Did Muhammad Exist ?

Oleh : Robert Spencer

Daftar Isi sunting

Kata Pengantar oleh Johannes J. G. Jansen

Kronologi Kejadian-kejadian Kunci

Muhammad dan Keluarganya, Menurut Tradisi Islam

Pendahuluan : Dipenuhi Terang Sejarah?

Bab 1 Sang Tokoh Yang Tidak Pernah Benar-benar Hadir

Bab 2 Yesus, Sang Muhammad

Bab 3 Mencipta Muhammad

Bab 4 Menyalakan Terang Penuh Sejarah

Bab 5 Kisah-kisah Muhammad Yang Memalukan

Bab 6 Berubahnya Qur’an Yang Diklaim Tidak Berubah

Bab 7 Qur’an Berbahasa Arab yang bukan Bahasa Arab

Bab 8 Seperti Apa Qur’an Kemungkinanannya?

Bab 9 Siapa Yang Mengumpulkan Qur’an?

Bab 10 Membuat Segalanya Jadi Lebih Logis

Catatan

Bacaan Lebih Lanjut

Pengakuan

Indeks

Kata Pengantar sunting

Oleh Johannes J. G. Jansen

Muhammad, nabi Islam, secara kuat hadir dalam pikiran jutaan muslim. Hal ini membuat kita sukar membayangkan jika ia mungkin saja tidak pernah hidup sebagai pribadi yang nyata, senyata Richard Nixon. Kaum muslim memiliki ingatan yang kuat dan hidup akan sang pendiri gerakan keagamaan yang kita kenal sekarang sebagai agama Islam. Ingatan ini nampaknya begitu kuat dan hidup sehingga para akademisi professional yang tugas-tugas hariannya menimbang bukti-bukti pro dan kontra historisitas Muhammad harus menghabiskan berhari-hari dimana mereka terheran-heran melihat bahwa pencarian intelektual mereka tampak tidak masuk akal.

Adalah menantang untuk mempercayai bahwa Muhammad pernah benar-benar hidup sebagaimana para leluhur kita pernah hidup, hanya karena ia melulu hidup dalam pikiran para pengikutnya. Namun pencarian yang lebih dalam akan bukti-bukti historis akan segera membuat para skeptik terheran-heran kepada mereka yang mempercayai jika Muhammad pernah benar-benar hidup. Akan menjadi kelegaan tersendiri untuk melulu percaya bahwa tidak ada masalah dengan historitas Muhammad.

Para ahli logika berkali-kali menyatakan bahwa suatu ketidakberadaan tidak bisa dibuktikan. Ketika filsuf Inggris, Bertrand Russel, suatu saat berkata bahwa tidak ada badak di ruang kuliahnya, Ludwig Wittgenstein, muridnya dari Austria mulai mencari-cari badak di bawah meja dan kursi. Dia tidak percaya. Pelajaran dari kisah ini sangat sederhana: Untuk membuktikan suatu keberadaan mungkin akan sukar, tetapi membuktikan ketidakberadaan sejatinya benar-benar tidak mungkin.

Namun demikian, adalah beralasan untuk meragukan historisitas Muhammad. Dari awal saja tidak ada jejak-jejak arkeologis yang meyakinkan yang meneguhkan kisah-kisah tradisional tentang Muhammad dan masa-masa Islam awal. Para cendikia dan ahli Islam konon tahu banyak tentang dekade-dekade awal Islam, tetapi apa yang mereka ceritakan tidak memiliki peneguhan dari bukti-bukti fisik dalam bentuk apapun dari waktu dan tempat yang disebutkan dalam cerita-cerita tersebut.

Apa yang mereka ketahui terbatas kepada cerita-cerita, dan kepada beberapa cerita yang sama yang diceritakan ulang oleh orang lain sebelumnya. Sebagaimana kisah-kisah, latar belakang yang kepadanya kisah-kisah karya Muhammad dipanggungkan masih kurang konfirmasi dari pihak luar. Kita tidak tahu banyak tentang keadaan umum Arabia di abad ketujuh, namun gambaran yang tradisi Islam tawarkan tidak bisa dikonfirmasi dengan apa yang kita ketahui sekarang. Faktanya temuan-temuan arkeologis seringkali berkontradiksi dengan gambaran yang disodorkan oleh tradisi Islam. Bukti-bukti prasasti, misalnya saja, memperlihatkan bahwa kaum Arab kuno bukanlah kaum pagan sebagaimana yang Islam ajarkan, meraka adalah kaum monoteis yang percaya pada satu Allah, pencipta langit dan bumi.

Hanya karya-karya arkeologi yang lebih banyak lagi yang dilakukan di Arabia dan Syria Besar saat ini yang mungkin dapat memecahkan dilemma yang timbul berkaitan dengan historisitas Muhammad. Namun tentu saja para penguasa wilayah ini tidak akan memberi ijin riset-riset ilmiah yang mungkin nantinya akan berkontradiksi dengan apa yang oleh mereka yang berkuasa percayai sebagai kebenaran agamawi. Dan jika hasil dari riset telah ditentukan sebelumnya oleh kepentingan-kepentingan agama, para akademisi tidak akan tertarik dengan hasilnya.

Seorang cendikia Irak, Ibnu Ishaq ( sekitar 760 M), menulis sebuah buku yang menjadi dasar dari semua biografi Muhammad. Tidak ada guratan biografis Muhammad yang hadir tanpa bergantung pada Ibnu Ishaq. Jika analisa buku Ibnu Ishaq memperlihatkan bahwa apapun alasannya karya tersebut tidak bisa dianggap sebagai sumber-sumber historis, maka semua pengetahuan yang kita miliki tentang Muhammad akan menguap. Ketika buku Ibnu Ishaq yang sering dikutip terlihat sebagai karya fiksional belaka, maka kita akan harus menerima bahwa tidaklah mungkin untuk menemukan kebenaran tentang Muhammad.

Hanya jika ditemani oleh karya Ibnu Ishaq ini Qur’an akan tampak seperti kesaksian yang cukup handal tentang Muhammad dan karirnya. Tetapi kita akan kesukaran manakala kita ingin merekonstruksi kehidupan dan ajaran Muhammad dari Quran, sebab kitab yang kita kenal sekarang mungkin bukanlah reproduksi otentik dari teks berbahasa Arab yang pernah didiktekan kepada Muhammad di awal abad ketujuh. Ada alasan-alasan untuk mempercayai bahwa Qur’an sampai pada bentuknya sekarang ini tidak di abad ketujuh melainkan di kemudian hari, atau bahkan jauh di kemudian hari. Aksara Arab dimana Qur’an di tulis tidak pernah ada di awal abad 7 M, sehingga tidak mungkin sekretaris-sekretaris Muhammad, jika mereka dikembalikan hidup saat ini, mengenali edisi modern Quran sebagai bagian dari teks-teks suci yang didiktekan kepada mereka dalam fragmen-fragmen selama Muhammad hidup, itupun jika kisah tentang dikte-dikte dari Muhammad memang benar-benar pernah terjadi.

Kumpulan tradisi Islam yang dikenal sebagai Hadis membentuk sumber ketiga yang darinya kisah-kisah kehidupan Muhammad direkonstruksi. Hadis bukanlah suatu sumber tunggal, melainkan sekumpulan sumber-sumber dengan kualitas yg tidak seragam. Sebagian dari hadist tidak bisa dipercaya, bahkan menurut pendapat cendikia Islam sendiri. Para cendikia dan ahli kitab muslim menuduh beberapa periwa / transmitter materi ini telah mengarang-ngarang cerita mereka sendiri. Adalah mungkin untuk mengarang-ngarang cerita tentang seseorang yang nyata (lihat saja surat kabar atau Facebook), namun untuk membentuk suatu gambaran kehidupan seseorang sepenting Muhammad, tidak seharusnya seseorang menggunakan kisah-kisah yang mungkin telah dikarang-karang.

Untuk mengetahui kebenaran tentang Richard Nixon adalah sukar, dan akan jadi tidak mungkin tanpa ada rekaman-rekaman sejarah. Dalam kasus Muhammad, tidak ada rekaman-rekaman sejarah. Sama sekali tidak banyak. Benar-benar sedikit sehingga kecurigaan-kecurigaan akan keberadaannya dibenarkan.

Johannes J. G. Jansen bekerja sebagai Houtsma Professor for Contemporary Islamic Thought di Universitas Utrecht (Belanda) sampai pensiunnya di tahun 2008. Beliau adalah penulis dari beberapa buku termasuk The Dual Nature of Islamic Fundamentalism dan The Interpretation of the Koran in Modern Egypt, dan telah menerjemahkan Qur’an ke dalam bahasa Belanda.

Kronologi Kejadian-kejadian Kunci sunting

Dalam kronologi ini, kejadian-kejadian yang kurang didasari atas ranah historis, hanya didasarkan pada asumsi umum akan dicetak miring.

610 : Muhammad menerima pewahyuan Qur’an pertamanya dari Allah lewat malaikat Jibril

610–632 : Muhammad secara periodic menerima wahyu-wahyu Qur’an

632 : Muhammad wafat

632–634 : Masa Kalifah Abu Bakar

632–633 : Peperangan-peperangan dengan kaum Murtad

632- Desember : Pertempuran Yamama, kematian banyak penghapal bagian-bagian

Qur’an; menurut tradisi Islam, ini adalah pendorong dari koleksi Quran pertama.

633 : Invasi Arab ke Irak

634–644 : Masa Kalifah Umar

636–637 : Penaklukan Arab atas Syria dan Palestina

630-an akhir : Dokumen Kristen dipublikasikan yang menyebutkan seorang nabi Arab tak bernama dan masih hidup yang “mengangkat pedang”

639  : Penaklukan Arab atas Armenia dan Mesir

640-an awal : Thomas, seorang imam Kristen, menyebutkan pertempuran antara tentara Byzantin melawan “tayyaye d-Mhmt” di timur Gaza pada tahun 634

644  : Penaklukan Arab atas Persia

644–656  : Masa Kalifah Usman

640an–650an : Tersebar koin di Palestine yang menyandang tulisan “Muhammad” namun menggambarkan seorang tokoh yang memegang salib

650an–660an : Penaklukan Arab atas Afrika Utara

651  : Muawiya, gubernur Syria, mengirim surat kepada Kaisar Byzantin Konstantin menyerukan beliau untuk meninggalkan Yesus dan menyembah Allahnya Abraham

653  : Usman mengumpulkan Qur’an, men-standarkan teks-teksnya, menyuruh varian lain dibakar, dan mendistribusikan versinya ke semua provinsi Islam

654  : Penaklukan Arab atas Cyprus and Rhodes

656–661  : Masa Kalifah Ali

661–680  : Kalifah Muawiya

660an/670an  : Dicetak koin yang menggambarkan Muawiya memegang sebuah salib dengan bulan sabit di atasnya.

660an/670an  : Uskup Armenia Sebeos menuliskan catatan bersifat semihistoris, semilegenda tentang Mahmet, seorang pengkhiotbah Arab yang mengajarkan umatnya untuk menyembah Allah Abraham dan memimpin 12000 Yahudi, bersama dengan Arab, untuk menginvasi Palestina

662  : Kolam pemandian di Palestina didedikasikan dengan prasasti resmi yang menyebutkan Muawiya dan menyandang sebuah salib

674  : Pengepungan pertama kaum Arab atas Konstantinopel

680  : Periwayat anonymous mengidentifikaiskan Muhammad sebagai pemimpin “kaum Ismail,” yang Allah pilih melawan Persia “seperti pasir di tepi laut”

680–683  : Masa Kalifah Yazid I

680an awal  : Koin-koin nampaknya menggambarkan Yazid menyertakan sebuah salib

685  : Abdullah bin Az-Zubair, penguasa pemberontak di Arabia, Irak, dan Iran, mencetak koin-koin yang memproklamirkan Muhammad sebagai nabi Allah

685–705  : Masa Kalifah Abd al-Malik

690  : Periwayat dari Kristen Nestorian John bar Penkaye menulis tentang otoritas Muhammad dan brutalitas kaum Arab

690an  : Uskup Kristen Koptik John dari Nikiou membuat penyebutan yang luas tentang “muslim” (sekalipun edisi paling awal yang tersedia dari karya ini tertanggal sekitar 1602 M dan mungkin telah diubah dalam proses terjemahan)

691  : Prasasti Kubah Batu mendeklarasikan bahwa “Muhammad hamba Allah dan utusannya” dan bahwa “Mesias, Yesus anak Maria, hanyalah seorang utusan Allah,” dan menampilkan penggabungan kutipan-kutipan dari Qur’an

696  : Koin-koin pertama muncul yang tidak menampilkan gambar penguasa dan hanya menampilkan syahadat iman Islam

690an  : Berdasarkan pelbagai tradisi Islam, Hajjaj bin Yusuf, gubernur Irak, mengumpulkan Quran, menstandarkan teks-teksnya, menitahkan varian-varian lain dibakar, dan mendistribusikan versinya sendiri kepada seluruh provinsi Islam.

690an  : Hajjaj bin Yusuf memperkenalkan pembacaan-pembacaan quran ke dalam ibadah di mesjd, berdasarkan tradisi Islam yang kemudian hari dikenal qira’at sab’ah.

690an  : Hajjaj bin Yusuf menambahkan tanda-tanda diakritik ke dalam teks-teks Quran sehingga memampukan pembaca untuk membedakan pelbagai konsonan aksara Arab dan dengan demikian membuatnya tampak masuk akal.

711–718  : Muslim menaklukan Spanyol

730  : Penulis Kristen John Damaskus merujuk teologi Islam secara detail, juga tentang surah-surah dalam quran, walaupun tidak pernah menyebutkan kata “Qur’an” secara langsung.

732  : Muslim maju sampai Eropa Barat dan dihentikan di Peperangan Tours

750an–760an : Malik ibnu Anas mengkompilasi koleksi hadis pertama

760  : Ibn Ishaq mengumpulkan materi biograpikal dan mempublikasikan biografi pertama Muhammad.

830an–860an: Koleksi 6 Hadis utama dikompilasi dan dipublikasi, menyediakan detil kata-kata dan perbuatan Muhammad bervolume-volume

Muhammad dan Keluarganya, Menurut Tradisi Islam sunting

- Muhammad adalah putra dari Abdullah dan Aminah.

- Kakek dari pihak ayah Muhammad, Abdul al-Muttalib, mempunyai seorang putra, Abbas. Anak dari Abbas, Abdullah bin Abbas, adalah sepupu Muhammad. Banyak hadist dipertalikan kepada Abdullah bin Abbas sebagai sumber utama: rantai periwa dimulai darinya sebagai saksi dari kejadian-kejadian yang diceritakan.

- Saudara dari Abdullah, Abu Talib adalah pengampu guardian setelah kematian Abdullah dan Aminah. Ia juga merupakan bapak dari Ali bin Abu Talib, yang adalah sepupu Muhammad dan juga tokoh pendiri Islam Syiah.

- Muhammad dan istri pertamanya, Khadijah, mempunyai tiga anak perempuan: Fatimah, Zaynab, and Ruqayyah.

- Fatima menikah dengan Ali bin Abu Talib dan memiliki lima anak, termasuk pahlawan-pahlawan Syiah, Hasan dan Husein. Husein terbunuh di Pertempuran Karbala tahun 680 yang menandakan perpecahan antara Sunni dan Syiah.

- Ruqayya dinikahkan kepada Usman, yang menjadi kalifah ketiga setelah Abu Bakar dan Umar.

- Ali menjadi kalifah ketika Usman dibunuh. Ketika Ali dibunuh, Muawiyah, sepupu Usman, menjadi kalifah.

Pendahuluan sunting

Dipenuhi Terang Sejarah ? sunting

Tidak seperti agama-agama lainnya dimana asal muasalnya dipenuhi oleh misteri, [Islam] terlahir dipenuhi dengan terang sejarah; akar-akarnya berada di permukaan. Kehidupan sang pendiri dikenal oleh kita sebagai mana para reformis abad keenam belas. Kita bisa mengikuti fluktuasi pemikirannya tahun demi tahun, kontradiksi-kontradiksi dan kelemahannya.

—Ernest Renan, “Muhammad and the Origins of Islam” (1851)

Bayang-bayang dan Cahaya sunting

Apakah Muhamad pernah benar-benar ada? Ini adalah pertanyaan yang hanya segelintir orang pernah pikirkan, atau berani tanyakan.

Selama hampir 1400 tahun sejak sang Nabi Islam ini dipercayai pernah berjalan di muka bumi, hampir semua orang telah menganggap keberadaannya nyata. Lagi pula, jejaknya dalam sejarah kemanusiaan benar-benar luar biasa.

Encyclopedia Britannica menganugerahkan dia “tokoh agama dan nabi yang paling berhasil.” Sejarawan Michael H. Hart dalam bukunya di tahun 1978, The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History, menempatkan Muhammad di tempat paling atas, dengan menjelaskan : “Pilihan saya atas Muhammad sebagai yang paling atas dari tokoh-tokoh yang paling berpengaruh di dunia mungkin akan mengejutkan sebagaian pembaca , dan mungkin akan dipertanyakan oleh pihak lain, akan tetapi beliau adalah satu-satunya manusia dalam sejarah yang benar-benar berhasil baik dalam ranah agama maupun secular.”[1]

Sejarawan lain telah mencatat pertumbuhan luar biasa kekaisaran Arab pada perioda segera setelah kematian Muhammad. Para penakluk Arab dengan jelas terinspirasi oleh ajarannya, menciptakan sebuah kekaisaran yang kurang dari seratus tahun telah terbentang dari Semenanjung Iberian ke India. Tidak hanya kekaisaran itu benar-benar luas, tetapi juga pengaruh kulturalnya – juga yang didasari atas ajaran Muhammad- telah bertahan juga.

Terlebih, literature Islam berisikan perkembangan materi biografis yang luar biasa tentang Muhammad. Sejarawan Inggris W. Montgomery Watt dalam dua volume biografi Muhammad dalam bahasa Inggris, Muhammad Muhammad at Mecca (1953) and Muhammad at Medina (1956) menyatakan bahwa detil catatan Islam tentang Muhammad saja, ditambah dengan tampilan-tampilan negatif tentang kehidupannya, membuat cerita itu masuk akal. [2]

Betapapun tajamnya orang-orang akan berbeda pendapat tentang kebaikan dan sisi buruk Muhammad, dan tentang nilai dari klaim-klaim profetiknya, jelas bahwa tak seorangpun akan meragukan jika ia benar-benar seorang pribadi nyata yang hidup di sebuah zaman tertentu dan tempat tertentu dan, utamanya, sebagai pendiri dari salah satu agama terbesar di dunia.

Akan tetapi bisakah seorang tokoh semacam itu ternyata tidak pernah benar-benar hidup? Pada kenyataannya, terdapat alasan-alasan yang masuk akal yang mempersoalkan historisitas Muhammad.

Sekalipun kisah-kisah Muhammad, Qur’an, dan kisah-kisah awal Islam telah diterima secara luas, namun ketika diteliti lebih dekat kisah-kisah itu terbukti sukar untuk dipahami. Semakin kita melihat asal-usul Islam, semakin kita melihat berkurang bukti-bukti penunjangnya.

Buku ini mengeksplorasi persoalan-persoalan yang sekelompok kecil cendikia telah angkat yakni masalah otentisitas historis dari catatan-catatan standar kehidupan Muhammad dan karier kenabiannya. Sebuah tinjauan menyeluruh dari catatan-catatan historisnya menyediakan tanda-tanda mengejutkan yang kebanyakan, jika tdak sama sekali, bahwa apa yang kita ketahui tentang Muhammad adalah legenda belak, bukan fakta historis. Dengan cara yang sama penyelidikan yang hati-hati menyarankan bahwa Qur’an bukanlah sebuah kumpulan yang Muhammad hadirkan sebagai wahyu dari sang Ilah Sejati namun ternyata dikonstruksi dari materi-materi yang telah ada, kebanyakan darinya berasal dari tradisi Yahudi dan Kristen.

Cendikia abad 19 Ernest Renan secara percaya diri mengklaim bahwa Islam dilahirkan dengan “ dipenuhi terang sejarah.” Namun kenyataannya, kisah sebenarnya Muhammad, Qur’an dan Islam awal terbenam dalam-dalam di dalam bayang-bayang. Sekaranglah waktunya mengupas semuanya itu di dalam terang.

Penyelidikan Sejarah Yang Mendalam sunting

Mengapa perlu melakukan pencarian semacam itu?

Iman keagamaan, apapun iman keagamaan itu, merupakan sesuatu yang banyak orang pegang kuat-kuat. Dalam kasus ini, banyak Muslim akan menganggap idea mengaplikasikan penyelidikan sejarah yang mendalam terhadap kisah-kisah asal usul Islam sebagai suatu penghinaan. Pencarian semacam itu akan menimbulkan persoalan-persoalan tentang asumsi-asumsi fondasional dari sebuah sistem keyakinan yang menuntun lebih dari satu milyar umat manusia.

Namun pertanyaan-pertanyaan di buku ini tidak ditujukan sebagai serangan kepada Muslim, melainkan pertanyaan-pertanyaan itu dihadirkan sebagai usaha untuk membuat apa yang telah ada menjadi tampak jelas.

Islam adalah iman yang diakarkan pada sejarah. Ia membuat klaim-klaim historis. Muhammad dipercaya pernah hidup di suatu zaman dan mengkhotbahkan doktrin-doktrin tertentu yang mana Allah pernah berikan padanya. Kejujuran dari klaim-klaim itu terbuka, sampai suatu derajat tertentu, untuk diselidiki oleh analisa-analisa sejarah. Benar atau tidak Muhammad menerima pesan dari Malaikat Jibril merupakan masalah penilaian iman, namun apakah dia pernah benar-benar hidup masuk ke dalam penyelidikan sejarah. Islam tidaklah unik dalam hal memancangkan klaim-klaimnya sebagai keimanan historis atau mengarang-ngarang invstigasi historis. Namun Islam itu manakala ia tidak pernah diselidiki lewat kritik historis dalam skala signifikan apapun. Baik Yudaisme maupun Kekristenan telah menjadi subyek dari investigasi akademis yg luas selama lebih dari dua abad.

Cendikia Biblikal abad 19, Julius Wellhausen, dalam bukunya Prolegomena zur Geschichte Israels (Pendahuluan terhadap Sejarah Israel), sebuah analisa tekstual dan historis dari Taurat, telah merevolusi cara bagaimana banyak kaum Yahudi dan Kristen memandang asal-usul kitab dan tradisi keagamaan mereka. Menjelang diterbitkannya studinye oleh Wellhausen pada tahun 1882, metoda kritik historis, atau disebut juga higher criticism, telah berjalan selama lebih dari seratus tahun.

Upaya-upaya akademis “pencarian Yesus historis” telah dimulah di abad 18, namun baru pada abad 19-lah metoda higher criticism ini diperkenalkan ke publik. Teolog Jerman David Friedrich Strauss (1808–1874) dalam bukunya Das Leben Jesu, kritisch bearbeitet (Kehidupan Yesus, Diuji Secara Kritis) (1835) mengusulkan bahwa mukjizat-mukjizat dalam injil sebenarnya adalah kejadian-kejadian natural yang bagi orang-orang yang mudah percaya menganggapnya sebagai mukjizat. Ernest Renan (1823–1892) dalam bukunya Vie de Jésus (Kehidupan Yesus) (1863) beranggapan bahwa kehidupan Yesus, sebagaimana halnya manusia lainnya, harus secara terbuka diselidiki oleh pengujian kritik dan historis. Kemudian para cendikia seperti halnya Rudolf Bultmann (1884–1976) melahirkan keraguan keras akan nilai-nilai historis dari Injil-injil. Beberapa cendikia menegaskan bahwa Injil-Injil kanonik dalam Perjanjian Baru adalah produk dari umat Kristen abad kedua dan dengan demikian kurang berisi nilai-nilai sejarah. Yang lainnya bahkan menyarankan bahwa Yesus dari Nazaret tidak pernah benar-benar ada. [3]

Segera para kritikus mazhab higher criticism ini, yang mempercayai penanggalan Injil-injil sebagai produk abad 2 menjadi minoritas. Konsensus yang muncul setelahnya menanggalkan bahwa Injil-injil tersebut ditulis dalam kurun 40 – 60 tahun sesudah wafatnya Yesus Kristus. Dari kurun waktu antara kehidupan para pelaku utama dan saat publikasi kitab-kitab itu, banyak cendikia menyimpulkan bahwa Injil-injil telah digelembungkan dengan materi-materi legenda. Mereka mulai mencoba untuk berangkat, lewat bukti-bukti yang tersedia, untuk menentukan siapa Yesus sebenarnya dan apa yang dia benar-benar katakan dan lakukan.

Reaksi dikalangan dunia Kristen sendiri beragama. Banyak kaum Kristen yang segera menolak higher criticism sebagai upaya untuk meruntuhkan iman mereka. Beberapa pihak mengkritik metoda ini karena skeptisisme dan keberpihakan berlebihan, dengan menganggap bahwa investigas kritikal-historikal atas Injil-injil dan historisitas Kristus sebagai usaha kaum kritikus untuk membenarkan ketidak percayaan mereka. Akan tetapi yang lainnya lebih menerima. Kebanyakan gereja-gereja Protestan seperti halnya Episkopalian, Presbytarian, Metodis akhirnya meninggalkan dogma Kekristenan yang selama ini telah dipahami, mendukung kekristenan yang nondogmatik dan berkonsentrasi pada karya-karya kharitas daripada doktrin dan spritualitas kaku. Beberapa denominasi Kristen lainnya (termasuk kelompok-kelompok sempalan dari 3 kelompok yang disebut di atas) malah berbalik kepada fundamentaslisme, yang dalam formulasi awalnya hanyalah sebuah bentuk penonjolan penentangan terhadap tantangan yg ditawarkan oleh metoda higher criticism tentang historisitas Kelahiran Yesus dari Perawan Maria, Kebangkitannya, dll.

Paus Leo XIII mengutuk metoda higher criticism dalam surat ensikliknya ditahun 1893, Providentissimus Deus, namun Sembilan tahun kemudian ia menetapkan Komisi Biblikal Pontifikal yang diwajibkan memakai alat-alat dari higher criticism untuk menyelidiki naskah-naskah kitab suci dalam sebuah konteks yang seiring dengan iman katolik. Di tahun 1943 Paus Pius XII mendorong kajian kritis yang lebih tinggi dalam surat ensiklik Divino Afflante Spiritu. Gereja Katolik akhirnya bertekad bahwa imannya bersifat historical dan kajian historis bukanlah musuh dari iman, sepanjang investigasi-investigasi semacam itu bukan semata-mata menyediakan skeptisisme radikal.

Metoda higher criticsm jelas telah mentransformasi dunia Kekristenan, mengubah pandangan beberapa komunitas Kristen utama dan secara radikal mengubah bagaimana pihak lain mewujudkan iman mereka.

Hal serupa, penyelidikan ke dalam asal-usul agama Yudaisme dan materi-materi historis yang tertuang dalam naskah-naskah berbahasa Ibrani telah mempengaruhi tradisi Yahudi. Dalam agama Yudaisme, sebagaimana dalam agama Kristen, tradisi-tradisi berkembang yang menolak literalisme dan mengevaluasi kembali pelbagai elemen ortodoksi tradisional.

Kaum Yudaisme Reformis, seperti halnya denominasi Protestan Liberal, secara umum menolak pemahaman tradisional dan literalisme yang mendasarinya.

Namun demikian Yudaisme dan Kekristenan masih hidu, dan di banyak wilayah dunia ini mereka masih berkembang. Mereka telah bertahan dari tantangan. Bisakah Islam bertahan menghadapi tantangan kritikal historis?

Tak seorangpun tahu, sebab Islam tidak pernah menerima perlakuan semacam ini dalam skala yang hampir sama.

Mengapa Islam dan tokoh utamanya dikecualikan dari penyelidikan sejarah sebagaimana telah diterapkan pada agama-agama lain?

Kekuatan Legenda sunting

Sebagai sesosok personal, Muhammad secara wajar loncat dari teks-teks Islam paling awal yang tersedia. Mahluk macam apa yang dapat membingkai manusia menakutkan ini? Siapa yang berani menciptakan tokoh yang terlalu besar ini, begitu luar biasa dalam klaim-klaimnya, cintanya, kebenciannya? Sebagai tambahan, sampai sekarang hanya ada sedikit keraguan bahwa unifikasi politik di tanah Arab terjadi di zaman dimana Muhammad diasumsikan pernah hidup. Namun para akademisi secara umum setuju bahwa para pejuang Arab mulai keluar dari dari tanah Arab baru pada kwartal kedua di abad 7 M dan dalam seratus tahun telah menundukan sebagian besar Timur Tengah, Afrika Utara, dan Persia dan telah memasuki India dan Spanyol.

Akhirnya, tentu saja, Muhammad tanpa bisa disanggah telah membuat pengaruh yang berlangsung lama dan contoh bagi dunia Islam.

Dengan ketiga poin di atas, detil potret Muhammad yang kaya telah mendasari literature Islam, dengan cara dimana ia nampaknya telah menginspirasi para penggantinya untuk mendirikan sebuah kekaisaran yang luas, dan warisannya yang bertahan lama sebagai seorang pendiri dari sebuah agama yang saat ini diklaim memiliki lebih dari 1 milyar pengikut – hanya sedikit yang pernah mempertanyakan apakah Muhammad pernah benar-benar hidup. Muslim dan non-muslim nampaknya sama-sama menganggap suatu kepastian bahwa dia pernah benar-benar hidup dan bahwa dia menggagas suatu keimanan yang kita sebut sebagai agama Islam. Saya memahami pengaruh dari kisah-kisah tradisional, sebab saya telah menghabiskan lebih dari 20 tahun mempelajari teologi, hokum, dan sejarah secara mendalam sebelum secara serious mempertimbangkan kehandalan dari apa yang sumber-sumber Islam awal katakana tentang apa yang Nabi Islam itu katakan dan perbuat.

Namun semakin saya menguji bukti-bukti yang dikumpulkan oleh para akademisi yang telah berlelah-lelah menerapkan metode kritik historis terhadap asal-usul Islam, semakin saya mengenali betapa sedikitnya bukti yang mengkonfirmasi kisah-kisah yang selama ini dikanonkan. Di dalam buku saya di tahun 2006, The Truth about Muhammad, sebuah biografi yang didasarkan atas sumber-sumber Muslim awal yang tersedia, saya memperlihatkan “kekurangan sumber-sumber awal yang terpercaya” dan meneliti bahwa “dari titik pijak historis yang ketat, adalah tidak mungkin untuk menyatakan dengan yakin bahwa sesosok laki-laki yang bernama Muhammad pernah benar-benar hidup, atau meskipun ia pernah hidup, bahwa dia melakukan banyak dari atau sebagian dari apa yang kisah-kisah itu tautkan kepada dirinya.” Namun kemudian saya katakan bahwa atas nama pelbagai alasan-alasan yang ada bahwa “ yah mungkin saja dia memang pernah ada.” [4]

Begitu jelasnya gambaran Muhammad yang muncul dari sumber-sumber Islam bukanlah jaminan bahwa ia pernah benar-benar hidup. Dunia sastra penuh dengan gambaran-gambaran yang tampak bisa dipercayai dan mendorong untuk diyakini dari para tokoh yang tidak pernah ada namun personalitasnya sepenuhnya dibentuk dari lembaran-lembaran kisah. Yang sedemikian itu apabila narasi fiksionalnya disamarkan dalam kejadian-kejadian historis, tak seorangpun akan menganggapnya keliru. Macbeth, raja Skotlandia, ada dalam drama Shakespeare secara mudahnya sama koheren dan menggoda untuk dipercayai seperti halnya seorang tokoh seperti Nabi Islam. Macbeth memang benar seorang raja nyata, namun catatan-catatan historis yang tersedia menggambarkannya sebagai seorang tokoh yang jauh berbeda dari tokoh karya Shakespeare yang antihero dan bermasalah. Novel karya Sir Walter Scott, Ivanhoe, menggambarkan banyak kejadian historis secara akurat, namun cerita primernya yang diceritakannya adalah fiksi. Robin Hood bisa jadi seorang tokoh nyata, tetap tindakan-tindakan beraninya diselimuti oleh kabut dongeng-dongeng. Ambilah contoh Robin Hood yang merampok kaum kaya dan memberikannya pada kaum mikin dan pertimbangkan teman-temannya, Friar Tuck, Sherwood Forest, dan yang lainnya sebagai tokoh legenda tambahan, dan sekarang apa yang tersisa? Barangkali hanya setitik kebenaran dari apa yang mendorong timbulnya ledenda-legenda ini, atau barangkali tidak ada sama sekali. Kita mungkin tidak pernah tahu.

Penyelidikan yang saksama atas bukti-bukti historis yang tersedia, atau setidaknya membuka kemungkinan, bahwa kasus Muhammad mungkin mirip. Beberapa catatan awal memang menyatakan bahwa seseorang bernama Muhammad pernah hidup, tetapi apa yang mereka katakana tentang dia hanya membawa sedikit kemiripan dengan nabi Islam, sang cahaya penuntun dan inspirasi bagi pasukan nomaden Arab yang berhamburan keluar dari Arabia di tahun 630an dan melecutkan serangkaian penaklukan yang secara sukses secara mengejutkan. Catatan tertua yang menceritakan kepada kita tentang tokoh ini, jika catatan itu memang benar-benar membicarakan tentang dia sebagai motif utamanya, benar-benar berbeda dengan kisah yang diceritakan dalam teks-teks Islam awal, yang penanggalannya berasal dari beberapa dekade setelah tahun dimana Muhammad dilaporkan meninggal.

Terlebih lagi, catatan-catatan historis yang tersedia berisikan sejumlah teka-teki mengejutkan dan anomali yang mengesankan bahwa kisah-kisah standar Islam tentang Muhammad lebih merupakan legenda dari pada fakta. Nampaknya Muhammad – jikapun ia benar-benar ada - jauh berbeda dari manusia sempurna dalam hagiografi Islam.

Berdiri di atas Pundak Para Raksasa sunting

Dalam menulis buku ini, saya tidak bermaksud untuk menelurkan sebuah tatanan baru. Malahan saya bermaksud untuk membawa perhatian publik yang lebih luas akan karya dari sekumpulan kecil cendikia yang telah berani, bahkan sering meresikokan pribadi dan profesi mereka sendiri, untuk menguji apa yang diungkapkan oleh data historis yang tersedia tentang kisah-kisah kanonik asal-usul Islam.

Buku ini adalah buah dari riset-riset saya ke dalam karya-karya cendikia dari generasi-generasi sebenarnya, di antaranya termasuk Ignaz Goldziher, Arthur Jeffery, Henri Lammens, David S. Margoliouth, Alphonse Mingana, Theodor Nöldeke, Aloys Sprenger, Joseph Schacht, dan Julius Wellhausen, begitu pula para cendikia modern zaman ini seperti Suliman Bashear, Patricia Crone, Michael Cook, Ibn Warraq, Judith Koren, Christoph Luxenberg, Günter Lüling, Yehuda Nevo, Volker Popp, Ibn Rawandi, David S. Powers, and John Wansbrough.

Beberapa dari cendikia yang telah menyelidiki sejarah asal usul Islam bahkan telah menerima ancaman kematian. Dan hasilnya, sebagian mempublikasikannya lewat nama samara, termasuk para cendikia ranking atas seperti halnya mereka yang memakai nama samaran Christoph Luxenberg dan Ibn Warraq. Intimidasi semacam itu merupakan rintangan bagi riset-riset akademis yang bahkan para kritikus Perjanjian Baru tidak pernah temukan.

Investigasi atas asal-usul islam, meskipun usaha-usaha tersebut sering diselimuti kesamaran, ternyata hampir setua investigasi perbandingan Yudaisme dan Kekristenan. Seorang cendikia Jerman, Gustav Weil (1808–1889) telah pertama-tama evaluasi kritik historis atas sumber-sumber Islam dalam Mohammed der prophet, sein Leben und sein Lehre (Muhammad Sang Nabi, Hidup dan Ajarannya) (1843), namun dia hanya memiliki akses terbatas kepada sumber-sumber tersebut. Weil mencatat dalam karya lainnya tentang Islam bahwa “kebergantungan pada tradisi oral, pada suatu zaman dimana kisah-kisah itu ditransmisikan lewat ingatan belaka, dan setiap hari tercipta perpecahan baru di antara para ulama Islam, membuka kesempatan lebar akan distorsi dan pengarang-karangan.” [5]

Ernest Renan, disamping segala entusiasmenya tentang historisitas Muhammad, sesungguhnya telah mendekati sumber-sumber Islam dengan mata yang kritis. Sambil menulis tentang Qur’an ia menunjukan bahwa “integritas sebuah karya yang didasari atas ingatan akan masa yang telah lama berlalu tidak mungkin bisa terpelihara dengan baik; tidak bisakah interpolasi-interpolasi serta pengubahan-pengubahan telah tersisipkan selama revisi yang berkelanjutan?” Namun Renan sendiri tidak menginvestigasi kemungkinan itu lebih lanjut. Ia mundur darinya dan hanya mengarah pada pernyataan tegas yang tak didukung bukti bahwa “bangunan sejarah Islam, Qur’an, tetap benar-benar tidak terkalahkan, dan cukup bagi dirinya sendiri, mandiri dari catatan-catatan sejarah lainnya tentang Muhamamd untuk disuguhkan kepada kita.”[6]

Sejarawan Skotlandia, William Muir (1819–1905) mempublikasikan karyanya yang massif A Life of Mahomet dan History of Islam to the Era of the Hegira dalam empat volume antara tahun 1858 dan 1862. Muir menyatakan skeptisisme tentang sebagia dari materi tentang Muhammad dalam tradisi Islam, dengan menegaskan bahwa “bahkan tradisi yang didapat secara terhormat seringkali kebanyakan berisikan pelebih-lebihan dan dibesar-besarkan.” [7] Namun demikian, dalam karya biografi Muhammad yang luas itu ia pada dasarnya mengambil sumber-sumber awal Islam secara umum, dengan membuang sedikit atau tidak sama sekali bagian yang dianggap “dilebih-lebihkan dan dibesar-besarkan.”

Yang lebih skeptik adalah Wellhausen (1844–1918), yang kajiannya atas lima kitab Musa membawanya mengusulkan bahwa kitab-kitab ini bukan produksi dari satu sumber belaka melainkan empat sumber yang berbeda yang telah dikombinasikan oleh para editor dikemudian hari. Ia menerapkan analisis yang sama terhadap sumber-sumber hadist Islam. Hadist, yang secara literal berarti “laporan-laporan”, adalah kumpulan perkataan dan perbuatan Muhammad yang membentuk fondasi praktik dan hokum Islam. Wellhausen mencoba untuk membedakan periwayat hadist yang bisa dipercaya dari periwayat lainnya yang kurang bisa dipercaya. [8]

Aloys Sprenger (1813–1893), seorang cendikia dari Austria, member sumbangsih luar biasa terhadap kajian asal-usul Islam dengan menemukan teks-teks panjang Islam yang selama ini dianggap telah hilang, termasuk biografi Muhammad karya Ibnu Hisham di abad ke-9. Demikian pula Sprenger meragukan akurasi historis dari sebagian hadist.

Ignaz Goldziher (1850-1921) seorang Hungaria yang mempioniri bidang ini bahkan melakukan investigasi lebih lanjut. Ia menyimpulkan bahwa kemunculan kumpulan hadist-hadist benar-benar terlambat dan jauh dari zaman dimana Muhammad pernah hidup. Bersamaan dengan penyebaran kaum Muslim, ada kecenderungan untuk menciptakan cerita-cerita palsu tentang Muhammad yang digambarkan mendukung posisi politik atau praktik keagamaan, yang membuatnya secara jelas tidak mungkin selaras dengan Hadist, yang terdiri dari banyak volume secara historis tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Layak dicatat bahwa Godlziher, meskipun dia tidak pernah berpindah iman kepada Islam, memiliki kecintaan yang kuat akan iman Islam. Sebagai seorang pemuda dia singgah di Damaskus dan Kairo dan mulai mengagumi Islam dengan penuh semangat ia menulis di catatan harianya: “Dalam hati ini aku yakin bahwa batinku ini seorang muslim.” Di Kairo ia memasuki sebuah masjid dan berdoa seperti seorang Muslim: “ Ditengah-tengah ribuan orang saleh, aku menempelkan dahiku ke lantai masjid. Tidak pernah dalam hidupku aku begitu taat, lebih taat dari pada Jumat suci itu.” [9]

Kelihatannya aneh bahwa kemudian Goldziher akan menelurkan keraguan ilmiah akan kesejarahan seluruh korpus dari Hadist. Namun ia tidak memaksudkan kesimpulannya untuk merusak iman Islam. Malahan, ia berharap bahwa ia akan memimpin pada sebuah evaluasi kritikal pada Hadist sebagaimana hadist-hadist itu adanya, bukan sebagai sumber informasi historis, sebagaimana dianggap orang selama ini, namun sebagai indikasi bagaiman hukum dan praktik ritual Islam berkembang. Ia berharap, dengan kata lain, bahwa temuan-temuan ilmiah akan memimpin pada pemahaman yang penuh akan asal-usul islam dan dengan demikian secara positif mempengaruhi karakter di zaman sekarang.

Demikian juga keraguan akan legitimasi historis akan teks-teks awal Islam digagas oleh seorang sarjana Itali di Timur Tengah, Prince Leone Caetani, Bangsawan Sermoneta (1869–1935). Caetani menyimpulkan bahwa “kita hampir tidak dapat menemukan apa-apa yang benar tentang Muhammad dalam Tradisi(yakni Hadist, Sirah, Sunnah). Kita dapat menganggapnya sebagai apokrifa (dokumen-dokumen meragukan) semua materi tradisional yang kita miliki.” [10]

Kolega sejamannya Henri Lammens (1862– 1937), seorang imam berdarah Flemish dari tarikat Jesuit, membuat sebuah kajian kritis atas tradisi Islam tentang Muhammad, yang di antaranya menelurkan keraguan tanggal kelahiran dan kematian Muhammad. Lammens mengaris bawahi “karakter artifisal dan ketiadaan logika kritis” dalam kumpulan awal biografi nabi Islam, walaupun ia mengingatkan bahwa “tidak perlu menolak seluruh bangunannya.” [11]

Joseph Schacht (1902–1969), seorang cendikia terkemuka di dunia Barat dalam bidang hukum Islam, menuliskan sebuah kajian asal-usul hukum Islam dimana ia menelitik bahwa “bahkan korpus klasikal’ dari Hadis “berisi sejumlah besar tradisi yang tidak mungkin otentik. Semua usaha untuk mengekstraks kisah-kisah darinya seringkali mengandung sejumlah besar kontradiksi satu sama lain. Apa yang selama ini disebut sebagai intuisi historis terbukti telah gagal.” Schacht mendukung temuan-temuan Goldziher bahwa “sebagian besar tradisi dari Nabi adalah dokumen-dokumen yang bukan berasal dari zaman sang Nabi seperti yang selama ini diklaim, namun merupakan suatu tahap berkelanjutan dari pengembangan doktrin-doktrin selama abad pertama Islam.”

Namun bahkan Schacht melangkah lebih jauh dari argumen-argumen Goldziher, termasuk, contohnya, bahwa “sejumlah besar tradisi dalam kumpulan klasik dan kumpulan lainnya, diedarkan ke publik hanya setelah zaman Shafii (seorang Imam dan ahli hukum/ fiqh, wafat tahun 820 M); sejumlah tradisi fiqh pertama yang berisikan hukum-hukum dari Nabi ternyata berasal dari pertengahan abad kedua Islam,” dan “bukti dari tradisi fiqg membawa kita kembali hanya sampai ke tahun 100 H,” yaitu dekade pertama abad ke-8M, dan tidak lebih dekat lagi ke masa dimana Muhammad dipercaya pernah hidup. [12]

John Wansbrough (1928–2002), seorang sejarawan berkebangsaan Amerika yang mengajar di University of London, menjelaskan karya-karya cendika terdahulu yang meragukan nilai historis dari teks-teks Islam awal. Dalam karyanya yang kompleks dan mengguncang, Wansbrough mendalilkan bahwa Qur’an dikembangkan utamanya untuk menegakan asal usul Islam di tanah Arabia dan bahwa Hadist dikarang-karang untuk member Kekaisaran Arab suatu agama yang berbeda demi untuk memperkuat stabilitas dan kesatuannya.

Terpengaruh oleh hal ini, sejarawan Patricia Crone, anak didik Wansbrough, dan Michael Cook, anak didik sejarawan Timur Tengah terkenal Bernard Lewis, mempublikasikan buku yang terkenal controversial Hagarism: The Making of the Islamic World (1977). Sepertihalnya para pendahulu mereka, Crone dan Cook mencatat keterlambatan dan ketidakhandalan banyaknya sumber-sumber Islam awal tentang Muhammad dan asal-usul Islam. Tujuan mereka adalah untuk merekonstruksi kemabli kelahiran dan perkembangan awal agama ini dengan cara mengujinya dengan catatan-catatan filologikal, arkaelogikal, dan historikal yang tersedia tentang Islam awal, termasuk koin-koin yang dicetak di wilayah tersebut selama abad tujuh dan delapan dan prasasti-prasasti resmi tertanggal di zaman itu. “Selama ini kita telah berangkat dari suatu kesembronoan,” mereka tuliskan, “dengan menciptakan sebuah arsitektonis koheren dari idea-idea dalam suatu bidang yang kebanyakan cendikia belum gali.” [13]

Crone dan Cook mengusulkan bahwa Islam muncul sebagai gerakan dalam lingkaran Yudaisme namun berpusatkan pada Abraham dan anaknya Ismail lewat gundiknya Hajar, sebab banyak sumber non-Muslim paling awal merujuk kepada kaum Arab ini tidak sebagai “Muslim” melainkan sebagai kaum “Hagarian atau Hagarin”. Geraka ini, demi untuk alasan yang beragama, terpisah dari Yudaisme di dekade terakhir abad ketujuh dan mulai berkembang ke dalam apa yang akhirnya menjadi agama Islam.

Pada tahun 1987 Crone mempublikasikan bukunya Meccan Trade and the Rise of Islam, dimana ia mendemonstrasikan salah satu fondasi penting biografi kanonikal Islam tentang Muhammad yaitu setting / latar panggung Arab, dengan mekkah sebagai pusat perdagangan tidak didukung oleh catatan-catatan sejamannya. Ia memperlihatkan bahwa catatan-catatan sejaman mengindikasikan bahwa Mekkah bukanlah pusat perdagangan apapun. Crone, seperti halnya Wansbrough, melihat latar panggung Islam sebagai pembacaan kembali ke dalam literatur keagamaan di masa yang terkemudian yang ditulis untuk tujuan-tujuan politik.

Namun kemudian Crone menegaskan, “bukti bahwa seorang nabi aktif di antara kaum Arab di awal abad 7M, dipermulaan penaklukan Timur Tengah oleh bangsa Arab dianggap terlalu luar biasa.” Ia menambahkan bahwa “kita bisa yakin sekali bahwa Qur’an adalah koleksi ucapan yang dibuat dalam kerangka keyakinan bahwa teks-teks ini diwahyukan kepada Muhammad.” Sekalipun pernyataan ini menghadirkan pandangan yang berbeda dengan posisi awalnya tentang asal usul Islam, namun ia tidak menghadirkan penemuan baru atau bukit-bukti baru untuk menyokong perubahan pendapatanya. Malahan ia meninggalkan pendapat awalnya dan bukti-bukti yang dulu dihadirkan tetap tak tersentuh. Crone masih mengakui bahwa “banyak detil lain tentang Muhammad masih tidak pasti,” dengan memperlihatkan bahwa sumber-sumber Islam paling awal tentang kehidupan Muhammad dari “berasal dari kira-kira empat atau lima generasi setelah kematiannya,” dan bahwa dalam kasus tertentu hanya sedikit cendikia yang menganggap sumber-sumber ini “bisa sejalan dengan catatan-catatan sejarah.” [14]Ketidakpastian ini, bersamaan dengan bukti-bukti profokatif yang Crone sendiri hadirkan dalam buku-buku awalnya, menginspirasikan sejumlah cendikia lain untuk melanjutkan investigasi ke dalam historisitas Muhammad.

Sementara itu, para cendikia zaman moderen telah melakukan pengujian kritikal yang dekat denga teks-teks Qur’anik itu sendiri. Seorang teolog Jerman Günter Lüling menyatakan bahwa Qur’an orsinil bukanlah sebuah teks Islam sama sekali, melainkan dokumen kaum Kristen pra Islam. Pengujian yang dekat akan keanehan teks dan sejumlah anomali dalam quran telah memperlihatkan tanda-tanda bahwa Qur’an memiliki fondasi Kekristenan. Lüling percaya bahwa Qur’an mencerminkan teologi sekte Kristen non-Trinitarian yang telah meninggalkan jejak dalam teologi Islam, secara khusus dalam penggambarannya akan Kristus dan unitarianisme yang tak pandang kompromi.

Seorang cendikia dengan nama samara Christoph Luxenberg, walaupun ia dalam berbaca cara berbeda dengan metoda dan kesimpulang Lüling, tetap setuju bahwa Qur’an menunjukan tanda-tanda berisikan sebuah substratum/ lapisan dasar Kekristenan. Luxenberg berargumen bahwa banyak kata-kata dan frasa yang memusingkan dalam Qur’an menjadi jelas hanya dengan merujuk pada bahasa Syriak, sebuah dialek Aramaik yang menjadi bahasa kesusastraan di wilayah pada saat Qur’an dikumpulkan. Lewat metoda ini ia telah tiba pada sejumlah kesimpulan mengejutkan. Beberapa dari temuannya telah mendapatkan perhatian internasional. Yang paling mencolok adalah bacaan Qur’an termasyur tentang janji para perawan surga bagi para jihadis Islam yang dalam bacaan itu ternyata tidak merujuk pada para perawan-perawan surga,melainkan sebagai “kismis” atau “buah anggur”, seperti yang ia sarankan.

Dalam menuliskan buku ini saya telah secara luas mendasarkannya khususnya pada karya-karya awal Crone, Luxenberg, Lüling, Popp, dan Powers, dengan berkali-kali menengok kembali karya-karya cendikia yang lebih dahulu terutama Goldziher.

Reaksi dari kaum Muslim terhadap rekonstruksi sejarah awal Islam dari kaum revisionis nampak bervariasi. Beberapa telah mencoba untuk menyangkal pelbagai temuan dari sejarawan revisinis. [15] Contohnya Professor Ahmad Ali al-Imam telah mempublikasikan ished sebuah buku panjang tentang pengujian varian-varian teks Qur’an. Ia menjelaskan bahwa semua varian itu merujuk pada tradisi Islam yang mana detil tujuh gaya pembacaan Qur’an; ia berkesimpulan bahwa itu memperlihatkan lengkapnya dan mampu dipercayanya Qur’an. [16]

Sementara itu Professor Muhammad Sven Kalisch, seorang Jerman yang berpindah iman ke dalam Islam dan menjadi professor Jerman pertama dalam teologi Islam di Jerman, menyelidiki karya para kritikus historis Islam dan berkesimpulan bahwa Muhammad tidak pernah hidup dalam bentu dimana teks-teks Islam gambarkan tentangnya. [17] Ia akhirnya meninggalkan iman Islamnya. [18] Secara kontras, Khaled Abou El Fadl, seorang professor hukum di University of California, Los Angeles, telah bereaksi dengan amarah terhadap kritisisme historikal Islam dengan menyebutnya “fanatisme.” Abou El Fadl menyebut Ibn Warraq sebagai “tokoh menyedihkan” juga sebagai “sebuah kekosongan dan kebosanan intelektual belaka.” Ia menuduh cendikia Daniel Pipes dalam menceritakan kembali karya para kritik secara gembira “membongkar Beban Laki-laki Kulit Putih.” Ia bahkan mengklaim bahwa “revisionism, seperti halnya semua bentuk fanatisme baru atau sudah lama, bersandar pada beberpa asumsi aneh. Asumsi pertama adalah bahwa kaum Muslim tanpa kecuali telah berbohong… dan tidak bisa membedakan mana fiksi dan mana fakta.”[19]

Namun kasusnya sama sekali tidaklah demikian.Pencarian akademis ke dalam asal-usul Islam tidak didasarkan pada asumsi bahwa Muslim tidak mampu membedakan mana fiksi dan mana fakta. Masalahnya terletak pada apakah legenda ditambahkan pada catatan historis sampai suatu derajat dimana ia tidak mungkin bisa dibedakan lagi yang mana legenda dan yang mana fakta.

Perkembangbiakan detail bersifat legenda ini bukanlah fenomena yang asing bagi Muslim, ia telah berlangsung termasuk pada kehidupan sejumlah tokoh historis yang perbuatan aktualnya terlupakan namun telah menjadi pahlawan legendaries yang diceritakan dan diceritakan ulang sampai saat ini.

Para cendikia yang melakukan investigasi asal usul Islam tidak dimotivasi oleh kebencian, fanatisme, atau rasisme, namun kerinduan untuk menemukan kebenaran. Mereka inilah para cendikia yang mendasarkan fondasi bagi eksplorasi dalam buku ini.

Catatan sunting

1 Michael H. Hart, The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History (New York: Hart Publishing, 1978), 33.
2 W. Montgomery Watt, Muhammad at Mecca (Oxford: Oxford University Press, 1953); Muhammad at Medina (Oxford: Oxford
University Press, 1956).
3 For an illuminating discussion of the effect of higher criticism on the various Christian confessions, see Jaroslav Pelikan, Christian
Doctrine and Modern Culture (since 1700) (Chicago: University of Chicago Press, 1989).
4 Robert Spencer, The Truth about Muhammad (Washington, DC: Regnery, 2006), 9, 31.
5 Gustav Weil, Geschichte der Chalifen, vol. 2 (Mannheim, 1846–51), 290, trans. William Muir, The Life of Mahomet, one-volume
edition (London, 1894), xli–xlii (quoted in Ibn Warraq, ed., The Quest for the Historical Muhammad [Amherst, NY: Prometheus, 2000],
44).
6 Quoted in Ibn Warraq, The Quest for the Historical Muhammad, 16.
7 Muir, The Life of Mahomet, xli–xlii (quoted in Ibn Warraq, The Quest for the Historical Muhammad, 44).
8 The word hadith's Arabic plural is ahadith, and this is found in much English-language Muslim literature. But to avoid confusing
English-speaking readers, I have used the English plural form “hadiths.”
9 Quoted in Raphel Patai, Ignaz Goldziher and His Oriental Diary (Detroit: Wayne State University Press, 1987), 28 (quoted in
Martin Kramer, “Introduction,” in The Jewish Discovery of Islam: Studies in Honor of Bernard Lewis, ed. Martin Kramer [Syracuse:
Syracuse University Press, 1999], 1–48, republished online at http://www.martinkramer.org/sandbox/reader/archives/the-jewishdiscovery-
of-islam/#n38).
10 Quoted in Ibn Warraq, The Quest for the Historical Muhammad, 46.
11 Henri Lammens, “The Age of Muhammad and the Chronology of the Sira,” in Ibn Warraq, The Quest for the Historical
Muhammad, 206.
12 Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: Oxford University Press, 1950), 4–5.
13 Patricia Crone and Michael Cook, Hagarism: The Making of the Islamic World (Cambridge: Cambridge University Press,
1977), vii.
14 Patricia Crone, “What Do We Actually Know About Muhammad?,” Open Democracy, August 31, 2006,
http://www.opendemocracy.net/faith-europe_islam/mohammed_3866.jsp.
15 For an example of the nature of such responses, see Amaal Muhammad Al-Roubi, A Response to Patricia Crone's Book
(“Meccan Trade and the Rise of Islam”), www.sultan.org/books/Patricia_crone_english_reply.pdf.
16 Ahmad Ali Al-Imam, Variant Readings of the Qur'an: A Critical Study of Their Historical and Linguistic Origins
(Washington, DC: International Institute of Islamic Thought, 2006), 112.
17 Andrew Higgins, “Professor Hired for Outreach to Muslims Delivers a Jolt,” Wall Street Journal, November 15, 2008.
18 “Islam Scientist Kalisch No Longer Muslim,” Politically Incorrect, April 22, 2010, http://www.pi-news.org/2010/04/islamscientist-
kalisch-no-longer-muslim/.
19 Khaled Abou El Fadl, “On Revising Bigotry,” Scholar of the House, n.d., http://www.scholarofthehouse.org/onrebi.html.

Sang Tokoh yang Tidak Pernah Benar-Benar Hadir sunting

Sumber-sumber sunting

Kita mungkin beranggapan bahwa sumber pertama dan terkemuka bagi informasi tentang kehidupan Muhammad adalah Qur’an, kitab suci Islam. Namun kitab itu hanya menyingkapkan sedikit saja tentang kehidupan figur sentral Islam ini. Di dalamnya, Allah seringkali berbicara pada Sang Nabi dan mengatakan padanya apa yang harus dikatakan pada kaum beriman dan kaum tak beriman. Para komentator dan pembaca biasanya beranggapan bahwa Muhammad bukanlah orang yang dituju dalam kasus-kasus ini, tetapi anggapan ini bukanlah sebuah kepastian, seperti halnya contoh lain dalam kajian ini.

Nama Muhammad muncul di Qur’an hanya 4 kali penyebutan, dan 3 di antaranya, kata ini bisa dianggap sebagai sebuah gelar – “yang terpuji” atau “yang terpilih” – bukannya sebagai nama seorang nabi. Kita bandingkan dengan nama Musa yang disebut sebanyak 136 kali, dan Abraham / Ibrahim 74 kali. Bahkan Firaun disebutkan 74 kali. Sementara “rasul Allah” atau utusan Allah muncul dalam berbagai bentuk sejumlah 300 kali, dan kata “nabi” muncul 43 kali. [1] Apakah semua itu merujuk pada Muhammad, sang Nabi Arab abad ke-7? Barangkali saja. Pastilah anggapan itu dipercaya oleh pembaca Qur’an di sepanjang zaman selama ini. Namun jikapun demikian, semua penyebutan itu tidak menceritakan kepada kita tentang kejadian-kejadian, tempat dan waktu kehidupannya.

Alih-alih di seluruh Qur’an utamanya tidak ada informasi apa-apa tentang sang Utusan ini diluar penonjolan berkali-kali akan statusnya sebagai seorang wakil Alah dan meminta para pemercaya untuk menaatinya. Di tiga dari empat kali nama Muhammad disebutkan, tak satupun mengungkapkan kehidupannya.

Yang pertama dari keempat penyebutan nama Muhammad muncul surah ketiga, “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul” (QS 3:144). Kemudian Qur’an mengatakan bahwa “Al Masih putera Mayram itu hanyala seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul (QS 5:75). [2] Bahasa identik mengindikasikan bahwa ayat dalam QS 3:144 Yesus adalah tokoh yang dirujuk sebagai “yang terpuji” – yakni Muhammad.

Dalam surah 33 kita membaca bahwa “ Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (33:40).[3]

Ayat ini hampir pasti khusus merujuk kepada nabi Islam dan bukan kepada seorang figur kenabian dengan gelar “yang terpuji.” Ayat ini pula menjadi sebuah ayat yang teramat penting bagi teologi Islam: para cendikia Muslim telah menafsirkan status Muhammad sebagai “Penutup dari pada Nabi” yang berarti bahwa Muhammad adalah nabi terakhir yang dikirim Allah dan setiap orang yang mengaku-aku sebagai nabi setelah Muhammad dianggap sebagai nabi palsu. Doktrin ini menorehkan antipati yang dalam, bahkan sering diekspresikan dengan kekerasan, sebagaimana perlakuan para muslim tradisional terhadap gerakan profetik yang timbul di dalam lingkungan Islam seperti halnya kaum Baha’i dan Ahmadiyah.

Yang kurang spesifik adalah QS 47:2 “Dan orang-orang mu’min dan beramal soleh serta beriman kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan itulah yang haq dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan mereka.” Dalam ayat ini “Muhammad” adalah seseorang yang kepadanya Allah telah berikan pewahyuan, namun ayat ini dapat diterapkan kepada nabi siapa saja yang ditunjuk Qur’an selain juga kepada Muhammad secara khusus.

Sementara QS 48:29 mungkin mengacu hanya kepada sang Nabi Islam: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” Sekalipun kata “sang terpuji” disini bisa saja merujuk kepada sosok nabi lainnya, bahasa “Muhammad adalah utusan Allah” (Muhammadun rasulu Allahi) dalam syahadat Islam membuat QS 48:29 secara khusus mungkin merujuk pada sang Nabi Islam.

Sejauh itulah penyebutan-penyebutan Muhammad dalam Qur’an. Dalam banyak rujukan lain kepada utusan Allah, sang utusan ini tidak diberi nama, dan hanya sedikit disebutkan tentang tindakan-tindakan spesifiknya. Sebagai hasilnya, kita tidak bisa mengumpulkan banyak hal tentang biografi Muhammad. Tidak pula bisa diyakinkan atas dasar teks-teks Qur’an saja bahwa teks-teks tersebut merujuk pada Muhammad atau bersumber darinya.

Rincian melimpah tentang ucapan dan perbuatan Muhammad terkandung dalam Hadis, yang berisi koleksi tradisi Islam yang tebal dan memusingkan yang membentuk dasar bagi hukum Islam. Hadis merincikan kejadian-kejadian bagi pewahyuan di setiap bacaan dalam Qur’an. Namun (sebagaimana kita akan lihat di bab berikutnya) ada alasan yang cukup kuat untuk percaya bahwa sebagian besar hadis tentang kata-kata Muhammad dan perbuatannya berasal dari zaman yang jauh terkemudian dari saat kematian Muhammad yaitu tahun 632 M.

Kemudian ada Sira, biografi Nabi Islam. Biografi Muhammad yang paling awal ditulis oleh Ibnu Ishaq (w. 773), yang menulis di bagian akhir abad kedelapan, setidaknya 125 tahun setelah kematian sang tokoh utama, dalam suatu panggung dimana materi legendaris tentang Muhammad telah berkembang biak.

Dan bahkan biografi Ibnu Ishaq bahkan sudah tidak ada, yang datang kepada kita hanyalah fragmen-fragmen cukup panjang yang direproduksi oleh penulis sejarah di kemudian hari, Ibnu Hisham, yang menulis di kwartal pertama abad kesembilan, dan oleh sejarawan lain yang mereproduksinya, dan dengan demikian diberi catatan-catatan tambahan. Materi biografi lainnya tentang Muhammad bahkan berasal dari zaman-zaman terkemudian.

Hanya sebegitulah materi yang membuat gegap gempitanya apa yang disebut-sebut Ernest Renan tentang kehidupan dan karya Muhammad sebagai “yang dipenuhi terang sejarah.” Pada faktanya bisa dikatakan bahwa tidak ada rincian biografis Muhammad yang berasal dari abad di mana karier kenabiannya diberitakan dan diungkap.

Catatan-catatan Paling Awal Tentang Sang Nabi Arab sunting

Tetapi bukankah seharusnya ada catatan berlimpah yang menyebutkan tokoh yang hidup dan karyanya konon “dipenuhi oleh terang sejarah” yang tercatat dalam tulisan-tulisan sejamannya baik oleh teman-teman maupun musuh-musuhnya?

Itulah paling tidak apa yang kita bisa harapkan. Setelah semuanya, ia menyatukan suku-suku Arab yang selalu berperang. Ia menempanya menjadi mesin peperangan yang, hanya selang beberapa tahun setelah kematiannya, mengguncangkan dan menciderai dua kekuatan besar di zaman itu, Kekaisaran Romawi Timur (Byzantium) dan Kekaisaran Persia, kemudian berkembang pesat di wilayah keduanya. Akan sepenuhnya masuk akal untuk mengharapkan bahwa para penulis sejarah abad ketujuh di Byzantium dan Persia serta dari kalangan Muslim untuk menuliskan semua pengaruh dan prestasi luar biasa dari tokoh ini.

Namun ternyata catatan-catatan paling awal justru menawarkan lebih banyak pertanyaan dari pada jawaban. Salah satu yang paling awal dan nampaknya jelas merujuk pada seseorang seperti Muhammad berasal dari sebuah dokumen yang dikenal sebagai Jacobi Doctrina, yang mungkin ditulis oleh seorang Kristen dari Palestina antara tahun 634 dan 640 M, yakni pada saat penaklukan awal Yerusalem oleh kaum Arab dan setelah tahun 632 yang dianggap sebagai tahun kematian Muhammad. Dokumen ini ditulis dalam bahasa Yunani dari perspektif seorang Yahudi yang percaya bahwa Mesias dari Kristen adalah yang benar dan juga ia menderang tentang seorang nabi yang muncul di tanah Arab.

Ketika sang kandidatus [yakni seorang anggota serdadu pengawas kekaisaran Byzantium] terbunuh oleh kaum Saraken [Sarakenoi], aku sedang berada di Kaesarea dan segera berangkat ke Sykamina dengan perahu. Orang-orang berkata “sang kandidatus telah terbunuh,” dan kami orang-orang Yahudi bergembira. Dan mereka berkata bahwa seorang nabi telah muncul, datang bersama kamu Saraken, dan bahwa ia memproklamasikan kedatangan yang terpilih, kristus yang akan segera datang. Setelah tiba di Sykamina, aku berhenti dan bertanya kepada seorang lelaki tua yang cakap dalam Kitab Suci, dan aku bertanya kepada beliau: “Apa yang anda bisa ceritakan tentang seorang nabi yang muncul dari kaum Saraken?” Ia menjawab dengan mengerang dalam-dalam, “Ia palsu, sebab para nabi tidak datang dengan pedang. Benar-benar mereka hanyalah kaum anarkis yang tengah beraksi zaman sekarang, dan aku takut bahwa Kristus pertama yang telah datang, yang kaum Kristen puja, adalah dia yang diutus oleh Allah, dan sekarang justru kita sedang bersiap-siap menyambut Antikris. Memang nabi Yesaya pernah berkata bahwa bangsa Yahudi akan tetap sesat dan berkeras hati sampai seluruh bumi dihancurkan. Tetapi anda, Tuan Abraham, pergilah dan cari tahu tentang nabi yang telah muncul.” Sehingga aku, Abraham, berniat mencari dan mendengar dari mereka yang telah bertemu dengannya bahwa tidak ada kebenaran yang bisa ditemukan dari ia yang disebut nabi, hanya pertumpahan darah manusia. Ia juga berkata tentang kunci firdaus yang merupakan hal berlebihan. [4]

Dalam kasus ini kata “berlebihan” (incredible) artinya “tidak bisa dipercaya” (not credible). Satu hal yang bisa diyakinkan dari sini adalah bahwa para kaum Arab penyerbu (kaum Saraken) yang menaklukan Palestina di tahun 635 datang dengan membawa berita tentang seorang nabi baru, seseorang yang “datang dengan senjata.” Namun catatan Doctrina Jacobi ini tidak menyebutkan nama nabi yang masih hidup itu, yang tengah berkeliling bersama tentaranya, sedangkan Muhammad dikabarkan telah mati tahun 632. Terlebih lagi, nabi kaum Saraken ini bukannya memproklamasikan dirinya sebagai nabi Allah terakhir (lihat QS 33:40) malahan ia “memproklamirkan kedatangan ia yang terpilih, Kristus yang akan segera datang.” Ini adalah rujukan kepada mesias kaum Yahudi, bukan kepada Yesus Kristus dalam keimanan Kristen (Kristus berarti : ia yang diurapi/ terpilih / Mesias dalam bahasa Yunani).

Perlu dicatat bahwa Qur'an menggambarkan Yesus yang menyatakan akan munculnya sosok yang Tradisi Islam identifikasikan sebagai Muhammad: "Hai Bani Israel, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberikan khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad"(QS 61:6). Kata “Ahmad” berarti "yang terpuji," yang para ulama Islam identifikasi sebagai Muhammad: Nama Ahmad adalah varian dari Muhammad (karena kedua kata ini berbagi trilateral akar h-m-d). Mungkin baik Jacobi Doctrina maupun QS 61:6 dengan cara yang berbeda memelihara kenangan akan figur profetik yang memproklamasikan dirinya sebagai “yang terpuji” atau “yang terpilih” - ahmad atau Muhammad.

Dikatakan bahwa nabi yang digambarkan dalam Doctrina Jacobi “juga berkata tentang kunci firdaus,” yang dianggap “berlebihan”. Namun ini tidak hanya berlebihan, tetapi juga sama sekali tidak pernah ada dalam tradisi Islam, yang tidak pernah mengklaim bahwa Muhammad memiliki kunci firdaus. Namun Yesus mempercayakan kunci-kunci surgawi itu kepada Petrus berdasarkan Matius 16:19, yang mungkin mengindikasikan bahwa sosok yang memproklamirkan kejadian eskatologis ini memiliki hubungan dengan tradisi Kristen, dan juga ekspektasi mesias dalam Yudaisme. Dan sepanjang berkaitan dengan “kunci firdaus” maka ini lebih mirip dengan “kunci kerajaan surga” dalam kekristenan dari pada apapun dalam pesan-pesan Muhammad. Sang Nabi dalam Doctrina Jacobi nampaknya lebih dekat dengan kaum Kristen atau kaum penanti mesianik yang terpengaruh oleh kekristenan dari pada tentang seorang nabi Islam sebagaimana yang digambarkan dalam literatur sastra Islam.

Apakah Sosok Muhammad Itu ? sunting

Sederhananya, dapatkah dikatakan bahwa Doctrina Jacobi merujuk pada Muhammad sang Nabi Islam? Nampaknya sukar untuk membayangkan ini merujuk pada sosok yang lain, sebab para nabi lain yang memegang pedang penaklukan Tanah Suci dan tentara yang beraksi atas dasar inspirasi dari nabinya – tidak pernah terjadi di tahun 630. Dokumen-dokumen yang berangkat dari tradisi Islam yang menyoal kematian Muhammad dan isi ajarannya dapat dipahami dengan mudah sebagai kesalahpahaman seorang penulis Byzantium yang meneliti apa yang tengah terjadi dari jarak yang aman, dan bukan sebagai bukti bahwa Muhammad dan Islam adalah 2 entitas yang berbeda pada saat itu dengan adanya mereka sekarang.

Pada saat yang bersamaan tidak ada satu catatanpun yang berasal di zaman dimana Doctrina Jacobi ditulis yang meneguhkan kisah kanonikal Islam tentang Muhammad dan asal-usul Islam. Satu kemungkinan lain bahwa nabi tak bernama dalam Doctrina Jacobi adalah satu dari beberapa figur, yang sebagian dari atribut historisnya kemudian dibenamkan kedalam figur Nabi Islam dibawah salah satu namanya adalah Muhammad. Sebab tidak ada satu halpun yang berasal dari zaman Muhammad beraksi atau dari perioda yang tak lama setelah itu yang memberi kita kesaksian tentang seperti apa dia dan apa yang dia lakukan.

Satu penyebutan nyata tentang namanya dapat ditemukan disebuah koleksi beragam tulisan bahasa Syriak (sebuah dialek bahasa Aramaik yang umum diwilayah dan zaman itu) yang secara umum dirujuk sebagai tulisan seorang imam Kristen bernama Tomas dan bertanggal pada awal tahun 640an. Namun beberapa bukti mengindikasikan bahwa tulisan-tulisan ini telah direvisi di pertengahan abad kedelapan, sehingga bisa jadi ini sama sekali bukanlah rujukan awal tentang Muhammad. [5] Namun demikian Tomas merujuk pada “sebuah pertempuran antara tentara Roma dengan “tayyaye d-Mhmt” di timur Gaza di tahun 634. [6] Kata tayyaye atau taiyaye berarti kaum nomad, dan catatan sejarah lain menggunakan kata ini untuk merujuk kepada kaum penakluk. Sehingga salah seorang sejarawan Robert G. Hoyland telah menerjemahkan tayyaye d-Mhmt sebagai “kaum Arab Muhammad”; terjemahan ini dan terjemahan yang serupa dengannya secara relatif sama artinya. Namun bahasa Syriak membedakan antara t dan d, sehingga tidaklah pasti (sekalipun mungkin saja) bahwa dengan kata Mhmt , Tomas memaksudkan Mhmd- Muhammad. Bahkan jika “Kaum Arab Muhammad” benar-benar terjemahan yang tepat bagi tayyaye d-Mhmt, tetap saja kita masih jauh dari figur nabi Islam, nabi poligami pengobar perang, penerima Qur’an, penyandang pedang terhadap kaum kafir. Tidak satupun dalam tulisan-tulisan atau catatan-catatan kaum Arab lainnya, atau orang-orang yang mereka taklukan yang berasal dari pertengahan abad ketujuh yang menyebutkan elemen apapun tentang biografinya. Dipuncak penaklukan oleh bangsa Arab, sumber-sumber non-Muslim tetap tidak menuliskan apa-apa tentang sang nabi, sama halnya dengan pihak Muslim sendiri tentang nabinya dan kitab suci yang konon katanya telah menginspirasi penaklukan itu.

Tomas mungkin saja bermaksud untuk menggunakan Mhmt bukan sebagai nama perorangan, namun sebagai sebuah gelar, “yang terpuji” atau “yang terpilih” tanpa ada rujukan pasti. Di kasus-kasus lainnya, Muhammad yang Tomas rujuk tidak memiliki kesamaan apapun dengan Islam kecuali hanya dari namanya saja.

Sophronius dan Umar sunting

Tak satupun yang berinteraksi dengan mereka yang menaklukan Timur Tengah di pertengahan abad ketujuh nampaknya mendapat kesan bahwa seorang nabi bernama Muhammad, yang para pengikutnya menyerbu keluar dari Arabia membawa sebuah kitab suci dan pengakuan iman yang baru dibelakang penaklukan itu. [7]

Pertimbangkanlah contoh berikut, sebuah catatan dari seorang Kristen abad ketujuh tentang penaklukan Yerusalem, nampaknya ditulis dalam beberapa tahun setelah penaklukan (sumbernya ditulis dalam bahasa Yunani, namun yang bertahan hanyalah terjemahannya ke dalam bahasa Geogia). Berdasarkan catatan ini, “kaum tak bertuhan Saraken memasuki Kota Suci dari Tuan kita Yesus Kristus, Yerusalem, atas perijinan Allah dan sebagai hukuman atas kelalaian kita.” [8] Sebuah homili (catatan kotbah) Koptik dari zaman yang sama menggambarkan kaum “Saraken” sebagai “penindas, yang menyerahkan diri mereka pada prostitusi, pembantaian dan membawa kepada penahanan anak-anak manusia, dengan mengatakan:’kita sama-sama berpuasa dan berdoa.” [9]

Sophronius, patriakh Yerusalem yang menyerahkan kota ke tangan Umar setelah penaklukan oleh Arab di tahun 637, mengeluhkan kedatangan “ kaum Saraken yang, oleh karena dosa-dosa kita, sekarang telah bangkit melawan kita secara tidak terduga dan membinasakan dengan segala kekejaman dan rencana jahat, dengan keberanian tak beriman dan tak bertuhan.” [10] Dalam kotbah Natal tahun 634 M, Sophronius mendeklarasikan bahwa, “Namun karena dosa-dosa kita yang tak terhitung, kita tidak mampu melihat hal-hal ini, dan dilarang memasuki jalan menuju Betlehem. Diluar kemauan kita, bertentangan dengan keinginan kita, kita diminta untuk tetap tinggal di rumah, tidak dirantai oleh beban ragawi, tetapi diikat oleh ketakutan akan kaum Saracen.” Ia mengeluhkan bahwa “sebagaimana dulu oleh kaum Filistin, demikian sekarang kaum Saraken yang tak bertuhan telah merebut Betlehem yang suci dan menghalangi jalan kita menuju sana, mengancam untuk menyembelih dan merusak jika kita meninggalkan kota suci dan berani mendekati Betlehem kita yang suci dan tercinta.” [11]

Tidaklah mengherankan apabila seorang Kristen abad 7 M seperti Sophronius akan merujuk para penyerbu sebagai “kaum tak bertuhan.” Lagipula, seandainya para penyerbu ini telah datang dengan mengacung-acungkan kitab suci dari Ilah yang mereka proklamasikan sebagai penguasa tunggal dari segala sesuatu, Sophronius tentu saja akan menolak keberadaan Allah mereka. Tetap saja, ia tidak menyebutkan bahkan tentang polemik di antara mereka, Allah dari para penakluk, nabi mereka dan kitab suci mereka.

Di semua diskusinya tentang “kaum Saraken,” Sophronius memperlihatkan suatu keakraban dengan kebencian mereka akan salib dan doktrin Kristen Ortodoks akan Kristus, tetapi ia tidak pernah menyebut para penyerbu ini “Muslim” dan tidak pernah merujuk pada Muhammad, Qur’an, atau Islam. Di sebuah kotbah dari Desember 636 atau 637, Sophronius membicarakan dengan panjang lebar tentang brutalitas para penakluk, dan dalam melakukannya ia membuat beberapa rujukan terhadap kepercayaan mereka:

Tetapi keadaan saat ini memaksaku untuk berpikir berbeda tentang cara hidup kita, sebab mengapa ada banyak peperangan di antara kita? Mengapa kaum barbar menjarah kita? Mengapa ada banyak kehancuran dan perampasan? Mengapa ada banyaknya pertumpahan darah yang tiada putus-putusnya? Mengapa burung-burung langit melahap mayat-mayat manusia?

Para penyerbu tidak ganas secara serampangan, namun nampaknya mereka memiliki kejijikan dan kebencian khusus kepada kekristenan:

Mengapa gereja-gereja dirobohkan? Mengapa salib diejek? Mengapa Kristus, yang adalah penebar segala kebaikan dan pemberi kebahagiaan kita, dihujat oleh mulut-mulut pagan (ethnikois tois stomasi) sehingga ia menangis kepada kita: “karena engkau maka namaku dihujat di antara kaum pagan,” dan inilah yang terburuk dari semua hal buruk yang tengah terjadi kepada kita.

Kotbah Sophronius tepat dengan penolakan kaum Islam terhadap salib – sebuah penolakan yang juga tertulis di Qur’an, yang menegaskan bahwa kaum Yahudi “tidak membunuhnya dan tidak menyalibnya, tetapi orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka.” (QS 4:157). Dan ketika berbicara tentang penghujatan kepada Kristus dari kaum Pagan, Sophronius mungkin merujuk penolakan keilahian kristus dan pengorbanan demi keselamatan – penolakan yang menjadi bagian dari doktrin Islam.

Sophronius menganggap kaum Saraken sebagai alat dari amarah Allah terhadap kaum Kristen yang telah menjadi lemah, sekalipun ia menjelaskan kaum Saraken sebagai “pembenci Allah” dan “musuh Allah” dan pemimpin mereka sebagai “si jahat.” Tidak jelas apakah Sophronius merujuk kepada Iblis itu sendiri atau kepada Kalifah Umar, yang menaklukan Yerusalem, atau kepada Muhammad, atau kepada seseorang lain. Sophronius menyatakan:

Itulah kenapa kaum Saraken yang penuh dendam dan pembenci Allah, saat-saat terkutuk yang telah dinubuatkan oleh para nabi, dibanjirinya tempat-tempat yang tidak diperbolehkan bagi mereka, mereka menjarah kota-kota, merusak lading-ladang, membakar desa-desa, membakar gereja-gereja suci, menjungkirbalikan biara-biara kudus, melawan tentara Byzantium yang berjajar melawan mereka, dan ketika bertempur mereka meninggikan piala-piala [peperangan] dan menambahkan kemenangan demi kemenangan. Lebih lagi, mereka terus menerus menentang kita dan meningkatkan penghinaan kepada Kristus dan gereja, dan sama sekali suatu penghinaan terhadap Allah. Para penentang Allah itu membual kemenangan mereka diatas segalanya terus menerus tidak bisa dikendalikan meniru-niru pemimpin mereka yang adalah iblis, dan menyamai kesombongannya yang karenanya ia telah diusir dari surga dan ditempatkan di tempat suram. Namun segala kebusukan ini tidak akan terjadi, tidak pula sampai pada derajat kekuasaan seperti sekarang dan tanpa hukum di semua hal, sandainya kita dulu tidak menghinakan karunia [baptisan] dan mengotori kemurnian, yang mana dengan cara ini mendukakan Kristus, pemberi segala karunia, dan membuat ia marah kepada kita. Namun ia masih tetap baik, ia tidak menyukai kekerasan, menjadi sumber dari kebaikang dan tidak berharap melihat keruntuhan dan kerusakan manusia. Kita sendiri, dalam kebenaran, bertanggung jawab untuk semuanya ini, dan tidak ada kata-kata yang perlu diungkapkan demi pembelaan kita. Kata-kata apa dan posisi apa akan diberikan kepada kita sebagai pembelaan ketika kita telah menyia-nyiakan semua karunia darinya, mengotorinya dan mencemarkan segalanya dengan perbuatan kita yang jahat? [12]

Penggambaran kekerasan dan brutalitas semacam itu sukar sekali diperdamaikan dengan catatan-catatan yang lebih umum dikenal tentang catatan penaklukan Arab atas Yerusalem. Catatan-catatan tersebut mencitrakan Umar menemui Sophronius dan memperlakukannya dengan hormat, bahkan secara baik hati menolak melakukan shalat di Gereja Kubur Suci agar pengikutnya tidak mengepung gereja itu dan mengubahnya menjadi masjid. [13] Umar dan Sophronius membuat pakta / kesepakatan yang melarang kaum Kristen membangun gereja-gereja baru, membawa senjata, atau menaiki kuda, dan diharuskan membayar pajar, jizya, kepada kaum Muslim, namun kaum Kristen secara umum diijinkan untuk mempraktikan agama mereka dan hidup secara relatif dalam damai. [14] Ini adalah fondasi dari superstruktur hukum dhimmi yang menolak kesetaraan hak bagi Non-muslim di dalam negara Islam dan bertentangan dalam banyak hal dengan standar-standar modern, tetapi di abad ketujuh secara komparatif dianggap toleran.

Apa yang disebut “Pakta Umar” sebenarnya secara historical diragukan otentisitasnya. [15] Rujukan paling awal kepadanya datang dari karya sejarawan Muslim, Tabari, yang meninggal hampir tiga abad kemudian, yakni tahun 923. Menurut Tabari Umar menulis kepada provinsi-provinsi tetangganya tentang bagaimana ia memperlakukan orang-orang di Yerusalem yang baru saja ditaklukan:

Demi nama Allah yang pengasih lagi penyayang. Ini adalah jaminan keamanan yang hamba Allah, Umar, Pemimpin kaum Beriman, telah menjamin penduduk Yerusalem. Ia telah memberikan kepada mereka jaminan keamanan untuk mereka, harta benda, salib-salib, kaum sakit dan kaum kaya di kota tersebut, dan atas semua ritual agama mereka. Gereja-gereja mereka tidak akan diambil oleh pihak muslim dan tidak akan diruntuhkan. Tidak mereka, tidak pula tanah dimana mereka berdiri, tidak pula salib mereka, tidak pula harta benda mereka akan dirusak. Mereka tidak akan dipaksa untuk beralih agama. Penduduk Yerusalem harus membayar pajak perkepala (jizya) seperti halnya penduduk di Byzantium dan para perampok. Sedangkan bagi mereka yang meninggalkan kota, nyawa dan harta benda mereka akan aman sampai mereka tiba di tempat aman. Mereka harus membayar pajak per kepala seperti halnya penduduk Yerusalem yang ingin pindah bersama kaum Byzantium, mengambil harta benda mereka, dan meninggalkan gereja-gereja dan salib mereka akan aman sampai mereka mencapai tempat aman. Jika mereka membayar pajak per kepala sesuai dengan kewajiban mereka. Isi dari surat ini berada di bawah perjanjian dengan Allah, dan tanggungjawab Nabinya, Kalifah, dan kaum beriman. [16]

Atmosfir isi dari surat Umar dan catatan Sophronius jelas tidak bisa dipersandingkan. Umar berjanji memelihara gereja-gereja dan membiarkan kaum Kristen bergerak bebas, bahkan untuk mengambil property dan meninggalkan tempat tinggalnya, sekalipun dia tidak sepenuhnya toleran, mengatakan bahwa ia akan membatasi kaum Yahudi dari Yerusalem. Sophronius, sebaliknya, mengeluhkan perusakan gereja-gereja dan pembatasan kaum Kristen untuk bepergian. Perbedaan yang paling mencolok adalah bahwa surat sang Kalifah tidak salah lagi ternyata ditulis dalam lingkungan Islami. Surat itu dimulai dengan pujian kepada Allah yang maha pengasih lagi penyayang, dan merujuk pada “nabiNya.” Sedangkan Sophronius, yang menulis pada saat Umar menaklukan Yerusalem, tidak memperlihatkan adanya kesan bahwa kaum Arab memiliki seorang nabi sama sekali, atau bahkan menyebut mereka sebagai Muslim.

Kaum Arab Yang Pagan? sunting

Arabia sebelum kaum pagan; kaum Arab adalah polities. Islam, tentu saja dipercaya telah mengakhiri semua itu. Muhammad, menurut catatan standar, menyatukan dan mengislamkan Arabia. Segera setelah kematiannya, beberapa kaum Arab memberontak, yang membawa pada Perang Kaum Murtad di tahun 632 dan 633, namun kaum Muslim memenangkannya. Politeisme dan paganisme Arab segera menjadi relik sejarah.

Namun sekali lagi catatan sejaman secara jelas menggambarkan wajah berbeda. Pada tahun 676 seorang sinode Nestorian menyatakan dalam bahasa Syriak bahwa kaum Kristen di “bagian selatan pulau” yakni Arabia, bahwa “para wanita yang dulu beriman kepada Kristus dan ingin hidup dalam kehidupan Kristen harus menjaga diri mereka sekuat tenaga dari persatuan dengan kaum pagan [hanpê] ….. Perempuan Kristen harus betul-betul menghindari hidup dengan kaum pagan. [17]

Banyak penulis Kristen pada zaman itu merujuk kaum Muslim ini sebagai kaum Pagan, dan beberapa sejarawan telah mengasumsikannya sebagai bukti awal akan bukti keberadaan Muslim di zaman itu. Namun ada bukti-bukti yang diceritakan bahwa ketika para penulis Kristen melaporkan tentang “kaum Pagan” maka mereka benar-benar memaksudkannya sebagai kaum penyembah berhala dan bukan kaum Muslim seperti yang kita ketahui sekarang. Sinode Nestorian menetapkan bahwa “mereka yang didaftarkan sebagai kaum beriman haruslah menjauhkan diri merekka dari kebiasaan kaum pagan yang mengambil dua istri.” Islam tentu saja mengijinkan seorang pria beristrikan maksimal 4 orang ditambah dengan budak-budak perempuan sebagai selir (QS 4:3). Instruksi sinode ini mungkin menjadi sebuah laporan yang tidak tepat terhadap poligami Islam – atau justru adalah rujukan yang tepat terhadap kebiasaan kaum pagan. Sebagai tambahan sinode itu menyebutkan “orang Kristen yang meninggal harus dikuburkan sebagaimana tata cara Kristen, bukan tata cara kaum Pagan. Adalah kebiasaan kaum pagan untuk membungkus mayat dalam kain yang mahal dan mewah, dan membuat perkabungan dengan suara keras… Kaum Kristen tidak diperbolehkan menguburkan mayat dengan kain sutra atau kain mewah lainnya.” [18] Nah, dari sini kita melihat bahwa tak satupun dari karakter kaum pagan yang digambarkan berhubungan dengan kebiasaan Islam sebagaimana yang kita kenal, yang tidak mengijinkan penguburan disertai dengan kain mewah, apa lagi sutra, serta berkabung dengan jeritan keras bagi orang yang mati.

Untuk itu Sinode Nestorian nampaknya membicarakan tentang benar-benar kaum pagan, empat puluh tahun setelah konon katanya dibersihkan dari tanah Arab.

Sebuah indikasi penyebutan lain berasal dari Athanasius II, patriak Monofisit dari Antioch (683-686), sebuah kota di Syria yang pada saat itu menjadi otoritas keempat tertinggi dalam kekristenan. Athanasius mengeluhkan tentang kaum Kristen “yang dengan bebas ikut ambil bagian dalam festival kaum pagan,” dan “beberapa wanita yang tidak beruntung bergabung dengan kaum Pagan.” Ia menggambarkan praktik yang kedengarannya asli kaum Pagan dan bukan tentang Islam: “Segera mereka makan, tidak membuat perbedaan diri mereka, korban-korban kaum pagan, dan melupakan apa yang… perintah dan nasihat para rasul, untuk menghindari perjinahan, memakan daging dari binatang yang dicekik, darah dan makanan dari persembahan kaum pagan.”[19]

Inilah rujukan kepada perintah para rasul bagi kaum non Yahudi yang berubah iman dari pagan menuju Kristen, yakni “….”(Kisah Para Rasul 15:20). Namun Athanasius nampaknya tidak hanya mengulangi nasihat sebagai formula pelarangan. Kaum pagan yang ia persoalkan ini nampaknya mengajak-ngajak wanita Kristen dalam setidaknya praktik-praktik mereka, sebagaimana Athanasius lanjutkan, “Desar mereka, tegur mereka, peringatkan mereka, dan khususnya wanita-wanita yang bergabung dengan laki-laki semacam itu, agar mereka menjauhkan diri dari makanan yang didapat dari persembahan itu, dari binatang yang mati dicekik, dan dari pertemuan terlarang mereka.” [20]

Kaum Muslim memang mempersembahkan binatang satu tahun sekali pada saat perayaan Idul Adha. Namun mereka tidak mencekik binatang tersebut untuk kemudian dikorbankan. Sehingga demikian tidak mungkin Athanasius memaksudkan kaum pagan itu sebagai Islam dan ritual tersebut sebagai perayaan Iedul Adha. Dan yang paling memungkinkan adalah ritual tersebut milik kaum pagan di wilayah tertentu dimana konon katanya Islam telah membasminya 50 tahun sebelumnya.

Mungkin bahwa para penakluk itu sendiri lebih pagan dari kaum Muslim – bukan karena mereka baru saja berpindah iman dan memeluk Islam tetapi mempertahankan praktik keagaamaan mereka terdahulu, namun Islam sendiri, sebagaimana yang kita kenal saat ini, tidak benar-benar ada pada saat itu. [21] Dan kemungkinan lain, entah islam itu sudah ada atau belum saat itu, baik kaum Arab maupun bangsa-bangsa yang mereka tundukan pernah pernah menyebutkannya.

Tidak Ada Muslim sunting

Pada tahun 639 Patriak Kristen Monofisit John I dari Antiokia bertanya jawab dengan seorang komandan Arab Amir Ibnu al-As. Catatan ini bertahan di sebuah manuskrip tertanggal dari tahun 874. [22] Di dalamnya penulis merujuk kepada kaum Arab bukan sebagai kaum Muslim melainkan sebagai kaum “Hagarian” (mhaggraye), yakni kaum dari Hagar / Hajar, gundik Abraham/Ibrahim, ibu dari Ismail. Lawan bicara sang Patriak memang menolak keilahian Kristus, sejalan dengan ajaran Islam, namun tak satu pun dari mereka yang menyebutkan Qur’an, Islam ataupun Muhammad. [23]

Hal serupa di tahun 647 Ishoyahb III, patriak Seleukia, menulis sebuah surat tentang “Tayyaye” dan “Arab Hagarian” yang “tidak menolong mereka yang tertimpa penderitaan dan kematian di dalam Allah, Tuhan atas segala sesuatu.”[24] Dengan kata lain, kaum Hagarian menolak keilahian Kristus. Di sini pula, tidak pernah ada penyebutan Muslim, Islam, Qur’an, Muhammad sang Nabi Islam. Catatan-catatan Ishoyahb selaras dengan perdebatan delapan tahun sebelumnya (antara Patriak John I dengan Amir Ibnu al-As) yang mengatakan bahwa kaum Arab penakluk menolak keilahian Kristus, tetapi tidak menyebutkan doktrin apapun yang mungkin mereka bawa ke tanah taklukan yang baru ini.

Ketika sumber-sumber non-Muslim menyebutkan nama Muhammad, catatan mereka, seperti halnya Doctrina Jacobi, berbeda dalam hal-hal penting dengan kisah-kisah standar Islam. Sebuah catatan sejarah yang ditujukan kepada uskup Armenia dan ditulis antara tahun 660an atau 670an menggambarkan seorang bernama “Mahmet” sebagai seorang pedagang dan pengkhotbah dari antara kaum Ismael yang mengajarkan pengikutnya untuk menyembah satu Allah yang benar, Allah Abraham. Sejauh ini masih baik: kedengarannya itu seperti gambaran sang nabi Islam. Namun elemen lain dari catatan Sebeos ini tidak memiliki pijakan dalam tradisi Islam. Catatan sejarah itu dimulai dengan kisah pertemuan para pelarian Yahudi dengan kaum Ismael dari tanah Arabia setelah Edessa ditaklukan kembali oleh kekaisaran Byzantium di tahun 628:

Maka berangkatlah mereka (para pelarian Yahudi) ke padang gurun dan tiba di Arabia, di antara kaum Ismael; mereka mencari pertolongan, dan menjelaskan kepada mereka bahwa mereka bersaudara berdasarkan Bible. Sekalipun mereka (kaum Ismail) siap untuk menerima persaudaraan erat ini, namun demikian mereka (kaum Yahudi) tidak dapat meyakinkan kebanyakan orang di sana, sebab kultus mereka berbeda.

Pada saat itu ada seorang Ismail bernama Mahmet, seorang pedagang; menyatakan dirinya kepada mereka sekan-akan sebagai perintah Allah, sebagai pengkhotbah, sebagai jalan kebenaran, dan mengajar mereka mengenal Allah Abraham, sebab ia berpengetahuan dan akrab dengan cerita Musa. Karena perintahnya dari Yang Di Atas, maka mereka bersatu di bawah kuasa seorang pria, di bawah hukum tunggal, dan meninggalkan kultus sia-sia, kembali kepada Allah yang hidup yang telah mewahyukan diriNya kepada Bapak Abraham. Mahmet melarang mereka makan daging dari hewan yang telah mati, meminum anggur, berbohong atau berzinah. Ia menambahkan: “Allah telah berjanji memberikan tanah ini kepada Abraham dan keturunannya setelah ia wafat, ia beraksi seusai dengan janjiNya sementara ia mencintai Israel. Sekarang kalian anak-anak Abraham, pergilah dan rebutlah wilayahmu yang Allah berikan kepada Bapak Abraham, dan tak seorangpun mampu menahanmu, sebab Allah dipihakmu.”

Kemudian mereka bersama-sama berkumpul dari Havilah ke Shur dan seberang Mesir [Kejadian 25:18]; mereka keluar dari padang gurun Pharan dibagi ke dalam dua belas suku berdasarkan leluhur dan bapak-bapak mereka. Mereka membagi suku-suku mereka kedua belas ribu bangsa Israel itu, seribu untuk setiap suku untuk membimbing ke tanah Israel. Mereka keluar, kemah demi kemah, berdasarkan leluhur mereka: Nebajoth, Kedar, Abdeel, Mibsam, Mishma, Dumah, Massa, Hadar, Tema, Jetur, Naphish and Kedemah [Kejadian 25:13-15].

Itulah suku-suku Ismail…. Semua yang tersisa dari suku-suku Israel datang dan bergabung dengan mereka, dan mereka membangun tentara yang besar. Kemudian mereka mengirim utusan kepada kaisar kaum Yunani, dengan mengatakan: “Allah telah memberikan tanah ini sebagai warisan kepada Bapak Abraham dan keturunannya. Kami anak-anak Abraham, kalian telah cukup lama menguasai tanah kami; menyerahlah dengan damai, dan kami tidak akan menyerbu wilayahmu; kalau tidak kami akan mengambil kembali beserta keuntungan yang telah kalian ambil.” [25]

Adalah luar biasa bahwa salah satu catatan paling awal tentang Muhammad sebagai seorang nabi berisikan rincian yang menggambarkan dia yang bersikeras akan hak kaum Yahudi terhadap Tanah Suci – bahkan jika dalam konteks bahwa tanah itu pun milik kaum Ismael, kemudian beraksi bersama-sama dengan kaum Yahudi. Banyak elemen dalam tradisi Islam memang memperlihatkan Muhammad menyatakan dirinya sebagai seorang nabi dalam jalur kenabian Yahudi dan menggabungkan berbagai ketaatan yang diadaptasi dari hukum Yahudi bagi komunitas barunya. Dia bahkan pada awalnya menyuruh kaum Muslim untuk berdoa mengarahke Temple Mount di Yerusalem, sebelum wahyu dari Allah turun bahwa mereka harus menghadap Mekkah. Namun, adalah ganjil sekali bahwa catatan ini tidak memberikan isyarat tentang antagonism terhadap kaum Yahudi yang nantinya menjadi sifat khusus Muhammad dan Muslim terhadap mereka. Qur’an menggambarkan kaum Yahudi sebagai musuh paling berbahaya bagi kaum Muslim (QS 5:82)

Tentu saja catatan Sebeo ini jauh dari nilai historisitas. Tidak pernah ada catatan dua belas ribu orang Yahudi bersekutu dengan kaum Arab untuk menyerbu territorial Byzantium. Namun demikian penyebutan Muhammad merupakan salah satu catatan yang paling tua, dan ini selaras dengan tradisi Islam yang menggambarkan Muhammad sebagai pedagang dan dalam perjalanan karyanya, setidaknya satu titik dalam karirnya, ia memperkembangkan persatuan dengan kaum Yahudi. Namun dari catatan Sebeos kita mendapatkan kesan bahwa setidaknya sampai tahun 660an, kaum Muslim dan Yahudi merupakan saudara spiritual dan mitra politik. Hal ini sama sekali tidak selaras dengan tradisi Islam ataupun catatan konvensional.

Bahkan dengan cara yang sangat terdistorsi, jika catatan ini benar-benar mencerminkan kejadian historis aktual, bisa dipastikan bahwa kaum Yahudi yang bergabung dalam persatuan itu tidak menganggapnya sebagai apa yang dalam istilah eukumenis “Persaudaraan Muslim-Yahudi”. Sebab sampai saat itu tidak ada penyebutan Muslim atau Islam. Sebagaimana yang kita lihat, catatan-catatan sejarah sejaman dari tanah-tanah yang diduduki menyebut kaum Arab sebagai “Hagarian,” atau “Saraken,” atau “Taiyaye.”

Para penyerbu menyebut mereka sendiri sebagai Muhajirun, “kaum emigran / kaum yang hijrah” – sebuah istilah yang akhirnya merujuk pada suatu cerita tertentu dalam kisah Islam, tetapi pada zaman itu begitu jelas tidak ada penyebutan Islam dsb. Para penulis berbahasa Yunani kadang member istilah para penyerbu ini sebagai “Magaritai” yang nampaknya diambil dari kata Muhajirun. Namun dengan jelas bahwa dari semua penyebutan itu, mereka yang diserbu dan ditundukan tidak pernah memakai kata “Muslim.” [26]

Sebeos juga mencatat bahwa Muawiya, gubernur Syria dan kemudian menjadi Kalifah, mengirimkan sebuah surat kepada Kaisar Byzantium Konstantine “Si Berjenggot” di tahun 651. Surat itu meminta Konstantine untuk meninggakan kekristenan dan beralih kepada agama – bukan Islam – melainkan sejenis Monoteisme Abrahamik yang tidak jelas.

Jika engkau ingin hidup damai …tinggalkanlah agamamu yang sia-sia itu, dimana engkau telah dibesarkan sejak masih kanak-kanak. Tinggalkanlah Yesus ini dan beralihlah kepada Allah yang aku sembah, Allah dari bapak kita Abraham… jika tidak bagaiman Yesus yang engkau sebut Kristus itu, yang bahkan tidak mampu menyelamatkan dirinya sendiri dari kaum Yahudi, mampu menyelamatkan dirimu dari tanganku? [27]

Kejijikan Islam akan idea Kristus yang disalib adalah bukti. Namun sekali lagi, kita tidak menemukan penyebutan Muhammad, Qur’an, ataupun Islam. Seruan Muawiya kepada Konstantin untuk beralih iman ke agama “Allah dari bapak Abraham” mengingatkan pada formulasi quasi-kredo Qur’an: “……” (QS 2:136). Namun patut dicatat bahwa bacaan Qur’an ini sendiri tidak menyebutkan pewahyuan baru yang pokoknya ditujukan untuk seorang nabi yang nantinya menelurkan kitab suci ini, dan yang seharusnya meneguhkan pesan yang para nabi terdahulu bawa.

Sangat aneh juga bahwa Sebeos tidak menyebutkan Mahmet sang pedagang Ismail dalam hubungannya dengan surat Muawiya. Mungkin pemimpin Arab misterius ini bukanlah figur sentral bagi agama Abrahamik ini sebagaimana orang-orang sesudahnya menjadikannya. Dan catatan-catatan paling awal yang mengisahkan monoteisme Arab, jarang menggambarkan seorang nabi bernama Muhammad yang menempatkan dirinya di suatu posisi dalam agama Abraham, namun tidak ada sesuatu yang lebih dapat kita simpulkan. Seorang penulis sejarah anonimus non-Muslim menuliskan sekitar tahun 680 menggambarkan Muhammad sebagai pemimpin “kaum Ismail” yang Allah telah kirim melawan Persia “seperti pasir di tepi pantai.” Ia menggambarkan Kabbah “kuil berbentuk kubus di Mekkah – sebagai pusat penyembahan kaum Arab, mengidentifikasikannya dengan Abraham, “Bapak dari kepala suku mereka.” Namun ia tidak menawarkan rincian tentang pengajaran khusus dari Muhammad. Dan seperti halnya para penulis sejarah lainnya, ia tidak pernah menyebutkan Qur’an, atau menggunakan kata “Muslim” atau “Islam”. [28]

Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 690, seorang penulis sejarah dari Kristen Nestorian, John Bar Pankaye menuliskan otoritas Muhammad dan kebrutalan kaum Arab dalam memaksakan kekuasaannya. Namun tetap ia tidak mengetahui apapun tentang kitab suci yang dari para penakluk ini. Ia juga menggambarkan sebuah praktik relijius baru yang jauh lebih mendekati Yudaisme dan Kekristenan dari agama apa yang nantinya disebut Islam:

Kaum Arab….. memiliki suatu perintah dari ia yang menjadi pemimpinnya, yang selaras dengan kaum Kristen dan para rahibnya, mereka juga, dibawah kepemimpinannya, melakukan penyembahan kepada Allah yang satu, berdasarkan kebiasaan dalam Perjanjian Lama. Pada awalnya mereka begitu terikat dengan tradisi Muhammad yang adalah guru mereka, sehingga mereka membebankan rasa sakit kematian pada siapapun yang kelihatannya melawan tradisi mereka. Di antara mereka ada banyak orang Kristen, sebagaian dari mereka kaum sesat, dan sebagian dari kita. [29]

Pertama Kali Istilah Muslim Digunakan ? sunting

Juga di tahun 690an, seorang Uskup Kristen Koptik, John Dari Nikou, membuat penyebutan “muslim” yang pertama:

Dan sekarang banyak penduduk Mesir yang tadinya Kristen palsu menolak keimanan ortodoks dan baptisan pemberi hidup, dan menganut agama kaum Muslim, musuh Allah, dan menerima doktrin binatang yang menjijikan, yakni, Muhammad, dan mereka melakukan kesalahan bersama-sama dengan para pemuja berhala, dan memanggul senjata dan menyerang kaum Kristen. Salah satu dari mereka memeluk iman Islam ….. dan menyiksa kaum Kristen [30]

Namun, ada alasan untuk percaya bahwa teks yang tersisa ini bukanlah John dari Nikiou yang menulisnya. Teks ini sendiri bertahan hanya dalam bentuk terjemahan ke dalam bahasa Etiopia dari bahasa Arab, yang tertanggal 1602. Teks berbahasa Arab sendiri berasal dari teks asli berbahasa Yunani atau bahasa lain. Tidak ada laporan akan istilah Muslim dan Islam pernah digunakan entah oleh kaum Arab ataupun oleh kaum-kaum yang ditundukan di tahun 690-an, diluar prasasti di Kubah Batu, yang mana prasasti itu sendiri mengandung fitur beragam pertanyaan, sebagaimana kita akan kaji. Dengan demikian mungkin John dari Nikou menggunakan istilah lain seperti – Hagarian? Saraken? Kaum Ismael? – yang mana seorang penerjemah nantinya secara serampangan terjemahkan sebagai Muslim.[31]

Jikapun istilah Muslim digunakan di tahun 690-an, inipun tidak sepopular seperti penggunaan istilah Hagarian, Saraken, Muhajirun, dan Kaum Ismail. Pada tahun 708 seorang penulis Kristen Jacob dari Edessa masih merujuk pemakaian Mahgrayé—kata dalam bahasa Syriac yang mengacu pada Muhajirun, or “kaum yang berpindah”:

Bahwa Mesias adalah keturunan Daud, setiap orang mengakuinya, kaum Yahudi, Mahgrayé, Kristen… Kaum Mahgrayé juga, sekalipun mereka tidak mau mengatakan bahwa Mesias sejati ini, yang datang dan diakui oleh kaum Kristen, adalah Allah dan anak Allah, namun demikian mereka mengakui dengan tegas bahwa dialah Mesias yang telah datang…. Atas hal ini mereka tidak memiliki perselisihan dengan kita, namun dengan kaum Yahudi……. [Namun] mereka tidak membenarkan menyebut Mesias ini Allah atau Anak Allah. [32]

Pernyataan Jacob memperlihatkan bahwa menjelang dekade pertama abad kedelapan, istilah Muhajirun dikenali sebagai ajaran yang mengakui Yesus tetapi menolak keilahiannya – hal ini menggemakan gambaran Yesus di Qur’an sebagai seorang nabi Islam tetapi tidak bersifat ilahi.

John dari Damaskus Menyoal tentang kaum Hagarians, Ismael, atau Saraken sunting

Sekitar tahun 730, seorang teolog terkeal Kristen, John dari Damaskus, mempublikasikan bukunya Menyoal Ajaran-ajaran Sesat , sebuah pemaparan kekristenan non-arus utama dalam perpektif ajaran ortodoks Byzantium. Ia memasukan sebuah bab tentang agama baru yang aneh dari orang-orang yang ia identifikasi dengan tiga nama, yaitu kaum Hagarian, Ismail, dan Saraken. John menuliskan tentang seorang “nabi palsu” bernama Muhammad (Mamed) yang “setelah mempelajari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dan nampaknya telah berbincang-bincang dengan seorang rahib Arian, ia memadukan kesesatannya sendiri. Dan setelah menyenangkan dirinya dengan orang-orangnya dengan berpura-pura sebagai orang suci, ia menebarkan rumor tentang sebuah tulisan (graphe) yang diturunkan padanya dari surga. Demikianlah, setelah menuliskan doktrin-doktrin menggelikan, dia membawanya untuk mereka bentuk penyembahan itu.” [33]

John mengulangi beberapa rincian dari kepercayaan kaum Saraken yang selaras dengan doktrin Islam — khususnya, kritik Islam terhadap kekristenan. “Mereka memanggil kita para pendua Allah – musyrik (hetairiastas) sebab kata mereka kite menduakan Allah dengan mengatakan Kristus adalah Anak Allah dan Allah….. mereka secara serampangan menganggap kita para penyembah berhala karena kita merendahkan diri kita dihadapan salib, yg sangat mereka benci.” Dalam meresponi hal ini John menyebut-nyebut beberapa praktik yang akrab dengan praktik agama Islam: “dan kita katakan pada mereka: ‘ bagaimana denganmu yang menggosok-gosokan dirimu di sebuah batu di Ka’ba (Chabatha) dan menghormat batu itu dengan ciuman mesra?’” [34]

Namun demikian John memperlihatkan suatu keakraban setidaknya dengan sebagian isi dari Qur’an, sekalipun ia tidak pernah menyebutnya sebagai “Qur’an”, hanya merujuk kepada nama surah-surah tertentu. “Perempuan/ An-Nisaa” adalah judul dari surah keempat dalam Qur’an, dan John menulis: “Muhammad ini, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, mengarang beberapa cerita sembrono, yang kepada setiap kisahnya itu ia berikan sebuah nama seperti tulisan (graphe) tentang Perempuan, dimana ia secara jelas meresepkan mengawini empat istri dan seribu selir, jika itu memungkinkan.” Surrah An-Nisaa memang mengijinkan seorang laki-laki menikahi empat istri dan menggunakan budak-budak wanita, “budak-budak yang kamu miliki”(QS 4:3), sekalipun secara spesifik tidak menyebutkan angka seribu, atau jumlah tertentu. Secara sederhana John memakai bahasa hiperbolis atau menggunakan angka seribu untuk mengindikasikan suatu jumlah tak terbatas selir-selir.

John juga merujuk pada “naskah tentang Sapi, yang tentangnya ia (Muhammad) mengatakan ada seekor sapi dari Allah” - sebuah cerita yang muncul dua kali di Qur’an, sekalipun hanya dua kali penyebutannya secara tidak jelas (QS 7:77, 91:11–14). Lebih lagi, John mencatat bahwa “Muhammad menyebutkan naskah tentang Meja,” sebuah catatan hidangan tentang Ekaristi Kristen ditemukan di QS 5:112–115, dan “naskah tentang Sapi,” yang menjadi judul dari surrah kedua dalam Qur’an, “dan beberapa lagi hal bodoh dan menggelikan yang, karena jumlahnya yang begitu banyak, aku pikir seharusnya sudah lama hilang dari edaran.” [35]

John mendemonstrasikan suatu pengetahuan rinci tentang Yesus Kristus dari Qur’an, yang dianggap berasal dari Muhammad. Catat bahwa kata-kata dalam tanda kurung dibawah ini telah ditambahkan oleh penerjemah dalam bahasa Inggris, yang pada umumnya merujuk pada ayat-ayat dalam Qur’an, namun pemberian ayat ini tidak muncul dalam tulisan John yang asli. John menulis :

Dia [yakni, Muhammad] mengatakan bahwa Yesus Kristus adalah Firman Allah dan Roh-Nya [lihat QS 9:171], diciptakan [QS 3:59] dan seorang hamba [QS 4:172, 9:30, 43:59], dan ia terlahir dari Maria [QS 3:45 dan Qur’an selalu menyebutkan Isa putra Maryam], saudara perempuan Musa dan Harun [QS 19:28], dilahirkan bukan dari benih pria [QS 3:47, 19:20, 21:91, 66:12]. Sebab dia berkata, Firman Allah dan Roh-Nya telah dihembuskan kepada Maria [QS 19:17, 21:91, 66:12], dan ia melahirkan Yesus, seorang nabi [QS 9:30, 33:7] dan hamba Allah. Dan [ia berkata] bahwa kaum Yahudi, yang bertindak melawan hukum, hendak menyalibkan dia, tetapi pada saat menangkap [nya], mereka [hanya] menyalibkan bayangannya; Kristus sendiri tidak disalibkan, dia berkata, dan tidak pula dia mati [QS 4:157]. Sebab Allah mengangkatnya ke surga… dan Allah bertanya kepada Yesus dengan mengatakan: “Yesus, apakah engkau mengatakan “Aku adalah putera Allah dan Allah?” Dan dia [Muhammad] mengatakan bahwa Yesus menjawab, “Kasihi aku, Tuhan, engkau tahu bahwa aku tidak mengatakan demikian” [5:116]. [36]

Ini merupakan ringkasan mengesankan dari pengajaran Qur’an tentang Yesus. Namun ingat bahwa ayat-ayat rujukan di dalam tanda kurung itu telah ditambahkan oleh penerjemah ke dalam bahasa Inggris. John sendiri tidak merujuk pada surah dan ayat mana, dan ringkasan ini berisikan perbedaan yang kecil namun mencolok dari teks Qur’an yang ada sekarang. Contohnya, di QS 5:116 Allah tidak menanyakan Yesus entah ia menyebut dirinya Putera Allah atau Allah, melainkan “ Adakah kamu mengatakan kepada manusia :’ jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan [terjemahan tepatnya Ilah / allah- bukan tuhan] selain Allah?” Dan Yesus tidak menjawab, “ Kasihi aku, Tuhan, engkau tahu bahwa aku tidak mengatakan demikian,” melainkan “Maha Suci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakan maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara-perkara yang ghaib-ghaib.”

Perbedaan ini, juga fakta bahwa John menuliskan ringkasan yang begitu mencolok sama seperti yang Qur’an katakan tentang Yesus, yang menjadi ketertarikan dia sebagai teolog Kristen (khususnya nubuatan yang dianggap dikatakan oleh Yesus akan kedatangan Muhammad dalam QS 61:6) memunculkan kemungkinan bahwa John sedang menulis bukan dari sebuah salinan actual dari Qur’an melainkan dari sebuah tradisi oral, atau dari beberapa naskah yang kemudian dimasukan ke dalam kanonisasi Qur’an.

Alasan lain untuk dikemukakan adalah bahwa John tidak sedang meringkas Qur’an yang dia buka dihadapannya adalah fakta bahwa ia tidak pernah merujuk satu kitab pun dengan menyebutkan namanya. Malahan ia member kesan bahwa “teks tentang Perempuan” dan “teks tentang Unta Allah” dan “teks tentang Sapi” sebagai dokumen-dokumen yang terpisah dan bukannya satu koleksi utuh. Naskah “Perempuan-perempuan” (bukan perempuan sebagai kata benda tunggal) sebagaimana John tuliskan dan “Sapi” adalah dua surrah yang tercantum di Qur’an (QS 4 & QS 2). Sedangkan “Unta Allah” tidak tercantum dalam Qur’an. Adalah mungkin bahwa John sedang bekerja dari apa yang kaum Hagarian atau kaum lainnya yang memiliki hubungan dengan mereka ,telah mengatakannya kepada John, dan bukan dari naskah tertulis, atau setidaknya dari naskah tertulis yang tidak tepat seperti Qur’an yang kita kenal sekarang.

Adalah mungkin bahwa masalah penyebutan itu semata-mata adalah karena keanehan dari John, tanpa signifikansi lebih lanjut. Dalam kasus lain pemahaman actual John melebihi pemahaman pengajaran Islam dari pada para penulis non-Muslim awal yang menyoal tentang keyakinan para penakluk Arab ini. Tetapi catat bahwa John menulis satu abad setelah pewahyuan Qur’an yang diakui dan pendirian Islam.

Dan bahkan pada titik ini, hampir seratus tahun berlalu setelah tahun yang dianggap sebagai tahun kematian Muhammad, gambaran Muhammad tetap saja kabur. Malahan gambaran Muhammad yang gegap gempita, sebagai penerimat wahyu-wahyu Allah lewat malaikat Jibril, yang nantinya dijadikan Qur’an, hidup dan karyanya yang konon katanya “dipenuhi terang sejarah” ternyata tidak muncul sampai beberapa dekade kemudian.

Catatan sunting

1 Yehuda D. Nevo and Judith Koren, Crossroads to Islam (Amherst, NY: Prometheus, 2003), 265.
2 Ibid., 265–66.
3 Quotations from the Qur'an are taken, except where noted, from A. J. Arberry, The Koran Interpreted (New York: George Allen
& Unwin, Ltd., 1955).
4 Doctrina Jacobi vol. 16, 209 (quoted in Robert G. Hoyland, Seeing Islam as Others Saw It: A Survey and Evaluation of
Christian, Jewish, and Zoroastrian Writings on Early Islam [Princeton: Darwin Press, 1997], 57).
5 Historian Robert G. Hoyland notes that the first editor of this text suggested that it had begun as a continuation of Eusebius's
ecclesiastical history and was then updated a century after it was first written: “A mid-seventh century Jacobite author had written a
continuation of Eusebius and…this had been revised almost a century later when the lists of synods and caliphs and so on were added”
(Hoyland, Seeing Islam, 119).
6 Thomas the Presbyter, Chronicle, 147–48 (quoted in Hoyland, Seeing Islam, 120).
7 Nevo and Koren, Crossroads to Islam, 264.
8 John Moschus, Pratum spirituale, 100–102, Georgian translation, Gérard Garitte, trans., “‘Histoires édificantes’ géorgiennes,”
Byzantion 36 (1966): 414–16 (quoted in Hoyland, Seeing Islam, 63).
9 Homily on the Child Saints of Babylon, §36 (tr. de Vis, 99–100) (quoted in Hoyland, Seeing Islam, 121).
10 Sophronius, Ep. Synodica, Patrologia Greca 87, 3197D–3200A (quoted in Hoyland, Seeing Islam, 69).
11 Sophronius, Christmas Sermon, 506 (quoted in Hoyland, Seeing Islam, 70).
12 Sophronius, Holy Baptism, 162 (quoted in Hoyland, Seeing Islam, 72–73).
13 Steven Runciman, A History of the Crusades, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1951), 3.
14 Ibid., 1:4.
15 On the Pact of Umar, see Mark Cohen, “What Was the Pact of Umar? A Literary-Historical Study,” Jerusalem Studies in
Arabic and Islam 23 (1999), 100–158.
16 Muhammad ibn Jarir at-Tabari, The History of al-Tabari, vol. XII, “The Battle of al-Qadisiyyah and the Conquest of Syria and
Palestine,” trans. Yohanan Friedmann (Albany: State University of New York Press, 1992), 191–92.
17 Quoted in J. B. Chabot, trans. and ed., Synodicon Orientale, 3 vols. (Paris: Imprimerie Nationale, 1902), Syriac text, 1:224,
French translation, 2:488 (quoted in Nevo and Koren, Crossroads to Islam, 218).
18 Quoted in Chabot, Synodicon Orientale, Syriac text, vol. 1, 224, French translation, 2:488, Nestorian Synod, 676 C.E., Canon 16
(quoted in Nevo and Koren, Crossroads to Islam, 219).
19 Quoted in F. M. Nau, “Littérature Canonique Syriaque Ineditée,” Revue de l'Orient Chrétien 14 (1909): 128–30 (quoted in Nevo
and Koren, Crossroads to Islam, 217).
20 Quoted in Nau, “Littérature Canonique Syriaque Inéditée,” 128–30 (quoted in Nevo and Koren, Crossroads to Islam, 217–18).
21 For more on this from a different perspective, see Fred M. Donner, Muhammad and the Believers: At the Origins of Islam
(Cambridge, MA: The Belknap Press of Harvard University Press, 2010).
22 Patriarch John–Arab Emir, Colloquy, trans. Francois Nau, “Un colloque de patriarche Jean avec l'émir des Agareens et fait
divers des années 712 a 716,” Journal Asiatique 11/5 (1915): 225–79 (quoted in Hoyland, Seeing Islam, 459).
23 Alphonse Mingana, “The Transmission of the Koran,” in Ibn Warraq, ed., The Origins of the Koran (Amherst, NY:
Prometheus, 1998), 105.
24 Duval, ed., Corp. Script. Christ. Orient, tomus LXIV, 97 (quoted in Mingana, “The Transmission of the Koran,” 106).
25 Sebeos, Histoire d'Héraclius par l'Evêque Sebêos, trans. Frederic Macler (Paris: 1904), 94–96 (quoted in Patricia Crone and
Michael Cook, Hagarism: The Making of the Islamic World [Cambridge: Cambridge University Press, 1977], 6–7).
26 See Donner, Muhammad and the Believers.
27 Quoted in Sebeos, Histoire, 139–40 (translated into English and quoted in Nevo and Koren, Crossroads to Islam, 229).
28 Chronica Minora, tomus IV, 30, 38, in Duval, ed., Corp. Script. Christ. Orient (quoted in Mingana, “The Transmission of the
Koran,” 106–7).
29 Quoted in Alphonse Mingana, Sources Syriaques, vol. 1, pt. 2, 146ff. (quoted in Mingana, “The Transmission of the Koran,”
107).
30 The Chronicle of John (c. 690 A.D.) Coptic Bishop of Nikiu, trans. and ed. Robert H. Church (London: 1916; reprinted Philo
Press), ch. 121, pp. 10–11, 201 (quoted in Nevo and Koren, Crossroads to Islam, 233).
31 Nevo and Koren, Crossroads to Islam, 234.
32 F. Nau, “Lettre de Jacques d'Edesse sur la généalogie de la sainte Vierge,” Revue de l'Orient Chrétien (1901): 518–23 (quoted
in Nevo and Koren, Crossroads to Islam, 235).
33 John of Damascus, De haeresibus C/CI, 60–61 (= Patrologia Greca 94, 764A–765A) (quoted in Hoyland, Seeing Islam, 486).
34 Ibid., 63–64 (= Patrologia Greca 94, 765C–769B) (quoted in Hoyland, Seeing Islam, 486–87).
35 Ibid., 64–67 (= Patrologia Greca 94, 769B–772D) (quoted in Hoyland, Seeing Islam, 487).
36 Ibid., 61 (= Patrologia Greca 94, 765A–B) (quoted in Hoyland, Seeing Islam, 488–89).

Yesus, Sang Muhammad sunting

Muhammad: Kedatangannya Yang Terlambat di Tempat Kejadian Perkara sunting

Para penulis sejarah non-Muslim yang menulis pada saat penaklukan awal oleh bangsa Arab tidak pernah menyebutkan Qur’an, tidak pernah menyebutkan Islam, tidak pernah menyebutkan Muslim, dan hanya kadang-kadang menyebutkan Muhammad.

Situasi ini tidak berubah ketika kita beralih pada bukti-bukti artefak Muslim sejaman. Menurut kisah-kisah tradisional Islam, para penyerbu Arab yang menyapu Afrika Utara di tahun 650-an dan 660-an dan mengepung Konstantinopel di tahun 670-an disemangati oleh Qur’an dan pengajaran dan contoh laku Muhammad. Namun kisah-kisah ini tidak menyebutkan apa yang menjadi inspirasi utama mereka. Rujukan-rujukan kepada bacaan Qur’an dan Islam idak muncul sampai hampir di ujung abad ketujuh dan ketika para penyerbu Arab menyebutkan Muhammad, mereka melakukannya dengan cara dimana secara mencolok berbeda dari catatan-catatan kanonik Islam.

Contohnya, di tahun 677 atau 678M, pada waktu pemerintahan kalifah Umayah pertama, Muawiya (661–680M), sebuah bendungan didirikan dekat Ta’if di Arabia. (Dinasti Umayyah adalah dinasti yang memerintah Timur Dekat dari pertengahan abad ketujuh sampai pertengahan abad kedelapan). Prasasti resmi itu berbunyi:

Inilah bendungan [milik] dari Hamba Allah Muawiyah
Komandan kaum Beriman, . Abdullah bin Saxr [1] membangunnya
Dengan ijin Allah di tahun 58.
Allah! Ampunilah Hamba Allah Muawiyah,
Komandan Kaum Beriman, teguhkanlah dia diposisinya dan bantulah dia dan
Biarlah yang setia
Bersukacita di dalamnya. Amir bin Habbab/Jnab menuliskan ini. [2]

Muawiyah dituliskan sebagai “Komandan kaum Beriman,” tetapi apa ciri dari iman itu sendiri, disamping setia kepada Allah, tidaklah disebutkan. Tidak ada petunjuk budaya agama Islam di sini yang segera akan dan setelah itu selamanya meresap dalam dalam prasasti-prasasti lain seperti prasasti ini dan proklamasi resmi lainnya.[3] Tepatnya apa yang Muawiyah percayai tidaklah jelas, tetapi jika ia memang percaya bahwa Muhammad adalah nabi Allah dan Qur’an adalah kitab Allah yang dikirimkan bagi manusia lewat sang nabi, ia tidak member petunjuk ke arah itu.

Hal yang serupa prasasti resmi di jembatan kanal Fustat di Mesir tahun 688, bertuliskan “Inilah jembatan lengkung yang Abd al-Aziz bin Marwan, sang Emir, perintahkan untuk dibuat. Berkatilah dia dalam segaa yang dia lakukan, teguhkan otoritasnya sebagaimana Engkau sukai, dan buatlah dia sangat berpuas diri dan dirinya dan rumat tangganya. Amin! Sa’d Abu Usman membangunnya dan Abd ar-Rahman menuliskannya di bulan Safat di tahun 69.” Di sini pula, tidak ada penyebutan Muhammad, Qur’an ataupun Islam.

Salah satu rekaman terbaik dari worldview para penakluk ditemukan dalam koin-koin atau uang-uang logam yang mereka cetak. Uang-uang logam (untuk selanjutnya akan disebutkan dengan “koin” saja)itu membawa persetujuan resmi dan menyandang prasasti yang secara umum mencerminkan prinsip-prinsip mendasar dari pemerintah yang mencetaknya. Dalam dunia Islam sekarang adalah sukar untuk melacak uang kertas dan uang logam yang tanpa menyebutkan Islam, Muhammad dan Qur’an. Kalimat Syahadat, kalimat pengakuan iman Islam, terpampang di bendera negara Arab Saudi. Koin-koin di seluruh dunia Islam membawa tulisan yang berisikan elemen Islam. Aspek yang paling jelas dan dibanggakan dalam dunia Islam adalah jika sesuatu berbau Islam. Namun di zaman Islam awal, hal inilah yang kurang nyata dan ini sangat menncurigakan.

Koin-koin paling awal yang para penakluk cetak mengandung tulisan bism allah / bismillah. Allah adalah bahasa Arab dari God/Sesembahan/Dewa. Kata ini digunakan oleh kaum Yahudi berbahasa Arab, Kristen dan juga Muslim. Namun koin-koin di pertengahan tahun 650an dan mungkin sampai paling tidak 670an menyandang tulisan saja, tanpa ada rujukan pada Muhammad sebagai nabi Allah atau kepada elemen khas Islam lainnya. Inilah periode semangat pertama penaklukan Arab. Padahal kita berharap bahwa para penakluk ini akan menekankan fitur khusus dari agama mereka, yang mereka anggap melebihi agama-agama lain yang bersaing di wilayah itu.

Koin-koin atau uang logam lain yang berasal dari perioda yang sama menampilkan tulisan semacam bism Allah rabbi (demi nama Allah, Tuhanku), rabbi Allah (Tuhanku adalah Allah) dan bism Allah al-malik (demi nama Allah sang Raja). [5] Tidak hadirnya koin-koin menyandang nama Muhammad rasul Allah (Muhammad utusan Allah) sangat mencurigakan.

Satu koin yang penakluk Arab tampaknya cetak di Palestina antara tahun 647 dan 658 M memang menyandang tulisan Muhammad. Namun tidak ada isyarat bahwa ini adalah produk dari informasi keyakinan Muslim, sebab koin ini menggambarkan seorang tokoh, tampaknya seorang penguasa, padahal Islam sangat melarang penggambaran tokoh manusia. Bahkan yang lebih janggal lagi adalah fakta bahwa tokoh ini membawa sebuah salib – simbol yang menjadi sebuah laknat bagi Islam. [6]

Seorang numismatis (ahli dalam uang logam kuno) Clive Foss menjelaskan bahwa coin ini mengambarkan “seorang sosok bersahaja yang sedang berdiri tanpa mahkota dan diapit oleh salib panjang, sementara di bagian belakang tertulis kata muh[ammad].”[7]

Muhammad, nabi Islam, dipercaya telah menjadi agen utama dari sebuah tatanan peradaban baru yang didasarkan pada kiab suci yang memperingatkan kaum Kristen bahwa Yesus tidak dibunuh tidak pula disalibkan (QS 4:157). Akankah sang Kalifah, pemimpin golongan beriman yang mengklaim ini sebuah penistaan bagi agama saingan menyoal Yesus sebagai Putera Allah, akan menempatkan symbol utama dari agama saingan itu di tulisan/prasasti publik? Akankah pemimpin kaum beriman yang mana nabi pendirinya mengklaim bahwa Yesus akan turun di akhir zaman dan “mematahkan semua salib” sebagai penghinaan bagi dirinya dan perjanjian akan transendensi kemuliaan Allah – akan benar-benar mengijinkan sebuah gambar salib ditampilkan di koin yang dibaca oleh semua orang di dalam wilayahnya? [8]

Akankah para pengikut dari nabi baru ini, yang agama barunya dan tatanan politiknya menentang “para penyembah salib,” telah menempatkan suatu figur dengan menyandang salib di koin mereka? Barangkali ini bisa ditafsirkan sebagai sebuah tanda toleransi dari Islam, mengingat kaum Kristen mendominasi wilayah Kekaisaran Arab. Namun hukum Islam sebagaimana dirumuskan di abad 9 dan 10 melarang kaum Kristen untuk memperlihatkan salib secara terbuka – bahkan diluar gereja – dan tidak ada petunjuk bahwa pengenaan hukum ini berlaku berbeda di awal-awal pemberlakukannya. [10] Sehingga sangat mengherankan jika penakluk Muslim dan kaum Kristen akan mencetak koin yang memunculkan tokoh utama dari agama dan tatanan politik yang mereka pandan rendah, kalahkan, dan pasti segera digantikan. [10]

Koin-koin lainnya dari perioda ini juga memperlihatkan tanda salib dan kata Muhammad. [11] Sebuah koin Syria bertanggal tahun 686 atau 687, pada awalnya menampilkan apa yang ahli numismatis Volker Popp sebut sebagai “motto Muhammad” di bagian belakang (kanan). [12] Bagian depan menamplkan seorang pemimpin dengan sebuah salib dan memegang salib lainnya. [13]

Penjelasan yang paling jelas adalah bahwa kata “Muhammad” yang kepadanya koin-koin itu rujuk bukan mengacu pada sang Nabi Islam. Bisa saja memang kemungkinan lain bahwa gambar tokoh dalam koin ini berevolusi menjadi Muhammad sang Nabi Islam, tetapi kemungkinannya tidak demikian pada waktu koin-koin itu dicetak. Atau mungkin kata Muhammad tidak berarti suatu nama dari perseorangan melainkan suatu gelar, yang berarti “yang terpuji” atau “yang terpilih”. Volker Popp juga menggaris bawahi bahwa beberapa dari koin abad ketujuh yang menggambarkan salib juga bertuliskan bismillah – Demi nama Allah – juga Muhammad, dengan demikian ia menyarankan bahwa koin-koin itu mengatakan bahwa penguasa yang digambarkan sebagai “Ia dipilih di dalam nama Allah,” atau “Biarlah ia dipuji di dalam nama Allah.” [14]

Ini juga bisa berarti suatu derifat dari frasa umum liturgis Kristen yang merujuk pada kedatangan Kristus; “Diberkatilah ia yang datang dalam nama Tuhan.” Dalam kasus ini, Muhammad sama maknanya dengan yang terpuji, yakni Yesus sendiri. Yang mendukung kemungkinan ini adalah fakta bahwa hanya sedikitnya penyebutan nama Muhammad dalam Quran, rujukan-rujukan tersebut tidak jelas ditujukan pada nabi Islam namun berfungsi secara setara sebagai nasihat umum untuk menaati apa yang telah diwahyukan kepada “sang terpuji” yang bisa saja seseorang yang lain. Yesus adalah kandidat yang paling memungkinkan. Sebab sebagaimana yang kita telah lihat, Qur’an mengatakan bahwa “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa rasul” (QS 3:144); dengan menggunakan bahasa yang identik Qur’an kemudian menggunakan Yesus: “Al Masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul” (QS 5:75). [15] Fakta ini membukan kemungkinan bahwa di sini, dan ditempat lain, Yesus adalah yang dirujuk sebagai “yang terpuji” – Muhammad.

Penulis biografi Muhammad yang pertama, Ibn Ishaq, member dukungan tambahan untuk kemungkinan ini. Mengingat QS 61:6 Yesus diceritakan sedang meramalkan kedatangan seorang “utusan Allah” yang baru “yang namanya Ahmad.” Karena Ahmad – yang terpuji adalah varian dari kata Muhammad, maka para ulama Islam mengambil bacaan ini sebagai rujukan terhadap sang nabi Islam. Ibn Ishaq memperkuat pandangan ini dalam biografi Muhammad-nya dengan mengutip “Injil” Perjanjian Baru dimana Yesus mengatakan “ketika sang penghibur [munahhemana] telah datang yang Alla telah kirimkan kepadamu dari kehadiran Tuhan, dan roh kebenaran yang akan memimpinmu dari Kehadiran Tuhan; Ia akan bersaksi tentang aku dan kamu juga, sebab kamu telah bersama-sama denganku dari permulaan. Aku telah mengatakannya kepadamu tentang hal ini supaya kamu tidak menjadi ragu.” Ibnu Ishaq kemudian menerangkan “kata Munahhemana (Allah memberkati dan merawatnya) dalam bahasa Syriak adalah Muhammad, dalam bahasa Yunani ia adalah paraclete.” [16]

Alfred Guillaume, penerjemah Sira karya Ibn Ishaq ke dalam bahasa Inggris, menjelaskan bahwa kata Munahhemana “di dalam sastra patristik (keuskupan) Timur …. diterapkan pada Tuan kita sendiri” – yaitu tidak untuk Muhammad melainkan Yesus. Penyandang awal dari gelar “yang terpuji” adalah Yesus, dan gelar ini dan nubuatan yang menyertainya “secara sengaja dimanipulasi untuk menyediakan bacaan yang disodorkan pada kita” di dalam biografi Muhammad karya Ibn Ishaq – dan juga dalam Qur’an itu sendiri. [17]

Kemungkinan manapun yang benar, hipotesis yang paling lemah adalah jika koin-koin Muhammad nabi agama baru sebagaimana digambarkan dalam Qur’an dan Hadis. [18] Sebab tidak ada rujukan sejaman kepada Muhammad, sang Nabi Islam yang dipercaya telah menerima Qur’an dan mengkhotbahkan pesan-pesannya untuk mempersatukan kaum-kaum Arabia (yang seringkali lewat pemaksaan) dan yang para pengikutnya nantinya membawa semangat jihadnya keluar dari tanah Arabia. Catatan-catatan pertama yang begitu jelas tentang Muhamad sang nabi Islam baru muncul jauh di kemudian hari setelah dicetaknya koin-koin ini.

Salib dan Bulan Sabit Muncul Bersamaan sunting

Sebuah kepenasaran lainnya adalah bahwa untuk semua penampilan koin-koin dicetak resmi di Palestina Utara atau Jordan selama pemerintahan Muawiyah. Sang penguasa yang digambarkan di koin tersebut (tidaklah jelas apakah ini gambar Muawiyah atau seseorang lain) tidak digambarkan dengan bola dunia yang diatasnya terdapat salib, yang merupakan fitur dari mata uang Bizantium periode itu , tetapi dengan sebuah salib yang menampilkan bulan sabit di bagian atas palang vertikalnya. [19]

Bulan sabit muncul di bagian atas salib pada bagian depan koin, di bagian kanan dari gambar sang penguasa. Mungkinkah desain yang tidak biasa ini merupakan sisa dari sintesis kepercayaan lama yang terlupakan? Ataukah itu tanda di saat itu ketika perbedaan antara Kekristen dan monoteisme Arab / Islam tidak setajam apa yang terjadi kemudian hari? Apapun yang mungkin terjadi, sulit untuk membayangkan bahwa koin-koin seperti itu dicetak seandainya kebencian dogmatis Islam terhadap salib sudah ada pada saat itu, sebagaimana kita anggap bahwa Islam keluar dari Arabia saat itu telah mencapai format yang lengkap. [20]

Sang Kalifah dan Salib sunting

Juga ada item lain yang mencengangkan di antara artefak yang masih terpelihara dari pemerintahan Muawiyah: sebuah prasasti, berasal dari tahun 662, di kolam pemandian di Gadara, Palestina. (Gadara adalah salah satu panggung kisah dalam Injil dimana Yesus mengusir setan keluar dari seorang pria muda dan memindahkan setan-setan tersebut ke dalam kawanan babi.)Tulisan dalam aksara Yunani mengidentifikasi Muawiyah sebagai "hamba Allah, pemimpin para pelindung," dan tanggal dedikasi pemandian itu tertulis "tahun 42 penanggalan Arab." Dan pada awal prasasti tersebut dibubuhkan tanda salib. [21]

Ini adalah bangunan publik yang mengandung resmi dari pihak berwenang yang mengatur jika ada kesalahan dibuat. Sangat mungkin Muawiya sendiri berkunjung ke sana, sehingga dia mungkin telah melihat prasasti ini dan tampaknya tidak menganggap ada sesuatu yang salah atau tertinggal untuk ditulis. [22] Meskipun Bani Umayyah (atau setidaknya menurut tradisi Islam yang disodorkan pada kita) terkenal akan kelemahan ketaatan pada Islam, namun demikian adalah ganjil bagi seorang muslim untuk mempromosikan simbol-simbol agama lain, yakni salib - apalagi tanda ini ditegur beberapa kali dalam Qur’an.

Kecuali, tentu saja, jika memang tidak ada Qur’an, tidak ada Islam, setidaknya dalam bentuk yang kita ketahui sekarang, pada saat kolam pemandian di Gadara didedikasikan, begitu pula ketika koin-koin yang bertuliskan Muhammad dan bergambar Salib dicetak di Palestina.

Masih ada yang lebih mencolok, yaitu identifikasi tahun pada prasasti kolam pemandian tersebut yang bertuliskan “menurut tahun Arab” bukannya “menurut tahun Islam” atau “menurut tahun Hijriah” sebagaimana yang seharusnya diharapkan terjadi. Bahwa penaklukan kawasan itu oleh kaum Arab adalah fakta sejarah, namun bahwa para penakluk Arab ini keluar dari tanah Arab karena terinspirasi oleh Qur’an dan Muhammad tidaklah meyakinkan. Prasasti ini akan dipahami secara sempurna jika sentralitas kisah Hijrah – yakni berpindahnya Muhammad dari Mekkah ke Madina di tahun 622M, yang menandai kalender Islam, dan Islam ke para penakluk Arab, diproyeksikan kembali ke dalam sejarah, namun tidak sebagai fenomena kontemporer aktual ketika kolam pemandian itu didedikasikan.

Jika demikian, apa yang dimaksud dengan “tahun Arab?” Kaum Arab memakai kalender lunar atau kalender perhitungan bulan, dan satu tahun dalam perhitungan kalender lunar adalah sepuluh hari lebih pendek dari pada pada perhitungan matahari. Jadi empat puluh tahun kalender lunar setara dengan empat puluh tahun kalender matahari dan dengan demikian tahun 622 M setara dengan 42 tahun sebelum pendirian kolam pemandian Gadara di tahun 662M. Tahun 622M adalah tahun dimana Kekaisaran Byzantium memenangkan peperangan yang menentukan dan mengejutkan atas Kekaisaran Persia, yang berujung pada runtuhnya kekuasaan Persia. Tidak lama setelah itu kaum arab mengisi kekosongan kekuasaan dan mengambil alih Kekaisaran Persia. Segera mereka mengancam kekuasaan Byzantium juga. Apa yang menjadi penanggalan Arab mungkin berasal dari ditandainya permulaan kaum Arab sebagai kekuatan politik agar diperhitungkan dalam percaturan dunia.

Demikian sebuah peristiwa penting yang berhubungan dengan tahun 622 M, namun tidak mengandung karakteristik khas Islam, adalah sebuah prasasti tertanggal tahun 64 - yaitu, tahun 683 menurut kalender Gregorian, yang merupakan tahun enam puluh empat berdasarkan perhitungan lunar dari 622 tahun. Grafiti ini ditemukan di dekat Karbala di Irak, yang bertuliskan:

Demi nama Allah Pengasih, Penyayang
Allah besar dalam kebesarannya dan besar dalam kehendakNya
dan doa / pujian bagi Allah pagi hari, sore hari dan malam yang panjang.
Allah! Tuan dari Jibril, Mikail dan Asrafil,
Ampunilah Tabit bin Yazid al-Asari [yakni - dari Ashar]
pelanggaran-pelanggarannya yang dahulu dan yang akan datang
dan dia yang berkata Amin dengan keras, Tuan dari segala ciptaan
dan dokumen (kitab) ini ditulis di
Sawal tahun 64. [23]

Sawal adalah bulan kesepuluh dalam kalender Islam, dan juga kalender lunar pra-Islam yang digunakan oleh kaum pagan Arab. Jibril, Mikail, dan Asrafil adalah malaikat-malaikat dalam tradisi biblical. Sangatlah janggal apabila Tabit bin Yazid al-Asari seorang Muslim yang memuliakan Muhammad sebagai nabi yang besar dan terakhir, namun ia menyebut Allah sebagai Tuan atas malaikat-malaikat ini tetapi tidak menggunakan cara-cara konvensional yang lebih Islami. Demikian pula, adalah tidak mungkin jika Tabit bin Yazid al-Asari adalah seorang Kristen atau Yahudi, untuk alasan yang sama, yakni menyebut Allah sebagai Tuan atas para malaikat bukanlah praktik yang umum bagi kedua agama ini. Begitu pula prasasti-prasasti lain dari perioda yang hampir sama menyebutkan Allah sebagai “Tuan dari Musa dan Isa,” – tetapi sekali lagi, tidak pernah menyebutkan nama Muhammad. [24]

Namun, prasasti semacam ini semacam prasasti mungkin lebih umum di antara orang-orang yang menganggap diri mereka sebagai kaum monoteis dengan kekerabatan dengan Yahudi dan Kristen tetapi tetap berbeda dari keduanya. Ini akan cocok dengan apa yang telah kita lihat dari Abrahamisme Muawiyah tapi nampaknya secara kredo suatu bentuk monoteisme samar.

Muawiya keberatan dengan keilahian Kristus tetapi rupanya tidak cukup bermusuhan dengan Kekristenan sehingga sama sekali melarang penggunaan salib, seperti halnya Islam akhirnya lakukan. Tidak ada prasasti yang masih bertahan yang menunjukkan bahwa Muawiyah menyadari akan Muhammad atau Islam. Namun dia memang menyebutkan Abraham dan dengan demikian tampaknya Ia memiliki beberapa pengetahuan tentang tokoh-tokoh pendiri dari kitab suci Ibrani. Tabit bin Yazid al-Asari, yang tampaknya tinggal di wilayah Muawiyah selama pemerintahannya, bisa saja orang yang menganut perspektif relijius ini –malahan, mungkin pemahaman seperti itu telah menjadi keharusan di wilayah kekuasaan Arab yang baru ini.

Jika penjelasan tentang tanda salib di prasasti Gadara hiland ditelan kabut sejarah, adalah berasalan untuk menduga bahwa kecaman pedas Islam terhadap salib dan Kekristenan bisa diabaikan sebab kecaman semacam itu belum terjadi, setidaknya seperti dalam bentuknya sekarang. Koin-koin yang muncul menggambarkan pengganti Muawiya, Yazind I (680-683) juga menampilkan sebuah salib. [25]

Bahkan lebih memungkinkan, mengingat koin-koin ini dan sifat resmi dari prasasti Gadara, bahwa Muawiya dan Yazid menganggap diri mereka dalam suatu cara sebagai pemimpin kaum Kristen. Mereka mungkin eksponen dari suatu mazhab Kristen yang tidak mampu bertahan hingga hari ini, namun sebagai sebuah keimanan yang mencakup Kekristenan namun bertentangan dengan kekristenan secara umum dalam beberapa hal. Sebuah petunjuk akan sifat dari kekristenan ini yang mana Muawiya, Yazid, dan banyak pengikut mereka anut dapat ditemukan di prasasti di dalam Kubah Batu, bangunan peribadatan yang mengagumkan yang didirikan diakhir abad ketujuh di atas tanah bekas Kenisah di Yerusalem, situs paling suci bagi Yudaisme dan suci bagi Kekristenan juga. [27]

Kubah Batu : Eksposisi Pertama Teologi Islam ? sunting

Secara tradisional Kubah Batu telah dianggap sebagai sebuah manifestasi kemenangan dan superioritas Islam. Diselesaikan di tahun 691, sebelas tahun setelah kematian Muawiya, dan dibawah pemerintahan Abd al-Malik (685-705), bangunan peribadatan itu berisikan prasasti yang nampaknya diambil langsung dari dari Qur’an, walaupun dengan gaya yang tidak secara teratur. Inilah teks prasasti di poris tenggara dari arkad octagonal di dalam Kubah Batu. Penerjemah ke dalam bahasa Inggris, Estelle Whelan, telah menambahkan keterangan dalam tanda kurung yang menandakan dimana berbagai porsi dalam prasasti itu muncul (dan tidak muncul) dalam Qur’an ( untuk beberapa bagian minor dari ayat-ayat, penerjemah ke dalam bahasa Indonesia mengadaptasi dari terjemahan Inggris dan tidak secara literal mengambil dari terjemahan al Qur’an bahasa Indonesia demi mendekatkan pada teks asli dari buku ini):

“Demi nama Allah, Pengasih dan Penyayang. Tiada ilah selain Allah. Ia satu. Ia tidak memiliki sekutu” [ini adalah permulaan Sahadat].

“BagiNya segala kedaulatan dan bagiNya segala pujian. Ia mempercepat dan Ia memberi kematian; dan Ia mampu melakukan segala hal” [sebuah campuran dari QS 64:1 dan 57:2].

“Muhammad (atau bisa juga dibaca ‘Terpujilah’) hamba Allah dan utusanNya” [varian penutup dari Sahadat]

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatNya bershalawat (menebarkan berkat) untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” [QS 33:56 lengkap].

“Berkat dari Allah turun atas nya dan damai baginya, dan semoga Allah mengasihinya” [berkat, tidak ada dalam teks Qur’an]

“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan kalimatNya yang disampaikanNya kepada Maryam, dan roh dariNya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasulnya dan janganlah mengatakan: “tiga”, berhentilah. Lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah adalah Ilah yang Esa, Maha suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaanNya. Cukuplah Allah menjadi Pembela.

Al Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan tidak pula malaikat-malaikat yang terdekat. Barangsiapa yang enggan menyembahnya dan menyombongkan diri, kelak Allah akan mengumpulkan semua kepadaNya” [QS 4:171-172 lengkap]

"Ya Allah, berkatilah utusan dan hamba-Mu Isa putera Maryam " (kata seru memperkenalkan bagian berikut).

“Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadanya, pada hari ia dilahirkan, pada hari ia meninggal, dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali !” [QS 19:33 lengkap, namun ada perubahan dari orang pertama tunggal, aku, seperti yang tertera di Qur’an yang kita miliki, menjadi orang ketiga tunggal, ia, dalam prasasti ini].

“Itulah Isa putera Maryam, (inilah) sebuah pernyataan kebenaran yang atasnya mereka berbantah-bantahan. Tidak layak bagi Allah mempunyai anak. Kemuliaan hanya bagiNya. Apabila ia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya:”jadilah”, maka jadilah ia [QS 19:34-35 lengkap].

“Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahlah Dia. Ini adalah jalan yang lurus “ [QS 19:36 lengkap]

“Allah (sendiri) adalah saksi bahwa tiada Ilah selain Allah. Dan para malaikat dan orang-orang berilmu (juga adalah saksi).Menegakkan ciptaannya dalam keadilan, tiada Ilah melainkan Allah, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesunggunya agama di sisi Allah (adalah) yang berserah (kepada kehendak dan bimbinganNya). Mereka yang (dulu) menerima Kitab berselisih paham hanya setelah pengetahuan datang atas mereka lewat pelanggaran di antara mereka. Barangsiapa yang tidak percaya wahyu-wahyu Allah (akan mengetahui bahwa) sesungguhnya Allah sangat cepat dalam hisab-Nya. [QS 3:18–19 lengkap].

Prasasti lainnya di Kubah Batu, di bagian luar arkad, berbunyi demikian :

“Demi nama Allah, Pengasih, Penyayang. Tiada Ilah lain selain Allah. Ia satu. Ia tidak memiliki sekutu” [permulaan syahadat].

“Katakanlah: Ia Allah, yang satu! Allah, tempat abadi bagi memohon bagi segalanya! Ia tidak memperanakan, tidak pula ia diperanakan. Dan tiada yang setara denganNya” [QS: 112 lengkap kecuali pendahuluan basmallah].

“Muhammad (atau bisa diartikan ‘Terpujilah’) utusan Allah” [pelengkap syahadat].

“berkah Allah turun atasnya” [ucapan berkat].

“Demi nama Allah, Pengasih, Penyayang. Tiada ilah lain kecuali Allah. Ia esa. Ia tidak memiliki sekutu. Muhammad (atau bisa diartikan ‘Terpujilah’) utusan Allah” [syahadat secara utuh].

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatNya bershalawat (menebarkan berkat) untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” [QS 33:56 lengkap].

“Demi nama Allah, Pengasih, Penyayang. Tiada ilah lain kecuali Allah. Ia satu” [permulaan syahadat].

“Segala puji bagi Allah, yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaannya, dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya. [Qs 17:111 lengkap, tapi tidak ada kata “dan katakanlah” seperti dalam Quran sekarang]

“Muhammad (terpujilah) utusan Allah” [pelengkap Syahadat], “berkat dari Allah turun atas nya dan para malaikat dan para nabinya, dan damai turun atasnya, dan semoga Allah mengasihaninya” [ucapan berkat].

“Demi nama Allah, Pengasih, Penyayang. Tiada ilah lain kecuali Allah. Ia esa” [permulaan syahadat].

“Hanya Allah lah yang mempunyai semua kerajaan dan semua pujian. Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia maha kuasa atas segala sesuatu” [campuran QS 64:1 dan 57:2]

“Muhammad (terpujilah) utusan Allah” [pelengkap Syahadat], “berkat Allah turun atasnya. Semoga Dia menerima syafaatnya di Hari Penghakiman atas nama umatnya” [berkat dan doa].

“Demi nama Allah Pengasih dan Penyayang. Tiada Ilah lain selain Allah. Ia satu. Ia tidak memiliki sekutu. Muhammad (terpujilah) utusan Allah” [Syahadat lengkap], “Berkat Allah turun atasnya” [berkat]

“Hamba Allah abd [Allah Immam al-Ma’mun, Komandan / Pemimpin] kaum beriman, membangun kubah ini di tahun 2 dan 70. Semoga Allah menerima darinya dan puas dengannya. Amin, Tuhan semesta Alam. Pujian bagi Allah” [catatan di fondasi]. [27]

Bahan dasar Qur'an ini adalah pengesahan langsung awal keberadaan kitab – yang 60 tahun setelah pasukan Arab dikabarkan terinspirasi olehnya dan mulai menaklukan bangsa-bangsa tetangganya. Namun campuran bahan Quran dan non-Quran pada prasati itu sungguh janggal. Apakah Muslim yang saleh akan benar-benar menulis sebuah prasasti yang menggabungkan materi-materi Qur’anik, yang mana mereka percayai sebagai firman Allah yang sempurna dan tidak bisa berubah, dengan materi-materi non-qur’anik yang merupakan kata-kata manusia belaka betapapun indahnya itu? Akankah Muslim yang percaya bahwa Qur’an adalah firman Allah yang sempurna dan tidak bisa berubah, berani mengubah kata-kata Qur’an “Kesejahteraan turun atasku, pada hari aku lahir, pada hari aku mati, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali!” (QS 19:33) menjadi seperti yang tertera di Kubah Batu “Kesejahteraan turun atasnya, pada hari ia dilahirkan, pada hari ia meninggal, dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali!” ? Perubahan ini tidaklah substansial, namun tetap mengubah kata-kata sempurna dari Allah, yang nampaknya akan meragukan kejujuran si penulis.

Demikian juga, penyajian materi dari seluruh kitab, meskipun secara tematis terkait, tetap saja mengundang kepenasaran. Jika para penulis prasasti bermaksudkan untuk mencakup semua pernyataan Al-Qur'an yang menghardik ajaran Trinitarian Kristen, ada beberapa kelalaian penting - terutama klaim bahwa "mereka tidak membunuhnya, tidak pula menyalibnya" (QS 4:157). Atau jika kekuatan utama dari tulisan ini adalah untuk menyangkal keilahian Kristus dan menegaskan kenabian Muhammad, tidak dituliskannya ayat Al Qur'an dimana Yesus menubuatkan kedatangan Muhammad adalah aneh: "Hai Bani Israel, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberikan kabar gembira seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad " (QS 61:6).

Mengingat begitu mulusnya percampuran antara materi Qur’anik yang disarikan dari keseluruhan kitab, dengan materi non Qur’anik di dalam prasasti Kubah Batu ini, beberapa cendikia, termasuk Christoph Luxenberg, telah mengemukakan bahwa siapapun yang menulis prasasti ini tidak mengutip dari Al-Qur’an yang telah ada. Sebaliknya, mereka berpendapat bahwa sebagian besar materi ini ditambahkan ke dalam Qur’an di kemudian hari pada saat teks-teks Qur’an disusun.

Tidak semua orang setuju, tentunya. Estelle Whelan, yang menulis dalam Journal of the American Oriental Society di tahun 1998, berpendapat jika prasasti Kubah Batu ditemukan dalam Qur’an ternyata mendahului Qur’an, maka ayat-ayat itu akan dimasukan ke dalam Qur’an seperti apa adanya tertulis dalam bangunan itu: “Nampaknya sangat mungkin bahwa kombinasi dari frasa QS 64:1 dan 57:2 diulang dua kali, awalnya adalah suatu pernyataan kesatuan yang kemudian ‘didekonstruksi’ dan digabungkan ke dalam bagian-bagian Qur’an yang berbeda.” Ia kemudian berpendapat bahwa Qur’an pastilah mendahului prasasti tersebut dan berfungsi sebagai sumbernya. [28]

Meskipun dua ayat muncul bersama-sama dengan sangat baik di Kubah Batu, mereka tidak keluar dari konteks mereka sebagaimana tertulis dalam Al Qur'an - tidak seperti ayat-ayat lain yang tampaknya cukup jelas mengalami interpolasi (seperti yang akan kita lihat dalam Bab 8). Mungkin baik Kubah Batu dan Qur’an menggabungkan materi-materi dari sumber-sumber awal yang berisikan materi serupa dalam bentuk berbeda. Ditambah pula, jika ada sesuatu yang merupakan karakteristik dari literatur Islam awal, itu adalah pengulangan: Bahkan Qur'an itu sendiri, sesingkat itu (lebih pendek dari Perjanjian Baru), menceritakan banyak cerita lebih dari sekali dan sering mengulangi frasa. Namun semua pengulangannya merupakan cerita yang sama, entah itu tentang Musa dan Firaun, atau tentang penolakan Setan untuk membungkuk kepada Adam, berisikan variasi berbeda. Inilah apa yang kita bisa duga jika materi ini tersimpan lebih dalam bentuk pikiran para pujangga, nabi, dan otaror dari pada catatan tertulis.

Dengan demikian maka mungkin bahwa prasasti Kubah Batu mendahului Qur’an tetapi tidak berfungsi sebagai sumbernya, atau setidaknya sebagai sumber satu-satunya. QS 64:1 dan 57:2 mungkin berasal dari sumber-sumber berbeda, bukan dari seseorang yang memutuskan untuk memisahkan apa yang muncul di prasasti Kubah Batu sebagai bacaan yang utuh.

Namun, apa yang paling tidak biasanya tentang prasasti Kubah Batu adalah prasasti ini mungkin tidak merujuk pada teologi Islam sama sekali. Pada awalnya mungkin pernyataan ini tampak ngawur. Namun, ketika prasasti itu bertujuan memperingatkan “Kaum berkitab” utamanya Yahudi dan Kristen, dan dalam konteks ini, hanya Kristen – jangan melampaui batas dalam agamamu” dengan mengklaim bahwa Yesus adalah Anak Allah, ini menegaskan pokok dari teologi Islam dan penegasan yang sering diulang-ulang Al-Qur'an.

Namun terdapat kesukaran gramatikal dengan penjelasan tradisional dari prasasti di atas. Ingat, kata Muhammad dalam bahasa Arab berarti “yang terpuji,” dan dengan demikian kata ini bisa merujuk pada sebuah gelar atau suatu nama perorangan. Kata Al-Muhammad memang akan lebih tepat untuk menyatakan gelar “yang terpuji,” tetapi kata Muhammad di sini tanpa artikel al dapat berarti sebuah makna gerundif yang berarti “terpujilah,” dan dengan demikian muhammad di sini berarti “ia yang terpuji.”

Christoph Luxenberg, seorang filolog, menjelaskan bahwa dalam konteks prasasti Kubah Batu, frasa yang diterjemahkan menjadi “Muhammad hamba Allah dan utusanNya” lebih tepat dipahami sebagai “terpujilah hamba Allah dan utusanNya.” Luxenberg memerincikan dengan rujukan terhadap tatabahasa Arab: “Dengan demikian, dengan menggunakan bentuk gerundif ini, teks di sini tidak berbicara tentang seseorang yang bernama Muhammad, yang nantinya dibuat secara metaforis menjadi nama yang dianalogikan sebagai nabi Islam.” [29]

Dengan menelusuri kasus ini lebih dalam maka dapat disimpulkan bahwa prasasti di sini merujuk bukan kepada sang nabi Arab sama sekali melainkan pada Isa putere Maryam sendiri, yang dalam prasasti tersebut disebut sebagai “utusan Allah,” “hamba bagi Allah,” dan akhirnya “utusanMu dan hambaMu.” [30]

Pada faktanya, keseluruhan prasasti tersebut membuat lebih logis lagi sebagai sebuah pernyataan literal dan teologis jika kit memahami Muhammad sebagai rujukan kepada Yesus [Penggalan pembacaan ulang prasasti di atas bermakna demikian : tiada ilah lain selain Allah, - yang menegaskan Yesus tidak bersifat ilahi, - Yang Terpuji / Terpujilah (Muhammadun, yang merujuk kepada Yesus, hanyalah) hamba Allah dan rasulnya - Penerjemah). Dengan demikian keseluruhan prasasti tersebut menyoal Yesus yang semata-mata hanyalah utusan Allah dan bukan anakNya. Adala janggal jika dengan tafsiran standar Islami, prasasti tersebut menyebutkan Muhammad yang intinya mengidentifikasikan dia sebagai utusan dari Allah dan hambaNya; kemudian tanpa penjelasan tiba-tiba isi cerita itu berpaling dari Muhammad kepada Yesus, yang juga menyebutnya sebagai seorang utusan juga dan hamba Allah, dan selurus sisa tulisan dari prasasti tersebut habis dengan mengoreksi Kristologi Kekristenan.

Jika prasasti tersebut tidak membicarakan tentang Nabi Islam atau mencerminkan teologi Islam, mengapa ia menantang keilahian Kristus? Mungkin prasasti tersebut dimaksudkan untuk menawarkan sebuah versi lain tentang teologi Kristen yang berbeda dari Kekristenan Roma Timur (Byzantium) dan Gereja Induk di Konstantinopel.

Pada saat Kubah Batu didirikan, Gereja Induk di Konstantinopel masih sedang kelabakan akibat perselisihan panjang selama seabad mengenai natur asali dari Kristus. Lima konsili ekumenikal telah diadakan untuk mendiskusikan aspek-aspek ini. Mereka yang mempercayai Yesus sebagai ciptaan, tetapi pula setengah ilahi, dikutuk di konsili pertama, dan diusir keluar menyeberang selat Bosphorus dari Konstantinopel di konsili Nicaea pada tahun 325. Karena diskriminasi sistematis yang mazhab-mazhab ini hadapi, banyak dari mereka meninggalkan Kekaisaran Byzantium dan berpindah menuju daerah-daerah di Timur. Dengan demikian maka mungkin bahwa prasasti Kubah Batu adalah ekspresi yang bertahan dari teologi kelompok Kristen yang dianggap bidah yang menganggap Yesus semata-mata sebagai utusan ilahi, bukan sebagai Anak Allah atau Penyelamat Dunia. [31]

Teologi spesifik dari kelompok semacam itu tidak datang kepada kita dalam bentuk yang jelas sebagai kelompok bidah hasil dari ketidakpuasan terhadap teologi Kristen ortodoks yang dihasilkan dalam abad-abad tersebut. Namun itu mungkin dikarenakan karena faktor-faktor lain; ini mungkin sebuah usaha yang didorong secara politik menyoal kompromi teologis, seperti halnya monoteisme dalam Kekristenan; kompromi semacam itu tidak selaras benar dengan teologi grup-grup tertentu. Atau tidak dikenalnya kelompok ini hanya karena jauhnya kelompok ini dari pusat kekaisaran pada saat karya semacam itu dibuat, atau dengan grup yang secara gradual menyatu dengan komunitas monoteis non-kristen sampai suatu derajat dimana kebanyakan ciri khas Kristen dari grup itu terhapuskan.

Dengan demikian, prasasti Kubah Batu bisa jadi sebuah ekspresi dari teologi monoteisme Arab sederhana yang secara dalam berakar pada persepsi atas Kristus dan Kekristenan – yang menyoal pelemik dan penentangan terhadap klaim-klaim keilahian Kristus. Keterhubungan dengan perspektif Kristus ini membuat kita melihat bahwa prasasti Kubah Batu jauh dari Islam dalam bentuk yang jelas dan mudah dikenali sebagai agama dari Muhammad dan Qur’an. Sampai titik tersebut dalam sejarah, detil dari agama Islam tetap sukar dilacak dengan jelas.

Abd al-Malik dan Hajjaj ibn Yusuf Memperkenalkan Islam sunting

Dilihat dari terang ini, sebuah prasasti resmi dari tahun 693 (atau mungkin 702) ditemukan di sebuah jalan dekat Tiberias, tidak serta merta merujuk pada Islam yang telah terbentuk secara penuh, dengan nabinya Muhammad:

Demi nama Allah, Pengasih dan Penyayang [.]
Tiada Ilah lain melainkan Allah saja, Ia tidak memiliki Sharik [sekutu dalam menerima pemujaan]
Muhammad [Yang Terpuji] adalah utusan Allah
Sang Hamba Allah Abd al-Malik, Komandan kaum Percaya, memerintahkan
Pelurusan jalan gunung ini.
Ini dibuat oleh Yahya bn al-…
Di bulan Muharram di tahun tiga [dan 70 atau 80] [32]

Di sini mungkin tampak bahwa kita akhirnya bernapas dalam suasana penuh Islam, dengan penolakan syirik - yaitu, menempatkan sesuatu atau seseorang sejajar dengan Allah - dan proklamasi Muhammad sebagai nabi Allah. Tapi tulisan ini tidak benar-benar lebih spesifik daripada apa yang tertulis di Kubah Batu, yang bisa dikatakan bahwa hal itu hanya kompatibel dengan monoteisme samar Ibrahim ala Muawiyah daripada dengan ajaran tradisional Islam.

Baru di tahun 696, lima tahun setelah Kubah Batu didirikan, Kalifah Abd al-Malik mulai memerintahkan koin-koin dicetak tanpa gambar penguasa (selaras dengan pelarangan gambar dalam ajaran Islam) dan menyandang Syahadat, kalimat pengakuan iman Islam. [33]

Dengan demikian, adalah Abd al-Malik yang memproklamasikan Islam sebagai agama negara dari kekaisaran Ummayah – sebuah proklamasi yang benar-benar terlambat bagi sebuah kekaisaran yang dianggap telah terinspirasi oleh dan didirikan di atas ajaran Islam enam puluh tahun sebelumnya. [34] Sejarawan Robert G. Hoyland menyimpulkan bahwa “tindakan ini adalah wujud penekanan dari faksi-faksi pemberontak” yang membujuk Abd al-Malik dan para penggantinya “untuk memproklamasikan Islam secara publik sebagai basis ideologis dari Negara Arab.” [35]

Pada kenyataannya, seteru Abd al-Malik, Abdullah Ibn Az Zubair, yang telah melakukan revolusi menentang dinasti kalifah Ummayah dan sekarang mengontrol Arabia, Irak, dan Iran, telah memulai mencetak koin-koin yang memproklamasikan Muhammad sebagai nabi Allah di awal 685 – semacam proklamasi resmi. [36] Koin-koin itu menyandang tulisan: “Demi nama Allah, Muhammad utusan Allah (bismillah Muhammad rasul Allah).” [37] Hoyland menerangkan “Ini berarti bahwa pengakuan paling awal akan penegasan terhadap Islam justru datang dari pihak lawan. Ini bukanlah tidak mungkin. Bahwa revolusi yang dilakukan oleh Abdullah ibn Az-Zubair memiliki implikasi relijius ditegaskan oleh sebuah sumber Kristen sejaman, yang mengatakan tentang Az-Zubair bahwa ‘ia telah muncul keluar dari kecemburuan akan rumah Allah dan ia penuh denan ancaman terhadap kaum Barat, dengan mengklaim bahwa mereka adalah para pelanggar hukum.’” [38]

Abd al-Malik berusaha menyamai Ibn Az-Zubair dalam mencetak koin-koin yang menyandang tulisan Muhammad rasul Allah. Di tahun 696 sekutu Abd al-Malik, Hajjaj ibn Yusuf (w. 714) yang bertugas sebagai gubernur Irak setelah kematian Ibn Az-Zubair, memerintahkan pencetakan koin-koin yang berisikan teks penuh akan pengakuan iman Islam “bism Allah la ilah ila Allah wahdahu Muhammad rasul Allah (“Demi nama Allah, tiada Ilah lain selain Allah sendiri, Muhammad utusan Allah”) [39] (Teks ini berbeda dari kalimat syahadat umum, contohnya dengan menempatkan bismallah di depan.)

Bahkan ketika proklamasi semacam ini muncul di koin-koin, situasi tetap dalam perubahan yang sangat tak tentu: sebagian koin yang dicetak dalam era ini menyandang pengakuan iman, tetapi masih menggambarkan para penguasa, salah satunya menggambarkan para pemimpin dengan salib-salib di tangan mereka. [40]

Bagaimanapun juga, pemerintahan Abd al-Malik menandai sebuah titik balik sangat penting. Pemerintahannya juga menyaksikan rujukan-rujukan pertama oleh para non-muslim yang tadinya penakluk Arab ini dirujuk sebagai “Hagarian,”, “kaum Ismael”, dan “Saraken” sekarang menjadi “Muslim” dan perujukan pada Qur’an itu sendiri. Sebelumnya tidak ada hal yang sedemikian ini tercatat selama enam puluh atau tujuh puluh tahun setelah penaklukan oleh bangsa Arab dimulai.

Apakah Abd al-Malik pada dasarnya menciptakan Islam, atau mulai berinvestasi dengan rincian tentang Muhammad dan ajarannya, untuk menyatukan dan memperkuat kerajaannya? Koin Muhammad yang Ibn Az-Zubair cetak membuat tidak mungkin bahwa Abd al-Malik memulai gagasan nabi Islam. Namun ada kemungkinan bahwa ia mengambil alih dan memperluas mitos Muhammad yang baru lahir ini untuk tujuan politiknya sendiri.

Ada petunjuk yang merujuk pada hal ini. Banyak dari apa yang kita ketahui tentang Islam dapat ditelusuri ke pemerintahan Abd al-Malik. Menurut sebuah hadis yang dilaporkan oleh cendikia Islam as-Suyuti (w. 1505) dan cendikia lainnya, sang Khalifah sendiri menyatakan, "Aku telah mengumpulkan Qur'an (jama'tul-Qur'ana)." [41] Laporan ini muncul sangat terlambat, dan itu bertentangan dengan tradisi mapan yang mengisahkan bahwa Khalifah Utsman, yang memerintah 644-656, mengumpulkan dan memberi standar teks Al-Qur'an. Namun sukar untuk dijelaskan mengapa hadis ini diciptakan begitu terlambat kecuali karena ia mengandung setitik kebenaran akan otentisitasnya. Hadis-hadis lain mengembalikan klaim bahwa Qur’an telah lengkap selama pemerintahan Abd al-Malik. Beberapa tradisi menegaskan bahwa Hajjaj menambahkan begitu banyak tanda diakritik terhadap teks inti Qur’an, yang memungkinkan untuk pertama kalinya Qur’an dibaca tanpa keraguan- dan, tidak menutup kemungkinan, menancapkan karakter-karakter Islam ke dalam teks tersebut. [42] Menurut satu hadis, ahli hukum Malik Ibnu Anas (w.795) ingat bahwa "pembacaan mushaf itu" - yaitu, sebuah naskah kuno Al Qur'an-" di Masjid itu tidak dilakukan oleh orang-orang di masa lalu. Adalah Hajjaj b.Yusuf yang pertama kali melembagakannya." [43]

Menariknya, seorang cendikia Hadis di abad 15, Ibnu Hajar (1372 - 1448) mencatat bahwa “Hajjaj memiliki bahasa Arab murni, ia cakap dan berpengetahuan dalam hukum,’ dan ia katakan bahwa “ketaatan pada Kalifah dalam tuntutan tiap harinya adalah kewajiban bagi rakyat.” [44] Adalah mencengangkan bahwa enam abad setelah Hajaj hidup, “bahasa Arab murni” nya hanya ada dalam ingatan komunitas Islam belaka.

Sebuah bahasa Arab yang murni akan berguna untuk menulis atau mengedit naskah-naskah Arabik demi ketaatan kepada Kalifah dan kesatuan politik dari kekaisarannya. Dan untuk alasan-alasan ini kita akan selidiki di sepanjang buku ini, mungkin memang benar bahwa Qur’an perlu di Arabkan.

Pemerintahan Umayyah semasa Abd al-Malik dan para penggantinya mulai mengembangkan hadis-hadis tentang Muhammad dan mengedit dan menambah teks-teks Qur’an untuk menopang praktik-praktik dan posisi politik mereka – sebuah praktik yang para musuh kaum Ummayah, yakni kaum Abbasiyah, secara cerdik kerjakan ketika mereka menggantikan Ummayah di tahun 750.

Jika Abd al-Malik mendirikan agama Islam untuk tujuan-tujuan politik, maka ketiadaan penyebutan Muhammad, Islam, dan Qur’an sebelum-sebelumnya di semua lini dapat dipahami dengan mudah: Tidak ada rujukan kepada semua ini sebab Muhammad, Islam dan Qur’an belum ada saat itu, atau memang ada tapi dalam tahap yang belum lengkap.

Bukti lebih jauh bahwa Islam merupakan agama yang dikembangkan baru selama pemerintahan Abd al-Malik dapat dilihat dalam fakta bahwa idea-idea ini tidak mengakar secara tiba-tiba. Bahkan setelah Abd al-Malik dan Hajja ibnu Yusuf mengerjakan karya ciptaan mereka ini, pernyataan-pernyataan resmi dari pemerintahan Ummayah yang masih terpelihara tidaklah bulat atau jelas bersifat Islami. Qasr Kharana, sebuah istana padang gurun yang pengganti Abd al-Malik, Walid I (705-715) bangun di Jordan Timur menyandang prasasti ini:

Allahumma [translasi bahasa Arab dari bahasa Ibrani – Elohim yang berarti Allah] sayangilah Abd al-Malik ibnu Umar [bukan Abd al-Malik sang Kalifah yang adalah anak Marwan] dan maafkanlah pelanggaran-pelanggarannya, yang dahulu dan yang akan datang, yang tersembunyi dan yang terbuka; Tiada darinya yang melayakkan dia kepada Mu tetapi Engkau mengampuninya dan merahmatinya jika ia percaya. Aku percaya pada Tuhanku. Maka dari itu limpahkan atasku manfaatMu. Sebab Engkaulah Yang Dermawan, kasihanilah aku, sebab engkau maha penyayang. Ya Allah segala ciptaan, Tuhannya Musa dan Harun, semoga Allah mengasihani ia yang membaca ini dan katakan Amin, Amin, Tuhan segala ciptaan, Yang Maha Kuat! Abd al Malik bn [sic] Umar menulis [nya] di hari Senin, tiga [malam] sisa dari Muharram tahun dua dan Sembilan puluh [maksudnya tahun 92 H atau 710 M]. [Disaksikan oleh] Lam bn [sic] Harun. Dan memimpin kita sehingga kita bertemu dengan nabinya dan nabinya di dunia ini dan yang akan datang. [45]

Tuhan adalah Tuhannya Musa dan Harun. Tidak ada penyebutan yang dibuat untuk Muhammad. Ini adalah suatu pengurangan yang janggal, kecuali nabi Muhammad yang baru diciptakan ini belum cukup mapan dalam pikiran rakyat untuk memfigurkan penyebutan semacam itu bersama-sama dengan Musa dan Harun

Namun ketenaran ini akan segera beralih pada sang nabi peperangan Arab. Pada tahun 735 sebuah prasasti lain mengkhianati sensibilitas relijius yang sangat berbeda :

Demi nama Allah, Pengasih, Penyayang
Allah! Ampunilah! Hasan bn [sic – nampaknya seperti huruf] Masysarah
Dan kedua orang tuanya dan keturunan mereka
Amen Tuhan dari Muhammad dan Ibrahim
Allah! Ingatlah perbuatanku lewat jihad agung
dan terimalah pengasihanku sebagai syuhada karenaMu
dan Hasan menulis (nya) di hari Selasa
tanggal 22 [sic] di bulan Rabiy’ al-Awwal, dimana meninggal
Banu Ha[t]im semoga Allah mengasihani mereka semua
Dan ini di tahun 117 [setara dengan tahun 735 M] [46]

Sejak saat inilah kisah-kisah heroik dan tindakan yang menjadi panutan dari Muhammad, sang nabi Islam, mulai berkembang dalam secara luas di masyarakat. Ia telah menjadi figur yang kepadanya keimanan dapat diidentifikasikan – seseorang yang mereka rasa mereka kenal.

Keakraban ini adalah produk dari sebuah industri rejim yang luar biasa, pertama-tama di antara dinasti Ummayah dan kemudian di antara kaum Abbasiyah, yang tanpa malu-malu mengarang-ngarang materi tentang apa yang Muhammad ucapkan dan lakukan.

Catatan sunting

1 X represents the Arabic letter , a guttural kh sound.
2 Quoted in Nevo and Koren, Crossroads to Islam, 409.
3 Contrast this with an inscription on a mosque in Medina, dating from the year 752 (quoted in Nevo and Koren, Crossroads to Islam, 421):
In the name of Allah, the Merciful, the Compassionate! There is no God but Allah alone, He has no sarik [companion in worship].
Muhammad is the servant of Allah and His messenger. He it is who sent His messenger with the Guidance and the religion of Truth, to make it victorious over every other religion, even in the face of the musrikun's [polytheists'] dislike and hatred!
The Servant of God, Commander of the Faithful, has ordered to fear Allah and to obey Him which is to act according to Allah's kitab [book] and the sunnah [accepted practice] of the Prophet…
4 Quoted in Nevo and Koren, Crossroads to Islam, 411.
5 Nevo and Koren, Crossroads to Islam, 250.
6 Clive Foss, Arab-Byzantine Coins: An Introduction, with a Catalogue of the Dumbarton Oaks Collection (Washington, DC:
Dumbarton Oaks Research Library and Collection, 2008), 34.
7 Ibid.
8 A hadith narrated by Abu Huraira tells us:
“Allah's Apostle said, ‘By Him in Whose Hands my soul is, surely the son of Maryam
(Mary) Iesa (Jesus) will shortly descend amongst you people (Muslims) and will judge mankind justly by the Law of the Qur'an (as a just ruler) and will break the cross and kill the pig and abolish the Jizya (a tax taken from the non-Muslims, who are in the protection of the
Muslim government). This Jizya tax will not be accepted by Iesa (Jesus). Then there will be abundance of money and nobody will accept charitable gifts.’” Quoted in Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari: The Translation of the Meanings, trans.
Muhammad M. Khan (Riyadh: Darussalam, 1997), vol. 3, book 34, no. 2222.
9 Ahmed ibn Naqib al-Misri, Reliance of the Traveller (‘Umdat as-Salik): A Classic Manual of Islamic Sacred Law , trans. Nuh Ha Mim Keller (Beltsville, MD: Amana Publications, 1999), 011.5(6).
10 For more on this from a different perspective, see Donner, Muhammad and the Believers.
11 Volker Popp, “The Early History of Islam, Following Inscriptional and Numismatic Testimony,” in Karl-Heinz Ohlig and Gerd-R.
Puin, eds., The Hidden Origins of Islam (Amherst, NY: Prometheus, 2010), 55.
12 Popp, “The Early History of Islam,” 113.
13 Ibid., 55, 56.
14 Ibid., 55.
15 Nevo and Koren, Crossroads to Islam, 265–66. The translation of the Qur'anic texts here is that of Nevo and Koren.
16 Ibn Ishaq, The Life of Muhammad: A Translation of Ibn Ishaq's Sirat Rasul Allah, trans. Alfred Guillaume (Oxford: Oxford University Press, 1955), 104; Ibn Warraq, Virgins? What Virgins? And Other Essays (Amherst, NY: Prometheus, 2010), 50.
17 Alfred Guillaume, “The Version of the Gospels Used in Medina Circa 700 A.D.,” Al-Andalus 15 (1950): 289–96 (quoted in Ibn Warraq, Virgins?, 50).
18 Foss, Arab-Byzantine Coins, 34.
19 Ibid., 47.
20 See Donner, Muhammad and the Believers.
21 Popp, “The Early History of Islam,” 34–36.
22 Foss, Arab-Byzantine Coins, 118.
23 Quoted in Nevo and Koren, Crossroads to Islam, 377.
24 Nevo and Koren, Crossroads to Islam, 383.
25 Yazid was famous as a falconer, and the ruler on this coin is depicted with a bird on his wrist. Foss, Arab-Byzantine Coins, 48.
26 See Christoph Luxenberg, “A New Interpretation of the Arabic Inscription in Jerusalem's Dome of the Rock,” in Ohlig and Puin,
The Hidden Origins of Islam.
27 Estelle Whelan, “Forgotten Witness: Evidence for the Early Codification of the Qur'an,” Journal of the American Oriental Society, 118 (1998): 1–14, reprinted at http://www.islamic-awareness.org/History/Islam/Dome_Of_The_Rock/Estwitness.html. The bracketed material is in the translation of the inscription as Whelan published it and has not been added by the present author. For more on the Dome of the Rock inscription, see Oleg Grabar, The Dome of the Rock (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), and Donner, Muhammad and the Believers. The Qur'an quotations are as in Whelan's translation.
28 Whelan, “Forgotten Witness,” reprinted at http://www.islamicawareness.
org/History/Islam/Dome_Of_The_Rock/Estwitness.html.
29 Luxenberg, “A New Interpretation,” 130.
30 Ibid., 128–29.
31 See Karl-Heinz Ohlig, “Syrian and Arabian Christianity and the Qur'an,” in Ohlig and Puin, The Hidden Origins of Islam, 361–402.
32 Quoted in Nevo and Koren, Crossroads to Islam, 411.
33 Foss, Arab-Byzantine Coins, 59.
34 Ibid., 110.
35 Hoyland, Seeing Islam, 553.
36 Foss, Arab-Byzantine Coins, 60.
37 Hoyland, Seeing Islam, 551.
38 John bar Penkaye, Ktaba d-rish melle, 155/183, in Sebastian P. Brock, trans., “North Mesopotamia in the Late Seventh Century:
Book XV of John bar Penkaye's Ris Melle,” Jerusalem Studies in Arabic and Islam 9 (1987), 64 (quoted in Hoyland, Seeing Islam, 552).
39 Nevo and Koren, Crossroads to Islam, 250–51.
40 Foss, Arab-Byzantine Coins, 63, 65.
41 Mingana, “The Transmission of the Koran,” 102–3.
42 Fred M. Donner, “The Qur'an in Recent Scholarship,” in Gabriel Said Reynolds, ed., The Qur'an in Its Historical Context (New York: Routledge, 2008), 35–36.
43 Ali al-Samhudi, Wafa al-Wafa bi-akhbar dar al-Mustafa , ed. Muhammad Muhyi I-Din Abd al-Hamid (Cairo, 1955; repr. Beyrouth: Dar al-Kutub al-Ilmiyya, 1984), 4 parts in 3 vols. (quoted in Alfred-Louis de Prémare, “‘Abd al-Malik b. Marwan and the Process of the Qur'an's Composition,” in Ohlig and Puin, The Hidden Origins of Islam, 205).
44 Ibn Hajar, Tahdhib, 2:185n388 (quoted in Prémare, “Abd al-Malik b. Marwan,” 199).
45 Quoted in Nevo and Koren, Crossroads to Islam, 387, 389.
46 Quoted in Nevo and Koren, Crossroads to Islam, 397.

Mencipta Muhammad sunting

Jika Muhammad Tidak Benar-benar Hidup, Maka Ia Perlu Dikarang-karang sunting

Dari uraian bab sebelumnya maka jelaslah bahwa apabila kita melacak jejak sejarah Islam awal, maka catatan sejarah, baik itu berasal dari pihak Arab Penakluk dan dari kaum-kaum yang ditaklukan oleh mereka, keduanya benar-benar samar. Alih-alih apa yang kita mungkin berharap untuk temukan – suatu penggambaran para pejuang Muslim yang berteriak “Allahu akbar” sambil menyebut nama Muhammad dan mengutip-kutip Qur’an, justru kita hampir tidak menemukan kehadiran Qur’an, Muhammad, atau Islam sama sekali. Para penguasa Arab, sambil memposiskan mereka sebagai “hamba Allah” atau “agen Allah” (kalifat Allah) dan “pemimpin kaum beriman” tetaplah mereka samar tentang isi dari pengakuan keimanan mereka dan tidak menyebutkan apapun tentang seorang tokoh yang diduga sebagai pendiri agama mereka atau tentang kitab sucinya selama berpuluh-puluh tahun setelah masa awal penaklukan dan mencaplok bagian besar kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.

Peracikan rasa ingin tahu ini akan menggoyang fondasi goyah dari kesejarahan Hadis, yakni catatan tentang ucapan dan perbuatan Muhammad yang bervolume-volume jumlahnya. Pentingnya peranan Hadis dalam Islam tidak bisa dibesar-besarkan lagi. Ketika para ulama menganggap kisah-kisah dalam Hadis sebagai otentik atau sahih, maka Hadis menempati urutan kedua sesudah Qur’an. Bersama-sama dengan Qur’an yang dicoba dijelaskannya, Hadis membentuk dasar hukum Islam dan praktiknya perihal ketaatan relijius individu dan pemerintahan negara Islam. Dan pada kenyataannya, begitu banyak bagian dalam Qur’an yang tidak jelas dan buram, dan hanya bisa dijelaskan oleh Hadis, sehingga secara fungsional, jika tidak secara resmi dikatakan, Hadis adalah otoritas resmi dalam Islam.

Dengan demikian Hadis menjadi sebuah kebutuhan. Hadis adalah prisma yang darinya sebagian besar Muslim memahami Qur’an. Menurut tradisi Islam, kisah-kisah dalam Hadis memperjelas kutipan-kutipan ayat dalam yang samar dalam Qur’an dengan menyediakan asbab an-nuzul, atau latar belakang turunnya wahyu. Ini adalah cerita-cerita tentang kapan, dimana dan mengapa Muhammad diberikan ayat-ayat tertentu – biasanya dalam rangka untuk memecahkan persoalan sengketa di kalangan umat Islam, atau untuk menjawab pertanyaan yang salah seorang umat ajukan kepada sang Nabi Islam.

Beberapa hadis cukup jelas. Dalam salah satu hadis, Ibnu Abbas, nenek moyang dari Bani Abbasiyah dan juga sahabat Muhammad, ingat bahwa perintah Al-Qur'an untuk “mematuhi Allah, dan taatilah Rasul, dan mereka yang ditunjuk dengan wewenang di antara kamu” (QS 4:59) diturunkan kepada Muhammad “sehubungan dengan Abdullah bin Qais bin Hudhafa bin Adi, ketika Nabi menunjuknya sebagai komandan sebuah Sariya (tentara unit).” [1] Penjelasan untuk ayat ini bisa saja masuk akal, tetapi konteks dan pengaturannya seluruhnya dipaksakan: tidak ada dalam ayat Al-Qur'an yang mengacu pada penunjukan khusus oleh Muhammad, penjelasan serupa bisa dengan mudah merujuk kepada sejumlah insiden yang sama.

Hal yang sama dapat dikatakan terhadap penjelasan ayat Qur'an yang mencela orang-orang munafik: “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca al Kitab(Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (2:44). Menurut salah satu hadis, Ibnu Abbas menjelaskan, “Hal ini terungkap tentang orang Yahudi Madinah,” yang akan “memerintahkan orang-orang untuk mengikuti Islam sementara berpantang diri dari melakukannya.” Ayat ini tentu bisa mengacu pada Yahudi Madinah yang memerintahkan orang lain mengikuti Muhammad, sedangkan mereka sendiri tidak melakukannya. Tetapi tidak ada indikasi internal mengenai hal itu.

Penjelasan yang lebih rumit dapat ditemukan untuk QS 5:67: “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan kamu tidak menyampaikan amanatNya. Allah memelihara kamu dari manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.”

Cendekiawan Qur'an abad kesebelas al-Wahidi (w.1075), yang mengumpulkan latar belakang kejadian pewahyuan menerbitkannya bersama-sama dalam sebuah buku, Asbdb an-Nuzul, mengutip sebuah hadis yang menyatakan bahwa ayat ini diturunkan karena kekhawatiran yang Muhammad rasakan. Hadis ini mengatakan bahwa al-Hasan, salah seorang sahabat Muhammad, melaporkan: “Nabi, Allah memberkati dia dan memberinya kedamaian, berkata: ‘Ketika Allah, ditinggikanlah Dia, mengirimi aku pesan-Nya, aku merasa ditindas oleh hal itu, karena aku tahu bahwa beberapa orang akan menyebutnya kebohongan.' Rasulullah, Allah memberkatinya dan memberinya damai, khawatir akan kaum Quraisy, Yahudi dan Kristen, sehingga Allah, ditinggikanlah Dia, mewahyukan ayat ini.”

Namun Al-Wahidi juga melaporkan bahwa seorang Muslim lain, Abu Said al-Khudri, menceritakan cerita berbeda tentang latar belakang ayat tersebut, yakni ayat tersebut “diwahyukan di hari ‘Ghadir Khumm’ tentang Ali ibn Abi Talib, semoga Allah disenangkan dengannya.” Kaum Syiah senang bahwa di tahun terakhir dalam kehidupannya, Muhammad, ketika dalam perjalanan menuju Madinah, berhenti di “Ghadir Khumm,” kolam Khumm, dekat kota al-Juhfah di Arab, dan menyampaikan kotbah dimana ia menunjuk menantunya’ Ali bin Abi Talib, penggantinya, atau terindikasi menjadi penggantinya, dengan menggandeng tangannya, bahwa ia menginginkan Ali menjadi penggantinya.

Menurut berbagai hadis, istri favorit Muhammad, Aisha, dan Ali telah berselisih sejak Ali memperlakukannya secara tak acuh ketika dia dituduh berzinah; beberapa dekade kemudian, pasukan mereka benar-benar bentrok dalam Pertempuran Unta.

Dan setelah menyoal penjelasan Syiah tentang ayat tersebut, al-Wahidi justru mengutip Aisha yang menawarkan penjelasan tentang ayat ini yang tidak ada hubungannya dengan Ali: “Sang Rasul Allah, Allah memberkati dia dan memberinya kedamaian, begadang semalaman, sehingga aku berkata: ‘Apa yang terjadi, wahai Rasulullah?' Lalu dia berkata:' Tidakkah ada orang benar yang akan berdiri untuk mengawasi kita malam ini?’ Kemudian kami mendengar keributan yang disebabkan oleh senjata, dan Rasulullah bertanya: ‘Siapa di sana?’ ‘Ini adalah Sa'ad dan Hudhayfa, kami datang untuk berjaga-jaga atas Anda, Maka datanglah responsnya. Sang Utusan Allah, Allah memberkatinya dan memberinya kedamaian, pergi tidur, dan ia tidur begitu dalam sehingga aku mendengar dengkurannya, ayat ini kemudian terungkap. Rasul Allah, Allah memberkati dia dan memberinya kedamaian, kemudian muncul kepalanya keluar dari kerah jubah-Nya dan berkata: 'Wahai manusia, Kalian dapat pergi, karena Allah telah melindungi saya.’”

Akhirnya, al-Wahidi mengutip Ibnu Abbas, yang memberikan penjelasan yang sama: “Rasulullah, Allah memberkati dia dan memberinya kedamaian, terbiasa untuk dijaga. Abu Thalib biasanya mengirim setiap harinya orang-orang dari Bani Hasyim untuk menjaga dia sampai ayat ini diturunkan (O Sang Utusan! Biarlah diketahui apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu) sehingga turunlah firman-Nya (Allah akan melindungi engkau dari manusia). Maka ketika pamannya ingin mengirim kepadanya beberapa orang untuk melindungi dirinya, ia berkata: ‘Wahai paman! Sesungguhnya Allah telah melindungiku dari jin dan manusia.’” [3]

Banyaknya penjelasan yang berbeda-beda tentang ayat ini menunjukkan tidak adanya keaslian dari mereka. Jika salah satu dari keempat penjelasan dari ayat itu benar, dan dengan itu sama tuanya dengan ayat itu sendiri, sulit untuk memahami bagaimana penjelasan-penjelasan lain bisa muncul atau, jika mereka diformulasikan untuk alasan politik, bagaimana mereka akan memperoleh kepercayaan yang luas. Jelaslah bahwa tidak ada yang benar-benar tahu keadaan dari ayat tersebut, sehingga cerita-cerita dikarang-karang untuk untuk menjelaskannya.

Kisah-kisah tentang sebab turunnya ayat-ayat Qur’an umumnya muncul terlambat, dengan hadis yang berasal dari abad kesembilan. Tidak ada bukti sejaman dengan Al Qur'an yang menjelaskan asal-usulnya. Sehubungan dengan itu, bisa jadi kisah-kisah ini dikarang-karang untuk menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an, bukan benar-benar menyajikan keadaan historis wahyu kepada Muhammad.

Sentralitas Hadis sunting

Betapapun dipertanyakannya banyak hadis itu, mereka membentuk dasar bagi pemahaman standar Islam atas ayat-ayat Qur’an yang kurang jelas pada permukaannya (dan jumlah ayat-ayat kurang jelas ini cukup besar). Hadis juga penting karena sangat pentingnya bahwa teologi dan tradisi Islam melekat pada Muhammad, yang man Al-Qur'an sebut sebagai “suri tauladan yang baik ...bagi orang yang mengharap Allah dan hari kiamat”(QS 33:21).

Nampaknya mencurigakan bahwa Muhammad dibuat begitu penting manakala Qur’an sendiri berbicara begitu sedikit tentangnya, namun itulah tepatnya mengapa materi-materi biografis begitu rinci dalam hadis mendesak pentingnya. Qur’an memberitahu para pemercayanya bahwa Muhammad “berbudi pekerti yang agung” (QS 68:4), dan barang siapa menaati Allah, dan sang Utusan – mereka dipelihara Allah” (QS 4:80). Peringatan untuk menaati ‘utusan Allah’ yang diasumsukan sebagai Muhammad, sering muncul dalam Qur’an (QS 3:32, 3:132, 4:13, 4:59, 4:69, 5:92, 8:1, 8:20, 8:46, 9:71, 24:47, 24:51, 24:52, 24:54, 24:56,33:33, 47:33, 49:14, 58:13, 64:12). Apa yang dimaksud dengan menaati Muhammad? Untuk menjawabnya, kita harus tahu apa yang dia katakan dan lakukan.

Muhammad sendiri, menurut suatu hadis, menegaskan sentralitas ucapan dan perbuatannya: “Aku telah memberikan perintah, nasihat dan larang sebanyak ayat-ayat Qur’an, jika tidak lebih” [4]

Di dalam tradisi Islam hadis-hadis ini menjadi pedoman bahkan untuk aspek pribadi remeh-temeh bagi prilaku individual. Seorang apologis Islam modern, Muqtedar Khan, dari Pusat Kajian Islam & Demokrasi (Center for the Study of Islam and Democracy) menjelaskan bahwa “ucapan, perbuatan dan diamnya Muhammad (yakni ketika ia melihat sesuatu dan tidak melarangnya) menjadi sebuah sumber independen dalam hukum Islam. Muslim, sebagai bagian dari kesalehan relijius, tidak hanya harus menaati, tetapi juga mencari cara untuk meniru dan menyamai nabi mereka dalam setiap aspek kehidupan. Dengan demikian Muhamad adalah media, juga sumber hukum ilahi.”[5] Dalam Islam sentralitas Muhammad tidak mengijinkan ruang apapun bagi inovasi (bidah): Apapun sang Nabi ijinkan berarti diijinkan, dan apapun yang ia tolak berarti ditolak, untuk segala zaman. Untuk itu cendekiawan Islam abad kelimabelas al-Qastallani menolak “apapun yang dipraktikan tanpa contoh dari masa lalu dan, tentu saja khususnya dalam bidang agama, apapun yang tidak dipraktikkan di zaman sang Nabi.” [6]

Nabi Muhammad sendiri meringkas keyakinan Islam ketika ia mengatakan dalam sebuah hadis: “Sesungguhnya komunikasi yang paling benar adalah Kitab Allah, bimbingan terbaik adalah yang berasal dari Muhammad, dan yang terburuk dari semua hal adalah inovasi, setiap inovasi, setiap bid'ah adalah kekeliruan, dan setiap kesalahan membawa ke neraka." [7] Namun, dalam hadis lain Muhammad tampaknya mundur dari sikap garis keras ini. Dia menjanjikan hadiah untuk “siapa saja yang dalam Islam menetapkan ‘sunnah yang benar’ - yaitu praktik hidup yang dapat diterima, dan memperingatkan dengan keras siapapun yang dalam Islam melakukan ‘sunnah palsu’.” [8] Hal ini mengandaikan bahwa para pemimpin Islam akan menciptakan praktik baru dan bahwa beberapa dari praktik-praktik ini mungkin baik dan beberapa adalah palsu – sungguh suatu yang kontras dengan idea bahwa ‘setiap inovasi adalah bid'ah.’

Apakah Muhammad berusaha untuk berdalih? Apakah ia melarang inovasi dan kemudian berubah pikiran, atau sebaliknya? Mungkin. Namun kedua tradisi ini bisa diharmoniskan dengan cara membenturkannya dengan inovasi sementara kita menafsirkan hadis kedua pada saat hal-hal baru muncul, semua itu harus dinilai dalam terang ucapan dan perbuatan Muhammad. Dalam kasus apapun, dalam hal menyinggung hukum Islam, contoh hidup Muhammad (bersama-sama Qur’an) adalah otoritas tertinggi, dan hadis yang mencatat contoh-contoh ini benar-benar menentukan.

Sunnah Yang Tak Terbilang Jumlahnya sunting

Salah satu aspek yang paling mencurigakan dari Muhammad dalam hukum Islam dan praktiknya adalah bahwa sama sekali tidak ada bukti bahwa umat Islam benar-benar tahu jika nabi Islam menyimpan catatan dari apa yang dia katakan dan lakukan. Jika kisah-kisah kanonik asal-usul Islam itu benar, maka materi dalam Hadis tentang ucapan dan perbuatan Muhammad harus ada, dan mungkin beredar di komunitas Muslim selama hampir dua abad sebelum akhirnya diayak, dinilai untuk keaslian, dikumpulkan, dan diterbitkan. Namun tidak ada indikasi kehadiran material ini.

Para kalifah awal nampaknya tidak pernah terpanggil untuk mengikuti contoh Muhammad. Kata ‘khalifah’ berarti ‘pengganti’ atau ‘wakil’, dan dalam pemahaman tradisional ‘khalifah’ berarti penerus nabi. Tapi empat khalifah pertama yang memerintah setelah kematian Muhammad, yang dikenal sebagai ‘khalifah yang mendapat petunjuk yang benar’, mengeluarkan koin-koin yang menyatakan mereka sebagai ‘khalifah / wakil Allah’, bukannya ‘Kalifah / wakil dari nabi Allah’. Rupanya para khalifah melihat diri mereka sebagai raja-raja kecil, bukan sebagai penerus nabi Allah.

Kita baru mulai mendengar tentang contoh hidup Muhammad dari khalifah yang sama yang membangun Kubah Batu, yakni Abd al Malik , yang mengaku telah mengumpulkan Qur'an (setelah seharusnya Khalifah Usman yang dikabarkan telah melakukannya beberapa dekade sebelumnya), dan menciptakan uang-uang logam dan prasasti-prasasti pertama yang menyebutkan Muhammad sebagai nabi Allah. Memerintah dari tahun 685 sampai 705, Abd al-Malik menyerukan para pemberontak untuk menaati Allah dan sunnah nabi. [10] (Sebaliknya, seorang khalifah sebelumnya, Muawiyah, pernah menyebutkan ‘sunnah Umar’, orang yang ia gantikan. [11]) Gubernur dari kaum Ummayah yang memerintah Irak, Hajjaj bin Yusuf, yang mana beberapa hadis melaporkan bahwa ia telah mengedit Qur’an dan memusnahkan varian teks lainnnya, pernah memarahi seorang pemberontak dari kaum Khawarij: “Engkau telah menentang kitab Allah dan menyimpang dari sunnah nabi-Nya.” [12]

Dengan rujukan di atas, orang akan berpikir bahwa sunnah nabi sampai periode tersebut telah menjadi corpus hukum yang telah diakui. Namun seperti halnya para pemimpin Ummayah menentang lawan-lawan mereka sebagai kaum yang telah menyimpang dari nabi, lawan-lawan merekapun membenarkan diri mereka sendiri lewat penciptaan sunnah-sunnah nabi. Mereka saling bersaing untuk menguasai. [13]

Para sejarawan, Patricia Crone dan Martin Hinds, menyimpulkan bahwa pada awal dekade Kekaisaran Arab, sunah nabi tidak mengacu pada serangkaian putusan tertentu sama sekali: “ Mengatakan bahwa seseorang telah mengikuti sunah rasulullah adalah untuk mengatakan bahwa dia seorang yang baik, bukan untuk menentukan apa yang telah dilakukannya secara konkret .... Secara konkret, ‘sunah nabi’ tidak berarti apa-apa.” [14]

Namun Abd al-Malik dan para penerusnya menekankan contoh prilaku Muhammad: Mereka menyajikan ucapan dan perbuatan nabi sebagai normatif bagi iman dan praktik Islam. Keharusan bagi setiap Muslim untuk menaati Muhammad menjadi doktrin utama dan sering diulang-ulang dalam Qur'an. Akibatnya, kelaparan (akan kisah-kisah Muhammad) bagi mereka menjadi begitu kuat bahwa beberapa Muslim melintasi seluruh dunia Islam mencari solusi nabi untuk mencari jawab tentang pertanyaan yang disengketakan. Seorang muslim Mesir abad kedelapan bernama Makhul, sebagai seorang budak yang dibebaskan, menceritakan bagaimana ia mencari apa yang Muhammad mungkin telah tetapkan tentang persoalan mengenai pendistribusian rampasan perang: Aku tidak meninggalkan Mesir sampai aku telah memperoleh semua pengetahuan yang tampak bagiku ada di sana. Kemudian aku datang ke al-Hijaz dan tidak meninggalkannya sampai aku telah memperoleh semua pengetahuan yang tampaknya tersedia di sana. Kemudian aku datang ke al-Irak, dan aku tidak meninggalkannya sampai aku telah memperoleh semua pengetahuan yang tampaknya tersedia. Kemudian aku datang ke Suriah, lalu mengepung kota itu. Saya bertanya pada semua orang tentang memberikan hadiah dari jarahan. Aku tidak menemukan orang yang bisa mengatakan apa-apa tentang hal itu.

Akhirnya, ia menemukan apa yang ia cari: “Kemudian aku bertemu dengan seorang pria tua bernama Ziyad bin Jariyah at-Tamimi. Aku bertanya: Pernahkah Anda mendengar sesuatu tentang memberi hadiah dari jarahan? Dia menjawab: Ya. Aku mendengar Maslama al-Fihri berkata: Aku sedang bersama dengan Nabi SAW. Dia memberi seperempat dari rampasan pada perjalanan keluar dan sepertiganya pada perjalanan pulang.”[15]

Mungkin permasalahan tersebut dianggap telah selesai oleh Makhul. Namun tidak setiap muslim bisa berkeliling dunia untuk mencari jawaban. Dalam memenuhi perintah untuk mematuhi Rasul Allah, ada kebutuhan besar untuk mengumpulan koleksi nubuatan tentang berbagai persoalan yang disengketakan. Tradisi Islam umumnya mengidentifikasi khalifah kedua dari bani Abbasiyah, al-Mansur, yang memerintah 754-775, sebagai tokoh yang pertama membentuk komisi hukum: Muwatta. Karena hukum Islam begitu rupa didasarkan pada ucapan dan perbuatan Muhammad, manual hukum Islam ini mencatat banyak sekali hadis sang nabi. Imam yang menulis Muwatta, Malik bin Anas (715-795), meninggal seratus enam puluh tahun setelah Muhammad, membuatnya sebagai kolektor yang tahun meningalnya paling dekat dengan kehidupan pria yang setiap tindakan dan ucapannya menjadi fokus dari Hadis.

Berbagai edisi Muwatta karya Malik begitu berbeda satu sama lain sehingga memunculkan pertanyaan apakah mereka adalah benar-benar buku yang sama. Berbagai versi riwayat dari ajaran Malik ditulis dan dikirimkan oleh murid-murid yang berbeda-beda. Pada satu kesempatan seorang pria mendekati sang imam dan menunjukkan sebuah naskah dan berkata kepada Malik, “Ini adalah Muwatta Anda, wahai Abu Abd Allah, yang saya telah salin dan susun, mohon berikan saya izin untuk mewariskannya.” Tanpa melirik naskah tersebut, Malik menjawab, “Izin aku berikan, dan ketika memberikan teks Anda kepada orang lain engkau boleh katakan : Malik telah mengatakan kepada saya, Malik telah melaporkan kepada saya.” [16] Beberapa varian manuskrip itu mungkin disusun setelah Malik meninggal. Dalam kasus apapun, variasi-variasi tersebut hampir tidak memperlihatkan keyakinan mengenai keaslian material Muwatta tentang Muhammad.

Tetapi dengan diangkatnya Muhammad sebagai teladan hidup, Hadis menjadi senjata politik di tangan pihak-pihak yang bertikai dalam dunia Islam. Dan seperti yang selalu terjadi di masa-masa perang, “senjata” jenis ini mulai diproduksi secara besar-besaran. Seorang sarjana Islam awal, Muhammad bin Shihab az-Zuhri, yang meninggal pada 741, enam puluh tahun sebelum kematian Malik bin Anas, mengeluhkan bahkan pada zamannya bahwa “para emir / pemimpin” memaksa orang-orang untuk menulis hadis.” [17] Bahkan Khalifah al-Mahdi (775-785) dikenal sebagai seseorang yang mengarang hadis. [18]

Beberapa hadis berguna dalam membenarkan ekspansi yang cepat dari Kekaisaran Arab, dengan menempatkan manifestasinya dalam mulut Muhammad. Salah satu hadis tersebut menggambarkan insiden selama pengepungan Madinah oleh kaum pagan Quraish dari Mekkah. Setelah memerintahkan pengikutnya untuk menggali parit di sekitar kota, Muhammad melompat sambil memegang linggis untuk mengeluarkan batu yang sangat besar. Tiga kali ketika ia menghujam batu itu, dan tiga kali percikan cahaya keluar dari batu itu. [19] Muhammad kemudian menjelaskan: "Percikan pertama berarti bahwa Allah telah membuka jalan bagiku ke Yaman, percikan kedua berarti Suriah dan Barat, dan percikan ketiga berarti wilayah timur." [20] Dalam versi lain, katanya petir menunjukkan bahwa umat Islam akan menaklukkan “istana al-Hira” di Irak selatan “dan al-Madaiin di Kisra,” ibukota musim dingin Kekaisaran Sassania, serta “istana-orang pucat di tanah Bizantium” dan “istana San'a.” [21] Di lain, Muhammad meramalkan bahwa “orang-orang Yunani akan berdiri di hadapan orang-orang coklat (Arab) dalam pasukan berpakaian putih dan kepala dicukur, dipaksa untuk melakukan semua yang diperintahkan kepada mereka, sementara negara itu kini dihuni oleh orang-orang yang di matamu peringkatnya lebih rendah dari monyet pada paha unta.” [22]

Kaum muslim juga mengarang-ngarang hadis dalam panasnya kontroversi politik dan agama yang mana mereka berharap hadis-hadis tersebut berguna untuk menyelesaikan perpecahan yang terjadi, meskipun sampai sekarang tidak diketahui apakah benar kata-kata tersebut berasal dari mulut sang nabi. Abd al-Malik pada satu kesempatan ingin membatasi Muslim untuk tidak mengadakan ziarah ke Mekah, karena ia takut salah satu rivalnya akan mengambil keuntungan dari ibadah haji untuk merekrut para pengikut. Oleh karena itu, ia berhasil membujuk az-Zuhri untuk mengarang hadis yang menyatakan bahwa ziarah ke masjid di Yerusalem (Bayt al-Maqdis) di mata Allah sama terpujinya dengan berziarah ke Mekkah. Az Zuhri justru melangkah lebih jauh lagi, dengan mengatakan bahwa Muhammad pernah berucap bahwa “shalat di Bayt al-Maqdis di Yerusalem masih lebih baik dari pada shalat ribuan kali di tempat-tempat suci lainnya” – dengan kata lain, bahkan lebih baik dari pada berziarah ke Mekkah. Az-Zuhri bahkan melangkah lebih jauh, setelah Muhammad mengatakan bahwa "doa di Bayt al-Maqdis di Yerusalem adalah lebih baik daripada seribu shalat di tempat-tempat suci lainnya"-dengan kata lain, bahkan lebih baik daripada pergi ke Mekah. Hadis ini muncul dalam salah satu dari enam koleksi Hadis kanonik yang para cendekiawan Muslim anggap paling dapat diandalkan: Sunan Muhammad Ibnu Maja (824-887). [23]

Faksionalisme dan Hadis sunting

Terkadang hadis dikarang dalam rangka untuk mendukung salah satu pihak di antara faksi-faksi Muslim awal. Khalifah Muawiyah yang menggantikan Ali bin Abu Talib, anak menantu Muhammad, yang juga Kalifah terakhir dari Kalifah al Rasyidun, dan Husain, putra Ali yang terpilih untuk menggantikannya, dan Muawiyah terus berjuang melawan kelompok yang baru lahir ini, yaitu kaum Ali , yang akhirnya menjadi kelompok Syiah. Muawiya dihadirkan dalam sebuah hadis ketika ia memberi perintah seorang kepala tentaranya, al-Mughira: "Janganlah engkau bosan menyesah dan menghina Ali dan menyerukan sifat murah hati Allah bagi Usman [Kalifah yang digantikan oleh Ali, dan juga sepupu Muawiyah], dan memfitnah para sahabat Ali, singkirkan mereka dan abaikan perkataan mereka. Dan sebaliknya pujilah klan Usman, dekaplah mereka dan dengarkanlah mereka.” [24] Oleh karena itu, muncullah sebuah Hadis dimana Muhammad menyatakan bahwa ayah Ali, yang juga wali Muhammad, Abu Thalib, terbakar di neraka: “mungkin doa syafaatku akan berguna baginya di hari kebangkitan, sehingga ia dapat dipindahkan ke dalam kolam api yang mencapai sampai pergelangan kaki, tetapi masih cukup panas untuk membakar otaknya.” [25]

Sebaliknya kelompok Ali menuliskan bahwa Muhammad-lah yang menunjuk Ali sebagai penjamin pemahaman yang benar atas kitab suci umat Islam: “Aku pergi berperang bagi pengakuan Quran, dan Ali akan berjuang bagi penafsiran quran.” [26] Dalam hadis lain yang disukai kaum Syiah, Muhammad menyatakan, “Mereka yang mengetahui guru dari siapakah aku, maka mereka akan menjadi murid-murid Ali.” lalu Muhammad mengambil tangannya dan berdoa, “Ya Allah, lindungi dia yang mengakui Ali dan jadilah Engkau musuh bagi semua yang menentang Ali.” Mendengar itu, Umar (yang kemudian menjadi khalifah, setelah kematian Abu Bakar pada tahun 634), berkata kepada Ali: “Semoga engkau beruntung, putra Abu Thalib, sejak saat ini engkau ditunjuk sebagai penguasa atas semua pria dan wanita Muslim.” [27] Di hadis lain yang pro-Ali, Muhammad berseru ke salah satu sahabatnya: “Oh Anas! Adakah orang lain di antara kaum Anshar yang lebih baik dari atau lebih cakap dari Ali?” [28] Kaum Ansar, atau ‘para penolong’ adalah orang-orang Madinah yang telah masuk Islam setelah Muhammad hijrah ke sana dari Mekah, dua belas tahun setelah karirnya sebagai seorang nabi.

Kaum Ummayah berbalik melawan dengan mengarang-ngarang hadis baru berdasarkan kepentingan mereka sendiri. Menurut Aisha, (salah satu istri favorit nabi, yang membenci Ali karena ia pernah menghasut Muhammad untuk menceraikan Aisha dan mengambil istri yang baru ketika Aisha dituduh berselingkuh) ia diberitahu setelah kematian sang nabi bahwa Muhammad menunjuk Ali sebagai penggantinya dalam suatu surat waris. Aisha bereaksi keras: “Kapan Muhammad mengangkat dia lewat surat waris? Sesungguhnya, ketika ia mati ia berbaring dalam dadaku (atau katakanlah: dalam pangkuanku) dan ia meminta baskom untuk mencuci wajah dan jatuh terkulai pada saat itu, dan aku bahkan tidak menyangka ia telah meninggal, jadi kapan Muhammad mengangkat dia lewat surat waris?” [29]

Dalam sebuah hadis lainnya, Muhammad memuji tiga laki-laki yang akan segera menggantikannya: Abu Bakar, Umar dan Usman, masing-masing darinya dipilih sebagai Kalifah dan bukannya Ali. Setelah Muhammad memanjat gunung Uhud dengan tiga penggantinya, gunung itu mulai goncang dan ia berbicara: “Tenanglah, oh gunung Uhud, sebab bagimu ada tiga orang lain yang melebihi seorang nabi, seorang Siddiq dan dua orang syuhada.” [30] Siddiq, atau “yang benar” adalah gelar kehormatan yang diberikan kepada seseorang yang benar-benar dapat dipercaya.

Kaum Ummayah bahkan menuliskan bahwa Ali mengucapkan kata-kata yang memuji dua pesaingnya sebagai sahabat terdekat Muhammad. Dalam sebuah hadis, Ibnu Abbas mengingat: Pada saat aku sedang berdiri di antara orang-orang yang berdoa kepada Allah bagi Umar bin Al-Khattab yang tengah sakratul di tempat tidurnya, seorang laki-laki dibelakangku meletakan sikunya di pundakku dan berseru, “ (O Umar!) Semoga Allah melimpahkan ampunan kepadaku. Aku selalu berharap bahwa Allah akan menjagamu bersama dengan dua sahabat lainnya, sebab aku sering mendengar Rasul Allah berkata, ‘Aku, Abu Bakar dan Umar berada di suatu tempat. Aku, Abu Bakar dan Umar melakukan sesuatu. Aku, Abu Bakar dan Umar pergi ke suatu tempat.’ Jadi aku berharap Allah akan menjagamu bersama kedua orang lainnya.” Aku (Ibnu Abbas) berpaling untuk melihat siapa yang berbicara tersebut, dan ia ternyata Ali bin Abi Talib. [31]

Para pendukung Ali mengejek Usman karena telah melarikan diri selama beberapa pertempuran awal Muslim. Salah satu pengikut Ali mengejek Usman dalam ayat: “Engkau boleh menuduh aku dosa yang lebih parah dari pada dia yang lari terbirit-birit dari Khaybar. Aku sebut dia yang lari dari Marhab bagaikan seekor keledai yang lari dari singa.” [32]

Usman berkelit dari situasi ini dengan mengacu pada kata-kata Muhammad. Salah satu hadis menceritakan kisah seorang Mesir yang telah datang ke Mekkah untuk haji dan meminta seorang Muslim tua, Abdullah bin Umar, putra khalifah kedua: “Apakah Anda tahu bahwa Usman berhasil melarikan diri di hari perang Uhud?” Ketika Ibnu Umar mengatakan bahwa ya, dia tahu itu, orang Mesir itu ternyata memiliki sesuatu yang lebih: “Apakah Anda tahu bahwa Usman tidak hadir pada hari (perang) Badar dan ia tidak bergabung?”

Ketika Ibnu Umar kembali mengatakan ya, orang Mesir itu kembali dengan pertanyaan ketiga: “Apakah Anda tahu bahwa ia gagal untuk menghadiri perjanjian Ar-Ridwan dan tidak menyaksikan janji itu?” Janji ini adalah sebuah deklarasi kesetiaan kepada Muhammad yang para sahabatnya terdekatnya buat setelah nabi Islam menyimpulkan sebuah perjanjian dengan kaum Quraish pagan; perjanjian Hudaibiya, seperti yang dikenal dalam tradisi Islam, adalah merugikan pihak Muslim, khususnya dalam berbagai hal.

Untuk ketiga kalinya, Ibnu Umar berkata, “Ya.” Kemudian orang Mesir itu menjawab, “Allahu akbar!”- Dalam hal ini, sebuah ekspresi marah dan cemas. Kemudian Ibnu Umar menjelaskan dengan mengatakan bahwa Allah “memaafkan” Usman karena absen dari Uhud, meskipun ia tidak menjelaskan ketidakhadirannya. Adapun tentang perang Badar, Ibnu Umar mengatakan bahwa Usman tidak ada di sana karena ia menaati Muhammad: “Putri Rasulullah adalah istrinya dan dia sakit saat itu. Rasul Allah berkata kepadanya, ‘Anda akan menerima pahala dan bagian (barang jarahan) yang saa sebagai salah satu dari mereka yang berpartisipasi dalam perang Badar (jika Anda tinggal dengan Aisyah).’” Akhirnya, Ibnu Umar menjelaskan ketidakhadiran Usman pada saat Perjanjian Kesetiaan Ar-Ridwan dengan mengatakan bahwa Muhammad mengirim Usman ke tempat lain, dan “seandainya ada orang di Mekah yang lebih terhormat daripada Usman (yang akan dikirim sebagai wakil), Rasul Allah akan mengirim dia bukannya Usman.” Pada kenyataannya, pada saat Usman tidak hadir, Muhammad “mengulurkan tangan kanannya dan berkata, 'ini adalah tangan Usman." Dia mengelus tangan ainnya dengan tangan yang tadi dan berkata,’ Ini (janji setia) adalah atas nama Usman.’” Ibnu Umar menceritakan kepada orang Mesir itu: “Ingatlah alasan-alasan ini dalam pikiranmu.” [33]

Kisah ini tidak hanya membebaskan Usman dengan melibatkan Muhammad sendiri, tetapi juga meninggikan Usman melampaui semua saingannya sebagai “yang lebih terhormat,” dan bahkan menunjukkan Muhammad bertindak sebagai kuasanya. Bagaimana, kemudian, orang bisa mendukung klaim Ali sebagai Khalifah di atas Usman? Demikianlah, setidaknya sampai kelompok Ali menemukan hadis lain yang mendukung ia sebagai pemenangnya. Hadis ini menjelaskan pengepungan oasis Khaybar, permukiman Yahudi terakhir di Arab setelah Muhammad (menurut hadis lain masih) mengasingkan dua dari tiga suku Yahudi Madinah dan membantai yang ketiga. Muhammad mengirimkan Abu Bakar, Umar, Usman dan-sini lagi, tiga khalifah pertama dan saingan Ali, secara bergiliran menyerang salah satu benteng Khaybar, tetapi mereka tidak dapat memenangkannya. Ketika ia mengirimkan Usman, Muhammad ingat akan reputasi Usman yang pengecut, dan menyemangatinya: “Besok aku akan memberikan bendera kepada seorang pria yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Allah akan menaklukkan musuh dengan cara-Nya,. Ia tidak melarikan diri” Tetapi bahkan Usman gagal, sehingga Muhammad memanggil Ali, menyembuhkan dia secara ajaib dari penyakit mata, dan mengirimkan dia untuk menaklukan benteng tersebut. Ali, tentu saja, berhasil. [34]

Berbagai faksi Islam menggelontorkan hadis-hadis yang membela pemimpin mereka atau menyerang orang-orang dari lawan-lawan mereka. Kaum Umayyah menciptakan hadis yang membela gubernur Umayyah di Irak, Khalid al-Qasri (w.743), yang dibenci oleh para Muslim saleh karena kebrutalannya dalam pemerintahan. Khalid dibebaskan dalam sebuah hadis dimana Muhammad dibuat untuk mengatakan, “Ya Allah, biarkan kemenanganmu dan kemenangan agama-Mu terjadi melalui keturunan Asad bin Kurz,” yakni nenek moyang dari Khalid. [35] Namun para penentang Bani Umayyah menciptakan hadis dimana Nabi Muhammad meremehkan Khalifah al-Walid (705-715). Dalam hadis tersebut, Muhammad bertemu seorang pria yang baru saja menamai anaknya yang baru lahir al-Walid: “Engkau menamai anak-anakmu dengan nama Firaun. Sesungguhnya, seorang pria dengan nama al-Walid akan datang dan akan menimbulkan cedera yang lebih besar pada komunitasku dari pada yang sebelumnya Firaun kenakan kepada kaumnya.” [36] Kelak seorang periwa dari hadis ini mencatat bahwa sementara hadis ini awalnya diyakini merujuk pada al-Walid I, setelah al-Walid II (743-744) mulai melakukan kekejaman sendiri, mulailah hadis ini ditafsirkan bahwa Muhammad sebenarnya mengacu al-Walid II. [37]

Penuh Dengan Kontradiksi sunting

Tak pelak lagi bahwa konsekuensi dari semua ini adalah kebingungan semata. Karena pihak yang bertikai mengarang-ngarang semua hadis yang mendukung posisi mereka, maka hadis menjadi penuh dengan kontradiksi. Banyak dari hadis, tetapi tidak berarti semuanya, berisi perbedaan-perbedaan dalam praktik ritual Islam, mungkin mencerminkan variasi regional. Misalnya, di antara hadis-hadis yang disusun oleh seorang imam terkenal di abad 9, Imam Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, ada salah satu catatan, yang menurut Ibnu Abbas, “Nabi melakukan wudhu dengan mencuci bagian tubuh hanya sekali.” [38] Tetapi Bukhari sendiri melaporkan bahwa Sahabat lain dari Muhammad, Abdullah bin Zaid, mengatakan bahwa “Nabi melakukan wudhu dengan mencuci bagian tubuhnya dua kali.” [39] Namun hadis lain yang dikumpulkan oleh Bukhari sendir mengisahkan Muhammad memuji Usman yang melakukan wudhu tidak sekali atau dua kali tetapi tiga kali, dengan mengatakan bahwa jika dia seperti itu sambil menghindari gangguan, “dosa-dosa di masa lalunya akan diampuni.” [40] Bukhari menempatkan ketiga hadis tersebut bersama-sama tanpa komentar atau upaya harmonisasi.

Dalam sebuah hadis lain yang ditulis oleh seorang imam abad kesembilan, Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, kita diberitahu bahwa Muhammad “menolak minum air sambil berdiri.” [41] Namun Muslim juga melaporkan bahwa ketika Ibnu Abbas memberi Muhammad air suci dari sumur Zamzam di Mekah, Muhammad-yang perilakunya selalu jadi teladan bagi umat Islam –“meminumnya sambil berdiri.” [42]

Seorang apologis Islam kontemporer menunjukan sebuah hadis di mana Muhammad “melarang pembunuhan perempuan dan anak-anak” sebagai bukti kemanusiaan dari hukum Islam tentang peperangan,hal mana tidak biasa untuk zaman itu. [43] Namun segera setelah mengikuti larangan tersebut, Muslim memasukan hadis lain di mana Muhammad, “ketika ditanya tentang para wanita dan anak-anak kaum musyrik yang mati dibunuh dalam suatu penyerangan malam hari, ia berkata, ‘Mereka (para perempuan dan anak-anak) adalah bagian dari mereka (kaum Musyrikun).’” [43] Dengan kata lain, anak-anak kaum musyrik adalah bagian kaum musyrik dan layak untuk berbagi nasib yang sama, yakni dibunuh. Kontradiksi lain melibatkan rincian kehidupan Muhammad sendiri, skema eskatologis Islam, dan banyak lagi. Akibatnya, seorang sarjana abad kesembilan Asim an-Nabil (w. 827) mengangkat tangannya dalam keputusasaan : “Aku telah sampai pada kesimpulan bahwa seorang saleh tidak akan pernah begitu siap untuk berbohong seperti halnya dalam hadis.” [45]

Pengumpulan dan Kodefikasi Hadis sunting

Otoritas Islam menyadari bahwa suatu upaya harus dilakukan untuk keluar dari semua kekacauan ini. Di paruh akhir abad kedelapan, Bani Abbasiyah memulai pengumpulan dan kodifikasi Hadis. Dengan demikian mereka secara eksponensial memperluas pengetahuan spesifik tentang apa yang nabi Islam telah perintahkan dan kecam, apa yang ia setujui dan ia tolak. Penyair Marwan bin Abi Hafsa tentu saja memuliakan khalifah Abbasiyah Muhammad bin Mansur al-Mahdi (775 -785) dari dinasti Abbasiah dengan menuliskan: “Sang amirul Mukminin [pemimpin kaum beriman], Muhammad [yakni Muhamad bin Mansur al-Mahdi] telah menghidupkan kembali sunnah Nabi berkaitan dengan apa yang diijinkan, apa yang dilarang.” [46]

Upaya besar ini berbuah penuh di abad berikutnya, dengan munculnya enam koleksi Hadis yang paling penting, yang mana tidak ada satupun dari keenam kumpulan hadis itu yang berasal dari dua abad pertama sejak kematian Muhammad. Bersama-sama keenam kumpulan hadis ini dikenal sebagai as-Sahih as-Sittah: yang otentik dan dapat dipercaya (sahih berarti “benar” atau “bisa diandalkan”). Ini termasuk Sahih Bukhari,, dalam rangka pentingnya reputasi untuk dianggap sebagai yang andal atau bisa dipercayai. Sahih Bukhari dianggap sebagai koleksi hadis yang paling dihormati dan berwibawa, yang disusun oleh Bukhari (810-870), Sahih Muslim, Muslim bin al-Hajjaj (821-875), Hadis oleh Sunan Abu Dawud as-Sijistani (818-889); As-Sunan as-Sughra oleh Ahmad bin an-Nasai Shuayb (829-915), Jami oleh Abu Isa Muhammad At-Tirmidzi (824-892), dan Sunan oleh Muhammad Ibnu Maja (824-887).

Meskipun kaum Muslim menganggap Hadis koleksi Bukhari dan Muslim yang paling dapat dipercaya, namun koleksi hadis lain juga tetap dihormati. Abu Dawud as-Sijistani, misalnya, dilaporkan melakukan perjalanan ke Saudi, Irak, Khurasan, Mesir, Suriah, Iran, dan ke tempat-tempat lain guna mengumpulkan hadis. Seorang imam yang dihormati, Zakariya bin Yahya as-Saji, menyatakan: “ Al Qur'an adalah dasar dari Islam dan Sunan Abu Dawud adalah tiangnya.” Imam lain, Ibnu al-Arabi, menambahkan: “Tidak perlu pengenalan pengetahuan apa pun setelah memperoleh pengetahuan tentang Al-Qur'an dan Sunan Abu Dawud.” [47]

Koleksi hadis yang paling dihormati, Hadis Bukhari, dimulai dengan mimpi, menurut Dr Muhammad Muhsin Khan, seorang sarjana Islam Saudi dan penerjemah Qur'an penerjemah. Dr Khan menulis bahwa Bukhari bermimpi ia “sedang berdiri” di depan Nabi Muhammad dan ia sedang memegang kipas angin di tangannya untuk mengusir lalat dari sang Nabi.” Imam Bukhari menafsirkan mimpi ini sebagai tanda ilahi bahwa ia akan “mengusir kepalsuan yang disisipkan dalam ajaran-ajaran Muhammad.” Oleh karena itu, ia menghabiskan hidupnya mencoba untuk membedakan mana hadis yang sahih dari yang palsu. Menurut tradisi Islam, Bukhari melintasi dunia Islam mengumpulkan cerita tentang ucapan dan tindakan Muhammad sampai 300.000 hadis ! [48] Akhirnya ia menolak hampir 293.000 darinya sebagai hadis yang dibuat-buat, atau setidaknya keandalan hadis-hadis tersebut tidak mungkin untuk dievaluasi.

Dia memilih dan menerbitkan 7.563 hadis, meskipun koleksi ini ada termasuk pengulangan di dalamnya; akhirnya ia memisahkan 2.602 hadis yang ia dianggap otentik. Bahkan koleksi ini setebal sembilan volume dalam edisi bahasa Inggris-Arab modern yang diterbitkan di Arab Saudi !

Imam Muslim bin al-Hajjaj adalah murid Bukhari. Lahir di Nishapur di tempat yang sekarang jadi Iran, ia dikatakan telah melakukan perjalanan ke Saudi, Mesir, Suriah, dan Irak untuk mengumpulkan hadis. Menurut tradisi Islam, ia juga mengumpulkan 300.000 hadis, yang memelihara 4.000 dari sebagai yang otentik dalam Sahih karyanya.

Kebanyakan sarjana muslim menganggap koleksinya, beserta dengan koleksi Bukhari, hampir sepenuhnya dapat diandalkan, Muslim hampir tidak pernah mempertanyakan hal ihwal otentisitas tradisi yang muncul baik dalam muncul baik dalam Sahih Bukhari maupun Sahih Muslim – yang mana sebenarnya banyak (diskrepansi dan kontradiksinya). Dalam satu situs Internet yang berisi pengenalan iman dan praktik Islam, disana mereka menjamin para pembaca bahwa “tidak ada dalam situs ini yang melanggar prinsip-prinsip yang telah ditetapkan dalam hukum Islam,” dan meringkas pendapat umum di kalangan Muslim Islam bahwa: "Sahih Bukhari benar-benar spesial dengan keandalannya yang kuat.” Situs ini juga menambahkan bahwa Imam Muslim memilih hadis yang ia masukan dalam Sahih Muslim “berdasarkan atas kriteria penerimaan yang ketat.” [49]

Perkembangbiakan Pemalsuan sunting

Namun, jika imam Bukhari dan Muslim harus bekerja keras untuk menyaring sejumlah kecil hadis yang sahih itu, ini berarti bahwa ratusan ribu cerita tentang Muhammad entah seutuhnya tidak bisa dipercaya atau diragukan keasliannya. Masalahnya sekarang berada di luar kemampuan mereka, atau kemampuan siapapun untuk mengendalikannya. Ignaz Goldziher, sejarawan perintis kritik atas hadis, mencatat bahwa “cara yang paling sederhana yang orang jujur lakukan untuk memerangi peningkatan pesat hadis-hadis palsu, disaat bersamaan, menjadi fenomena luar biasa dalam sejarah dunia sastra. Dengan niat saleh, pengarang-karangan satu hadis diperangi dengan pengarang-karangan hadis baru yang berseberangan, dimana hadis baru yang diselundupkan dan di mana penemuan hadis tidak sah dikutuk oleh kata-kata yang kuat yang diucapkan oleh Nabi.” [50] Muhammad dikabarkan pernah memperingatkan: “setelah kematianku, sejumlah ucapan yang dianggap diucapkan olehku akan meningkat seperti halnya ucapan-ucapan yang dianggap diucapkan oleh para nabi sebelumnya.” [51]

Dalam hadis lain ia bernubuat, “Kelak di kemudian hari di antara umatku, akan ada orang-orang yang mengajarkan apa yang baik kalian ataupun nenek moyangmu tidak pernah dengar.Waspadalah terhadap mereka.” Dan bahkan lebih kuat lagi: “Pada akhir zaman akan ada pemalsu, pembohong yang akan membawakan kepadamu hadis-hadis yang baik kalian maupun nenek moyangmu belum pernah dengar. Waspadalah terhadap mereka sehingga mereka tidak bisa menyesatkan kalian dan membawamu ke dalam pencobaan." [52]

Namun bagaimana seorang Muslim yang saleh mengetahui hadis yang asli dan yang palsu? Sebuah hadis mengutip Muhammad mengusulkan solusi: "Apapun yang dikatakan orang sebagai perkataan dariku, kalian harus membandingkannya dengan Kitab Allah (Al-Qur'an), dan apa yang sesuai dengan Al Qur’an, adalah sesuai dengan manusia, entah itu telah dikatakan olehku ataupun tidak.” [53] Ibnu Abbas menambahkan kriteria lain, yakni ‘penerimaan komunitas’. “Jika Anda mendengar dari saya sebuah komunikasi yang menyertakan otoritas sang Nabi dan Anda menemukan bahwa hal itu tidak sesuai dengan Kitab Allah atau tidak disukai oleh orang-orang, ketahuilah bahwa saya telah melaporkan kebohongan tentang sang Nabi." [54]

Perhatikan bahwa dalam hadis-hadis ini bahwa tidak Muhammad dan tidak pula Ibnu Abbas dikabarkan pernah mengatakan bahwa umat Islam harus melakukan upaya hati-hati untuk menyaring ucapan otentik sang nabi Islam dari ucapan-ucapan yang dianggap tidak otentik. Sebaliknya, mereka hanya diminta untuk perlu menilai apakah ucapan yang diduga itu melawan Al-Qur'an atau tidak, dan mengikuti ucapan-ucapan yang tidak berlawanan dengan kitab suci mereka. Sampai hari ini, salah satu kriteria yang Muslim lakukan untuk mengevaluasi hadis adalah seberapa baik ucapan-ucapan itu sesuai dengan Al Qur'an. Mereka yang bertentangan dengan Al Qur’an akan ditolak. Itu adalah kriteria yang masuk akal, tetapi tidak membawa kita lebih dekat dengan apa yang sebenarnya Muhammad ucapkan dan lakukan.

Meskipun demikian, Bukhari dan kolektor hadis lainnya membuat usaha gagah berani. Mereka mengaku bisa membedakan materi asli tentang ucapan dan tindakan Muhammad dari hadis-hadis palsu hanya dengan memeriksa rantai perawi / periwayat (isnad), yakni daftar orang-orang yang menyampaikan cerita tersebut dari zaman Muhammad sampai sekarang. Ulama Islam mengkategorikan satu persatu kisah hadis berdasarkan rantai periwanya, sebagai “layak dipercaya”, “baik”, “lemah”, “palsu”, dst. Sebuah hadis dianggap layak dipercaya jika rantai periwayatnya memasukan prang-orang yang dipercaya dan diakui otoritasnya.

Sebuah contoh umum rantai periwayat yang kuat dicatat oleh ulama Suni Sheikh al-Mufid (Ibnu Muallim, 948-1022) jika ditelusuri bersumber kepada Ali. Al-Mufid berkata: “Abul Hasan Ali b. Muhammad b. Khalid al-Maythami melaporkan kepada saya dari Abu Bakr Muhammad b. al-Husain b. al-Mustanir, yang melaporkan dari al-Husain b. Muhammad b. al-Husain b. Masab, yang melaporkan dari Abbad b. Yakub, yang melaporkan dari Abu Abdil Rahman al-Masudi, dari Katsir al-Nawa, dari Abu Maryam al-Khawlani, dari Malik b. Dhamrah, bahwa Amir ul-Mukminin [pemimpin kaum beriman] Ali b. Abi Thalib (A.S.) mengatakan …....” [55]

Jika sebuah rantai periwayatan memasukan orang yang tidak dapat diandalkan atau rantai yang rusak, maka para ulama menganggap keaslian hadis tersebut diragukan. Bahkan Ibnu Maja mencatat bahwa salah satu hadis dianggap lemah “karena menyertakan Khalid bin Ubaid,” sebagai salah satu periwayatnya. Dia mengutip Bukhari mengatakan tentang Khalid: “Hadisnya masih bisa diperdebatkan”, dan menunjukkan bahwa dua otoritas Islam lainnya, Ibnu Hibban dan Hakim, “telah menyatakan bahwa ia menceritakan sesuatu yang maudu ahadith (tradisi yang mencurigakan) tentang otoritas Anas.” [56]

Keandalan dari rantai isnad menentukan penggolongan keasliannya. Tidak peduli apakah sebuah hadis itu saling bertentangan atau tidak masuk akal tampakannya, asalkan rantai isnad yang jelas secara anomali, dan tidak bertentangan dengan Al-Qur'an, kisah tersebut tidak akan menghadapai hambatan untuk diterima sebagai “yang layak dipercaya”. [57] Bukhari dan Muslim, serta rekan-rekan mereka, juga cenderung mendukung tradisi yang mereka terima dari berbagai sumber, tapi kecenderungan ini hanya menunjukkan bahwa sebuah hadis tersebut telah beredar luas, bukan karena ia otentik.

Masalahnya adalah, jika hadis bisa dipalsukan, maka begitu pula rantai periwayatnya. Ada banyak indikasi bahwa rantai periwayatan itu sendiri dipalsukan dengan cara yang sama hadis-hadis itu diciptakan. Sarjana hukum Islam (fiqh), Joseph Schacht mencatat satu hadis anomali yang menunjukkan betapa serampangannya rantai periwayat /isnad itu dikarang. Dia menunjukkan bahwa abu-Syafi'i, seorang ahli fiqh terkenal di awal abad kesembilan, menggambarkan sebuah hadis tertentu sebagai mursal, yang berarti “terburu-buru”, dan “umumnya tidak ditindaklanjuti.” Penjelasan Shafii menyiratkan bahwa hadis “tidak dikonfirmasi oleh versi manapun dengan isnad yang lengkap”, tandas Schacht. Namun ia melanjutkan bahwa hadis yang sama “muncul dengan isnad lengkap yang berbeda, dalam koleksi Ibnu Hanbal ... dan Ibnu Maja.” [58]

Schacht mencatat banyak contoh hadis dengan jelas dipalsukan atau isnad-nya diubah. Dia menunjukan tentang satu hadis yang disampaikan oleh Malik dalam Muwatta-nya. Malik mendengar dari Muhammad bin Abdulrahman bin Sad bin Zurara, yang mendengar dari salah satu istri Muhammad, Hafsa, bahwa suatu saat Hafsa membunuh salah satu budak perempuannya yang mempraktikkan ilmu sihir dan telah membacakan suatu mantra pada dirinya. Di tempat lain kita belajar bahwa Malik mendengar dari Abul-Rijal Muhammad bin Abdalrahman bin Jariya, yang mendengar dari ibunya, Amra, bahwa salah satu dari istri Muhammad, Aisha, menjual salah satu budak perempuannya yang mempraktikkan ilmu gaib dan telah membacakan mantra pada dirinya. “Salah satu versi ini pastilah mencontek dari versi lainnya.” Schacht mencatat, “dan tidak satupun dari kisah itu bisa dianggap historis.” [59]

Namun, Apakah Semua Hadis itu Bisa Dipercaya ? sunting

Bahwa banyak hadis telah dipalsukan telah diakui oleh para sarjana baik dari kalangan Muslim maupun non-Muslim. Namun bagi cendekiawan muslim Muhammad Mustafa Azami, keberadaan isnad yang jelas-jelas palsu itu sendiri baginya sudah cukup menentukan tingkat keandalan hadis yang selama ini dianggap otentik. [60] Lagi pula, menurutnya, jika isnad (rantai periwayatan) itu dipalsukan, mengapa sang pemalsu menopang karyanya dengan rantai periwayatan yang tidak memuaskan? Jika seluruh kisah itu semata-mata hanyalah fiksi dan dibuat karena alasan politik, mengapa tradisi itu tidak ditujukan kepada siapapun selain orang-orang yang dihormati dalam masyarakat Islam, dan menyampaikan ucapan Muhammad dalam rantai yang tak terputus dan jelas dapat diandalkan? Tetapi argumen Azami segera terpatahkan akan adanya fakta bahwa hadis memang diproduksi oleh faksi-faksi yang bersaing, dan pepatah lama bahwa ‘sejarah ditulis oleh kaum pemenang‘ ternyata berlaku: Jika sebuah hadis terkenal tidak mempromosikan perspektif yang menguntungkan putusan kelompok yang berkuasa, maka mengubah isnad adalah cara mudah untuk meragukan keasliannya. Selain itu, para periwayat yang satu faksi anggap handal dan saleh dapat dianggap sebagai jahat dan pengarang-ngarang hadis oleh fraksi lain.

Sarjana kontemporer, Harald Motzki, juga telah menantang idea bahwa Hadis secara keseluruhan tidak dapat diandalkan. Dia menunjuk pada hadis yang dikumpulkan oleh sarjana Abd ar-Razzaq (744 - 826) yang selama ini dianggap sebagai bukti bahwa hadis tersebut sudah beredar setidaknya di awal abad kedelapan. Tapi sebenarnya, Abd ar-Razzaq melakukan sebagian besar karyanya menjelang akhir abad delapan. [61] Seperti halnya Azami, Motzki juga memperlihatkan adanya keberadaan isnad-isnad meragukan yang mengklaim bahwa hadis-hadis lainnya pastilah otentik. Dia mencatat bahwa Abd ar-Razzaq terkadang mengalamatkan sumber-sumber hadis yang dia anggap keandalan diragukan, dan bahkan menyajikan hadis dengan tanpa sumber yang dikenal. Jika hadis sedang diproduksi secara besar-besaran dan dilengkapi dengan isnad mengesankan, mengapa bahkan ada hadis dengan atribusi yang lemah, atau tidak ada atribusi sama sekali?[62]

Namun demikian, ada alasan kuat untuk mempertanyakan ketergantungan pada isnad sebagai panduan terhadap keaslian hadis. Para isnad sendiri tidak pernah muncul sampai hadis-hadis mulai beredar. Tradisi Islam menceritakan sebuah kisah tentang para isnad kepada Muhammad bin Sirin, seorang sarjana Qur'an abad kedelapan yang juga terkenal sebagai penafsir mimpi di Irak. Sebagai pengumpul hadis, ia berkata, “Kita tidak terbiasa mempertanyakan isnad, tetapi ketika fitna ( perang sipil) terjadi mereka berkata: “beritahu kami para informan kalian.” [63]

Fitna (perang sipil) biasanya dipahami sebagai rujukan tentang kerusuhan yang diikuti pembunuhan khalifah Usman di tahun 656-lebih dari tiga puluh tahun setelah kematian Muhammad, sang tokoh utama dari semua hadis. Pun demikian menurut tradisi Islam, untuk jangka waktu yang cukup panjang hadis-hadis telah beredar tanpa isnad. Sangat naïf untuk membayangkan bahwa tiga puluh tahun setelah kematian Muhammad, kaum Muslim masih bisa mengingat dengan persis siapa di antara para sahabat nabi yang bertanggung jawab dalam mentransmisikan ribuan cerita tentang Muhammad.

Secara signifikan, penggunaan isnad nampaknya menjadi suatu kewajiban di awal tahun 700 an - sekitar waktu awal Abd al-Malik dan Hajjaj bin Yusuf, atau segera setelah itu. [64]

Bahkan gagasan bahwa isnad merupakan indikasi keaslian bertumpu pada fondasi yang goyah. Siapapun yang telah memainkan permainan anak-anak seperti halnya “kata berkait”, yang melibatkan sebuah kalimat panjang yang disampaikan oleh sipembisik pertama kepada beberapa temannya dan kemudian si penerima kalimat terakhir dibandingkan dengan yang asli, akan tahu bagaimana tidak bisa diandalkannya tradisi lisan itu. [65] Jika Muhammad benar-benar pernah memperingatkan umat Islam agar mereka “harus terus membaca Al-Qur'an karena ayat-ayat Qur’an bisa mudah lolos dari hati manusia lebih cepat daripada unta lepas dari tali ikatan,” tidakkah akan terjadi kecenderungan yang sama berlaku meskipun pada hadis? [66]

Yang pasti, bangsa Arab memiliki sebuah kebiasaan menghapalkan puisi, dan menghapalkan teks-teks Islam akan sesuai dengan kebiasaan itu. Hal ini juga terjadi di zaman Yunani kuno dimana para penyair secara terlatih membacakan kisah Iliad dan Odyssey di luar kepala. Tetapi periwayat asli dari hadis bukanlah penyair terlatih atau pujangga, mereka hanya sahabat Muhammad yang melihatnya melakukan atau mengatakan sesuatu pada saat tertentu. Terlebih lagi, Hadis jauh lebih banyak jumlahnya daripada epos kuno Yunani yang para penyairnya mampu ingat. Namun kisah-kisah kanonik asal Islam mengasumsikan bahwa para Sahabat Muhammad memiliki ingatan keseluruhan akan ucapan dan tindakan sang nabi, dan bahwa mereka meneruskannya dengan ketelitian tentang apa yang mereka lihat dan dengar dari ribuan insiden.

Lebih jauh lagi tradisi kanonik mengasumsikan bahwa para periwayat berikutnya menerapkan kehati-hatian yang sama selama beberapa dekade, menyampaikan tradisi ini tanpa embel-embel, klarifikasi, atau perubahan apapun sampai hadis-hadis tersebut akhirnya dikumpulkan dan ditulis pada abad kesembilan.

Jarang sekali, jikapun memang pernah ada , suatu ingatan seperti itu didokumentasikan.

Apa Yang Sebenarnya Muhammad Ucapkan dan Lakukan?

Pada akhirnya, adalah mustahil untuk mengatakan benar tidaknya Muhammad sendiri yang mengatakan ini dan itu atau melakukan ini dan itu sesuai dengan yang dikisahkan oleh salah satu hadis manapun, atau bahkan jika Muhammad pernah ada sama sekali.

Kita telah melihat bahwa Dinasti Abbasiyah dalam skala besar telah mensponsori perkembang-biakan hadis dan akhirnya pengumpulan hadis nabi. Hal ini sesuai dengan strategi oposisi mereka terhadap Bani Umayyah pada tataran keagamaan. Ignaz Goldziher mengamati bahwa dinasti Abbasiyah menggulingkan dinasti Umayyah karena yang Ummayah dianggap “tidak bertuhan dan menentang agama.” Bani Abbasiyah, yang dipimpin oleh jenderal Abu Muslim, sebagaimana Goldziher tuliskan, adalah "pria dengan 'gada untuk kaum kafir” untuk bangkit melawan Bani Umayyah terutama untuk membangun "pilar din [agama]." [67]

Di sisi lain, mungkin bahwa tuduhan pendosa yang ditujukan pada Bani Umayyah hanyalah polemik Abbasiyah belaka, hal ini dimaksudkan untuk mendiskreditkan saingan besar mereka , bani Ummayah. Lagi pula, adalah sangat aneh bahwa Bani Umayyah, yang mengambil alih kekhalifahan di tahun 661, setelah pembunuhan Ali, menjadi begitu terkenal karena irrelijiusitas mereka. Pada kenyataannya mereka mengambil alih kekuasaan kurang dari tiga dekade setelah kematian nabi Islam, dan di antara mereka diduga banyak yang mengenalnya Muhammad secara pribadi dan mencintainya di atas semua makhluk. Muawiyah, khalifah Umayyah pertama, adalah sepupu dari khalifah Usman, yang dipercayakan untuk melakukan standardisasi teks Al-Qur'an. Apakah benar-benar masuk akal bahwa Bani Umayyah membuang dasar agamanya Muhammad begitu cepat setelah ia memberikannya kepada mereka? Mengapa masyarakat Islam begitu cepat jatuh ke tangan penguasa yang begitu sedikit rasa kepedulian pada prinsip dasar pengorganisasian dan alasan keberadaan mereka sendiri?

Hal ini dimungkinkan karena adanya pergolakan di sebuah era kekerasan, dan dari agama yang menyetujui kekerasan tersebut. Lagi pula Muawiyah adalah anak dari Abu Sufyan, kepala suku Quraisy yang (menurut tradisi Islam) pernah berperang melawan Muhammad dan akhirnya dengan enggan memeluk Islam hanya karena hanya ia akhirnya dikalahkan. Ketika bertemu dengan pemimpin yg baru ia kalahkan, Muhammad bertanya, “Celakalah kamu, Abu Sufyan, bukan sekarang waktunya kamu mengakui bahwa aku Rasul Allah?” Abu Sufyan menjawab, “Terhadap hal itu aku masih memiliki beberapa keraguan.” Sahabat Muhammad, Abbas, nenek moyang dari Abbasiyah, tidak memiliki keraguan akan hal itu. Dia berkata kepada Abu Sufyan: “Menyerahlah dan bersaksilah bahwa tidak ada Ilah lain selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah sebelum engkau kehilangan kepalamu.” Mau tak mau Abu Sufyan akhirnya taat. [68]

Dalam terang pemahaman semua ini, tidaklah mengherankan untuk mempertanyakan komitmen Muawiyah kepada Islam. Kemudian lagi, ada hadis yang mengatakan bahwa ia benar-benar menjadi sangat taat dan bahkan menjabat sebagai juru tulis Muhammad. Hadis tentang Abu Sufyan bisa jadi merupakan produk polemik di masa Abbasiyah.

Bahkan jika Muawiyah bukan seorang yang taat, sulit untuk membayangkan bahwa ia akan mewariskan sifat irrelijiusnya kepada penerusnya, yang kemudian para penerusnya ini memerintah umat Islam selama lebih dari seratus tahun, menurut catatan-catatan standar, mereka terinspirasi oleh kata-kata dalam Qur 'an dan prilaku hidup Muhammad. Mungkin apa yang tradisi Islam gambarkan sebagai sikap tak beragamanya dinasti Umayyah hanya bisa mencerminkan waktu (periode awal Umayyah) ketika ucapan dan prilaku Muhammad dan juga teks-teks Qur’an belum dibakukan.

Ketidakandalan hadis-hadis menjadikannya sungguh tidak mungkin untuk mengetahui apapun secara pasti tentang Muhammad. Keragu-raguan yang lebih mendalam justru muncul, sebagaimana kita akan segera lihat, hanya ada bukti yang samar tentang keberadaan Mekkah sebagai pusat perdagangan dan ziarah spiritual yang dianggap ada di zaman Muhammad. Namun di abad delapan, biografi sang Nabi Islam baru muncul. Dan dalam buku itu, dikombinasikan dengan permulaan usaha pengumpulan hadis-hadis carut-marut yang bertebaran, memunculkan momen yang tepat: sosok samar dan misterius sang nabi Islam mulai bergerak lebih meyakinkan menjadi “penuh dengan terang sejarah.”

Catatan sunting

1 Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari: The Translation of the Meanings, trans. Muhammad M. Khan (Riyadh:
Darussalam, 1997), vol. 6, book 65, no. 4584.
2 Asbab Al-Nuzul by Al-Wahidi, trans. Mokrane Guezzou, on Qur'an 2:44, http://www.altafsir.com/AsbabAlnuzol.asp?
SoraName=2&Ayah=44&search =yes&img=A.
3 Al-Wahidi, on Qur'an 5:67.
4 Abu Dawud, 2:31 (quoted in Ignaz Goldziher, Muslim Studies, trans. C. R. Barber and S. M. Stern, vol. 2 [New York: George
Allen & Unwin Ltd., 1971], 130).
5 Muqtedar Khan, “The Legacy of Prophet Muhammad and the Issues of Pedophilia and Polygamy,” Ijtihad, June 9, 2003.
6 Al-Qastellani, X, 342 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 34).
7 An-Nasa'i, 1:143 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 34–35).
8 Kitab al-Kharaj, 43, 10; Muslim, 5:287; ad-Darimi, 70; an-Nasa'i, 1:229; Ibn Maja, 18 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 37).
9 Nabia Abbott, Studies in Arabic Literary Papyri, Volume II: Qur'anic Commentary and Tradition (Chicago: University of
Chicago Press, 1967), 7–11. On the controversy over writing down hadiths, see Michael Cook, “The Opponents of the Writing of
Traditions in Early Islam,” Arabica 44 (1977): 437–530.
10 Patricia Crone and Martin Hinds, God's Caliph: Religious Authority in the First Centuries of Islam (Cambridge: Cambridge
University Press, 1986), 62.
11 Al-Ya‘qubi, 2:264 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 38).
12 Safwat, Rasa'il, 2:177 (quoted in Crone and Hinds, God's Caliph, 62).
13 Crone and Hinds, God's Caliph, 64.
14 Ibid.
15 Abu Dawud, book 14, no. 2744; cf. Goldziher, Muslim Studies, 42.
16 Al-Khatib al-Baghdadi, fol. 84b, ed. Hyderabad, 309 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 204–5).
17 Al-Khatib, Taqyid, 107 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 47).
18 As-Suyuti, Ta'rikh, 106, 22; 109, 17 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 106).
19 Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, 452; Tabari, The History of al-Tabari, trans. Michael Fishbein (Albany: State University of
New York Press, 1997), vol. 8, 11.
20 Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, 452.
21 Tabari, The History of al-Tabari, vol. 8, 12.
22 Yaqut, 3:242f (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 122).
23 Ibn Maja, 102 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 45). On the value of a prayer in Mecca, Medina, and Jerusalem, see M. J.
Kister, “You Shall Set Out for Three Mosques: A Study of an Early Tradition,” Le Muséon 82 (1969): 173–96.
24 At-Tabari, vol. 2, 112 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 44).
25 Manaqib al-Ansar, no. 40; Riqaq, no. 51; Muslim, Iman, no. 360; Musnad Ahmad, vol. 3, 9, 50, 55 (quoted in Goldziher, Muslim
Studies, 105).
26 Ibn Hajar, 1:59 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 110).
27 Quoted in Goldziher, Muslim Studies, 113.
28 Ad-Damiri, vol. 2, 400 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 114).
29 Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 4, book 55, no. 2741; cf. Goldziher, Muslim Studies, 114.
30 Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 5, book 62, no. 3675.
31 Ibid., no. 3677.
32 Agh., VII, 13 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 118).
33 Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 5, book 62, no. 3699.
34 Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, 514; cf. Goldziher, Muslim Studies, 120.
35 Agh., 19:54; Yaqut, 4:93 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 53–54).
36 Fragm. hist. arab., 198 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 107).
37 Goldziher, Muslim Studies, 108.
38 Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 1, book 4, no. 157.
39 Ibid., book 19, no. 158.
40 Ibid., no. 159.
41 Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, trans. Abdul Hamid Siddiqi (New Delhi: Kitab Bhavan, 2000), book 23, no. 5017.
42 Ibid., no. 5023.
43 Ibid., book 19, no. 4320.
44 Ibid., no. 4321.
45 Al-Khatib al-Baghdadi, fol. 25b, ed. Hyderabad, 84 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 55).
46 Agh., 9:45, 20 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 63).
47 Sulaiman bin Al-Aash‘ath Al-Azdi as-Sijistani, Sunan Abu Dawud, English Translation with Explanatory Notes, trans. Ahmad
Hasan (New Delhi: Kitab Bhavan, 1990), v.
48 Muhammad Muhsin Khan, introduction to Bukhari, Sahih al-Bukhari, 18–19.
49 “Hadith & Sunnah,” www.islamonline.net.
50 Goldziher, Muslim Studies, 126–27.
51 Al-Jahiz, Bayan, fol. 114b (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 56).
52 Quoted in Goldziher, Muslim Studies, 127.
53 Al-Jahiz, Bayan, fol. 114b (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 56).
54 Ad-Darimi, 77 (quoted in Goldziher, Muslim Studies, 133).
55 Al-Amali: The Dictations of Sheikh Al-Mufid, trans. Mulla Asgharali M. M. Jaffer (Middlesex, UK: World Federation of Khoja
Shia Ithna-Asheri Muslim Communities, n.d.), 7.
56 Abu Abdullah Muhammad b. Yazid Ibn-i-Maja al-Qazwini, Sunan ibn-i-Majah, trans. Muhammad Tufail Ansari (Lahore: Kazi
Publications, 1996), vol. 5, no. 4067.
57 Goldziher, Muslim Studies, 140–41.
58 Schacht, Origins of Muhammadan Jurisprudence, 166.
59 Ibid., 164.
60 Mohammad Mustafa Azami, Studies in Early Hadith Literature: With a Critical Edition of Some Early Texts , third edition
(Oak Brook, IL: American Trust Publications, 1992).
61 Harald Motzki, “The Musannaf of ‘Abd al-Razzaq al-San‘ani as a Source of Authentic ahadith of the First Century A.H.,”
Journal of Near Eastern Studies 50 (1991): 16–20 (quoted in Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam [London:
Routledge, 2000], 37).
62 Motzki, “The Musannaf,” 2 (quoted in Berg, Development of Exegesis, 36).
63 Quoted in G. H. A. Juynboll, trans., “Muslim's Introduction to His Sahih Translated and Annotated with an Excursus on the
Chronology of fitna and bid‘a,” Jerusalem Studies in Arabic and Islam 5 (1984): 277 (quoted in Berg, Development of Exegesis, 7).
64 Berg, Development of Exegesis, 28.
65 For an excellent discussion of this, see Ibn Warraq's delightful imagined dialogue in The Quest for the Historical Muhammad,
38–43.
66 Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 6, book 66, no. 5032.
67 Goldziher, Muslim Studies, 62.
68 Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, 547.

Menyalakan Terang Sejarah Yang Sebenarnya sunting

Penulis Biografi Muhammad Pertama sunting

Kisah-kisah tentang Muhammad yang konon katanya “dipenuhi terang sejarah” sebagian besar berasal dari seorang muslim bernama Ibnu Ishaq bin Yasar, yang umumnya dikenal sebagai Ibnu Ishaq, yang pertama kali menulis biografi Muhammad. Tetapi Ibnu Ishaq tidak hidup sejaman dengan nabinya, Muhammad, yang dipercaya meninggal di tahun 632. Ibnu Ishaq meninggal tahun 773, dan karyanya berkisar lebih dari 100 tahun setelah kematian sang tokoh.

Apalagi karya Ibnu Ishaq ini, yakni Sirat Rasul Allah – Biografi Sang Utusan Allah – tidak bertahan dalam bentuk aslinya. Apa yang datang pada kita hanyalah versi yang lebih ringkas (walaupun tetap saja cukup panjang) yang dikompilasi dikemudian hari oleh seorang sarjana Islam, Ibnu Hisham, yang meninggal di tahun 834, atau 60 tahun setelah kematian Ibnu Ishaq, juga beberapa fragmen yang dikutip oleh para penulis Muslim awal lainnya, termasuk sejarawan Muhammad Ibnu Jarir at-Tabari (839-923).

Keterlambatan bahan ini tidak dengan sendirinya berarti bahwa ia tidak dapat diandalkan. Sejarawan umumnya cenderung mendukung sumber-sumber yang lebih awal ketimbang yang kemudian, tetapi sebuah sumber awal tidak selalu lebih dapat dipercaya daripada yang datang kemudian. Sebuah biografi seorang politisi yang ditulis terburu-buru untuk segera masuk percetakan beberapa minggu setelah kematiannya, misalnya, mungkin tidak akan memiliki nilai lebih besar dari catatan yang lebih teliti yang diterbitkan beberapa tahun kemudian, setelah melewati penelitian mendalam.

Namun dalam kecenderungan yang sedang merajalela waktu itu untuk membentuk materi-materi tentang ucapan dan perbuatan Muhammad, dan cara berbagai faksi di abad kedelapan dan kesembilan menggunakan apa yang konon katanya menjadi ucapan dan tindakan Muhammad untuk mendukung posisi mereka, penulis biografi pertama Muhammad akan menghadapi tantangan yang luar biasa dalam menyaring bahan-bahan dari pemalsuan dan rekayasa.

Lagipula Ibnu Hisham mengklaim bahwa versinya lebih handal. Ia mengatakan bahwa ia tidak menyertakan, “hal-hal yang menjijikan untuk dibahas, hal-hal yang akan memusingkan beberapa orang; dan semacam laporan-laporan yang al-Bakkai [murid dari Ibnu Ishaq, yang mengedit karyanya] katakan kepadaku yang ia tak bisa terima sebagai layak dipercaya.”[1] Abdallah Ibnu Numayr, seorang pengumpul hadits yang meninggal tahun 814, mengeluhkan bahwa walaupun karya Ibnu Ishaq berisikan apa yang otentik, materi otentik itu bercampur dengan “ucapan-ucapan tak berarti” yang bulan Ishaq dapatkan dari “orang-orang tak dikenal.” [2] Seorang spesialis hadits terkenal, Ahmad Ibnu Hanbal (w. 855), tidak menganggap Ibnu Ishaq sebagai sumber terpercaya untuk hukum Islam. [3] Karena banyak korpus hukum Islam yang didasarkan pada contoh teladan apa yang Muhammad ucapkan, lakukan, biasa lakukan, dan bahkan yang ia hindari yang sangat siginifikan: kecenderungan Ibnu Hanbal dalam hal ini menyiratkan bahwa ia menganggap sebagian besar apa yang Ibnu Ishaq laporkan tentang Muhammad tidak dapat diandalkan. Namun, pada kesempatan lain, Ibnu Hanbal menjelaskan pandangannya, dengan menyatakan bahwa sementara ia tidak percaya Ibnu Ishaq bisa dipercaya mengenai masalah-masalah hukum, ia melihat karya Ibnu Ishaq dapat diandalkan sebagai materi biografis Muhammad yang lebih murni, seperti misalnya kisah-kisah pertempuran. Sebuah pandangan yang kurang menyenangkan datang dari ahli fiqh lain, Malik Ibnu Anas (w. 795), yang menyebut Ibnu Ishaq sebagai “salah satu dajjal.” [4] Sementara tokoh lainnya hanya menyebutnya sebagai pembohong. [5]

Membela Ibnu Ishaq sunting

Ibnu Ishaq memiliki para pembelanya juga. Para penulis Muslim awal yang mengumpulkan semua laporan yang tidak menguntungkan tentang Ibnu Ishaq, dan banyak lainnya juga, akhirnya menepis kritik dan menegaskan kepercayaan pada karya penulisan biografi Ibnu Ishaq. Dan memang, banyak dari mereka yang keberatan kepada karya Ibnu Ishaq karena ia memiliki kecenderungan Syiah, atau menegaskan kehendak bebas manusia, yang banyak Muslim anggap sebagai ajaran sesat. Beberapa percaya bahwa tulisan Ibnu Ishaq terlalu menguntungkan suku-suku Yahudi di Arab.

Tak satupun dari kritik ini benar-benar berkenaan pada kebenaran dari apa yang Ibnu Ishaq laporkan, dan banyak Muslim awal menegaskan kebenaran itu. Seorang muslim abad ke-delapan, Shuba, menjuluki Ibnu Ishaq sebagai “pemimpin para tradisionalis” (yakni, seorang spesialis hadist) karena kemampuan memorinya yang luar biasa. Seorang penulis abad sembilan akhir, Abu Zura, mengatakan bahwa karya Ibnu Ishaq telah diteliti akurasinya dan lulus uji. Seorang ahli hukum abad Sembilan awal, Abu-Syafi'i, mengatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah sumber yang sangat diperlukan untuk kisah-kisah pertempuran Sang Nabi, dan bahkan menyerukan bahwa “pengetahuan akan tetap ada di antara manusia sepanjang Ibnu Ishaq hidup.” [6]

Pandangan-pandangan yang sangat beragam ini mungkin disebabkan fakta bahwa citra Muhammad yang muncul dari biografi Ibnu Ishaq bukanlah apa yang bisa diharapkan dari seorang pendiri salah satu agama besar di dunia. Citra Muhammad yang Ibnu Ishaq tampilkan bukanlah seorang guru damai kasih Allah dan persaudaraan manusia, melainkan seorang panglima perang yang berjuang di berbagai pertempuran dan memerintahkan pembunuhan musuh-musuhnya. Seorang sejarawan abad dua puluh, David Margoliouth, mengatakan “Karakter yang dikaitkan kepada Muhammad dalam biografi karya Ibnu Ishaq benar-benar sangat tidak menguntungkan. Untuk mencapai tujuannya, ia mengambil langkah-langkah tidak bijaksana, dan ia menyetujui keserampangan serupa pada para pengikutnya, apabila itu dilakukan demi kepentingannya.” [7]

Namun peperangan Muhammad yang begitu banyak tidak mempermalukan Muslim modern di Barat. Peperangan-peperangan yang mereka sematkan kepada nabi mereka di tempat dan waktu tertentu justru tidak mengabaikan statusnya sebagai “panutan sempurna” (QS 33:21) bagi muslim di sepanjang zaman dan di seluruh tempat. Yang lebih sulit untuk dijelaskan adalah episode “ayat-ayat setan” yang memalukan: Muhammad menerima wahyu yang menyatakan bahwa tiga dewi kaum pagan Qurays adalah anak-anak perempuan Allah, dan layak dimuliakan juga. Namun ketika sang nabi Islam ini menyadari dia telah mengkompromikan pesan monoteistiknya, ia mengklaim bahwa Setan telah menginspirasikan ayat-ayat tersebut, dan bahwa Setan memang selalu mengganggu pesan pewahyuan kepada semua nabi (lih. QS 22:52). Muhammad segera membatalkan ayat-ayat yang akan mengganggu itu. Ibn Ishaq bercerita tentang kejadian ini, yang mana para penulis sejarah awal Islam lainnya tidak sertakan ke dalam catatan mereka.

Ibnu Ishaq juga menceritakan kisah mengerikan dari Kinana bin ar-Rabi, seorang pemimpin Yahudi di oasis Khaybar, yang Muhammad serbu dan taklukan. Karena berpikir bahwa Kinana tahu di mana kaum Yahudi Khaybar telah menyembunyikan harta mereka, maka nabi memerintahkan kepada anak buahnya: “Siksa dia sampai kalian mengambil apa yang ia miliki.” Kaum Muslim kemudian menyalakan api di dada Kinana, dan ketika Kinana masih belum mau memberitahu mereka di mana harta karun itu, mereka memenggal kepalanya. [8]

Seorang apologis Islam modern bernama Ehteshaam Gulam, seorang penulis muda di website Answering Christian Claims, dengan mudahnya memberikan keberatan Islam yang khas untuk cerita ini ketika ia menolaknya karena kurang jelasnya isnad atau rantai periwayat: “Ibn Ishaq tidak nama sumbernya”. Gulam juga mengatakan bahwa cerita tersebut tidak mungkin benar karena Muhammad tidak akan bertindak dengan cara-cara seperti itu: “Bahwa seorang pria harus disiksa dengan luka bakar di dadanya oleh percikan batu adalah perbuatan yang terlalu keji bagi sang Nabi (semoga berkah dan damai Allah turun atasnya) yang telah memperoleh gelar untuk dirinya sebagai Rahma'lil Alamin (rahmat bagi seluruh alam). [9] Dengan entengnya dia menyarankan bahwa orang-orang Yahudi-lah yang mungkin telah mengarang cerita tersebut dan meneruskannya kepada Ibnu Ishaq yang mudah percaya.

Keandalan Ibnu Ishaq sunting

Jadi, apakah semua ini hanyalah “ucapan tak berharga” yang Ibnu Ishaq terima dari “orang-orang tak dikenal”? Mungkin saja. Namun masih tersisa apa yang tidak bisa dijelaskan dalam kritik ini adalah motif dari Ibn Ishaq. Jika memang ada orang-orang Yahudi musuh-musuh Islam (karena mereka generasi demi generasi selalu saja ditetapkan sebagai musuh Islam sesuai dengan QS 5:82) dan memberi Ibnu Ishaq informasi palsu tentang Muhammad untuk mendiskreditkan Islam, motif mereka relatif jelas, namun tidak demikian dengan Ibn Ishaq. Margoliouth mengatakan bahwa Ibnu Ishaq melukiskan “gambaran yang tidak menyenangkan bagi sang pendiri agama,” tetapi gambaran ini “tidak dapat dianggap sebagai gambaran yang diambil dari pihak musuh.” [10]

Bahkan jika penggambaran tentang Muhammad dari Ibnu Ishaq dianggap lebih cocok sebagai oranbg kejam dari pada sebagai orang suci, justru penghormat sang penulis biografi ini untuk tokoh sentral yang ia tulis sungguh jelas dan tak habis-habisnya. Jelas Ibn Ishaq tidak memiliki kepentingan dalam menggambarkan Muhammad dalam perspektif yang tidak menguntungkan. Lagi pula, Ibnu Ishaq mengakui Muhammad sebagai kompas moralnya, sama seperti peran Muhammad begitu banyak umat Islam saat ini. Ibn Ishaq tampaknya tidak terganggu oleh implikasi moral dari cerita-cerita yang ia tuturkan, atau untuk menganggap bahwa kejadian-kejadian tersebut menempatkan Muhammad dalam cahaya yang negatif. Cerita tersebut tidak dapat ditolak sebagai tidak historis hanya karena muslim modern percaya kejadian-kejadian tersebut tidak pernah terjadi.

Sumber-sumber Islam menyebutkan beberapa sejarawan sebelumnya, namun karya-karya mereka tidak bertahan sampai ke kita, dan apa yang kita ketahui tentang karya-karya mereka tidaklah pasti. Sebagai contoh, Urwah bin Az-Zubair bin Al-Awwam, pria yang secara umum diakui sebagai bapak pendiri sejarah Islam, yang menurut tradisi Islam adalah sepupu Muhammad dan keponakan dari Aisha yang meninggal pada 712. Ibnu Ishaq, Tabari, dan seorang sejarawan Islam Awal lainnya, Ibnu Sa'ad, banyak merujuk pada namanya dalam banyaka kisah tradisi, tetapi jika benar Urwa bin Az-Zubair bin Al-Awwam pernah menulis apa-apa, itu tidak sampai kepada kita. [11]

Tidak ada cara untuk mengevaluasi kebenaran berbagai rekening Ibn Ishaq Muhammad. Material yang beredar secara lisan untuk sebanyak 125 tahun, di tengah lingkungan di mana pemalsuan materi tersebut merajalela, sangat tidak mungkin untuk mempertahankan setiap tingkat signifkan keandalan historisnya.

Terlebih lagi, sebagaimana Johannes JG Jansen, seorang akademisi kajian-kajian Islam dari Belanda, mengamati: Tidak satupun dari kisah-kisah dalam karya Ibnu Ishaq yang dapat dikonfirmasi oleh prasasti atau temuan arkeologi lainnya. Kita tidak mendapati kesaksian sejaman dengan kejadian-kejadian yang digambarkan dalam cerita-cerita tersebut dari pihak non-Muslim. Sumber-sumber berbahasa Yunani, Armenia, Syriak dan sumber lainnya tentang asal-usul Islam di zaman itu sangat sulit dilacak, namun tidak satupun dari mereka yang secara meyakinkan sejaman dengan Sang Nabi Islam. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada karya biografi yang bisa dianggap sebagai karya ilmiah dalam pemahaman modern, bahkan tidak pula dengan bantuan Ibn Ishaq yang serba “maha tahu”. [12]

Tambal Sulam Sejarah sunting

Para penulis biografi yang terkemudian bahkan lebih mengetahui dan sering menyulam catatan-catatan Ibnu Ishaq. Sejarawan Patricia Crone mengemukakan salah satu contoh yang sangat mengerikan. Menurut catatan Ibnu Ishaq, serangan dari Kharrar tampaknya tidak pernah terjadi dalam hidup Muhammad: "Sementara Rasul Allah telah mengutus Saad b. Abi Waqqas yang ditemani oleh delapan orang dari kalangan Muhajirun tersebut. Dia pergi sejauh Kharrar di Hijaz, kemudian dia kembali tanpa pernah bentrokan dengan musuh. "13

Dua generasi kemudian, al-Waqidi (wafat 822), dalam Kitab Sejarah dan Penyerangan, sebuah kisah pertempuran Muhammad, menghiasi catatan catatan kecil di atas: Kemudian Rasulullah (semoga Allah memberkatinya dan memberinya kedamaian) menunjuk Sa'ad b. Abi Waqqas untuk mengomandoi penyerangan terhadap bani Kharrar. Kharrar adalah bagian dari Juhfa dekat Khum-in Dhu'l-Qa'da, delapan belas bulan setelah hijrah sang Rasulullah (semoga Allah memberkatinya dan memberinya damai). Abu Bakr b. Ismail b. Muhammad mengatakan, atas nama otoritas ayahnya, pada Amir b. Sa'ad atas wewenang ayahnya [yakni Saad b. Abi Waqqas]: Rasul Allah (semoga Allah memberkatinya dan memberinya kedamaian) berkata, “Wahai Sa'ad, pergi ke Kharrar, sebab serombongan kafilah milik Quraisy akan melewatinya.” Jadi aku pergi keluar dengan dua puluh atau dua puluh satu laki-laki, dengan berjalan kaki. Kami bersembunyi pada siang hari dan berjalan di malam hari sampai kami tiba di sana pada pagi hari kelima. Kami menemukan bahwa kafilah telah melewati hari sebelumnya. Sang Utusan telah memerintahkan kami untuk tidak pergi melampaui Kharrar. Seandainya kita tidak melakukannya, kami pasti akan mengejar ketinggalan itu. [14] Anehnya, Al-Waqidi tahu lebih banyak tentang ekspedisi ini daripada Ibn Ishaq, dan sebagaimana Crone paparkan, “dia tahu semua ini dengan sempurna atas nama pemimpin ekspedisi sendiri!” Bagaimana mungkin jika Ibnu Ishaq sendiri menghindari penggambaran kejadian dengan rincian yang mendetil, namun al-Waqidi sekitar lima puluh tahun kemudian mampu menghadirkannya? Meskipun mungkin saja jika al-Waqidi memiliki akses ke tradisi lisan yang telah diwariskan dari orang yang dekat dengan Muhammad yang lolos dari pengamatan Ibn Ishaq, namun lebih mungkin bahwa rincian ini adalah elaborasi legendaris yang dikembangkan untuk tujuan mendramatisir cerita-cerita tersebut. [15]

Elaborasi legendaris sunting

Seorang sarjana Islam, Gregor Schoeler, berpendapat bahwa materi Tradisi Islam tentang kehidupan & karya Muhammad secara substansial dapat diandalkan. Dia menunjukkan bahwa meskipun karya Urwah bin Az-Zubair, penulis biografi pertama Muhammad, hilang, Ibn Ishaq dan penulis Muslim awal lainnya mengutip secara ekstensif. Karena Urwah meninggal pada tahun 712 dan mengumpulkan sebagian besar cerita tentang Muhammad dari tahun 660an sampai dengan 690an, dia memiliki banyak kesempatan untuk mengumpulkan informasi yang dapat dipercaya. Urwah, kata Schoeler, “masih memiliki kesempatan untuk berkonsultasi dengan para saksi mata dan orang-orang sezaman dari banyak peristiwa yang jadi persoalan - terlepas dari apakah ia menyebutkan informannya dalam isnad atau tidak. Untuk alasan ini, sangat mungkin jika ia meminta bibinya Aisha tentang banyak peristiwa ia saksikan .... Selain itu, ia mampu mengumpulkan laporan langsung pada berbagai insiden yang terjadi (sedikit) sebelum, selama dan setelah hijrah, misalnya hijrah itu sendiri (termasuk 'pertama hijrah' ke Abyssinia dan keadaan dan peristiwa yang mengarah ke hijrah ke Madinah), Pertempuran Parit dan al-Hudaibiya.”[16]

Semua ini adalah peristiwa penting dalam hidup Muhammad: Hijrah adalah pindahnya umat Islam dari Mekkah ke Madinah pada tahun 622, ketika Muhammad menjadi untuk pertama kalinya seorang pemimpin militer dan politik serta rohani. Sebelum itu, beberapa Muslim telah melarikan diri ke Abyssinia (Ethiopia) untuk menghindari penganiayaan dari suku Quraish Mekkah. Pertempuran Parit, tahun 627, adalah pengepungan Madinah oleh pagan Arab Mekah - pengepungan yang akhirnya membuat Muslim pecah, dengan konsekuensi penting bagi semua pihak. Perjanjian Hudaibiya adalah gencatan senjata yang Muhammad capai dengan Quraish sekitar tahun 628, lewat perjanjian ini umat Muslim diizinkan untuk melakukan ziarah ke Mekah. Perjanjian ini menetapkan standar dalam hukum Islam untuk semua perjanjian antara Muslim dan non-Muslim. Jika memang Urwah benar-benar mampu mengumpulkan dan mengirimkan informasi yang dapat dipercaya tentang semua ini dari bibinya Aisyah dan lain-lain saksi mata peristiwa tersebut, maka biografi Muhammad dalam rekening Islam standar pada dasarnya dapat dipercaya.

Klaim Schoeler, bagaimanapun, terputus-putus jika dilakukan perbandingan dengan catatan Ibn Ishaq dan al-Waqidi tentang peristiwa di Kharrar yang tidak pernah kejadian. Jika materi-materi kejadian itu rentan terkena begitu banyak elaborasi legendaris dalam beberapa dekade, apa yang mencegah cerita-cerita tersebut dari versi Urwah yang kemudian berubah secara substansial? Apakah mereka melakukannya di dasarkan pada bahan lain yang telah mereka terima dari sumber yang berbeda, atau berfungsi sebagai perhitungan dalam untung rugi politik, atau keluar dari suatu kepentingan saleh untuk melebih-lebihkan kebaikan Muhammad, atau kombinasi motif tersebut? Bahkan, proses ini elaborasi legendaris sudah terjadi ketika Ibn Ishaq menyusun catatan-catatannya.

Bukti paling jelas berasal dari asumsi Al-Qur'an yang berulang-ulang menyatakan bahwa utusan yang menerima wahyu bukanlah pembuat mukjizat. Orang-orang kafir menuntut keajaiban: “Dan mereka yang tidak mengetahui berkata: “Mengapa Allah tidak berbicara dengan kami atau datang dengan tanda-tanda kekuasaannya kepada kami” (2:118, lihat juga QS 6:37, 10:20, 13:07, 13:27). Allah memberitahu utusan-Nya bahwa bahkan sekalipun nabi memang datang kepada kaum kafir dengan keajaiban, mereka tetap akan menolaknya: “Dan sesungguhnya telah Kami buat dalam Al Qur'an ini segala macam perumpamaan untuk manusia. Dan sesungguhnya jika kamu membawa kepada mereka suatu ayat, pastilah orang-orang yang kafir itu akan berkata,’Kamu tidak lain hanyalah orang-orang yang membuat kepalsuan belaka.’” (QS 30:58). Di tempat lain dalam Al Qur'an, Allah memberikan pesan serupa: “Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang yang diberi Kitab, semua ayat, mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamupun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian merekapun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim.” (2:145). Pengulangan tema ini menunjukkan bahwa salah satu kritik utama kaum penentang sang Nabi Arab ini diajukan karena tidak ada mukjizat yang ia buat, Al-Qur'an dimaksudkan untuk menjadi tanda yang cukup dalam dirinya sendiri: “Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Kitab sedang dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman.” (QS 29:51).

Namun Muhammad dalam biografi Ibnu Ishaq digambarkan sebagai pembuat mukjizat. Ibnu Ishaq menceritakan bahwa selama penggalian parit yang akhirnya berhasil menggagalkan pengepungan kaum Mekkah terhadap kaum muslim di Madinah, salah satu sahabat Muhammad mempersiapkan “domba betina kecil yang belum gemuk” dan mengundang Nabi untuk makan malam. Muhammad ternyata mengejutkan sang tuan rumah dengan mengundang semua orang yang sedang menggali parit untuk makan di rumah pria itu. Nabi Islam memecahkan masalah seperti Yesus dalam Injil, yakni melipatgandakan roti dan ikan: “Ketika kami duduk kami mempersiapkan makanan dan ia memberkati dan memanggil nama Allah atasnya. Lalu ia makan seperti semua yang lain. Segera setelah satu nampan habis, nampan berikutnya datang sampai para penggali kekenyangan.” [17] Pada kesempatan lain Ibn Ishaq menulis, salah satu sahabat terluka parah matanya, sehingga bola matanya hampir lepas dari tempatnya, Muhammad “mengembalikan bola matanya ke tempatnya dengan tangannya dan menjadikan matanya lebih baik dan lebih tajam dari sebelumnya.” [18] Dalam cerita-cerita lainnya, Muhammad menimba air dari sumur yang kering dan mendatangkan hukan dengan doanya. [19]

Ada banyak, banyak sekali cerita dalam karya Ibnu Ishaq. Jika salah satu dari mereka telah diketahui pada saat Al Qur'an ditulis, sungguh sukar dijelaskan bahwa Muhammad sendiri tidak pernah menggambarkannya dalam Qur’an sebagai seorang nabi dengan sebuah kitab saja tanpa ada mukjizat pendukung.Sungguh luar biasa bahwa seorang pria yang bisa menyembuhkan orang sakit, memperbanyak makanan, mengambil air dari sumur kering, dan mengeluarkan petir dari hantaman linggisnya tetap digambarkan sebagai seorang nabi yang pesannya tidak didukung oleh tanda-tanda ajaib.

Ibn Ishaq juga memasukan cerita-cerita tentang bagaimana Muhammad berulang kali diramalkan sebagai seorang nabi masa depan ketika ia masih seorang kanak-kanak belaka. Dalam satu kesempatan, Muhammad dibawa ke Syria ketika ia masih kecil, di mana seorang pendeta Kristen bernama Bahira mengamatinya, “melihat tubuhnya dan menemukan jejak deskripsi (dalam kitab-kitab Kristen).” Ibnu Ishaq menegaskan bahwa Bahira meramakjan anaj ini akan menjadi penegak monoteisme, meskipun kaumnya menganut politeisme, Muhammad belia mengatakan kepada sang biarawan, “Demi Allah, tiada yang lebih ku benci dari pada Al-Lat dan al-Uzza, dua dewi Quraisy.” Bahira juga “melihat punggung anak itu dan melihat segel kenabian di antara bahunya, di tempat yang sangat dijelaskan dalam bukunya.” Oleh karena itu sang biarawan memperingatkan pamannya Muhammad, atau meramalkan, apa yang nantinya motif mengiblis-ibliskan kaum Yahudi: “Bawalah keponakanmu ke negerinya, dan jaga-jagalah dia dair kaum Yahudi. Sebab demi Allah! Jika mereka melihat dia dan tahu apa yang aku tahu, mereka akan menjahati dia; masa depan yang besar ada di depan mata keponakanmu ini, jadi bawalah dia pulang segera. [20]

Johannes Jansen menjelaskan motivasi di balik kisah-kisah semacam ini:

Para pendongeng bermaksudkan untuk meyakinkan publik bahwa Muhammad memang seorang nabi dari Tuhan. Untuk melakukannya, mereka meyakinkan publik mereka yang sudah Kristen, bahkan para biarawan pun telah mengakui Muhamamd demikian. Mereka tidak memiliki memori nyata dari peristiwa semacam itu, tetapi mereka ingin meyakinkan masyarakat bahwa mengakui Muhammad sebagai nabi Allah adalah hal yang baik. Jika memang suatu otoritas Kristen yang netral telah mengakui Muhammad, mereka harus memaparkan argumen mereka, begitu pula otoritas kristen lainnya!

Dalam hal ini, para pendongeng hanya bisa menyampaikan pesan mereka jika mereka bisa memanggungkan cerita seakan-akan Muhammad telah benar-benar bertemu seorang biarawan. Oleh karena itu, mereka menceritakan beberapa cerita tentang bagaimana Muhammad sebagai seorang anak pergi ke Suriah, bersama dengan salah satu pamannya.

Di sana ia bertemu biarawan, dan biarawan itu mengenalinya. Banyak cerita tentang perjalanan Muhammad ke Syria bukanlah produk memori sejarah yang sebenarnya, namun samar-samar, tetapi penciptaan yang seperti itu diperlukan untuk kebutuhan teologis sehingga Muhammad diakui sebagai nabi oleh orang Kristen, bahkan oleh seorang biarawan.

Cerita tentang pertemuan Muhammad dan sang biarawan adalah mustahil. Cerita ini muncul dalam berbagai versi yang bertentangan, namun ternyata mencapai tujuannya. [21]

Cerita tersebut juga aneh jika dilihat dalam pemahaman pihak oposisi, dalam hal ini pihak Quraish yang Muhammad hadapi setelah dia menyatakan dirinya sebagai nabi; jika dia benar-benar memenuhi nubuatan dari nabi yang akan datang, mengapa orang Quraisy begitu lambat dan keras kepala menyadarinya? Dalam hal ini kehidupan Muhammad menyerupai kehidupan Yesus, dimana Injil Matius khususnya menggambarkan pemenuhan nubuat Mesias yang akan datang namun ditolak oleh para pemimpin agama yang paling akrab dengan nubuat-nubuat. Kemiripan yang begitu dekat mengindikasikan bahwa kisah-kisah Muhammad yang diidentifikasikan sebagai nabi di masa mudanya memiliki skenario tipologis dan legendaris.

Sifat legenda dalam catatan-catatan ini benar-benar tidak cocok dengan tradisi Islam tentang bagaimana terkejutnya dan ketakutannya Muhammad ketika dikunjungi oleh Jibril untuk pertama kalinya. Ibnu Ishaq sendiri melaporkan bahwa pertemuan ini meninggalkan suatu agitasi ekstrim pada diri Muhammad sehingga ia berkata kepada istrinya: “Celakalah aku jika aku seorang pelihat [yakni, seorang yang menerima visi gembira dan mungkin gila] atau kesurupan.”[22] Jika Muhammad telah berulang kali diidentifikasi sebagai nabi ketika ia masih anak-anak dan remaja, kita harusnya memahami bahwa suatu saat hal ini akan terjadi.

Atas dasar ini saja, keandalan kesejarahan dari karya Ibnu Ishaq sudah benar-benar dikompromikan. Materi-materi yang ia masukan dalam biografinya pastilah telah muncul lama setelah pengumpulan Al-Qur'an. Bahkan dalam kasus ini, adalah sungguh ane bahwa ia memasukkan begitu banyak bahan yang secara jelas bertentangan dengan kesaksian Al Qur'an, sebuah buku dengan yang Ibn Ishaq akrab, setidaknya dalam beberapa bentuk, karena ia sering mengutip ayat-ayat yang muncul dalam Qur’an.

Jika biografi Muhammad karya Ibnu Ishaq sebagian besar atau bahkan seluruhnya benar-benar fiksi, maka semua informasi tentang Muhammad yang umumnya dianggap sebagai sejarah sekarang menguap sudah. Niat menyeluruh Ibnu Ishaq adalah untuk menunjukkan kepada para pembacanya bahwa Muhammad memang seorang nabi. Tapi dalam melakukannya, ia menceritakan begitu banyak legenda yang sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari fiksi. Tidak ada cara yang dapat diandalkan untuk membedakan elemen-elemen mukjizati di catatan-catatan Ibnu Ishaq dari apa yang tampaknya sejarah yang sebenar-benarnya terjadi.

Jansen menantang setiap klaim bahwa karya biografi Ibn Ishaq berbasis sejarah. Dia menunjukkan bahwa “untuk setiap peristiwa yang berlangsung dalam kehidupan Muhammad, Ibn Ishaq dengan cermat dalam siratnya mencatat di bulan mana suatu kejadian itu terjadi,” dan “sistem penanggalan sistematis berdasarkan bulan yang Ibn Ishaq lakukan tentu saja dianggap salah satu alasan utama mengapa sejarawan Barat mengklasifikasikan bukunya sebagai historiografi dalam arti sebenarnya kata itu.” Namun pencatatan rinci semacam ini ternyata benar-benar tidak sejalan dengan kalender Arab. Sistem kalender Arab Pra-Islam, seperti halnya kalender Islam saat ini, memakai penghitungan bulan, yang satu tahunnya terdiri dari 354 hari, bukan 365 hari berdasarkan kalender matahari. Untuk menyesuaikan perbedaan ini, bangsa Arab menambahkan ‘satu bulan tambahan’ untuk setiap tiga tahun surya. Namun mereka menghentikan praktik ini di tahun 629 M, Al-Qur'an benar-benar melarang penambahan bulan lompatan (QS 9:36-37). Saat itu, Muhammad, jika memang sosok ini pernah benar-benar ada, telah bertindak sebagai nabi selama hampir dua puluh tahun, menurut catatan standar Islam. “Namun bagaimana kemudian, dari begitu banyak kejadian yang Ibnu Ishaq jelaskan dan berikan tanggal yang akurat, namun tidak pernah ada yang ia catat terjadi dalam bulan-bulan tambahan?” tanya Jansen. “Jika narasi tentang kehidupan Muhammad didasarkan pada sejarah dan kenangan pada peristiwa nyata, namun terdistorsi, namun masih diingat oleh orang-orang nyata, bagaimana bisa setengah tahun matahari (atau lebih) tetap tidak disebutkan dan telah menghilang dari catatan?”

Jansen mengamati bahwa “Biografi karya Ibnu Ishaq hanya dapat menelusuri waktu hanya pada periode di mana orang sudah lupa bahwa dulu pernah ada bulan lompatan.” [23] Periode itu pastilah terjadi jauh sesudah Muhammad konon dikabarkan pernah hidup. Jansen menyimpulkan, “Cerita-cerita yang ditulis oleh Ibnu Ishaq ini tidak mencoba untuk menjelaskan ingatan akan peristiwa yang pernah terjadi dimasa lalu, namun suatu usaha bahwa mereka ingin meyakinkan pembaca bahwa tokoh utama, Muhammad, adalah utusan Allah.”

Memahami Segalanya Tentang Ibnu Ishaq sunting

Meskipun demikian, cendekiawan kajian Islam abad 20, W. Montgomery Watt (1909-2006) mengajukan untuk memisahkan sejarah dari legendaris Ibnu Ishaq dalam bukunya dua jilid biografi nabi Islam, Muhammad di Mekah dan Muhammad di Medina. Dia melakukannya hanya dengan mengabaikan cerita-cerita yang memuat keajaiban dari karya Ibnu Ishaq dan menyajikan sisanya sebagai akurat secara historis akurat, sebuah prosedur yang, dalam analisis akhir, benar-benar sewenang-wenang: Tidak ada alasan untuk lebih mempercayai cerita-cerita tanpa unsur mukjizat sebagai kejadian faktual dari pada cerita-cerita dengan unsur mukjizat dalam karya biografi Ibnu Ishaq ini. Baik cerita-cerita tanpa unsur mukjizat maupun dengan unsur mukjizat harus dibuktikan oleh sumber-sumber sejaman lainnya, atau sumber yang lebih dekat ke masa Muhammad yang sebenarnya.

Patricia Crone menjelaskan sebagian dari apa yang salah dengan metodologi Watt: "Dia menerima sesuatu sebagai benar secara historis klaim bahwa Muhammad berdagang di Suriah sebagai agen Khadijah, meskipun satu-satunya cerita di mana kita diberitahu selama ini - sebenarnya banyak yang fiktif. Hal serupa terjadi pada Waat, ia menganggap bahwa kisah Abd al-Muthalib menggali sumur Zamzam di Mekah sebagai fakta historis, meskipun informasi tersebut juga berasal dari cerita-cerita mukjizat.” [24] Watt menginformasikan pembacanya dengan mengesankan bahwa “ pengepungan Madinah, dikenal umat Islam sebagai ekspedisi Khandaq atau Pertempuran Parit, dimulai pada tanggal 31 Maret 627 (8/xi/5) dan berlangsung sekitar dua minggu.” [25] Namun di sisi lain ia tidak mengatakan apa-apa tentang petir yang keluar dari linggis Muhammad ketika ia sedang menggali parit. Juga Watt tidak mengatakan bahwa sumber tentang tanggal pengepungan itu berasal dari al-Waqidi, yang catatn-catatannya dikenal sebagai elaborasi ahistoris atas karya –karya Ibnu Ishaq yang bersifat legenda sebagaimana yang kita telah lihat. Mengapa Watt percaya tanggal saat memulai pengepungan sebagai sesuatu yang historis, tetapi ia tidak percaya tentang petir yang menakjubkan yang keluar dari linggis Muhammad? Ia tidak menjelaskan apa-apa tentangnya.

Baik Watt maupun sejarawan lain yang bergantung pada Ibn Ishaq untuk pengetahuan mereka tentang Muhammad dapat memiliki kedua-duanya. Dan jika Ibn Ishaq tidak dapat diandalkan sebagai sumber sejarah yang dapat dipercaya, tidak ada yang lain. Pada dasarnya setiap biografi Muhammad sampai hari ini tergantung setidaknya pada tingkat tertentu pada Ibn Ishaq. Johannes Jansen mengamati: "buku-buku tentang Muhammad Kemudian pada dasarnya membatasi diri untuk menceritakan kembali kisah Ibnu Ishaq. Kadang-kadang mereka sedikit lebih rinci dari Ibn Ishaq, tapi rincian tambahan mereka menyediakan tidak menginspirasi banyak keyakinan dalam skeptis modern. Biografi Barat modern Muhammad, juga, semua benar-benar tergantung pada Ibn Ishaq. Sama, semua artikel ensiklopedia tentang Muhammad, apakah populer atau akademik, hanyalah ringkasan narasi Ibn Ishaq.” [26]

Jadi jika Ibnu Ishaq bukanlah sumber historis yang dapat dipercaya, apa yang tersisa dari kehidupan Muhammad? Jika tidak ada satupun yang pasti yang dapat diketahui tentang dirinya, maka pembentukan Islam-lah yang menyebabkan penciptaan tokoh legenda Muhammad (bukan sebaliknya bahwa dari Muhammadlah Islam lahir). Jika memang tidak ada sang nabi pemimpin perang yang mengajarkan jihad terhadap kaum tak percaya dan ajaran yang dipercaya sebagai firman yang abadi dan sempurna dari satu-satunya Tuhan, lalu bagaimana dan mengapa para petinggi kaum Arab Penakluk di abad 7 dan sesudahnya menciptakannya? Apa kekuatan yang berada di belakang mereka, jika mereka sebenarnya tidak terinspirasi oleh janji seorang nabi yang berapi-api tentang pahala di dunia ini dan di dunia yang akan datang untuk para pejuangnya? Jika Islam tidak berkembang sebagaimana Muslim percayai dan sebagaimana sumber-sumber Islam awal kisahkan, maka sebenarnya bagaimana dan mengapa hal itu berkembang? Sebuah petunjuk untuk hal ini datang dari anomali-anomali yang mengitari panggung Arab Islam.

Muhammad: Sang Nabi Arab ? sunting

Muhammad adalah seorang utusan dari tanah Arab, lahir di Mekkah, berbahasa Arab, dan membawa pesan dari Allah kepada orang-orang Arab (lih. Qur'an 41:44) dan dari situ melebar ke dunia luas.

Setiap elemen dari kalimat di atas terdengar wajar sehingga baik kaum Muslim dan non-Muslim mempercayainya begitu saja; namun setiap elemen , ketika diselidiki lebih dekat , ternyata mulai goyah. Dari catatan sejarah yang masih ada, sama sekali tidak jelas bahwa ada seorang nabi Arab bernama Muhammad di sekitar Mekkah, yang membawa sejenis pesan kepada dunia. Atau setidaknya, catatan-catatan menunjukkan bahwa jika memang ada Muhammad, dia tidak hidup di Mekah dan tidak memberitakan sesuatu yang mirip Islam – sampai lama setelah kematiannya, ketika biografinya dan kitab suci seperti yang kita tahu mereka mulai dibangun.

Sentralitas Arab dan bahasa Arab dalam ajaran Islam Islam tidak dapat dilebih-lebihkan. Meskipun Islam diklaim hadir sebagai agama universal bagi semua insane di bumi, namun ia memiliki karakter jelas Arab. Berpindak keyakinan pada Islam, apapun kebangsaan mereka, biasanya mengambil nama Arab. Dimanapun mereka berada di dunia, dan apa pun bahasa asli mereka, umat Islam harus berdoa dalam bahasa Arab dan membaca Qur'an dalam bahasa Arab.

Banyak mualaf di negara-negara non-Muslim mengadopsi pakaian tradisional Arab. Kebudayaan Arab memiliki tempat kebanggaan di dunia Islam yang sering menimbulkan ketegangan antara Muslim Arab dan non-Arab. Supremasi Arab baru-baru ini di zaman kita sendiri menelurkan peperangan terhadap Muslim non-Arab di wilayah Darfur, Sudan. Konflik tersebut adalah fitur yang terus berulang dalam sejarah Islam. [27] Dan yang menjadi pisat dari ajaran Islam, karena itu, adalah kisah tradisional bagaimana Muhammad, seorang pedagang Arab , menerima Al Qur’an melalui malaikat Jibril dari Allah, pertama di Mekkah dan kemudian di Madinah.

Menurut catatan-catatan kanonik Islam, karena dipersenjatai dengan pesan ilahi, Muhammad menyatukan seluruh Semenanjung Arab di bawah bendera Islam pada saat kematiannya pada tahun 632. Itu bukan tugas yang mudah, menurut sumber-sumber Islam standar. Nabi dan agama barunya menghadapi perlawanan keras dari sukunya sendiri, Quraish, yang kafir dan musyrik. Menurut cerita asal-usul agama Islam, suku Quraish tinggal di Mekah, yang merupakan pusat perdagangan dan haji, sehingga orang pergi ke sana dari seluruh tanah Arab dan di luar Arab juga. Dan menurut sumber-sumber Islam juga, suku Quraish mendapatkan keuntungan dari orang-orang yang melakukan ziarah ke Ka'bah (kuil berbentuk kubus di Mekah) untuk menyembah banyak berhalanya. Mekkah, menurut tradisi Islam, adalah titik pusat baik agama maupun perdagangan di wilayah itu juga.

Catatan kanonik tentang asal-usul Islam meyakini bahwa suku Quraish pada awalnya menolak klaim kenabian Muhammad lebih karena alasan ekonomi dari pada spiritual. Montgomery Watt mencatat bahwa “pada akhir abad 6 M,” kaum Quraish “telah menguasai sebagian besar perdagangan dari Yaman ke Suriah – sebuah jalur penting di mana Barat mendapat barang mewah India sedangkan bangsa Arab Selatan mendapat kemenyan.” [28] Sebagian besar perdagangan ini bergantung pada orang-orang Arab yang datang ke Mekkah sebagai peziarah. Dengan orang-orang Arab pagan yang bepergian dari seluruh Jazirah Arab untuk menyembah dewa-dewi mereka di Ka'bah, suatu proklamasi bahwa semua dewa-dewi itu tidak hanyalah sebentuk setan – apapun tepatnya yang Muhammad khotbahkan dengan monoteisme yang tanpa kompromi – tidak hanya akan mengakibatkan bisnis ziarah kaum Quraish merugi, tetapi juga usaha kepentingan usaha perdagangan mereka terancam.

Konon, selama dua belas tahun menetap di Mekah, Muhammad menarik beberapa pengikut tetapi membangkitkan antagonisme terhadapa suku Quraisy. Antagonisme yang dikobar-kobarkan itu ditujukan pada para berhala di Ka'bah dan bisnis kafilah Quraisy. Ibn Ishaq mengatakan bahwa ketika Muhammad bermigrasi ke Madinah dua belas tahun dalam karier kenabiannya, ia memerintahkan umat Islam untuk menyerang kafilah Quraisy yang kembali dari Suriah yang sarat dengan barang. Nabi sendiri memimpin banyak penyerangan ini, yang membuat pergerakan Islam semakin berkembang . Meskipun didorong oleh kebutuhan ekonomi, penjarahan menjadi elemen tertentu dari teologi Islam , menurut tradisi Islam. Dalam satu insiden terkenal, sekelompok Muslim menyerang kafilah Quraish dalam salah satu dari empat bulan suci dalam kalender Arab pra-Islam. Ini adalah bulan di mana pertempuran dilarang, berarti bahwa perampok Muslim telah melanggar prinsip-prinsip suci. Tetapi Qur'an mengatakan bahwa Allah mengijinkan kaum Muslim untuk melanggar bulan suci jika mereka dianiaya-dengan kata lain, untuk menyisihkan prinsip moral demi kebaikan umat Islam: “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram (suci). Katakanlah “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar, tetapi menghalangi dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjid il Haram dan mengusir penduduk sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. (QS 2:217). ‘Masjidil Haram’ atau Masjid Suci menurut tradisi Islam merujuk ke Kabbah.

Kejadian ini menjadi kunci untuk pengembangan etika Islam, yakni menetapkan bahwa sesuatu itu baik jika memberi manfaat bagi Islam, dan apa pun dianggap jahat jika merugikan Islam. Hal ini juga menjadi code of conduct dalam mengatur hubungan antara muslim dan Quraisy dalam hal peperangan. Pertempuran mereka, sesuai dengan kisah-kisah standar Islam, menjadi kesempatan bagi Allah untuk mengungkapkan kepada Muhammad banyak ayat-ayat Al-Qur'an kunci mengenai perang melawan kafir.

Oleh karena itu, dibuatnya Arab Hejaz sebagai panggung bagi Al-Qur'an dan antagonisme dari Quraisy terhadap pesan Muhammad menjadi sangat penting untuk sejarah dan teologi Islam. Ini adalah konteks di mana beberapa ajaran Islam yang paling penting tidak bisa ditawar-tawar. Tradisi Islam menetapkan bahwa pada akarnya, Quraisy menentang pesan kenabian Muhammad karena bisa mengakhiri ziarah ke Mekah dan mengganggu bisnis mereka.

Sama seperti identitas Arab merupakan pusat Islam, kota paling suci dalam Islam, Mekkah, adalah pusat identitas Islam. Namun anehnya, sekalipun sebagai pusat bagi Islam, Mekkah disebutkan namanya hanya sekali dalam Al-Qur'an: “Dan Dialah yang menahan tangan mereka dari kamu, dan tangan kamu dari mereka, di lembah Mekah, sesudah Allah memenangkan kamu atas mereka, dan adalah Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (QS 48:24).

Namun terhadap kejadian apa ayat ini rujuk - seperti yang sering terjadi dalam Qur'an- benar-benar tidak jelas. Komentator Qur’an abad pertengahan, Ibnu Katsir, menjelaskan ayat dengan cara ini: “Imam Ahmad mencatat bahwa Anas bin Malik berkata, ‘Pada hari Hudaibiya, delapan puluh orang bersenjata dari Makkah turun lembah yang berasal dari Gunung At-Tan'im untuk menyergap Rasulullah saw. Rasulullah meminta Allah untuk mengalahkan mereka, dan musuh itupun dibawa sebagai tahanan.’ Affan menambahkan, 'Rasulullah mengampuni mereka, dan kemudian ayah ini [“tanda”, atau ayat Al-Qur'an] diturunkan.’” [29] Tetapi Qur'an sendiri tidak mengatakan apa-apa tentang Hudaibiya dalam ayat yang dipersoalkan tersebut. Terlebih lagi, sekalipun Perjanjian Hudaibiya dijadikan sebagai doktrin Islam tentang perjanjian dan gencatan senjata dengan pasukan non-Muslim, faktanya tidak ada catatan di luar sumber-sumber Islam yang memverifikasi bahwa perjanjian itu pernah terjadi sama sekali !

Inilah yang terjadi di banyak bagian dalam sejarah asal-usul Islam, yakni semakin jauh kita mencari sumber-sumber yang relevan tentang pentingnya kota Mekkah di Arab pada masa Muhammad, semakin sukar kita menemukannya. Jika Watt benar bahwa Mekah mengendalikan kerajaan perdagangan penting yang termasuk rute dari Eropa ke India, maka seharusnya kita sudah menemukan beberapa indikasi dalam sastra zaman itu. Sebagaimana Crone katakan, "Sudah jelas bahwa jika Mekah memang berfungsi sebagai perantara dalam perdagangan jarak jauh beberapa jenis barang seperti yang diuraikan dalam literature-literatur sekunder (yaitu, karya-karya Watt dan sejarawan lain yang begitu saja percaya akan kisah-kisah tradisional Islam), maka seharusnya sudah ada beberapa catatan yang menyebutkan kota Mekkah dalam catatan perdagangan mereka. Lagian, para penulis dalam bahasa Yunani dan Latin telah banyak menulis tentang Arabia Selatan yang menyuplai mereka dengan barang-barang aromatik di masa lalu, yang memberikan catatan tentang kota-kota mereka, suku-suku mereka, organisasi politik dan kafilah-kafilah mereka.” [30]

Tetapi dari semua sumber tersebut, yang ada hanya keheningan. Tidak pernah ada penyebutan tentang Mekah, tentang penampilan kotanya, tentang natur dari bisnis yang dilakukan di sana, tentang sikap umum kaum Quraish – suatu detil umum yang kita akan temukan dalam tulisan-tulisan sejarah para pelancong dan pedagang dari zaman klasik hingga Abad Pertengahan. Sebaliknya, ada kesenjangan yang lebar. Para penulis Muslim sering menyangkut-nyangkutkan Ptolemy, seorang matematikawan dan astrologer, yang pernah menyebutkan suatu tempat di Arabia yang disebut Macoraba, tapi bahkan jika hal ini merujuk ke Mekah (yang mana Crone sendiri menyangsikannya), Ptolemy sendiri meninggal di tahun 168 SM. [31]

Hal ini sama naifnya dengan mengambil catatan seorang pelancong di kota Konstantinopel di tahun 1400an sebagai bukti bahwa kota itu merupakan pusat kekristenan yg berkembang di pertengahan abad 19 ! Sehingga orang akan enggan menganggap tulisan Ptolemy tentang Makaroba sebagai Mekkah dan sebagai bukti bahwa kota itu adalah pusat perdagangan yang berkembang hampir lima abad setelah kematiannya.

Sebaliknya, Procopius Kaisarea (w. 565), sejarawan terkemuka dari abad keenam, tidak menyebutkan Mekah- suatu hal yang sangat aneh memang jika Mekkah benar-benar menjadi pusat perdagangan di Arabia dan antara Barat dan India pada masa Muhammad , yang diduga lahir hanya lima tahun setelah kematian Procopius itu. [32] Padahal pusat-pusat perdagangan tidak bertumbuh secara instan.

Tidak ada sejarawan non-Muslim yang pernah menyebutkan Mekkah dalam catatan-catatan tentang perdagangan pada abad keenam dan ketujuh. (Juga, dalam hal ini, pernah dilakukan oleh sejarawan Muslim: Tidak ada catatan Islam yang bertahan berkenaan dengan perdagangan sebelum abad kedelapan.) Crone mencatat: “Kepentingan politik dan Gerejawi akan jazirah Arab di abad 6 begitu mencolok sehingga perhatian penuh diberikan terhadap urusan-urusan dunia Arab, namun tidak pernah ada penyebutan tentang suku Quraish dan perdagangan mereka baik itu dalam bahasa Yunani, Latin, Syriak, Aramaik, Koptik, atau sastra lainnya di luar Arabia sebelum serangkaian penaklukan Arab. Hal ini sangat mencolok dan signifikan.” [33] Secara khusus, Crone menyebutkan, “ Tidak pernah ada dikatakan tentang Qurash, atau ‘raja-raja Arab’ seandainyapun orang-orang pernah menyuplai barang dagangan ini-itu untuk tujuan wilayah ini-itu; hanyalah Muhammad sendiri saja yang dikenal sebagai seorang pedagang.” [34] Dan itu pun hanya diketahui dari sumber-sumber yang ditulis lama setelah kematiannya.

Ada lagi aspek lainnya. Lokasi Mekkah pun salah jika tempat itu berfungsi sebagai pusat perdagangan. Mekkah terletak di bagian barat Arab, sehingga, dalam kata-kata sejarawan Richard Bulliet, “hanya dengan pembacaan peta yang dipaksakan saja Mekkah bisa di gambarkan sebagai persimpangan antara rute utara-selatan dan timur-barat.” [35] Montgomery Watt membayangkan bahwa para pelancong sepanjang rute antara Yaman dan Suriah, mungkin punya alasan untuk berhenti di Mekah, tapi anggapan Watt bahwa Mekkah adalah pusat “jalur penting dimana Barat mendapat barang mewah dari India serta Arab Selatan mendapat kemenyan” adalah tidak didukung oleh bukti kontemporer dan mungkin secara geografis.

Hal yang sama berlaku untuk gagasan Mekah sebagai tempat ziarah utama di awal abad ketujuh. Bukti kontemporer menunjukkan bahwa ziarah dilakukan untuk setidaknya di tiga lokasi di Arabia, yakni: Ukaz, Dhu'l-Majaz, dan Majanna-tapi tidak ke Mekah. [36] Crone juga mencatat bahwa Mekah berbeda dari situs-situs lain karena menjadi sebuah kota berpenduduk, sedangkan tempat yang didirikan untuk di Arabia tidak berpenghuni kecuali selama masa peziarahan. Dia menambahkan, “Ibadah haji adalah ritual yang dilakukan pada waktu dan tempat di mana setiap orang meletakan senjata dan tak seorang pun berada dalam control. Suatu tempat ibadah yang dimiliki oleh suku tertentu, yakni ‘Quraish’ tidak termasuk dalam kerangka ini.” [37]

Signifikansi dari hal ini sangatlah besar. Jika Mekah hanyalah pusat perdagangan skala kecil lokal dan sebuah peziarahan lokal di awal abad ketujuh, maka kisah kanonik seluruh asal-usul Islam jatuh dalam keraguan. Jika suku Quraisy tidak keberatan dengan pesan Muhammad dengan alasan bahwa hal itu akan membahayakan perdagangan dan bisnis haji, atas dasar apa yang mereka keberatan dengan pesannya? Jika Muhammad tidak menemui perlawanan keras dari suku Quraish selama dua belas tahun pertama karier kenabiannya, yang memberitakan pesannya tauhid kepada audiens Mekkah yang menutup diri, lalu apa yang terjadi?

Tanpa Mekkah sebagai pusat perdagangan dan ziarah, tidak ada dasar bagi cerita tentang pertentangan antara Muhammad dan Quraish di Mekah. Juga tidak ada dasar bagi kisah Muhammad yang nantinya bermigrasi ke Madinah dan berperang melawan kaum Quraish. Demikian juga betapa tidak berdasarnya kisah tentang bagaimana ia mengalahkan suku Quraish, kembali ke Mekah menjelang akhir hidupnya, dan mengubah Ka'bah menjadi tempat suci bagi kaum Muslim, suatu pusat yang tadinya situs milik kaum pagan dan ritual ziarah mereka, menjadi pusat Islam untuk selama-lamanya.

Saat ini, banyak peziarah Muslim berduyun-duyun ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, seperti yang telah dilakukan selama berabad-abad. Namun ternyata seluruh kisah asal-usul Islam yang berakar di Mekah ternyata berdiri di atas fondasi goyah. Meskipun ada bukti bahwa sejenis pernah ada di Mekah, namun tampaknya tidak pernah menjadi yang utama. [38] Entah Muhammad atau kaum Muslim di kemudian hari mengubah kuil tersebut menjadi pusat peziarahan Islam seperti saat ini. Dalam melakukannya, mereka meninggikan posisi Mekkah sehingga menjadi begitu penting seperti saat ini, bahkan nampaknya pada saat Muhammad dianggap pernah hidup, jika kita benar-benar meneliti perkembangannya. Islam semakin berkurang elemen bahasa Arab (Arabik) dan budaya Arabnya (Arabian) dari menit ke menit. Seperti yang telah kita lihat, Qur’an mengandung unsur-unsur non-Arabik yang signifikan. Sekarang telah nyata bahwa salah satu bagian kunci untuk menyatukan kepingan-kepingan asal-usul Islam di tanah Arabia, yakni interaksi Muhammad yang semakin antagonistik dengan suku Quraish karena cemburu dengan hak prerogatif dalam bidang agama dan ekonomi, ternyata tampak semakin tidak didukung oleh bukti-bukti historis.

Jika itu yang sebenarnya terjadi, bagaimana kisah Muhammad bisa muncul, dan untuk alasan apa? Mengapa kisah-kisah awal Islam tampaknya dilemparkan asal-usulnya ke tanah Arabia yang bukan tanah air bagi suku pagannya dan juga bukan pusat perdagangan dan bisnis peziarah yang berkembang subur, begitu telitikah kisah-kisah yang diceritakan dalam teks-teks Islam?

Catatan sunting

1 Alfred Guillaume, “Ibn Hisham's Notes,” in Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, 691.
2 Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, xxxvi.
3 Ibid.
4 Ibid., xxxvii.
5 Ibid., xxxvii.
6 Ibid., xxxv.
7 Arthur Jeffery, “The Quest of the Historical Muhammad,” in Ibn Warraq, The Quest for the Historical Muhammad, 340.
8 Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, 515.
9 Ehteshaam Gulam, “The Problems with Ibn Ishaq's Sirat Rasoul Allah (Arabic for The Life of Messenger of Allah) and Other
Early Sources of Islam and Prophet Muhammad (2009),” Answering Christian Claims, http://www.answering-christian-claims.com/The-
Problems-With-Ibn-Ishaq.html. The Arabic for “mercy for all the worlds” is more properly transliterated as Rahmatan lil Alamin.
10 Jeffery, “The Quest of the Historical Muhammad,” 340.
11 Ibn Warraq, “Studies on Muhammad and the Rise of Islam: A Critical Survey,” in Ibn Warraq, The Quest for the Historical
Muhammad, 25.
12 Johannes J. G. Jansen, “The Gospel According to Ibn Ishaq (d. 773),” paper for the “Skepticism and Scripture” Conference,
Center for Inquiry, Davis, California, January 2007.
13 Patricia Crone, Meccan Trade and the Rise of Islam (Princeton: Princeton University Press, 1987), 223.
14 Ibid., 224.
15 For a related phenomenon, see Daniel Pipes, Slave Soldiers and Islam (New Haven: Yale University Press, 1981), 205–14. Note how the origins of military slavery, a secular event that took place two hundred years after Muhammad's supposed life, is variously handled in forty-four different Arabic and Persian sources. In this case, new information kept turning up many centuries after the events took place—about a political event in the early ninth century. How much more easily, then, could such a process unfold regarding religious events in the seventh century that were far more central to the lives of the believers?
16 Gregor Schoeler, The Biography of Muhammad: Nature and Authenticity (New York: Routledge, 2010), 16.
17 Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, 452. I am indebted to Jansen's “Gospel According to Ibn Ishaq” for this discussion.
18 Ibid. 381.
19 Ibid., 501, 605.
20 Ibid., 81.
21 Johannes J. G. Jansen, “The Historicity of Muhammad, Aisha and Who Knows Who Else,” Tidsskriftet Sappho, May 16, 2011,http://www.sappho.dk/blog/335/The-historicity-of-Muhammad-Aisha-and-who-knows-who-else.htm.
22 Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, 106.
23 Jansen, “The Gospel According to Ibn Ishaq (d. 773).”
24 Crone, Meccan Trade, 220.
25 W. Montgomery Watt, Muhammad at Medina (Oxford: Oxford University Press, 1956), 35–36.
26 Jansen, “The Gospel According to Ibn Ishaq.”
27 The Sunni-Shiite conflict has in many instances evolved into a conflict between Arabs and non-Arabs: Sunni Arabs versus Shiite Persians (although there are, to be sure, many Shiite Arabs). This came to a head in modern times in the violence between Shiite Iranian pilgrims and Sunni Saudi security forces in Mecca during the hajj in 1987.
28 Quoted in Crone, Meccan Trade, 7.
29 Ibn Kathir, Tafsir Ibn Kathir (abridged), vol. 9 (Riyadh: Darussalam, 2000), 153–54.
30 Crone, Meccan Trade, 134.
31 Crone disputes the identification by pointing out that the two words actually have quite different roots and that the location Ptolemy gives for Macoraba does not correspond to the site of Mecca. (See Crone, Meccan Trade, 135–36.)
32 Crone, Meccan Trade, 137.
33 Ibid., 134.
34 Ibid., 137.
35 Richard W. Bulliet, The Camel and the Wheel (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 105 (quoted in Crone, Meccan Trade, 6).
36 Crone notes that according to the medieval Islamic historian al-Azraqi (d. 1072), trade was conducted in pre-Islamic Arabic at “pilgrim stations” including Mina, Arafa, Ukaz, Majanna, and Dhul-Majaz. “That Mecca itself is supposed to have been a pilgrim station,” Crone observes, “is here totally forgotten” (Crone, Meccan Trade, 175).
37 Crone, Meccan Trade, 174.
38 See Ibid., 172–76. She notes that Mecca was “added by way of afterthought only” in al-Azraqi's account of pilgrimages in pre- Islamic Arabia. She declares, “It is thus reasonable to conclude with [biblical scholar Julius] Wellhausen that Mecca was not an object of pilgrimage in pre-Islamic times” (Crone, Meccan Trade, 176).