"Dia sudah dipanggil dan sekarang dia mau pergi"

Isi pesan suara dari saudara tertuaku itu merampas makanan yang ada ditanganku dan menukar pandanganku beralih ke lantai.

"Aku akan segera kembali" balasku dengan pesan suara sambil berlari mengambil tas biru pemberiannya. Langkah demi langkah terputar replay kejadian semalam saat tanganku digenggamnya dan membumbui malam itu bersama nasihat-nasihat perbaikan diri.

"Dia tidak boleh pergi dulu, dia janji akan menungguku"

Pikiranku sudah kacau, hatiku sudah retak, nafasku tinggal detakan-detakan tak bermakna.

"Dimana dia?? Dia harus makan dulu sebelum pergi!" Teriakku dari pekarangan rumah dengan intonasi tinggi. Terlihat banyak raga yang tidak asing lagi di kamar ibuku. Aku hanya heran kenapa hari ini orang-orang mengikuti styleku dengan mata merah berdarah. Tapi itu sama sekali tidak mempengaruhi niatku untuk mencium tangan ibuku.

"Tangannya pucat, mungkin karena sudah lama menungguku, dia kan sudah berjanji."

Suara bising bernada sama menjadi menciut. Aku suka bernyanyi tapi aku tidak suka lirik mereka, apalagi suara yang menonjol adalah saudaraku.

"Sabar nak,"

Seribu dari mereka hanya mengatakan kata itu dari luar rumah sampai dalam rumah. Aku jenuh mendengarnya.

Tanpa sadar hal yang kusembunyikan kini terbongkar karena ketidaksanggupanku, air mataku jatuh dengan derasnya.

"Ibuku benar-benar ingin pergi" kataku berulang-ulang diiringi nyanyian tangisan jiwa yang ada di sana

"Dia hanya ingin istirahat, biarkan ia pergi menggunakan pesawat agar tidak terlalu mengeluarkan energi dibandingkan menggunakan angkot umum" terdengar gurauan kain putih dan payung hitam kepadaku. Hingga kakulah badannya dan harus dimandikan.