk melayani, karena anak-anak berebutan mengambil es cream-nya.
Baru tukang es mau menghitung harga semua yang di beli anak-anak, tiba-tiba jatuh pingsan. Mereka semua kaget dibuatnya, es cream yang hendak di buka tutupnya oleh Brian pun terjatuh, karena dengan refleks Brian menopang tubuh tukang es cream, sehingga tidak jatuh ke tanah langsung, karena di topang oleh Brian dan Leka yang dekat dari tukang es cream itu.
“Gimana nih?,....” dengan panik Angga bertanya pada teman-temannya.
“Kita lapor pak RT saja, biar ditangani,” usul Dion.
“Saya telepon ayah saja ya,” kata Reka yang ayahnya seorang dokter. Semua mengangguk setuju sambil bilang serentak “Iya, kan bapak kamu dokter,” serentak mereka menyetujuinya.
“Ayah, ada tukang es cream tiba-tiba pingsan di lapangan ketika kita selesai main bola,” dengan panik Reka memberi tahu bapaknya ketika di seberang Pak Gunawan ayah Reka mengangkat telepon anaknya.
“Di sana ada orang dewasanya tidak?” tanya Pak Gunawan.
“Tidak ada yah, Cuma kita ber-10 yang sedang main bola. Kita tidak tahu harus berbuat apa.”
“Ya sudah, letakan saja bapaknya di tempat yang teduh, longgarkan saja baju yang dikenakan, sebentar lagi ambulans akan ke sana,” perintah Pak Gunawan pada anaknya.
Setelah menunggu 8 menit, ambulans langsung datang dan membawa bapak penjual es cream tersebut. Brian tadi berinisiatif untuk memberi tahukan keluarga penjual es cream jika bapak tadi di bawa ke rumah sakit, karena itu Brian tadi sempat mencatat alamatnya. Anak-anak yang tadi bermain bola pun bersepakat untuk ikut membantu mencarikan alamat bapak itu.
“Alamat ini jauh, dekat rumah sepupu aku,” kata Leka setelah melihat foto KTP dari bapak tadi yang sudah di masukan di Gawai Brian. “Harus naik angkot dan masuk ke gang rumahnya jalannya kecil, paling bisa naik motor,” sambung Leka menggambarkan lokasi yang akan di tuju.
“Sekarang saja kita ke sana ya,” usul Reka
“Tapi aku tidak punya uang untuk naik angkotnya,” jawab Alwin, Ali, Dedi bersamaan.
“Jangan khawatir, aku ada uang lebih nih,” bersamaan Brian dan Bian memberi solusi. Karena orang tua Brian dan Bian seorang pengusaha sukses, uang jajan yang di berikan ayahnya cukup lumayan.
Akhirnya ke sepuluh anak menuju rumah Pak Beka tukang es cream dengan menggunakan angkot yang di sewa. Tak terasa angkot sudah sampai tujuan, perlu jalan ke dalam lagi untuk sampai rumah yang di tuju. Leka yang tahu alamatnya menjadi penunjuk jalan. Harus melewati pematang sawah, untuk sampai rumah Pak Beka. Sementara angkot yang di sewa hanya menunggu di pinggir jalan karena tidak bisa menuju ke rumah yang di tuju. Karena sewa angkot pulang-pergi, jadi tukang angkot menunggu di tepi jalan raya.
Tentu istri Pak Beka kaget di datangi anak-anak yang tidak dikenal. Apalagi setelah dijelaskan duduk persoalannya, Bu Beka tambah kaget dibuatnya. “Jadi Bapak sekarang masuk rumah sakit?” sambil menangis dan kebingungan, Bu Beka gelisah tak tahu harus berbuat apa. “Mana ibu tidak punya ongkos untuk mengobati bapak, jangankan berobat, mau lihat saja tidak punya ongkos,” dengan polos Bu Beka mengeluh pada anak-anak yang datang.
Melihat anak-anak ada di rumah Bu Beka, tetangga kanan dan kiri mulai mendatangi rumahnya, mereka ingin tahu sebetulnya ada kejadian apa?. “Ada apa kah? kenapa banyak nak-anak?” Bu Umar yang istri RT langsung menanyakan kejadian yang terjadi. Bu Beka langsung menjelaskan duduk persoalannya secara runtun membuat bu RT jadi prihatin dan langsung mengatakan pada Bu Beka untuk sabar, juga Bu RT mengajak warga yang sudah dulu-an sampai di sana untuk meringankan beban dengan sumbangan ala kadarnya. Dengan sumbangan yang di berikan Bu RT akhirnya Bu Beka dan anak tertuanya bisa menemui suaminya diantar oleh anak-anak.
“Dari mana sudah sore baru pulang?” tanya Bu Bahang ibu Angga.
“Tadi tukang es cream pingsan Bu, waktu kita beli esnya, jadi kita semua yang main bola ikut bantu istrinya menemui suaminya ke rumah sakit Bu,” dengan singkat Angga berusaha menjelaskan.
“Keadaannya sekarang bagaimana setelah ditangani dokter?” Pak Bahang yang mendengar percakapan itu ikut nimbrung.
“Sudah siuman Pak, tapi harus dirawat dulu kata dokter,” jawab Angga sambil membuka sepatu bolanya.
Angga, Brian dan Bian pun menuju ke belakang untuk mandi di pancuran yang di buat Pak Bahang untuk ke tiga anak yang suka mandi sambil bercanda di belakang. Mereka jika sudah bermain air lupa waktu.
- * *
“Kasihan ya keadaan Pak Beka,” Brian yang selalu punya empati tinggi pada orang-orang yang tak beruntung, memulai percakapan ketika mereka sedang bercengkerama setelah makan di ruang makan yang di buat lesehan, di samping kamar Angga.
“Iya. Gimana jika Papa bisa bantu ya,” usul Bian pada Brian kakaknya.
“Gimana jika kita yang bantu saja, jangan libatkan orang tua, kita cari uang dengan hasil kita sendiri selama libur ini, kita jual suvenir pada bule-bule yang sedang berlibur di pantai Gilimanuk atau Kuta,” Brian pun punya usul yang berbeda dari adiknya.
“Menarik usulan Brian, kebetulan teman Om ada yang bisnis suvenir, bisa kalian jual pada turis-turis asing, sambil kalian memperlancar bahasa Inggris secara gratis kan,” Pak Bahang memberi solusi atas usulan Brian.
“Wah, menarik itu Om, aku setuju. Selain kita belajar Bahasa Inggris, juga melatih keberanian kita untuk bisa memulai dagang dan suatu saat bisa saja kita bisnis,” khayal Brian sambil tersenyum senang karena usulannya ditanggapi dengan baik oleh Om-nya.
“Angga dan Bian mau tidak ikut menjualkan suvenir selama libur dengan Brian?” tanya Pak Bahang pada anak dan keponakannya.
“Wah seru juga, apalagi jika kita ramai-ramai dengan teman yang lain. Sambil kita piknik, menghibur diri,” Angga juga semangat untuk ikut menjual suvenir dari teman Bapaknya.
“Besok, kita bicarakan dengan teman-teman yang lain kalau begitu,” jawab Bian antusias.
Senja temaram di luar, cakrawala mulai menyembul dari batas bumi, seakan ingin bercerita pada anak-anak yang akan bermimpi dengan imajinasi dan harapan bisa membantu Pak Beka yang kini berbaring lemah di rumah sakit yang sedang menengadahkan kedua tangannya meminta pada sang Ilahi Robby untuk cepat di sehatkan kembali, agar bisa memberi tanggung jawabnya pada anak dan istri yang kini sedang menanti kehadirannya di rumah.
- * *
Diam-diam tanpa sepengetahuan Angga, Brian dan Bian, Pak Bahang bercerita pada kakaknya ayah Brian dan Bian melalui gawainya tentang niat anak dan ponakannya itu. Tentu saja Pak Ilham menyetujui usulan adiknya yang ingin mendidik anak dan ponakannya untuk bisa menjadi seorang wirausaha sejati dengan melatih sejak kecil sifat kemandirian, problem solving, pekerja tangguh dan karakter baik lainnya yang bisa tumbuh dari impian anak dan ponakan yang mau membantu orang yang sedang kesulitan dengan tanpa minta bantuan orang tuanya. Pak Ilham mengerti dengan kesulitan keluarga Pak Beka di rumah, karena selama Pak Beka di rumah sakit, pasti anak istrinya kesulitan mendapatkan nafkah, karena tulang punggung keluarganya tak bisa kerja di rumah sakit. Karena itu, Pak Ilham langsung mentransfer uang pada adiknya untuk di berikan pada Bu Beka dengan merahasiakan pemberian pada anak dan ponakannya. Pak Ilham pun mengizinkan kedua anaknya yang ingin berjualan suvenir.
- * *
Seperti biasa, selama libur panjang, rumah Angga menjadi tempat berkumpul teman-teman dan tetangganya. Apa lagi selama ada Brian dan Bian, semakin banyak teman yang datang ke rumahnya. Tetangga pun sebagian besar masih saudara dari bapak maupun ibunya yang asli orang Lombok.
Setelah semua teman-temannya berkumpul, Brian langsung mengatakan gagasan pada teman-teman barunya itu. Mereka sangat antusias mendengarnya, dan sebagian besar mau ikut, hanya 3 orang yang tidak berminat karena bermacam alasannya.
Akhirnya mereka menjual suvenir di pantai Kuta dan di pantai Gilimanuk. Pak Beka meluangkan waktu untuk mendrop mereka ke dua tempat itu.
Banyak suka duka yang mereka dapati selama berjualan suvenir, tapi karena niat untuk membantu meringankan penderitaan Pak Beka, segala rintangan mereka atasi dengan senang hati.
Setelah lima hari mereka dagang, sudah terkumpul uang 2 juta rupiah dari 7 anak yang ikut berjualan sebagai untung yang mereka dapati. Hasil itu pun telah dipotong untuk mereka jajan dan makan.
Mereka memutuskan untuk memberikan hasil itu pada Pak Beka dan keluarganya yang sudah pulang dari rumah sakit.
Tentu saja Pak Beka dan keluarga sangat terharu karena anak-anak punya hati yang baik dalam meringankan keluarganya. Pak Beka sangat berterima kasih dengan kebaikan hati anak-anak itu.