Disiram Teh Telur
“Walaupun luarnya kurang meyakinkan tapi jangan salah, jika sudah mencoba isinya, rasa di lidah pasti bikin ketagihan,” kata Uda Alif pemilik Rumah Makan Salero sambil memberikan dua gelas isi teh telur kepada seorang paman dan keponakan.
Dari balik kaca gelas warna teh telur agak putih pucat seperti susu basi. Uda Alif menyuruh diminum selagi hangat.
“Diminum, Zara,” kata paman mengenakan baju pink baby.
“Iyah Uncu,” jawab keponakannya sambil menutup hidung, takut muntah.
Tiba-tiba siraman teh telur mengenai wajah seorang pemuda mengenakan baju jeans banyak robekan area dada dan lengan. Saat melihat bawah tubuhnya, sama juga banyak robekan sehingga terlihat kulit lutut sawo matang.
“Kurang ajar!” Uda Alif memaki pemuda itu karena setelan baju tidak sopan dan bau badan yang menyengat sehingga banyak pengunjung menutup hidung dan enggan makan di tempat.
Uda Alif mendorong-dorong tubuh pemuda jalanan hingga terlempar keluar kadai. Pemuda itu jatuh dengan masih ada cairan teh telur di wajahnya. Dia berusaha membersihkan air jingga setelah tercampur rata susu, teh, dan kuning telur di area alisnya yang tebal dan hidung mancung.
“Saya bukan maling. Saya punya uang untuk membayar,” kata pemuda itu.
“Pembohong!” Uda Alif tidak mempercayainya.
“Jangan pernah lagi masuk. Ingat itu!” Teriak Uda Alif dan kembali masuk kadai.
Zara melihat pemuda itu berdiri dan pergi meninggalkan kadai. Pemuda itu melihat sebuah mobil pengangkut berisi dua buah kursi panjang. Warna plat nomornya merah. Pada badan mobil bertuliskan Satuan Polisi Pamong Praja atau biasa disebut Satpol PP.
Setelah mobil itu melewati dirinya. Dia melihat dari belakang mobil banyak anak kecil yang diangkut. Beberapa diantara mereka berteriak padanya.
“Kak Leo! Kak Leo!” Dua anak jalanan memanggil-manggil namanya.
“Zahran? Anis?” kata Leo.
“Tolong kami!” Teriak Zahran mengenakan baju compang-camping sambil memegang satu kotak berisi cangcimen—kacang, kuaci, permen.
“Tolong kami, Kak Leo!” Teriak Anis tubuhnya lebih kecil dari Zahran, juga sama membawa sekotak cangcimen.
Sontak Leo kaget dan mencari cara mendapatkan kembali Zahran dan Anis dari mobil Satpol PP. Dia melihat sekeliling. Menemukan dua buah sepeda. Leo mengambil salah satu sepeda dan melesat mengejar mobil.
“Sepedaku!” Zara menyadari bahwa sepeda yang diambil adalah miliknya. Zara lari ke sepeda satu lagi dan menaikinya, memboseh mengejar Leo.
Zara berhasil mendekati Leo. Beberapa meter lagi dia dapat menjangkau punggung baju jeans dengan tulis jahit border, Munafik.
“Kembalikan sepedaku!” Zara berteriak. Tapi, Leo tidak mendengar dan masih berusaha mengejar mobil Satpol PP.
Punggung baju Zara basah. Kaki bergetar setelah memboseh sepeda dengan waktu yang lama. Tapi, masih belum dapat menjangkau tubuh Leo.
Leo melihat Zahran dan Anis menangis. Dia menambahkan kekuatan kakinya untuk meningkatkan kecepatan sepeda. Dia menggeramkan giginya dan kedua alisnya berkait.
Leo berhasil mendekati pantat mobil. Tangan kirinya berusaha meraih uluran tangan Zahran dan Anis.
“Zahran.” Leo hampir saja berpegangan dengannya. Dia memikirkan cara lain untuk mendapatkan Zahran dan Anis kembali. Dengan menambah laju sepeda. Dia berhasil menyusul mobil dan memblokade.
Tiba-tiba mobil ngerem mendadak. Semua penumpang saling berbenturan satu sama lain. Hampir saja Satpol PP menabrak Leo satu jengkal lagi.
“Kembalikan mereka!” Teriak Leo sambil meninggalkan sepeda menuju ekor mobil.
Leo menurunkan Zahran. Kemudian hendak menggendong Anis. Tapi, sebuah pukulan pentungan tongkat kayu mengenai punggungnya hingga mengerang kesakitan.
“Kembalikan mereka!” Leo berteriak lagi kepada dua petugas tapi kedua tangannya mendapat lilitan borgol besi.
“Berarti kamu yang memperkerjakan anak-anak ini,” kata petugas.
Leo bingung. Dia tidak pernah merasa mempekerjakan mereka.
“Kamu kami tangkap!”
Leo masuk penjara.
Beberapa bulan kemudian. Leo berada di kadai Uda Alif.
“Aku disiksa di sel penjara untuk mengakui kejahatan yang tidak pernah aku lakukan. Aku tidak pernah melakukan hal itu. Tapi, mereka terus memaksa dengan pentungan-pentungan daratkan pada tubuhku. Aku tetap tidak mengakuinya. Karena memang aku tidak pernah menyuruh Zahran dan Anis mencari uang di jalanan. Hingga kamu datang menebusku. Aku sangat berterima kasih. Aku tidak tahu lagi membalas kebaikanmu setelah seminggu aku terus disiksa di penjara,” kata Leo mengucapkan terimakasih kepada Zara sebagai penjamin kebebasannya.
“Aku minta maaf telah menyiram wajahmu dengan teh telur,” kata Uda Alif sambil memberikan gelas isi kuning telur telah dicampur gula pasir kepada Uncu dan Zara.
“Iyah tidak apa-apa Uda. Bahkan gara-gara itu aku dapat bertemu Zahran dan Anis untuk terakhir kalinya,” kata Leo sambil menerima gelas isi kuning telur dan sebuah sendok dari Uda Alif.
“Ambil ini.” Uda Alif memberikan tombol digital sebesar koin, alat penghitung yang dapat dikalungkan pada jari mereka.
“Ini untuk apa Uda Alif?” tanya Zara.
“Bukankah tadi Zara bilang, mau belajar bikin teh telur terenak. Nah ini alat bantunya. Lakukan 600 kocokan. Alat ini sebagai pengingat.”
“Oh begitu. Baik-baik,” kata Zara.
“Kalau sudah beres, bilang yah.”
“Siap Uda Alif,” kata Zara sambil beri isapan jempol.
“Ingat yah. Harus 600 kali kocokan.”
“Iyah…” Zara mengangguk.
Uda Alif meninggalkan meja mereka.
Zara, Uncu, dan Leo mulai mengocok kuning telur.
“Apakah Zahran dan Anis adalah adik Kak Leo?” tanya Zara.
Leo menceritakan masa kecilnya.
Umur Leo 14 tahun sudah masuk panti asuhan bersama adik-adiknya—Zahran yang belia dan Anis masih bayi. Ayah mereka yang memasukkannya, setelah itu, besoknya ditangkap oleh polisi dan masuk penjara. Sedangkan ibunya masuk rumah sakit jiwa setelah beberapa hari melahirkan Anis.
Kehidupan di panti asuhan tidak seindah dibayangkan. Mereka diurus oleh pengurus yang garang dan penuh tato. Hingga akhirnya mengetahui bahwa itu bukanlah panti asuhan tapi penjara bagi anak-anak untuk dipekerjakan mencari uang di jalanan.
Umur dua puluh tahun, Leo memutuskan meninggalkan panti asuhan karena tidak sanggup harus mendapatkan uang dari air mata kesedihan. Para pengurus tidak berani menghadangnya karena badan Leo tumbuh kekar.
Masalah baru timbul setelah keluar rumah merana itu. Dia harus mencari pekerjaan dan tempat tinggal. Dia tidak memiliki keluarga dan keahlian apapun. Sulit menemukan seseorang memberikan pekerjaan. Hingga akhirnya memutuskan mencari pekerjaan apapun di terminal.
Leo punya kebiasaan membaca saat di panti asuhan. Setiap pemilik panti membuang koran lama atau buku bekas, Leo mengambilnya. Kebiasaan itu berlanjut hingga sering mengunjungi penjual koran di terminal. Kadang membantu menjawab teka teki silang penjual koran. Persis seperti dulu membantu Zahran dan Anis mengisi teka teki silang dari koran bekas.
“Mengocok teh telur adalah sebuah perjalanan. Penuh dengan kesabaran,” kata Uncu telah mengocok teh telur sebanyak 300 kali.
“Aku menyerah. Tidak sanggup lagi. Tanganku pegal-pegal,” kata Zara menyimpan gelas teh telur di meja.
Untuk membuat produk yang berkualitas, memang membutuhkan proses panjang. Orang sering tidak mau menjalani prosesnya dengan sabar dan benar. Akibatnya, kualitas teh telur yang dihasilkan tidak sebaik yang diinginkan. Ada yang masih berbau amis, terlalu manis, ataupun rasanya kurang mantap.
“Kak Leo pasti kangen sekali sama Zahran dan Anis?” kata Zara menggoyangkan pergelangan tangannya.
“Iyah, aku rindu sekali mereka. Adik-adikku cerdas dan pengen sekolah,” kata Leo melanjutkan ceritanya.
Waktu terus berlalu. Leo pusing bagaimana menghasilkan uang yang banyak dan dapat mengambil kembali Zahran dan Anis dari tangan-tangan bengis, pemilik panti.
Leo bersembunyi melihat aktivitas Zahran dan Anis mengemis melewati gerbang sekolah. Leo tidak berani bertemu karena takut kepergok oleh preman yang mengawasinya. Jika ketahuan, mereka akan disiksa.
Leo sedih. Zahran dan Anis pengen banget bersekolah. Keyakinan itu benar, saat mereka memegang balik jeruji besi gerbang sekolah, penuh harap dapat masuk ke kelas dan belajar bersama murid-murid lainnya. Setelah kepergok petugas keamanan. Mereka diusir hina oleh satpam hingga cangcimen berserakan di atas tanah. Leo tidak dapat membelanya.
Kemudian, kisah kembali pada Leo disiram teh telur Uda Alif dan masuk penjara.
“Uncu. Kenapa berkeringat?” tanya Zara melihat air keluar dari kening pamannya. Uncu telah mengocok telur 467 kali.
“Nyerah?” tanya Zara.
“Tidak mungkin,” jawab Uncu dengan mengernyitkan dahi.
Kualitas memang menuntut disiplin, kesabaran, dan ketekunan. Mengocok telur itu perlu tenaga ekstra. Pada kocokan yang ke-500. Uncu mulai merasakan kelelahan dan muncul godaan untuk berhenti. Tetapi, dia tahu, jika berhenti, maka, dia kehilangan kesempatan untuk belajar membuat salah satu Teh Telur terenak sedunia. Maka diteruskan sampai Uda Alif bilang, “Cukup, Uda Bungsu.” Lalu adukan teh telur diambil untuk diproses selanjutnya—diisi air teh panas, susu kental manis, madu, dan jeruk nipis untuk penghilang bau amisnya.
“Yah tidak dapat teh telur gratis dong,” kata Zara yang pasrah tidak menyelesaikan misinya.
“Zara tetap dapat kok,” kata Uda Alif.
“Benarkah?” tanya Zara.
“Iya, Zara. Karena baru pertama kali melihat seorang remaja dapat menyelesaikan sampai 300 kali kocokkan. Biasanya yang lain cuma sanggup 100 sampai 200 kali kocokkan,” kata Uda Alif.
Zara menghela nafas lega.
Uda Alif melihat hasil kocokkan Uncu dan Leo. Dia mengomentari kocokkan Uncu sudah sesuai arahan. Namun, mata Uda Alif lama melihat kocokkan gelas teh telur Leo.
“Kamu mengocok gaya gimana?” tanya Uda Alif.
“Seperti ini.” Leo memegang gelas miliknya. Mengaduk ke arah dalam telur. Kemudian, mengocok telur yang berubah-ubah gayanya. Dari cepat ke lambat. Dari hanya naik turun lalu memutar sendok. Mengocok terus hingga memperlihatkan urat pada area lengan kanannya
Uda Alif takjub dengan gaya adukan Leo. Kemudian dia melihat kalung gigi harimau di leher Leo. Dia mengingatkan sesuatu dengan masa lalunya.
“Kalung itu punyamu?” tanya Uda Alif.
“Ini warisan ayahku,” jawab Leo dan Uda Alif menaikan alisnya hingga bola mata terlihat besar.
“Leo, apakah kamu mau bekerja di kedaiku?” Uda Alif menawarkan pekerjaan kepadanya.
Sontak Leo kaget. Sebelum menjawab penawaran Uda Alif. Tiba-tiba muncul seorang wanita dewasa berdiri di hadapan mereka mencari seseorang.
“Siapa yang bernama Leo Saputra?” tanya wanita itu.
“Yah, itu saya,” kata Leo.
“Saya Novi guru dari Sekolah Impian Hikam. Ingin ucapkan terima kasih kepada Anda,” katanya.
“Terima kasih karena apa, yah?” tanya Leo.
“Karena telah mendidik—”
“Kak Leo!” Dua anak melompat dari balik tubuh Novi mengagetkan Zara, Uncu, Uda Alif, dan termasuk Leo.
“Zahran? Anis?” Leo masih tidak percaya sehingga Zahran dan Anis memeluknya. Itu nyata. Leo ketemu adik-adiknya lagi.
“Hanya beberapa minggu Zahran dan Anis mendapatkan nilai pelajaran terbaik. Aku pikir mereka terbelakang dalam mata pelajaran karena hidup di jalanan. Bahkan dapat mengerjakan soal-soal kakak kelasnya,” kata Novi.
Tempat panti sosial Zahran dan Anis yang baru lebih baik dari sebelumnya. Tidak disuruh untuk mencari uang di jalanan. Tapi, disediakan sekolah.
“Setelah mendengar cerita mereka. Ternyata Anda yang telah mendidiknya dengan baik. Aku sangat senang dan berterima kasih. Aku ingin mengajak Anda untuk menjadi guru di Sekolah Impian Hikam. Membantu mencerdaskan anak-anak jalanan lainnya seperti Zahran dan Anis,” kata Novi.
“Iya Kak Leo. Kan Kak Leo impiannya mau menjadi guru,” kata Zahran.
Leo menggaruk kepala.
Novi mengulurkan tangan untuk memastikan penawarannya diterima atau tidak?
Leo berdiri. Dengan muka memerah menjabat tangan Novi. Dia resmi menjadi guru di Sekolah Impian Hikam.