Doea Kapala Batoe

Oleh: Kwee Hing-tjiat


Tatkala saya hendak mulaiken ini rencana, sampelah pada saya satu surat dari satu nasionalis Tionghoa di Hindia, dalam mana ia bilang antara lain lain:... kau hendak tulis tentang buruknya gerakan Tionghoa, apakah kau sudah pikir betul bahwa tindakan itu tidak akan merugiken pada bangsa Tionghoa?

Rupanya ini kawan-politik sudah salah mengerti, hingga ia jadi kuatir. Itulah tidak heran, pun di Hindia politik sudah dibikin kusut, orang sudah lupa pada maksudnya politik yang benar. Beberapa pihak saling betot satu pada lain, hingga akhirnya gerakan bangsa jadi mandek.

Saya punya maksud ialah menutur tentang gerakan Tionghoa di Hindia sebagimana adanya, supaya publik Tionghoa bisa tahu duduknya perkara.

Saya kira tidak harus kasih perundingan panjang lebar, hanya saya mau catat beberapa banyak hal yang ternampak, yang batinnya nanti saya akan coba terangken bila perlu.

Barangkali ada beberapa pasal dalam saya punya penuturan akan kelihatan bertentangan satu pada lain, tapi justru itulah ada satu tanda, bahwa sabisanya ada dicari jalan tiong.

Tidak kliru Mr. Fromberg punya anggepan: gerakan Tionghoa sedang kandas.

Kalau kapal kandas, musti dibikin apa? Itu kapal sekarang berada dalam bahaya besar, satu kali dipukul ombak atau salah seret, bisa hancur sama sekali. Dalam keadaan begini orang tidak boleh gunaken tenaga merem atau jiat-sim saja, hanya lebih dulu harus digunaken pikiran, dicari tahu duduknya karang dan kapal, gerakannya ombak serta segala bahaya lain yang boleh mengancem.

Bila itu semua sudah ditilik dan dipikir mateng serta dipili jurusan yang benar, barulah boleh digunaken tenaga buat lolosken itu kapal.

Saya kira orang bisa mufakat sama ini upama, tapi toh bisa diliat di Hindia sedari beberapa banyak tahun, gerakan Tionghoa tidak dipimpin oleh pikiran, hanya disurung oleh jiat-sim dengan merem, hingga makin lama tidak tambah laju, hanya jadi kandas dan kusut.

Saya tidak sengaja cuma mau menyela, hanya saya merasa berwajib gunaken haknya kritik sabagimana pantesnya dalam urusan umum buat lukisin zaman, sementara saya kenal diri-sendiri tidak lebih dari pada satu jurnalis beesay yang tidak sanggup berdaya.


Satu Kaca sunting

Ban Tjiang tanya pada Bing Tju: — Ketika Khong Tju ada di Tin, ia kata: ,Kenapa saya tidak pulang? Saya punya kawan kawan di rumah ada gembira dan cakep. ‘Kenapa itu waktu Khong Tju ingat pada murid-muridnya yang gembira di Lou?

Bing Tju jawab: — Sebab Khong Tju tidak bisa dapat orang yang kenal Tiong, maka sedikitnya ia mau dapetken orang yang gembira. Orang yang gembira bisa maju. Bukan sekali Khong Tju tidak suka pada orang yang kenal Tiong. Tapi ia tidak bisa dapetken orang yang demikian, maka ia merasa puas dengan orang yang gembira.

Ban Tjiang tanya lagi: — Siapakah bisa dinamaken orang gembira?

Bing Tju jawab: — Itulah ada orang orang seperti Kiu Tjiang, Tjong Si dan Bu Pi. Ban Tjiang tanya: — Kenapa Khong Tju namaken mereka orang gembira?

Bing Tju kata: — Mereka punya hati besar, kendati kelakuannya tidak bisa bandingken bicaranya. Khong Tju bilang: ,Saya paling tidak setuju pada orang orang yang berlaga sopan. Mereka bikin rusak Kabejikan.

Ban Tjiang tanya: — Siapa itu orang orang yang berlaga sopan?

Bing Tju menyaut: — Mereka cela orang orang yang gembira dengan kata: ,Buat apa bicara besar? Toh kau punya kelakuan tidak cocok dengan kau punya bicara. Dalam dunia orang musti turut jalannya dunia. 'Begitulah mereka menggerembeng seperti thay-kam.

Ban Tjiang tanya: — Di segala tempat mereka dinamaken orang sopan dan orang pantas. Toh Khong Tju namaken mereka tukang bikin rusak Kabejikan. Kenapa?

Bing Tju kata: — Kalau orang mau cela mereka, tidak tahu musti mulain di mana, kalau orang mau ketawain, ia orang tidak kelihatan aneh. Mereka selalu ikutin aliran dan cocokin diri dengan kotoran dunia, sementara hatinya palsu. Rahayat tidak bisa cela pada mereka. Ia orang sendiri anggap dirinya benar, tapi toh mereka tidak turut jalannya Giauw atau Sun. Karena itulah mereka dinamaken tukang bikin rusak Kabejikan. Khong Tju kata: ,Saya benci pada Kapalsuan, saya benci pada orang yang menjilat, saya benci pada orang yang berlaga pantas dan sopan. Satu Kun-cu dengan sederhana akan pilih jalan yang benar. Bila ini teladan diturut oleh rakyat, segala Kapalsuan akan musnah.


Poko Gerakan sunting

Sering dengan sangsi orang bicara tentang sifatnya gerakan Tionghoa di Hindia; bukan saja lain bangsa, pun kerap orang Tionghoa sendiri tidak paham benar duduknya itu perkara, yang kelihatan sederhana, tapi sabetulnya ruwet: itu gerakan yang asalnya buat jaga peri-kasopanan Tionghoa, kemudian terlibet oleh politik dan urusan uang.

Fa Hien ada catat orang Tionghoa punya dateng di Hindia pada beberapa belas ratus tahun dulu, kasopanan dan anggepan Tionghoa klasik tidak memperkenanken mereka bikin kadudukan di luar negeri seperti Jan Pieterszoon Coen sudah bikin bagi bangsanya. Bing Tju kata, orang pancing ikan tidak perlu naik pohon. Sebagian karena lemanya orang Bumiputra di Hindia dan sebagian pula lantaran mereka sendiri punya tabiat ulet, maka orang Tionghoa sudah bisa hidup di Hindia ratusan tahun tanpa mengubah batinnya.

Sementara menurut katerangan gubernur Baron van Asbeck dari Hindia Barat, orang Tionghoa di sana sekarang sudah melesep dalam rakyat Bumiputra kulit item.

Sampe pada suatu hari di pertengahan abad yang lewat orang Tionghoa di Java dapat merasa yang dirinya mulai anut dalam aliran pengidupan asing. Di situlah karena matengnya zaman, telah berdiri Hok Kian Kong Tik Su di Surabaya, salah satu vereeniging Tionghoa yang paling kekal, dari pihak mana blakangan sudah didiriken itu Khong Tju Bio yang terkenal di Kapasan.

Satu orang Tionghoa tua di Surabaya yang sekarang sudah wafat dan yang sudah mengalami gerakan Hok Kian Kong Tik Su dari awal-mulanya, atas saya punya pertanyaan pada sepuluh tahun dulu, telah jawab: — Maksudnya Hok Kian Kong Tik Su ialah buat bikin orang Tionghoa hidup menurut aturan Tionghoa, karena ada bahaya mereka anut ke lain jurusan dan kalelep.

Orang Tionghoa di Hindia di itu tempo masih belum begitu kenal politik.

Ketika Kang Yu Wei pertama bikin pidato di Surabaya kira-kira dua puluh tahun dulu, saya diajak dengerken oleh saya punya guru, almarhum tuan Tan Kim Sing. Saya tanya: ― Sinshe, ia bicara apa? Jawabnya tuan Tan Kim Sing: Akh, ia lain tidak minta duit.

Sedari hampir satu abad Tiongkok berurusan sama bangsa kulit putih; belum pernah dalam hikayat dunia ada satu bangsa besar dapat malu dan ajaran begitu kecewa seperti bangsa Tionghoa di ini zaman.

Kala beradu beberapa banyak kali pada lain bangsa sudah bikin orang Tionghoa mendusin bahwa kasopanannya masih pincang, akan akhirnya mereka meledak dalam huru-hara Boxer, lantaran hatinya terlalu dipersakitin. Kang Yu Wei sudah hendak mengubah Tiongkok dengan pengaruin Kaisar Kuang Hsu dan niatan singkirken Kasim Tsu Hsi sekalian kawanannya, tapi itu semua sudah gagal, ia musti keluar dari Tiongkok kalau tidak mau putus batang lehernya.

Sasuda menggumbara beberapa tahun di negeri asing, ia kunjungin Hindia Belanda, di mana ia sulut minyak yang sudah tersedia, maka terbitlah gerakan T.H.H.K. yang ia bantu bikin bersifat politik dan jadi tambah berkobar sesudah Jepang menang perang pada Rusland.

Sun Yat Sen punya gerakan revolusi, jatonya Tjhing Tiauw di tahun 1910 dan berdirinya Tionghoa Bin Kok, itu semua sudah membikin orang Tionghoa punya hati, yang tadinya kapepet, kembali jadi besar, gembira dan merdeka.

Saya tidak berniat bicaraken satu-persatu sikepnya pemerintah Belanda pada orang Tionghoa dalam hikayat Hindia, buat mana saya silaken orang baca Mr. Fromberg punya brosur „De Chineesche Beweging op Java“ (sudah disalin oleh tuan Tju Bou San dalam Sin Po tahun 1916) sekalian pidatonya tuan Han Tiauw Tjong di hadepan Indologen-Vereeniging di Nederland dan karangannya tuan Oei Kiauw Pik di halaman Indische Gids.

Demikianlah gerakan kasopanan Tionghoa jadi bertindak dalam daerah politik, karena buat jaga kasopanan, perlu dijaga politik lebih dulu, sementara sekarang ada dirasa, buat jaga kasopanan dan politik, perlu dijaga urusan uang lebih dulu, kendati gerakan economisch-nationaal dari orang Tionghoa di Hindia di ini saat umumnya masih pasif.

Orang merasa, terutama buat sekarang, tanpa duit tidak bisa dilakuken politik sekalian kasopanan, tapi sabaliknya duit tanpa kasopanan bukan saja tidak akan berfaeda suatu apa, malahan berbahaya.

Sejak kira-kira seratus tahun orang Tionghoa di Hindia umumnya sudah mulai tidak kenal lagi bahasa dan mata-surat Tionghoa, perhubungan dengan Tiongkok jadi kurang, adat Tionghoa bagi mereka dengan pelahan jadi kosong, hingga bikin lemah ia orang punya batin.

Di Hindia tidak ada poko kasopanan Tionghoa, tidak ada kaum bangsawan Tionghoa yang bisa kasih teladan, tidak ada literatur Tionghoa, tidak ada bahasa Tionghoa, maka tidak heran tatkala dateng zaman baru, orang Tionghoa di sana lantas jatuh terguling, seperti pohon yang tidak berakar teguh gampang rubuh ditiup angin.

Mereka ada rasaken keras sekali ini kakurangan atau kalemahan batin, maka ia orang mau coba bikin teguh perhubungan politik dengan Tiongkok. Apa pula karena pemerintah Tionghoa sedari ribuan tahun memang ada samacem teokrasi, kasopanan atau agama dan politik tercampur dalam satu tangan, Kaisar disebut Bapa Rahayat atau Tjin Bing Thian Tju. Demikianlah dalam anggepan Tionghoa (di Hindia), pemerintah Tiongkok, tidak perduli monarki atau republik, ada seperti Kalifat bagi orang Islam.

Pokonya pertentangan politik antara rakyat Ier dan pemerintah Inggris sekarang pun ada dalam urusan agama. Kalau Rome yang kutung masih punya pengaruh begitu besar pada Ierland, apa lagi Tiongkok, sebagai cultuurcentrum dan negeri, pada orang Tionghoa di Hindia dalam keadaan di Asia seperti sekarang.

Bila orang tidak sengaja mau merem, dengan mudah bisa ternampak cukup „politiek material“: urusan politik di Asia sekarang ada begitu rupa, hingga kalau tidak mau jadi binasa batin dan lahir, sasuatu orang Asia kapaksa beragem dengan bangsa sendiri buat melawan bahaya, yaitu jadi nasionalisisch, yang dengan demikian jadi sah, seperti orang yang terancem jiwanya sedikitnya harus menangkis.

Buat kaslametan diri-sendiri dan anak-cucu sekalian buat lakuken kawajiban pada leluhur yang sudah diriken dan warisken kasopanan Tionghoa, mereka seperti tersurung oleh satu tenaga misterius akan berhaluan pegang keras peri-kabangsaan, itu tenaga suci dalam kakalutan yang dimaksudken oleh Voltaire.

Zaman sudah mateng, seperti Thian yang unjukin jurusan pada bangsa Tionghoa, maka gerakan kabangsaan Tionghoa di Hindia tidak bisa salah, karena goddeljk dan suci, hanya kudu digunaken kacerdikan, supaya jangan sampai kabentur, sebab barangkali ada karang melintang.

Malahan nasionalisme Tionghoa masih lemah kalau dipadu dengan gerakan kabangsaan rakyat Hindia Inggris, di mana Mr. Gandhi larang orang kawin sebelum negrinya terlepas dari bangsa Inggris.

Pertama adalah Jepang yang sudah jalanken gerakan kabangsaan di Asia, yang mengerti Too dan lakuken titanya Allah, hingga Jepang sekarang jadi slamet, jaya dan terhormat.

Jepang sudah kasih teladan pada semua orang Asia bagaimana musti berlaku jika tidak mau binasa, kata Rabindranath Tagore dalam pidatonya di Tokyo University.


Kakalutan sunting

Suda dua puluh tahun orang Tionghoa di Hindia diterjang oleh gelombang zaman baru, seperti kapal yang sudah h kemudinya, mereka jadi limbung di tengah lautan. Satu revolusi ada mengulek dalam batinnya, hingga jadi butek dan gelap, seperti satu empang yang lagi diaduk, jadi kosong, seperti Tourgenief punya Nihilist.

Ini dua puluh tahun dinamaken zaman kemajuan.

Pada beberapa tahun dulu satu nona mantu mudah setiap hari dari pagi sampai sore suka melongok di langkan depan rumah mertuanya di Surabaya.

Engkong dari suaminya akhirnya menegor: — X, jangan suka berdiri di luar, nanti diliat orang kurang baik. Dengan mesem si nona-mantu jawab: — Akh, Engkong, zaman kemajuan!

Jadi bukan orang bikin zaman, tapi zaman bikin orang.

Kalau nona X. sendirian yang anut zaman begitu, paling banyak suaminya sendiri repot, tapi umumnya segala, kemajuan Tionghoa di Hindia ada berkwaliteit demikian.

Inilah bukan kemajuan, tapi kakalutan, sebab bergerak tanpa kemudi. Dulu ada adat atau tradisi yang jadi kemudi atau pangkalan, tapi blakangan itu semua dilempar dan tidak atau belum bisa diganti oleh suatu prinsip atau pikiran yang benar, hingga segala apa jadi serba kalut.

Li Hong Tjiang pernah tanya pada Ito: — Apa yang harus diubah? Itu pemimpin Jepang menyaut: — Semua!

Kamudian Tio Tji Tong tambahin: — Tapi orang musti tahu bagaimana kudu mengubah!

Di Jepang saya dapetken rakyatnya tidak begitu gapa bicara Inggris seperti orang Tionghoa, tapi di Eropa saya belum dapetken toko buku bahasa Inggris yang lengkap seperti di Tokyo.

Satu orang Tionghoa yang sudah dua-puluh tahun tinggal di Jepang kata pada saya: — Orang Jepang baca buku dengan otak, orang Tionghoa baca buku dengan mulut.

Orang Jepang tahu isihnya, orang Tionghoa tahu bunyinya.

Dalam pidatonya yang tersebut di atas Tagore kata lebih jauh: — Saya tidak bisa percaya Jepang sudah jadi begitu besar lantaran meniru Eropa. Kita tidak bisa meniru pengidupan, kita tidak bisa berlaga punya tenaga terus-menerus, malahan itu kapalsuan akan binasaken tenaga kita yang ada. Itu tiruan akan pepet tabiat kita dan cekek leher kita.

Barangkali bangsa Tionghoa tidak bisa begitu mudah mengubah seperti bangsa Jepang, karena banyak lebih tua, batinnya lebih gecompliceerd, mereka ada mengandung segala sifatnya leluhur dalam empat ribu tahun Tiongkok punya hikayat, dari Oey Tee, Lao Tse, Khong Tju dan Budha sampai pada segala kansien dan brandal.

Richthofen tulis, cuma agama Kristen akan bisa mengubah Tiongkok, barangkali buat cuci itu batin yang sudah ruwet dengan samacem fanatisme.

Apakah dalam ini dua puluh tahun orang Tionghoa di Hindia sudah bisa bikin kemajuan yang benar dan kekal? Apakah dalam itu waktu orang Tionghoa sudah jadi lebih terpelajar, lebih sopan dan mulia, lebih berbudi, ringkesnya, apakah mereka benar sudah bikin kemajuan yang asli?

Dua puluh tahun dulu orang Tionghoa di Surabaya masih sanggup atur boikot yang rapi melawan H.V.A. dalam keadaan yang sangat kusut, tapi zaman sekarang surat-kabar Tionghoa yang menjerit paling keras dalam gerakan boikot pada Jepang, diam-diam pakai kertas Jepang.

Saya tidak bicaraken benar atau klirunya bikin boikot pada Jepang, tapi satu kali suka angkat senjata, harus tam-sui-ya. Banyak sudagar Tionghoa tidak bisa setuju dibikin boikot pada Jepang, yang digerakin oleh pihak bukan-dagang, sebab bukan saja tidak bisa menolong suatu apa, malahan berbahaya.

Tiongkok dapat susah senantiasa mau kasih salah pada lain orang, yaitu pada Jepang, sedang sabetulnya Tiongkok punya penyakit ada dalam diri-sendiri.

Satu negarawan Tionghoa pernah kata, baik Jepang selalu dobrak pintunya Tiongkok supaya rakyat Tionghoa tidak tinggal pules. Jika antara orang Tionghoa sendiri tidak ada yang serong, lain bangsa tidak bisa gencet pada Tiongkok.

Jepang sendiri pun sudah mengalami banyak gencetan sebagai bangsa Asia, tapi mereka sudah beli kembali kahormatannya dengan darah, dengan jiwa yang suci dari rakyatnya, yang kuburannya sekarang terpencar di seluruh Manchuria.

Kalau Tiongkok mau boikot pada Jepang, artinya rakyat Tionghoa tidak mau mengaku kasalahan diri sendiri sama-sekali, hingga tidak bisa dateng perubahan yang benar dan terus-menerus nanti keadaan akan tinggal kusut seperti sekarang.

Di itu menit di Tiongkok dimulaiken gerakan boikot, di itu menit juga salah-satu pemimpin Tionghoa di Shanghai buka credit setengah milyun dollar ke Osaka, minta beli barang kain sebab harganya buat sedikit tempo turun keras lantaran boikot. Sementara putranya Chu Pao San yang merangkep jadi bankir, compradore Mitsui Bushan Kaisha dan Presiden Siang Hwee di Shanghai, ketok kawat ke Tokyo, menyatakan Vereenigingnya tidak suka turut campur dalam urusan boikot pada Jepang.

Dan di Hindia tuan The Tjun Hoay, Presiden Siang Hwee Semarang, diangkat jadi komisaris dalam satu bank Jepang.

Tambahan gerakan boikot pada Jepang di Hindia ada berbahaya sebab orang Tionghoa di sana bukan jadi pembeli dan pemakai (seperti di Tiongkok), hanya cuma jadi orang perantaraan saja, yang beli di kiri dan jual di kanan, hingga kadudukannya tidak teguh dan gampang diguling oleh orang Jepang, yang lebih terpelajar, lebih betah kerja, ditunjang oleh pemerintah dan banknya sendiri serta bisa hidup banyak lebih murah dengan makan ikan mentah sama kecap dan pakai geta atau bakiak.

Boikot pada Jepang tidak bisa menolong suatu apa pada bangsa Tionghoa, malahan merugiken, terutama dalam batin.

Pada beberapa belas tahun dulu salah-satu bekas murid dari saya punya sinshe Tan Kim Sing telah tembak diri sendiri bersama satu moler.

Tuan Tan Kim Sing kemudian kata pada saya: — Liatlah orang zaman sekarang, mereka setiap hari kantongin pistol, akan akhirnya paling banyak cuma bisa tembak diri-sendiri bersama satu jobong yang lagain padanya. Padulah dengan orang-orang zaman dulu yang bunuh diri buat haluan, kahormatan dan kabeneran.

Demikianlah jadi kita bicara tentang wafatnya tuan L., satu orang tua yang sampai sekarang namanya masih terkenal di Surabaya.

Sabetulnya saya tidak mau tulis hal ini, tapi karena ini perkara toh ada satu rahasia-umum dan tuan L. ada ambil bagian penting dalam pimpinan dari gerakan Tionghoa di zaman yang baru lewat, maka saya mau tuturken juga dengan ringkes.

Tuan L. sudah diperlakuken tidak patut oleh satu familinya yang pernah tua dan sebagai protes ia sudah bunuh diri minum racun dalam umur hampir enam-puluh tahun.

Tuan L. ada saorang kuno yang paham ilmu surat Tionghoa dan ia sudah wafat menurut cara Tionghoa sejati. Dalam lima jam sesudah minum itu racun yang sangat keras, ia telah tewas, dalam itu waktu ia sudah rasaken sakit yang tidak bisa diceritaken, karena antero isi perutnya seperti dibakar. Toh ia tidak ucapken satu patah sambatan atau seselan, cuma napasnya tersenga-sengal lantaran menahan sakit yang hebat. Dalam itu lima jam saya sudah bantu jaga padanya, hal mana saya tidak akan bisa lupa, seperti orang tidak akan lupa pada cara wafatnya Socrates.

Kira-kira setengah jam sebelum lepasken napas yang pengabisan, yaitu sesudah tenaganya hampir habis sama-sekali, ia dapat kenalin satu sudaranya perempuan berdiri dengan bengong di pinggir pintu kamar.

Dengan paksa mesem ia kata: — Taci, jangan berdiri, nanti cape, baik duduk di kamar sebelah.

Tuan L. telah bunuh diri dengan lantaran seperti Wu Koo Tu dan General Nogi, satu cara yang disatujuhin oleh Khong Tju, yaitu sebagai protes buat belaken kabeneran.

Baron Suyematsu pernah tulis, samurai atau orang bangsawan Jepang dari kecil diajar bagaimana musti berlaku kalau dateng „le moment suprême“ atau saat yang suci, il faut savoir mourir. Kalau manusia tahu bagaimana ia harus tutup-matanya, ia nanti akan tahu juga bagaimana wajib hidup.

General Nogi sudah bunuh diri bersama istrinya dengan hara-kiri (potong tenggorokan, bukan perut) sebagai protes pada beberapa koleganya yang mengiri.

Wu Koo Tu sudah bunuh diri sebagai protes pada Kasim Tsu Hsi, yang sawafatnya Kaisar Tung Chi sudah serong angkat Kuang Hsu jadi gantinya.

Empat tahun Wu Koo Tu sudah menunggu dan setiap tahun bikin tegoran sebagai Censor. Akhirnya ia putus harapan dan dalam umur hampir tujuh-puluh tahun, ia gantung diri di satu klenteng kecil, juga supaya rakyat bergerak melawan Tsu Hsi punya perbuatan, yang blakangan bisa terbitken rusuh dalam istana dan merusak keamanan negeri.

Ia punya surat-surat protes pada pemerintah di Peking akan tersimpen dalam hikayat Tiongkok, sementara ia punya surat pada putranya dan pada hwee-sio yang jaga klenteng serta caranya ia bunuh diri telah bikin satu pengarang Inggris kata: — Wu Koo Tu ada satu Kun-cu, satu Gentleman, satu murid Khong Tju yang sejati, yang bisa trima nasib seperti orang bangsawan Romein di zaman purbakala.

Sampe pada saat yang pengabisan ia punya pikiran tinggal terang dan hatinya tinggal sabar, ia pesen dalam surat pada putranya segala urusan dengan lengkap satu-persatu, bagaimana musti jaga ibunya, berlaku pada istrinya, didik anaknya dan kubur layonnya; pada hwee-sio ia pesan bagaimana musti taro mayatnya dalam peti, bagaimana musti beset kulit dari sepatunya dan lain lain pula. Sekalian ia tinggalken satu surat pada magistraat supaya si hwee-sio tidak dapat susah.

Itu semua tanda kecil menyataken ini orang ada berhati besar, rapi dan „tahu-adat“.

Satu pengarang Frans yang terkenal baru ini selagi bacaken rencananya di hadepan satu Nyonya mendadak putus jantungnya dan rubuh, masih paksa kata:— „Pardon Madame“; demikianlah juga Tuan L. pada waktu hampir lepasken napas yang pengabisan masih ingat dan kuatir Tacinya nanti cape berdiri di pinggir pintu.

Dua puluh tahun dulu kaumnya Kang Yu Wei dan Liang Chi Chao punya gerakan perubahan di Peking telah gagal, hingga itu dua pemimpin sudah musti menyingkir dengan lekas.

Satu sudaranya Kang Yu Wei dan beberapa orang pula telah dipotong kapalanya. Satu antaranya nama Tan Tse Tong, pada dua hari sebelum ditangkep, telah disamperin oleh Captain Saito dari Legatie Jepang yang mau tulung padanya sembunyi di satu kapal perang Jepang di Tientsin.

Tan Tse Tong jawab, pertama ia tidak suka trima tulungan dari lain bangsa di negeri sendiri dan kedua ia rasa perlu tumpaken daranya supaya rakyat jadi bergerak.

Dua hari kemudian ini Tan Tse Tong, yang ayahnya jadi gubernur dari satu provincie, telah ditebas batang lehernya, sementara tunangannya, satu nona dari famili Lim, besoknya bunuh diri, ikut bakal suaminya ke negeri baka.

Tan Tse Tong ada murid dari Wang Yang Ming punya filosofi yang kandung ilmu: „Pikiran-merdeka, tutup-mulut, berbuat.“

Admiral Togo pernah mengaku, ia sendiri dan banyak pemimpin Jepang lagi yang tersohor ada hidup menurut pelajarannya Wang Yang Ming, satu filsuf dan gubernur Tionghoa dari beberapa ratus tahun dulu.

Lebih jauh adalah Yuan Chang, satu orang tua yang terpelajar tinggi dalam ilmu surat, yang sudah suruh atur mayatnya Baron von Ketteler dalam peti. Ketika atas asutannya beberapa prins Boan ditegor oleh Kasim Tsu Hsi tentang hal itu, ia jawab, bahwa ia tidak bisa lihat mayatnya Baron von Ketteler yang ia kenal tinggal terletak di jalan besar dan menurut pelajaran Bing Tju, ia wajib urusin itu mayat sapantesnya.

Lantaran Yuan Chang ada saorang yang berpahala besar pada pemerintah, maka orang tidak brani dakwa padanya lebih jauh. Blakangan Kasim Tsu Hsi atas bujukan telah kluarken firman prenta rakyat binasaken semua orang Eropa.

Yuan Chang yang tahu brapa besar adanya bahaya yang bakal menimpa pada Tiongkok dan rakyatnya, dengan diam-diam sudah mengubah bunyinya itu firman jadi sabaliknya, yaitu suruh lindungin semua orang Eropa sabisanya, kendati ia tahu dengan berbuat begitu ia terancem hukuman potong kepala.

Itu perubahan telah ketauan dan Yuan Chang dihukum mati, hukuman mana ia jalanken dengan sabar sembari kata: — Hikayat nanti akan benerken pada saya.

Orang zaman sekarang bunuh diri dengan minum satu sendok thee oplossing sublimaat di pinggir telefoon buat lekas panggil dokter.

Lima belas tahun dulu di Surabaya tidak ada nona Tionghoa yang nakal jual diri di rumah atau di hotel; tapi sekarang hotel-hotel Betawi penuh nona Tionghoa dari Surabaya dan Djawa Wetan serta begitu juga sabaliknya.

Satu nona Tionghoa di Surabaya yang dapat pelajaran Belanda suatu hari dengan gandeng satu anak kecil telah ketemu di straat pada satu siansing, yang ia kenal dari waktu masih sekolah.

Itu siansing tanya: — Z., ini lu punya anak? Nona Z. dengan ketawa jawab: — Ya, guyon-guyon jadi sungguan.

Jawaban demikian cuma bisa diucapken oleh satu nona yang kalut batinnya, tapi ia sendiri tidak merasa itu kakalutan, malahan ia merasa maju.

Nona Z. tidak sendirian. Itu macem kakalutan juga yang membikin hingga sekarang orang suka mandi berbareng bersama istrinya dalam kamar-mandi sembari bercanda, hingga aturan rumah tangga jadi kusut.

Saya sudah melancong dan melesep di banyak negeri, belum pernah saya nampak perkara demikian, kecuali di Yoshiwara dekat Tokyo, di mana ada mendekem 10 000 geisha dan mousmé. Orang tidak usah setuju pada Bing Tju punya cara pada istrinya, tapi orang tidak bisa sangkal kabeneran Bing Tju punya prinsip dalam urusan begini.

Ini rupa verwildering pun bisa ternyata dalam caranya orang sekarang bila kematian, undang kaum judi yang bikin ribut di sebelah peti-mati. Orang tidak merasa sungkan lagi pada itu mayat yang suci dan kata, yang mati toh tidak bisa dengar lagi itu kaributan dan waktu sekarang bukan zaman takhayul! Sansculottisme lahir dan batin.

Dua ribu tahun dulu pengarang Suma Tan lantaran tidak mau mengubah kritiknya telah dikebiri oleh salah-satu Kaisar dari Han Tiauw, tapi ia lanjutken terus haluannya.

Sepulu tahun dulu satu jurnalis Tionghoa di Hindia telah tulis satu karangan benar, jitu dan rapi buat belaken T.H.H.K. melawan H.C.S.

Ketika dihadepken pada pengadilan, ia datengken segala jongos, babu dan koki buat menyaksiken bahwa ia punya otak miring.

Akhirnya ia masukin rekest minta ampun, ia punya nyali sudah pecah, tidak seperti Danton di hadepan tribunal. Satu konconya Robespierre menanya: — Kan punya nama? Danton jawab: — Aken tercatet dalam hikayat dunia! Carlyle kata, Danton punya banyak cacat, tapi Danton ada satu janten. Di atas guillotine Danton pesen pada algojo akan unjukin kapalanya pada publik sasudanya ditebas, sebab „it is worth showing“.

Itu kemajuan cap „X“ bisa ternampak di mana saja.

Upama satu orang Betawi dan satu orang Surabaya ketemu, mereka saling tanya tentang kotanya, masing masing jawab: — Wah, maju, sekarang sudah ada berdiri Tju Tee Hie.

Satu tooneelvereeniging dari „kaum mudah“ di Surabaya dulu sudah pertunjuken lakon Mikhael Strogof yang tidak satu penonton mengerti.

Saya pernah ditanya, mau pilih lakon apa, saya menyaut Oh Kee Bee Lang Thauw. Orang ketawa seperti embek dan menduga sedikitnya saya memaen. Itu kaum Tju Tee Hie pandeng rendah pada wayang Tionghoa yang dicela tidak abisnya sebab pakai gembrengan, sementara ia orang puja dan tiru komedi Eropa, yang mereka tidak mengerti. Ia orang tidak tahu bahwa Oh Kee Bee Lang Thauw ada bersifat seperti Shakespeare punya Hamlet, mereka hanya tahu „actie“.

Padulah itu semua „kamajuan“ dengan almarhum Ling Tjay punya nyanyi dan jihian yang berbau klelet. Jangan mesem.

Ling Tjay ada satu pemadatan besar, matanya sudah hampir picek, kakinya pincang, rupanya seperti memedi, asal dari Tuban, tapi lebih tiga puluh tahun punya lama setiap malam ia ada bawa kunst dan kasopanan Tionghoa di Surabaya.

Dengan bayaran beberapa perak satu malam, yang ia gunaken pranti beli madat dan piara tujuh anaknya, Ling Tjay gosok jihiannya sembari menyanyi dan mendongeng, tentang kacintaan dan kadukaan yang dalemnya seperti Tjhit Tjio Yoo, tentang Hauw, tentang See Yu dan Liauw Tjay, tentang Hang Tjiu dan So Tjiu, tentang Gak Huy dan Khong Bing, tentang Khian Liong di See-Oh, pendeknya tentang hikayat dan kasopanan Tionghoa, dari Sam Kok dan Liat Kok punya paperangan-paperangan yang hebat hingga pada romantiek yang alus dari Sam Pik Ing Tjay.

Orang Tionghoa yang dengerken Ling Tjay dengan tidak merasa akan dibawa terbang ke Tiongkok, dikasi endus itu udara dalam mana Li Po sudah tiup sulingnya, ia punya darah dan asebat Tionghoa akan kenalin pula itu lagu dan lukisan yang membawa peringetan dari leluhur di tepi Hoang Ho.

Tapi banyak orang sekarang sudah tidak bisa hargaken lagi itu macem lagu, yang sudah bikin Khong Tju tidak bisa dahar empat hari dan sudah bisa bantu pimpin bangsa Tionghoa masuk ke dalam pintu kasopanan, mereka lebih setuju pada musik Kemayoran punya lagu cacing cebok atau „bajing lompat“ di Tegalega. Ia orang tiru saja segala caranya orang Eropa tanpa tahu pokonya, tidak perduli betul atau salah, perlu atau tidak.

Demikian nona T. suruh orang kawin pilih sendiri, akhirnya yang lelaki pilih babu dan yang perempuan pilih soldadu.

Nona T. tidak tahu praktiknya pengidupan di Eropa, tidak ingat bahwa Tiongkok ada satu negeri tua dan bangsa Tionghoa barangkali sudah mengalami pada dua-ribu tahun dulu apa yang Eropa lagi meliwatin sekarang.

Upama musik Eropa dan musik Tionghoa tidak bisa dibandingken, sebab barangkali agama Khong Tju ada kasih kapuasan lebih pada orang Tionghoa dari pada agama Kristen pada orang Eropa, maka orang Eropa masih perlu dapat agama dalam musik.

Ia kira orang perempuan di Eropa umumnya ada beruntung dan pikir, kalau boleh pilih sendiri, tentu pilih betul, seperti ia sudah belajar dalam sekolah Belanda, 2×2=4, di atas kertas. Tjong Tju atau Einstein akan goleng kepala. Ia tidak tahu dalam pengidupan seringkali 2×2 = bongkeng. Ini urusan tidak begitu sederhana.

Ia anut dalam satu gerakan dari satu golongan di Eropa, tapi ia tidak tahu hubungannya itu golongan dalam pengidupan Eropa.

Zaman baru sudah bikin butek batin dari banyak orang sekarang.

Kasopanan lama dibikin rusak dan dilempar, sementara kasopanan baru belum tentu bisa jadi mateng, batin jadi kosong dan kalut, maka Ku Hung Ming kata, orang demikian bukan ada orang Tionghoa yang benar, ia pun bukan ada orang Eropa yang sejati, ia hanya ada 100 kati daging manusia.

Itu kakosongan batin ia sering coba palsuin dengan kakasaran atau mulut besar dan kira itulah ada karakter.

Satu orang Tionghoa mudah sapulangnya dari Eropa, di mana ia sudah tamat belajar, lalu tulis pada ayahnya, ia akan kapaksa putusken perhubungan bila si ayah tidak brenti jadi kulie-ronselaar.

Kenapa ia tidak mau putusken itu perhubungan waktu ia masih belajar di Eropa dan perlu dapat blanja dari orang tuanya?

Orang begini ada lebih kalut dari pada jahat, lebih harus dikasianin dari pada musti dicela, seperti satu orang Tionghoa modern lain yang anggap dirinya sudah tidak cocok lagi buat kawin dengan nona Tionghoa, tapi ia juga tidak bisa dapetken nona Eropa buat bini sebab rupanya seperti kusir tambi.

Tidak heran karena ini segala kemajuan yang mengkilap di luar tapi buruk di dalam, Ku Hung Ming sudah bikin lebih panjang thauw-cangnya, tuan Li Biauw Kie sudah tidak setuju pada „Lid Item“ yang sapulangnya dari sang-seng linea recta pergi pada tukang portret dan tuan The Hok Tjiang sengaja pakai terus gwa-sha serta teng-sha, hingga dinamaken „Kapala Pesagi“, tapi yang harus diartiken seperti satu gelaran.

Satu Presiden T.H.H.K. yang sudah dua-puluh tahun pegang itu jabatan pernah bilang pada saya, gerakan Tionghoa tidak akan bisa beres sebelum orang Tionghoa sanggup lolosken diri dari itu segala kakalutan dan hidup menurut suatu agama yang tetap serta jadi serius.

Chang Ping Lin, yang saya sudah ketemu di Betawi pada enam tahun dulu, mau orang Tionghoa puja Budha, sementara general Yin Chang mau orang Tionghoa peluk agama Islam, kaduanya dengan harapan, supaya orang Tionghoa punya hati jadi tetap. Ketika Khian Liong habis baca Coran, ia kata: — Mohamed mengerti Too. Dan Guthe kata sesudah preksa isihnya kitab tersebut: — Saya orang Islam. Ku Hung Ming jawab pada perdana menteri Jepang Hara, di dunia tidak ada dua kasopanan sejati atau agama, cuma beda caranya. Kasopanan bukan saja ada satu perkataan besar, tapi juga satu perkara besar. Cara atau pakean bisa diubah, kasopanan tidak.


Tiga Conferentie sunting

Di pertengahan tahun 1917 tuan The Kian Sing sudah dikaniaya oleh politie-opziener Beyerinck.

Di rumah saorang Tionghoa totok di Kratmat-Gantung, Surabaya, telah dibikin satu pesta kecil.

Di hadepan pengadilan Beyerinck mengaku, ia sudah tidak dapat penyambutan sabagimana ia biasa dapat bila jaga straat di mana ada dibikin pesta oleh orang Tionghoa, maka ia cari perkara.

Pertama ia minta diseraken surat permisi dan kemudian ia paksa mau kubraken itu pesta.

Tuan The Kian Sing yang jadi tetamu di situ lalu coba urusin itu rewel; karena Beyerinck tidak mau mengerti, maka tuan The Kian Sing mau telefoon pada hoofd-komisaris von Hombracht. Di situlah Beyerinck jadi murka, lalu betot, pukul dan borgol tuan The Kian Sing, yang terus diseret ke kantoor politie.

Ini semua sudah ternyata di hadepan Raad van Justitie di Surabaya yang jatoken hukuman satu bulan penjara pada Beyerinck, sedang tuan von Hombracht lepas padanya dari pakerjaan politie.

Sementara itu orang Tionghoa di Java, terutama di Jawa Wetan, sudah tergoncang, pertama lantaran keadaan umum memang ada kusut sedari lama dan kedua karena tuan The Kian Sing ada satu orang yang berpahala pada publik Tionghoa.

Maka terbit satu gerakan asal dari Surabaya buat buka satu conferentie, di mana akan dibicaraken ini urusan dan diatur supaya pemerintah Hindia jadi ambil tahu serta suka bikin perubahan.

Kira-kira bulan September 1917 telah dibikin itu conferentie di Bandung, di mana ada ambil bagian lebih enam-puluh utusan dari perkumpulan-perkumpulan Tionghoa di antero Java, terutama dari Jawa Wetan.

Tidak ada satu officier Tionghoa ternampak dalam ini conferentie.

Bestuur T.H.H.K. dan Siang Hwee di Bandung sudah trima itu sekalian tetamu dan sediaken segala apa yang perlu buat bersidang.

Anem jam sebelum dibuka itu persidangan assistent resident Bandung telah undang satu anggota bestuur T.H.H.K. Bandung dan satu utusan dari Surabaya buat dateng di kantoornya. Di situlah tuan Ezerman, Adviseur voor Chineesche Zaken, yang special sudah dateng dari Betawi buat ini urusan, kasih tahu bahwa Gouverneur-Generaal van Limburg Stirum barusan kluarken satu circulaire pada politie buat berlaku pantas pada orang Tionghoa.

Ini tindakan dari pemerintah Hindia ada adil dan cerdik, tapi belum tahu apa akan berhasil.

Pendeknya tuan van Limburg Stirum sudah kasih unjuk jujurnya dan orang Tionghoa jadi merasa bersukur, hal mana kemudian dinyataken oleh tuan Lim Tjhiu Kui di medan persidangan.

Lantaran ini tindakan dari tuan Ezerman, maka jurusannya itu conferentie jadi megos, apa lagi dasar dari bermula orang sudah tidak punya programma yang terang, hal mana ada ternyata dari percakepan-percakepan yang saya dapat tangkep di Hotel Expresse antara wakil-wakil pada malam sebelum dibikin itu conferentie.

Orang menyataken pikiran tentang segala perkara dengan suara keras, hingga satu kawan dari Betawi kata pada saya: — Orang Jawa Wetan brani bicara, kalau kliru bagaimana mereka simpen diri?

Antara yang hadlir adalah kelihatan tuan-tuan Ang Siu Tjiang, Li Djing Kim, Lim Suy Tien, Kwee Khay Khee, The Kian Sing, Lim Tjhiu Kui, Tjoa King Hien, Kwee Tek Hoay, Kho Siong Kwa dan beberapa banyak lagi „Twa-Koo“ dari Jawa Wetan.

Sementara di portret yang telah dibikin ada ternampak juga tuan Gan See Han duduk di garisan depan sembari pegangin setangan di mulutnya.

Di persidangan tidak dibicaraken lagi hal politie, yang cuma disebut sedikit oleh tuan Lim Tjhiu Kui, sesudah ia diangkat jadi voorzitter oleh desekan keras dari beberapa banyak utusan dari Jawa Wetan yang bersurak riu.

Blakangan surat kabar Belanda ada bilang, orang Tionghoa tidak mengenal „tekhniek“ atau caranya bikin vergadering lantaran kakalutan di situ, tapi saya kira sebagian itulah karena orang Tionghoa gampang penasaran atau gugup seperti orang Frans dan kedua sebab dalam itu conferentie ada satu hal yang tersembuni, yaitu persaingan antara Hoo Hap dan Sing Khi Hwee, hal mana kemudian ternyata dari bicaranya tuan Tjoa King Hien, Presiden Hoo Hap di Surabaya.

Ketika malamnya dibikin perjamuan di gedong T.H.H.K. tuan Tjoa King Hien telah angkat bicara dan antara lain-lain ia bilang, bahwa sabetulnya itu conferentie sudah digerakin oleh Hoo Hap.

Banyak wakil yang hadlir tidak bisa mengerti maksudnya tuan Tjoa King Hien, sebab mereka tidak tahu urusannya ini dua vereeniging.

Tuan Tjoa King Hien merasa Hoo Hap didesek di pojokan dan korsi voorzitter direbut oleh Sing Khi Hwee.

Fihak Hoo Hap rupanya tidak gampang puas, malamnya di satu gubuk di Tjitepus, di mana satu aceuk kasih dengar tembangan Sunda, mereka telah lanjutken celahan atas caranya voorzitter pimpin persidangan.

Barangkali di situ ada melesep satu mata-mata dari Sing Khi Hwee, sebab dua hari kemudian ketika beberapa banyak utusan rame-rame pergi ke Betawi, di satu hotel Belanda di Molenvliet, di mana kita orang tinggal, mendadak di hadepan orang banyak tuan Lim Tjhiu Kui nyataken gusarnya tentang ini perkara pada tuan Kwee Khay Khee (Hoo Hap), yang tidak bersiap, hingga menyangkal saja. Itu semua kasengitan kliaian ada lantaran pertentangan antara Hoo Hap dan Sing Khi, sebab lebih dulu saya sudah menyataken pada tuan Lim Tjhiu Kui dengan terus-terang bahwa saya anggap itu vergadering kurang beres, tapi ia sama-sekali tidak jadi kurang-seneng.

Luitenant Tan Tjin Bok, directeur Perniagaan di Betawi, yang kuatir itu dua pihak nanti saling cakar satu pada lain, lalu ajak semuanya kunjungin Poo Liang Kiok di Gunung Sahari, tempat pendidikan anak perempuan Tionghoa miskin, hingga percekcokan tadi jadi brenti sendiri.

Salaen tuan Lim Tjhiu Kui yang hanya bicara buat kapalaken vergadering dan tuan Tjoa King Hien yang menggerembeng lantaran didorong ke samping, adalah tuan The Kian Sing yang pidato panjang lebar tentang locale raden, barangkali lantaran di Surabaya ia sudah terkena pengarunya gemeente-politik dari partinya Baars dan Sneevliet. Malemnya di Hotel Expresse saya menyataken pada tuan The Kian Sing bahwa saya tidak bisa setuju dengan ia punya haluan buat ambil bagian dalam gemeente-politik sebab itu semua ada hubungannya sama urusan onderdaanschap Belanda yang nanti bisa melibet lebih jauh.

Tuan The Kian Sing sangkal ini alesan dan kita bicaraken sampai lewat jam dua malam.

Akhirnya tuan The Kian Sing kata, ia nanti mau tanya pada advocaatnya. Antara lain lain saya bilang lagi, advocaat Belanda tidak bisa mengerti politik Tionghoa.

Sementara itu tuan Gan See Han turut campur bicara, ia pun mau minta „kiesvereeniging“ pada pemerintah Hindia. Saya terangken bahwa pemerintah tidak bisa kasih „kiesvereeniging“, hanya paling banyak bisa kasih „kiesrecht“. Seperti pauvreté sebabnya armude.

Tuan Gan See Han lalu somprot pada saya dengan bilang, bahwa saya tidak tahu satu nol tentang urusan politik. Lantaran kliwat mengantuk, maka saya lalu masuk tidur.

Pada pertengahan bulan November 1917, Chineesche Officieren Bond telah bikin satu conferentie di Bandung guna majuken candidaat buat lid Volksraad.

Tuan Kan Hok Huy telah dipili sebagai candidaat pertama dengan suara penuh, yaitu oleh beberapa belas officier Tionghoa yang hadlir, antara mana adalah mayoor Khouw Kim An, luitenant Tjoa Liang Djin dan kapitein Thung Tjun Ho.

Di situ sama-sekali tidak ada dibicaraken tentang pokonya Volksraad atau ditanya, apakah rakyat Tionghoa suka ambil bagian di Volksraad.

Chineesche Officieren Bond telah didiriken oleh luitenant Tjoa Liang Djin, sampai sekarang saya belum mengerti betul maksudnya ini vereeniging.

Saya cuma ingat satu kali luitenant Tjoa Liang Djin pernah bicara pada saya tentang rekestnya luitenant Tan Tjien Oen di Surabaya pada majelis Tweede Kamer, di mana ia ini bikin kaberatan hal dirinya diliwatin oleh kapitein The Ing Bie, sekalian ia peringetken bahwa ia sudah bekerja lebih sepuluh tahun sebagai hamba pemerintah (luitenant Tionghoa) tanpa bayaran dengan setia. Pun disebut dalam itu rekest bagaimana ia sudah tulung lepasken hoofdcommissaris politie Boon yang sudah ditahan dalam satu toko Tionghoa di Kembang-Jepun tatkala ada kaributan pada malam tahun baru 1910.

Tuan Tjoa Liang Djin menyataken pikirannya pada saya, bahwa ia anggap luitenant Tan Tjien Oen sudah diperlakuken tidak patut, sembari tambahin, satu Bond dari Chineesche Officieren akan bisa tunjang padanya.

Katerangan atau bukti dari faedanya Chineesche Officieren Bond bagi publik Tionghoa saya belum pernah dengar.

Tegesnya itu Chineesche Officieren Bond ada buat jaga kapentingan kaum officier Tionghoa, sabegitu jauh yang orang bisa lihat. Pada beberapa tahun dulu Ned. Ind. Onderw. Gen. telah tulak guru Bumiputra, hingga membikin tuan Dwijosewoyo dengan mesem tanya di satu vergadering dari itu genootschap, apakah mereka punya maksud yang dikandung, sebab sabegitu jauh ia cuma dapat nampak saja gerakan buat tambah salaris.

Demikian pun Chineesche Officieren Bond cuma ada buat jaga nama dari kaum officier Tionghoa, hingga bisa disebut juga di sini itu ucapan dari luitenant Tjoa Liang Djin di sidang conferentie tersebut buat minta pemerintah adaken hukuman berat bagi jurnalis Tionghoa di Hindia yang brani serang golongan officier Tionghoa.

Dalam satu pidato di hadepan Chung Wha Hui pada dua tahun dulu Mr. Fromberg ada bilang, setau kenapa, tapi belum pernah officier Tionghoa bisa angkat diri lebih dari pada hamba pemerintah, hingga tidak satimpal mereka pikul nama Hoofd der Chineezen. Pada enam tahun dulu saya menyataken pikiran begini juga di Sin Po, oleh tuan Gouw Peng Liang dibanta di Perniagaan dengan alesan bahwa itu nama ada benar sebab tercitak dalam regeeringsalmanak, yang buat ia rupanya ada seperti satu bybel.

Pun Borel sudah menyataken, officier Tionghoa tidak bisa teritung seperti satu anggota dari bangsa Tionghoa.

Hal ini sudah terbukti di Semarang di satu voor-vergadering dari conferentie yang saya akan tuturken di bawa, dimana tuan Tjoa Liang Djin diminta keluar dari persidangan lantaran ia ada satu officier Tionghoa, kendati semua orang yang hadlir ada tahu tuan Tjoa Liang Djin sabetulnya ada satu kecuali, karena sebagai orang particulier ia ada berjasa bukan kecil dalam gerakan Tionghoa umum.

Kaributan di rumah mayoor Han Tjiong Khing di Surabaya pada tahun 1910 kembali ada satu bukti bahwa officier Tionghoa bukan ada Hoofd der Chineezen dalam arti yang benar, kendati ia ada punya banyak barang plastiek dari Tong Tiauw atau porcelein Kang Hi dan Khian Liong, yang ia tidak bisa mengerti batinnya. Itu batin yang sudah bikin bangsa Tionghoa bisa kirim satu tentara besar meliwatin Himalaya (1794), seperti Napoleon bawa pasukannya meliwatin Mont Blanc, itu batin yang membikin orang Tionghoa sampai sekarang sesudah lewat seribu tahun masih kapengen disebut Tong Yin, seperti orang Romein di zaman kabesarannya.

Lebih jauh adalah mayoor Tan Sing Tian di Surabaya yang dulu sudah ditulak masuk dalam satu Thian Tee Hwee, sekalian mayoor The Toan Ing yang berfihak pada H.V.A. dan resident dalam urusan boikot.

Chineesche Officieren Bond sudah angkat tuan Kan Hok Huy jadi candidaatnya, sebab ia punya batin cocok dengan mereka.

Seperti kaum officier Tionghoa, ia pun tidak ada hati dan tidak perhatiken pada gerakan bangsa Tionghoa yang sedang berada dalam kasukeran serta terancem oleh bahaya kakalutan. Dalam urusan Volksraad bangsa Tionghoa sudah menyataken tidak setuju buat ambil bagian, tapi tuan Kan Hok Huy paksa terus jadi lid tanpa kasih katerangan, kendati ia sudah berjanji akan turut putusannya conferentie di Semarang.

Kaum nasionalis Tionghoa itu waktu masih mau hormatken tuan Kan Hok Huy punya haluan, masih mau kasih „fair chance“ padanya, apa pula sebab diingat, barangkali ia punya kacerdikan masih boleh dipake, masih bisa berfaeda pada bangsa Tionghoa.

Sampe sekarang itu semua harapan tidak terkabul.

Justru lantaran tidak diaku oleh bangsa Tionghoa, tuan Kan Hok Huy sabenernya bisa bergerak laluasa di Volksraad tanpa bahaya, sebab ia bisa bicara atas tanggungannya sendiri, tanpa iketan bagi bangsa Tionghoa. Kalau berhasil bangsa Tionghoa yang dapat, sementara bila kliru dan melibet, bangsa Tionghoa bisa lepas tangan. Seperti wakil-wakil Jepang di Supreme Council dan Volkerenbond selalu bicara atas tanggungan sendiri, karena tidak mau seret negrinya.

Rupanya tuan Kan Hok Huy tidak tahu bahwa ada sual geljkstelling bagi bangsa Tionghoa dan sampai sekarang dalam urusan Kudus orang Tionghoa tidak dapat karugian sapeser.

Ini dua pasal yang penting belum pernah ia majuken di Volksraad, kendati ia sudah duduk di situ lebih tiga tahun.

Sekarang mayoor Khouw Kim An jadi lid Volksraad juga dan ia bicara tentang autodienst antara Betawi-Tangerang.

Tuan Kan Hok Huy sudah mau belaken kadudukannya officier Tionghoa dengan gotong 200 telegram, tapi sampai oleh Directeur B.B. dianggep tidak sah.

Dalam officier Tionghoa tidak ada „spirit“ dari bangsa Tionghoa sekarang, ia ada satu buntut yang katinggalan dari Oost Indische Compagnie dan dari despotisme Tionghoa kuno.

Ia ada seperti regent di zaman Multatuli atau opperhoofd-neger di Africa, yang oleh Lord Milner dibuat tameng kalau ada serangan hal kejemnya kolonisatie Inggris.

Sifat despotiek atau coan-ci masih terlengket pada dirinya officier Tionghoa, sabagemana ada ternyata dari caranya kapitein Lim A Pat, mayoor Khouw Kim An, tuan Kan Hok Hui dan Chineesche Officieren Bond paksa ambil bagian dalam Volksraad tanpa mufakatnya publik Tionghoa, dengan melanggar pada principenya Volksraad sendiri, yang sudah diadaken oleh pemerintah Belanda buat kasih suara pada rakyat. Chineesche Officieren Bond rupanya anggap Allah sudah cipta itu 1 milyun orang Tionghoa di Hindia buat „di officierin“, seperti Thackery anggap Allah sudah cipta Queen Anne buat dikarang.

Itu putusan dari conferentie Chineesche Officieren Bond di Bandung ternyata tidak disatujuhin oleh publik Tionghoa. Satu lid bestuur T.H.H.K. Bandung telah bikin satu protes di Sin Po, di mana dibilang, tidak pantas beberapa belas officier Tionghoa, yang umumnya tidak perduliken pada gerakan Tionghoa, mau kirim wakilnya di Volksraad atas nama bangsa Tionghoa.

Itu waktu saya menyataken di Sin Po tidak bisa setuju orang Tionghoa ambil bagian dalam Volksraad, juga sebab tidak ada harapan membawa faedah, malahan ada risiko besar.

Sementara itu protes dari pihak publik Tionghoa jadi makin keras.

Tuan Kan Hok Hui yang rupanya belum kenal hatinya bangsa Tionghoa lalu atur satu conferentie di Semarang buat bicaraken ia punya candidatuur. Ia sudah sengaja undang beberapa pemimpin dari Surabaya, antara mana tuan Lim Tjhiu Kui yang dengan surat menyataken setuju padanya.

Dengan kabetulan saya dapat tahu tentang tuan Lim Tjhiu Kui punya surat ini, maka saya tulis padanya ke Surabaya, buat ia bersama tuan The Kian Sing timbang dulu sampai mateng sebelum ambil putusan dalam perkara Volksraad.

Demikianlah itu conferentie telah dibikin kira-kira pada awal tahun 1918 di Semarang. Bersama tuan Hauw Tek Kong saya brangkat dari Betawi lewat Jocja, dalam itu trein ada menumpang juga di klas satu tuan Kan Hok Hui dengan berkawan tuan-tuan Li Tjian Tjun, Ezerman, Mouw dan Khouw Kim An. Mereka ambil jalan direct ke Semarang, tapi sebelum menyimpang, tuan Kan Hok Hui samperin pada kita di klas dua, menyataken ia punya kuatir barangkali tidak banyak orang akan dateng di conferentie.

Supaia tidak banyak omong perkara politik, maka saya egosin bicara hal adu kuda di Jocja.

Di Bandung kemudian dua utusan Siang Hwee dan T.H.H.K. ikut dengan kita dalam kreta ke Jocja.

Kita sampai di Jocja itu malam dengan paya, tapi paksa juga trima undangan buat dateng hadlir vergadering di gedong Siang Hwee, di mana beberapa vereeniging Tionghoa lagi bersidang buat bicaraken perkara Volksraad dan pengiriman utusan ke Semarang. Diambil putusan buat dengar saja dulu tuan Kan Hok Hui punya alesan-alesan.

Di situ tuan Li Kok Hin telah nyataken satu pikiran yang sangat penting, yaitu hal gerakan buat tambah jumblanya orang Tionghoa di Hindia, supaya tidak begitu gampang bisa didesek di pojokan seperti sekarang.

Besoknya kita terus brangkat ke Semarang, sesampenya di Solo beberapa banyak utusan dari Jawa Wetan pinda-kreta dalam trein di mana kita ada.

Itu waktu saya dapat kanyataan mereka pun belum ambil putusan, hanya mau dengar dulu tuan Kan Hok Hui punya katerangan. Juga kemaren-malamnya di Semarang sudah dibikin satu vergadering buat bicaraken hal Volksraad, di mana tuan Kwee Kee Tie, hoofdredacteur Jawa Tenga, terguling „dipok“ oleh tuan Yap Sui Tjiang, yang pande debat.

Sesampanya di Semarang waktu sore kita ambil tempat di satu hotel Belanda dekat Bojong, di mana kemudian luitenant Tan Tjin Bok pun ada dateng sabentaran.

Tidak lama pula satu utusan dari Tulung-Agung, tuan Tho Ping Lim, dateng pada kita, menyampeken tuan The Kian Sing punya undangan buat hadlir di satu voor-vergadering yang akan dibikin itu malam di satu rumah perkumpulan.

Pada jam yang sudah ditetapken kita dateng di itu tempat, di mana ada berkumpul beberapa puluh utusan.

Dengan ketawa-besar tuan The Kian Sing kasih tabe pada saya: — Tjiat, gua kira lu cerdik, bagaimana lu bisa duga gua setuju pada Volksraad?

Saya kira ia mufakat pada Volksraad, pertama lantaran suratnya tuan Lim Tjhiu Kui pada tuan Kan Hok Hui dan kedua karena di conferentie di Bandung ia berpidato panjang tentang ambil bagian dalam locale raden. Kalau orang setuju pada locale raden, ia pun kudu mufakat pada Volksraad, sebab pokonya sarupa. Rupanya tuan The Kian Sing mau mengubah haluan, tapi ia mau buka pintu sendiri.

Sementara itu saya samperin tuan Lim Tjhiu Kui, yang berada juga di situ, saya tanya: — Kui, bagaimana lu punya putusan? Ia jawab, belum bersedia. Saya tanya lebih jauh, apa ia sudah preksa saya punya alesan-alesan yang saya telah terangken di Sin Po, ia menyaut belum baca.

Pada kira-kira jam 8 sekalian yang ada di situ lalu naik ke loteng buat mulai vergadering, yaitu hampir semua utusan yang dateng buat conferentie, tanpa satu officier Tionghoa.

Pada saat persidangan dibuka datenglah luitenant Tjoa Liang Djin.

Bermula sekalian yang hadlir kamekmek, tidak tahu musti bikin apa, sampai pada salah satu antaranya kata, officier Tionghoa tidak diperkenanken ambil bagian dalam itu vergadering.

Tuan Tjoa Liang Djin tidak mengerti atau tidak mau mengerti, hingga akhirnya antero vergadering kasih nyata tidak-setuju dengan adanya tuan Tjoa Liang Djin di situ, maka ia ini pengabisan kapaksa berlalu juga.

Orang heran bagaimana besoknya Locomotief bisa muat kabaran tentang ini vergadering yang tertutup, di mana ada tersebut saya ada jadi tukang-ogok.

Blakangan tuan Ezerman pernah kata, Sneevliet dan Baars ada pergaruin itu vergadering.

Persidangan ada dikapalaken oleh tuan The Kian Sing, tapi orang rupanya belum ambil jurusan yang tetap, maka perundingan atau pembicaraan tidak bisa lancar, hanya jadi percekcokan.

Sampe di situ saya rasa baik juga pulang ke hotel sabentaran buat ambil beberapa banyak lembaran Sin Po, di mana ada diterangken duduknya perkara sekalian alesan-alesan kenapa dianggep orang Tionghoa harus tulak pada Volksraad, guna dibacaken di hadepan vergadering.

Sakombalinya dari hotel saya dapetken dua orang Belanda berada dalam itu persidangan, antara mana yang satu lagi berpidato.

Saya dikasi tahu, mereka adalah Baars dan Sneevliet. Saya jadi kaget sebab urusan nanti jadi kalut sama-sekali, karena ia orang punya politik akan bisa aduk dan bikin lebih kusut gerakan kabangsaan Tionghoa.

Di sini bukan disangkal kapentingan sociale politik bagi bangsa Tionghoa, tapi masing-masing ada tempat dan gilirannya sendiri, lagi Baars dan Sneevliet punya cara tidak bisa cocok dengan bangsa Tionghoa punya kaperluan.

Sementara itu saya diminta bacaken lembaran-lembaran Sin Po tersebut serta briken segala katerangan yang perlu, terutama tentang hubungannya Volksraad sama onderdaanschap Belanda.

Itu tatkala saya berada dalam keadaan suker, tapi akhirnya saya bertauken terus-terang, bahwa saya tidak bisa mufakat dengan adanya itu, dua orang Belanda di situ.

Sasuda cekcok sekean lama baru Baars dan Sneevliet brangkat-pergi dan di situlah saya tuturken duduknya urusan Volksraad, dalam mana orang cuma boleh ambil bagian kalau mau trima onderdaanschap Belanda.

Kombali terbit percekcokan terus-menerus, terutama lantaran adukannya Sneevliet dan Baars tadi, Yang mau selomotin sociale politiek dalam gerakan kabangsaan Tionghoa.

Duitschland kala perang dan sekarang jatuh serta terhina sebagian besar ada lantaran digrecokin dan diaduk oleh kaum socialist.

Akhirnya tidak bisa diambil putusan suatu apa, hanya mau didenger dulu bicaranya tuan Kan Hok Hui.

Dalam perlawanan pada Volksraad, Sin Po sudah bedol akarnya urusan dengan tulak sama sekali segala percampuran politik bagi orang Tionghoa di Hindia, juga supaya kaum officier Tionghoa tidak bisa dapat lobang buat lolos, karena kalau tidak diatur begini nanti bicara jadi melibet-libet dan perkara jadi kusut. Sementara Sneevliet dan Baars, yang tidak perduli sapeser pada peri kabangsaan Tionghoa, mau kasih tinggal itu akar, hingga perbantahan nanti jadi ruwet, orang Tionghoa akan tidak tahu musti bikin apa.

Dalam praktik politik terkadang kapaksa dibikin compromis, tapi lebih dulu masing-masing pihak harus tahu terang poko dan kadudukan diri-sendiri.

Officier Tionghoa mau urusin politik tanpa poko, hanya turut saja „prentaalus“.

Di itu malam tidak ada dibikin sekongkolan suara suatu apa, sebagimana ada disangka oleh kaum officier Tionghoa dan pers Belanda, yang selalu cocok pikiran satu sama lain.

Faedanya itu voorvergadering ialah sekarang itu wakil wakil jadi paham pokonya perkara, maka malamnya mereka bisa timbang dan besok di conferentie bisa bikin putusan.

Besok paginya di gedong Siang Hwee telah dibuka itu conferentie kira-kira pada jam sepuluh lewat. Tempatnya itu persidangan (di loteng Siang Hwee) ada teratur begini sabegitu jauh yang saya masih ingat:

Tanda [?] ada publik yang jumblanya lebih 200 orang, antara mana saya ingat ada nampak tuan Yap Sui Tjiong (17), tuan Gui Kee Ho (14), tuan van de Kamer, redacteur Locomotief (13) dan tuan Gui Ing Hong (15).

Di meja A ada duduk kaum officier Tionghoa, antaranya tuan Kan Hok Hui (1), mayoor Kwee An Kie (2), luitenant Tjoa Liang Djin (3) dan mayoor Khouw Kim An (4).

Tanda X ialah sekalian tay-piaw, tuan Lim Tjhiu Kui (10), luitenant Tan Tjin Bok (11), tuan The Kian Sing (12) dan saya (9).

Di meja C ada duduk tuan The Tjun Hoay, Presiden Siang Hwee (7), ass. res. van Leeuwen (8), tuan Ezerman (5) dan tuan Mouw (6).

Meja B. adalah buat pers.

Antara yang hadlir pun saya ada lihat tuan Ang Siu Tjiang yang kemudian kasih masuk stem blanco bersama utusan dari Cheribon.

Tempat buat masing-masing lebih dulu telah diatur oleh tuan Kan Hok Hui, bermula saya ditempatken di sebelah luitenant Tan Tjin Bok. Saya bikin kaberatan, tapi tuan Kan Hok Hui rupanya jadi kurang seneng, sebab barangkali ia sengaja, maka saya tidak bicara lagi, hanya terus pinda sendiri di derekan tuan Lim Tjhiu Kui.

Sasuda sekalian ambil tempatnya sigra tuan The Tjun Hoay ucapken ia punya „welcome“ dan seraken pimpinan vergadering pada „Mr. Kan“ dengan mufakatnya orang banyak. Sahabisnya bicara sedikit tentang dibukanya itu conferentie, tuan Kan Hok Hui lalu minta beberapa utusan yang ia sebut namanya menyataken alesan dan perlawanannya pada Volksraad dengan urutan seperti berikut:

  • Hauw Tek Kong
  • The Kian Sing
  • Kwee Hing Tjiat
  • Lim Tjhiu Kui

Ini system bersidang ada enak buat tuan Kan Hok Hui, ia minta orang lebih dulu lepas anak-pana, akan ia kemudian ketok satu-persatu, hingga akhirnya utusan dijadiken persakitan, seperti redacteur pasang commentaar, gampangnya sebagai sekelapin anak kecil.

Tuan Hauw Tek Kong sebagai orang Betawi ada kenal ini taktiek, maka ia egosin dan mau lihat glagat dulu, barangkali juga ada jebakan yang tersembuni.

Sebaliknya tuan The Kian Sing dan beberapa banyak utusan dari Jawa Wetan berame bikin kaberatan hal mereka dikasi giliran kedua, rupanya dengan kira yang tuan Kan Hok Hui mau kasih kahormatan giliran kasatu pada sesama orang Betawi, tuan Hauw Tek Kong; orang barangkali mau tangkep „lauweren“!

Percekcokan jadi makin keras, orang tidak mengerti satu sama lain, tuan Kan Hok Hui mau maen anggar menurut ilmu, kena serodok oleh orang Jawa Wetan, hingga ia punya systeem jadi kalang-dikabut.

Udara dalam itu conferentie yang tadinya ada menguatirken, sekarang jadi sengit dan kalut.

Demikianlah orang bergutet sekean lama, sampai pada suatu saat tuan The Kian Sing majuken satu perkara yang penting sekali, yang tidak satu orang lain telah dapat ingat, dari mana bisa diliat ia punya kacerdikan.

Tadinya orang sudah kesel meliat ia punya cara ribut, mendadak orang jadi kaget, saya jadi bernapas lega pula, kaum officier Tionghoa dan tuan Kan Hok Hui jadi bingung: tuan The Kian Sing sudah terkam mereka punya tenggorokan.

Dengan pendek ia bikin pertanyaan: — Perlu diterangken lebih dulu apa Chineesche Officieren Bond dan tuan Kan Hok Hui mau pegang tetap putusan conferentie di Bandung bila nanti dibatalken oleh ini persidangan?

Tuan Kan Hok Hui mau coba lolos, tapi ia seperti satu ikan yang sudah diangkat di darat, ia cuma bisa bergobek saja.

Begitu juga ia tidak gampang menyera, ia masih mau coba melejid terus, vergadering dan publik jadi sengit, tuan The Kian Sing lalu gunaken itu saat dengan bilang: — Kalau Chineesche Officieren Bond dan tuan Kan Hok Hui tidak mau turut putusannya ini conferentie, buat apa kita-orang diminta dateng bersidang, maka lebih baik pulang saja.

Pada itu tatkala kasabarannya vergadering dan publik sudah sampai di watesnya, satu orang dari publik (16) sudah mulai bertreak: — Hok Hui, lu jangan maen komedi. Di situ tuan Kan Hok Hui lalu menyera.

Atas saya punya pernyataan bahwa officier Tionghoa tidak bisa dianggep sebagai pemimpin dari bangsa Tionghoa, dengan cepet ia timpalin, itulah sebabnya juga maka dibikin lagi ini conferentie di Semarang.

Demikianlah jadi tuan Kan Hok Hui menyataken hendak taluk pada putusannya ini conferentie.

Kamudian Volksraad dibicaraken lebih jauh, tapi kembali persidangan jadi kusut lantaran orang mau berebut bicara, tidak nyana antara Hoa Kiauw ada begitu banyak Cicero kecil, sementara tuan Kan Hok Hui terus tinggal sabar dan kasih somprotan kanan-kiri dengan jitu.

Kaributan makin lama tidak jadi padem, malahan perbantahan jadi lebih kusut, orang bicara pula tentang „kiesvereeniging“, sampai pada suatu saat utusan dari Bandung, tuan Tan Tek Ho, dengan suaranya yang terang bacaken satu artikel dari ordonnantie yang mengadaken Volksraad, dalam mana ada ditetapken, cuma onderdaan Belanda yang boleh pilih dan jadi lid Volksraad.

Tuan Lim Tjhiu Kui yang rupanya malamnya sudah pikirin duduknya perkara lalu tangkep itu saat dengan bikin pertanyaan direct pada vergadering, apa mereka suka jadi onderdaan Belanda, sebab di situlah akarnya urusan Volksraad.

Bole dianggep semua utusan lalu berdiri menyataken penulakan, dengan apa sekalian diputusken vergadering tampik sama-sekali pada Volksraad.

Tuan Kan Hok Hui punya sedikit katerangan blakangan pun tidak mengubah sikepnya vergadering.

Pada tatkala itu matanya tuan Kan Hok Hui berkilat saklebatan, seperti satu kucing yang dapat lihat tikus, dengan pelahan ia kasih keluar satu lembar kertas dari kantongnya, yang ia lalu bacaken: suratnya tuan Lim Tjhiu Kui padanya, di mana ada dinyataken si penulis punya setuju hal tuan Kan Hok Hui jadi lid Volksraad.

Sementara itu vergadering jadi diam, tuan Lim Tjhiu Kui sendiri kelihatan kesima, sampai pada satu orang kisikin padanya, tidak pantas tuan Kan Hok Hui berbuat demikian, sebab itu surat particulier.

Tuan Lim Tjhiu Kui lalu berdiri dan kata dengan bernafsu: — Nanti dulu, ini jam saya baru tahu tuan Kan Hok Hui ada manusia macem apa, itu surat privé tidak harus dibacaken di sini.

Tapi tuan Kan Hok Hui melaga bodo dan pasang muka mesem.

Orang kisikin pula pada tuan Lim Tjhiu Kui buat terus desek pada tuan Kan Hok Hui sampai ia ini minta maaf, tapi tuan Lim Tjhiu Kui sudah salah dengar, ia sendiri lalu minta maaf pada tuan Kan Hok Hui.

Ini karewelan kecil tidak bikin perubahan suatu apa dalam haluannya vergadering.

Lalu tuan Kan Hok Hui mau bacaken ia punya pidato, yang ia sudah tahan sekean lama.

Sementara itu tuan Gan See Han menyataken ia tidak kapengen dengar itu semua lagi, sebab ia musti pulang ikut kreta api dan harep vergadering lekas ditutup. Ia anggap urusin politik ada seperti giling cigaret.

Tuan Kan Hok Hui tidak ladenin ini protes, ia terus bacaken pidatonya, dalam mana antara lain-lain ia ada bilang, bahwa Volksraad tidak ada menyangkut pada peri kabangsaan Tionghoa dan katain Sin Po sudah kiberken bendera palsu, sedang Sumatra Post dan Indier blakangan mengaku benar Volksraad bisa bikin lemah nasionalisme Tionghoa.

Tuan Kwee Tek Hoay dari Bogor, salah satu vice-president Jawa Hak Bu Tjong Hwee, pernah majuken alesan dalam satu permufakatan antara redactie Sin Po, bahwa Tiongkok dulu sudah bikin kaberatan pada Rusland lantaran rakyat Mongol mau dikasi turut campur dalam urusan poli­tiek Rus.

Akhirnya conferentie ditutup sesudah tuan Kan Hok Hui ucapken „slamet jalan“ pada sekalian yang hadlir.

Sahabisnya bersidang tuan Gui Kee Ho lalu samperin pada saya dan kasih tangan sembari kata: — Splendid, batinnya ini conferentie ada satu tanda bahwa bangsa Tionghoa belum mau musnah.

Di beberapa surat-kabar kemudian saya dapat baca verslag dari upacara yang sudah dibikin buat trima pulangnya tuan The Kian Sing di Surabaya, yang ada bawa juga satu setangan dari tuan Lim Tjhiu Kui yang mandek di Solo, sebagai tanda „kamenangan“!

Gerakan di Tiongkok.

Karena gerakan Tionghoa di Hindia hanya satu bayangan dari gerakan di Tiongkok, maka berikut saya ada kutib dengan ringkes sebagian penuturan dari Ku Hung Ming dalam buku „The Story of a Chinese Oxford Movement“ yang terkenal di seluruh dunia, buat terangken akarnya urusan.

Mathew Arnold kata, Oxford tinggal suci maski kala. Dr. Newman punya gerakan Oxford ada buat melawan kamajuan yang dianggep tidak benar (Liberalisme). Gerakan Oxford Tionghoa pun ada melawan pada Liberalisme. Ku Hung Ming ada ambil bagian dalam itu gerakan, yang beradu keras lebih tiga puluh tahun. Antara kawannya ada yang berkhianat atau menyera dan mereka sekalian sekarang sudah terpecah. Ku Hung Ming sudah berlawan di bawa pimpinan Tio Tji Tong. Paling blakang pun Tio Tji Tong sudah putus harapan. Juga Liang Tun Yen, bekas president Gwa Bu Po, sudah menyera dan kasih nasehat pada Ku Hung Ming akan lempar senjatanya. Tapi ia ini sampai sekarang masih belum mau taluk.

Han Lim Academie ada Tiongkok punya Oxford, pokonya kasopanan Tionghoa, dari mana sudah terbit itu gerakan Oxford Tionghoa atau Tjhing Liu Tong. Maksudnya ini gerakan ialah buat melawan pada kemajuan yang dianggep tidak benar dan buat bikin rakyat jadi lebih perhatiken pada pelajaran Khong Tju.

Bangsa Tionghoa itu waktu ada terdiri dari tiga bagian, kaum Boan, kaum literati (kaum bat-ji) dan kaum bekerja (orang dagang, enz). Kaum dagang ada rajin, kaum literati ada cerdik dan kaum Boan asalnya mulia. Orang Boan ada turunan militair, maka punya poko sifat mulia dan gaga, sebab orang militair biasa membela. Kaum rajin ada tulangnya negeri, kaum cerdik yang pimpin dan kaum militair yang jaga kamuliaan.

Perdamian sudah bikin rusak kamuliaan kaum Boan. Kaum bat-ji masih cerdik, tapi tidak mulia lagi, hal mana ternyata dari bedanya literatur zaman Kang Hi dan dari zaman blakangan. Kaum kerja masih rajin, tapi tidak sanggup lagi kerjaken barang bagus. Negri kusut, revolusi Taiping terbit dan kaum Boan tidak bisa berdaya. Mereka ini masih gaga, sebagimana ada ternyata dalam pertempuran pada tentara Inggris dan Frans di Petang pada tahun 1860, tapi mereka dihadepken pada kaum Taiping punya nekat. Revolutie Taiping telah pecah karena gusarnya rakyat, kaum Boan atau kaum bangsawan Eropa yang gaga dan mulia tidak bisa melawan pada ini macem pembrontakan yang disahken oleh Allah. Buat lawan pembrontakan begini kudu ada kacerdikan, maka Kasim Tsu Hsi sudah minta pertulungan pada kaum literati buat lawan kaum Taiping. Demikianlah kendali pemerentahan di Tiongkok dari tangan kaum Boan jadi pinda di tangan kaum literati. Hoofdkwartier dari kaum Boan ada di Peking, sementara kaum literati ada menyelak di segala provincie, hingga pemerentahan jadi terpecah, tapi untung kemudian bisa dipimpin kembali dalam satu tangan oleh markies Tseng Kuo Fan, ayahnya markies Tseng yang blakangan jadi minister Tiongkok di London. Markies Tseng Kuo Fan jadi kepala dari kaum literati dan dapat kuasa tanpa wates dari Kasim Tsu Hsi, hingga ia jadi seperti Dictator di Tiongkok selama zaman Taiping. Kaum literati Tionghoa telah trima panggilannya Kasim Tsu Hsi, lalu lempar tengsanya dan angkat senjata serta lawan kaum Taiping yang kala cerdik hingga katindes.

Revolutie Taiping di Tiongkok ada seperti Revolutie Frans di Eropa, yaitu lantaran kakusutan dalam pengidupan rakyat. Seperti di Eropa sasudanya Revolutie Frans, pun di Tiongkok sasudanya huru-hara Taiping, pemerentahan jadi pinda dari tangan aristocratie ke tangan kaum tengah. Revolutie mengubah kabiasaan dan rakyat sahabisnya revolusi selalu bisa pikir dengan merdeka. Di situlah kacerdikan rakyat jadi hidup dan bergerak. Demikian di Tiongkok zaman revolusi Taiping seperti di Eropa waktu Revolutie Frans rakyat jadi berpikir. Bermula kaum literati pimpin ini pikiran, tapi kemudian gerakan rakyat jalan terus sementara pikiran mandek hingga nyasar dan kalut. Buat tahan ini kakalutan telah terbit Tjhing Liu Tong yang mau pegang keras pada pelajaran Khong Tju.

Li Hong Tjiang telah gantiken markies Tseng Kuo Fan sebagai kepala dari kaum literati. Sasudanya revolusi Taiping kena ditindes, kaum literati Tionghoa ada hadepin dua perkara yang suker. Pertama ialah diriken kembali segala apa yang sudah jadi rusak dalam itu revolusi dan kedua ada lah bagaimana musti melawan pada Eropa punya pengaruh yang bikin kalut pengidupan di Tiongkok. Kawajiban yang pertama sudah dilakuken dengan cepet, dalam sedikit tempo Tiongkok sudah jadi aman dan santausa kembali, tapi dalam perlawanan pada pengarunya Eropa, kaum literati Tionghoa sudah jatuh. Mereka tidak bisa berdaya suatu apa pada itu pengaruh seperti kaum tengah di Engeland pada pengarunya Revolutie Frans. Buat lawan pengarunya Eropa, kaum literati Tionghoa kudu merdikaken pikiran, kudu bisa „interpret facts“. Tapi mereka tidak sanggup berbuat demikian lantaran terkurung dalam pelajaran Khong Tju yang sudah jadi singkat di zaman Song Tiauw. Ia orang hanya kira, bila Tiongkok punya meriam dan kapal perang, akan bisa lawan pada pengarunya Eropa. Itu waktu di Tiongkok cuma ada satu orang yang mengerti duduknya perkara, perdana menteri Wen Chiang, saorang Boan yang jadi Presiden pertama dari Tsung Li Yamen. Sementara kaum literati ibuk diriken arsenal dan bikin pabrik alat perang, ia telah buka Tung Wen Kwan, satu sekolah di mana pemuda Tionghoa akan dikasi pendidikan Eropa yang asli dan lengkap. Pun markies Tseng Kuo Fan blakangan sudah kena dibujuk buat kirim 120 student ke America. (Antara mereka ini cuma ada 2 yang tamat belajar, yaitu ingenieur Yeme Tien Yu yang terkenal dan Dr. Ouw Yang King, bekas consul general di Betawi, yang sekarang jadi secretaris pada legatie Tiongkok di London). Tapi Wen Chiang punya maksud tidak seperti markies Tseng Kuo Fan yang suruh itu orang orang mudah pergi ke luar negeri cuma buat belajar bikin meriam dan kapal perang. Wen Chiang punya maksud ialah buat dapetken pokonya kasopanan Eropa yang sejati. Sayang ini pakerjaan diserahken pada Sir Rober Hart, yang tidak cari orang pande, hanya dorong salah satu sobatnya, satu bekas pendita American, jadi president Tung Wen Kwan. Itu waktu nasibnya Tiongkok ada dalam tangannya dua orang yang mati-pikiran, Sir Robert Hart dan Li Hong Tjiang, hingga Tung Wen Kwan jadi rusak dan sebagian besar dari 120 student tersebut dipanggil pulang. Li Hong Tjiang kira bisa tulung Tiongkok dengan bikin meriam dan Sir Robert Hart kira Tiongkok bisa slamet kalau pendapetan bea diurus beres.

Berhubung dengan maksud besarken armada dan alat perang, Li Hong Tjiang sudah kumpulken konco orang dagang dan compradore (semacem kassier) berduit, yang dengan merem tiru segala cara Eropa hingga kusut dan melukain perasaannya kaum Han Lim yang lalu gerakin Tjhing Liu Tong buat melawan. Mereka ini tidak benci pada bangsa Eropa, hanya pada tiruan yang kusut. Pemimpin Tjhing Liu Tong ialah Li Hong Tjao, president Han Lim Academie, satu orang yang alus budi, tapi bukan pemikir, hingga ia dicinta, tidak dijunjung. Laen lain pemimpin dalam Tjhing Liu Tong adalah Chang Pei Lun (kemudian jadi mantunya Li Hong Tjiang), Tio Tji Tong, Teng Chen Hsui, Tan Poo Thim, Hsu Chi Chiang dan Chen Chi Tai, bekas gubernur dari Kiangsu.

Tjhing Liu Tong jadi sengit pada tatkala pecah perang Tongkin, Li Hong Tjiang didorong ke samping, Tan Poo Thim diutus buat urus perdamian sama wakil Frans, sementara Chang Pei Lun dikirim buat belaken Foochow dan Tio Tji Tong buat belaken Canton. Ini orang orang mudah belum tahu urusan. Akhirnya bangsa Frans h sabar dan admiral Courbet serang Foochow. Chang Pei Lun merat. Tio Tji Tong lebih beruntung, orang Frans tidak samperin Canton.

Sahabisnya ini perang, Li Hong Tjiang punya bintang naik lagi, Tjhing Liu Tong dibekuk. Tan Poo Thim dilepas dan Chang Pei Lun, si jago dari Foochow, dihukum kerja paksa. Tapi kemudian ia ini jadi mantunya Li Hong Tjiang. Teng Chen Hsui mundur dari pergaulan dan Hsu Chi Chiang mati gila perempuan. Dua pemimpin Tjhing Liu Tong masih angkat kepala, Li Hong Tjao, yang masih terus dihargaken oleh Kasim Tsu Hsi dan Tio Tji Tong. Dari sini ternyata Kasim Tsu Hsi ada setuju pada Tjhing Liu Tong, sementara ia tidak suka pada Li Hong Tjiang, tapi kapaksa pakai padanya, seperti Ratu Victoria kapaksa pakai Lord Palmerston. Tio Tji Tong ada seperti Gladstone, mereka terpelajar, tapi bukan pemikir, yang pertama ikut saja pelajaran Khong Tju dan yang kedua pada agama Kristen, berdua mereka tidak brani berpikir sampai pada pokonya perkara (to first principles). Maka itu gerakan Oxford di Engeland dan Tjhing Liu Tong di Tiongkok ada lemah, pemimpinnya selalu ganti jurusan. Seperti Gladstone, Tio Tji Tong bukan ada satu pemikir yang sejati, sementara Li Hong Tjiang punya pikiran mati, tapi ia ini keras hati dan kuat kerja, tertambah banyak mengalami, maka lebih cakep beresken perkara dari pada Tio Tji Tong.

Sasudanya perang Frans, Tio Tji Tong tinggal di Canton dan dari pemimpin Tjhing Liu Tong ia merosot jadi orang „kaum mudah“. Bukan Yuan Shi Kai, tapi ia yang mulaiken gerakan Reform di Tiongkok. Ini perubahan ada punya tiga tingkatan. Pertama hal majuken industrie, yang oleh Tio Tji Tong dimulaiken di Canton dan kemudian dilanjutken di Wuchang. Tindakan kedua mulai pada abisnya perang Jepang, yaitu dalam jurusan militair. Tio Tji Tong telah atur satu model regiment dengan dikapalaken oleh officier Duits di Woosung. Tingkatan katiga dateng pada sahabisnya huru hara Boxer, yaitu perubahan sekolah menurut aturan Eropa.

Sahabisnya perang pada bangsa Frans, Tio Tji Tong merasa, pelajaran Khong Tju saja tidak cukup buat melawan pada meriamnya admiral Coubert.

Tio Tji Tong punya Reform ini, berasal dari batin Han Lim yang bersi, sudah bantu kobarken tenaga, yang kemudian gencet Li Hong Tjiang punya gerakan kusut dan membikin Weng Tung Ho, guru kolot dari Kaisar Kuang Hsu, jadi mufakat pada Kang Yu Wei punya Jacobinisme yang sengit. Orang Eropa bukan saja setuju pada Kang Yu Wei, malahan bantu padanya melawan pada Kasim Tsu Hsi. Keadaan jadi tambah ruwet karena orang tani di Tiongkok utara bantu Kasim Tsu Hsi melawan pada Kang Yu Wei dan kawanannya. Orang Eropa anggap, kaum literati Tionghoa benci pada mereka, sementara rakyat Tionghoa tidak. Ini anggepan ada kliru, sebab di segala negeri, rakyat ada lebih kolot dari pada kaum terpelajar. Lantaran pengarunya Tjhing Liu Tong, rakyat Tionghoa ada anggap Kang Yu Wei akan bawa segala kakusutan Eropa ke Tiongkok. Ketika rakyat dapat lihat orang Eropa dengan berterang bantu Kang Yu Wei yang dianggep mau bikin kusut Tiongkok, maka lumra saja itu rakyat jadi nekat dan mau binasaken semua orang Eropa yang ada di Tiongkok. Inilah pokonya huru hara Boxer.

Tio Tji Tong terlibet dalam itu semua kakusutan. Kang Yu Wei dan Liang Chi Chao ada bekas ia punya „murid“, sementara ia sudah tidak bisa setuju lagi pada mereka punya kasengitan dan kakusutan. hingga Liang Chi Chao katain Tio Tji Tong tidak setia seperti Yuan Shi Kai yang lantas tukar topeng tatkala kaumnya Kang Yu Wei jatuh. Kamudian Tio Tji Tong tulis satu buku tentang Pelajaran, di mana ia terangken kenapa ia tidak bisa setuju pada Kang Yu Wei punya cara mengubah.

Lebih jauh Tio Tji Tong tulis dalam ini buku yang terkenal, orang Tionghoa sebagai manusia harus hidup menurut pelajaran Khong Tju, sementara dalam politik mereka kudu bisa jadi Machiavellist bila perlu buat jaga kaslametan Tiongkok, sabagimana sudah terjadi beberapa kali dalam hikayat Tionghoa di zaman dulu. Ku Hung Ming anggap ini haluan ada kliru, sebab jika pemerentahan jatuh di tangan satu orang kusut yang pakai itu haluan, negeri dan rakyat akan jadi rusak.

Sahabisnya huru hara Boxer (1900), pemerintah dan rakyat Tionghoa jadi setuju Tiongkok diubah cara Eropa, tapi Ku Hung Ming kata, di antero Tiongkok tidak ada satu orang yang tahu kasopanan Eropa yang sejati. Kang Yu Wei mau tiru kasopanan Eropa dengan pengaruin Kaisar Kuang Hsu yang lalu terbitken firman perubahan setiap jam. Kasim Tsu Hsi sudah pegat ini perlombaan, hingga Kang Yu Wei musti menyingkir.


Beberapa Aliran sunting

Dalam gerakan bangsa Tionghoa di Hindia sedari sekean tahun ada nyelesep satu aliran asing yang tidak berakar dalam pengidupan Tionghoa, tapi toh kelihatan makin lama jadi kasih dengar suaranya lebih keras, yaitu samacem gerakan social democratisch.

Sabegitu jauh yang saya tahu tuan Yap Sui Tjiang di Semarang yang pertama sebagai orang Tionghoa mulai bergerak dalam ini jurusan dengan ambil bagian dalam salah-satu vereeniging social democratie Belanda.

Saya tidak tahu sampai brapa jauh tuan Yap Sui Tjiang anggap orang Tionghoa harus pasang tenaga dalam ini cabang gerakan, hanya saya ingat pada beberapa tahun dulu saya menyataken tidak setuju padanya di halaman Sin Po, dengan majuken alesan, kalau orang sakit kepala, tidak perlu dikasi obat buat sakit perut, ia tidak akan jadi sembu, malahan bisa jadi lebih paya.

Bangsa Tionghoa tidak bisa dibandingken dengan bangsa Eropa, seperti botol tidak bisa dibandingken dengan sikat, dua benda yang sama sekali berlaenan, masing-masing ada punya cara dan sifat serta jurusan sen­diri. Sasuatu negeri di Eropa bisa dinamaken democratisch, militairistisch, despotisch atau socialistisch menurut tabeatnya bangsa Eropa yang masih mudah dan extreme, tapi Tiongkok sendirian ada mengandung itu semua sifat berbareng, upama Kaisar Tiongkok ada despotisch, tapi rakyat boleh usir padanya dengan satujuhnya Bing Tju, maka orang Tionghoa tidak boleh tiru saja minum obat seperti orang Eropa yang masing-masing ada punya lain macem penyakit.

Dr. Macgowan yang tulis tentang industrie dan perdagangan Tionghoa ada bilang, bangsa Tionghoa punya sifat memang democratisch, kalau sepuluh orang Tionghoa ditempatken di satu pulo sendirian, dengan tanpa sengaja mereka nanti akan diriken satu democratie yang beres.

Dr. Dickinson yang terkenal dari Cambridge kata, ia belum pernah dateng di satu negeri, di mana rakyatnya ada begitu democratisch seperti di Tiongkok.

Lebih jauh ia bilang, orang Tionghoa ada democraat yang sejati, kaum democraat Eropa harus ambil teladan pada orang Tionghoa.

Toh tuan Yap Sui Tjiang mau bikin orang Tionghoa jadi democratisch. Orang tidak sakit dikasi obat bisa jadi sakit.

Paling blakang Dr. Kwa Tjwan Siu ada bawa haluan socialistisch atau bolsyevistisch, satu kasengitan dari sociaal-democratie.

Itu semua ada akarnya dalam pengidupan di Eropa yang jatuh di lain pojokan, maka lumra saja jadi terbit imbangan demikian, tapi bagi orang Tionghoa segala itu tidak bisa lebih dari pada academisch. Upama perversiteit dalam pengidupan di Eropa telah terbitken „dadaisme“ dalam kunst, satu aliran sederhana yang sudah bikin juga hingga Dr. Kwa Tjwan Siu tidak mau pakai topi di straat, tapi itu semua bagi bangsa Tionghoa ada kosong.

Buat Dr. Kwa Tjwan Siu sendiri yang hidup dalam udara Eropa, segala itu ada poko dan alesannya.

Lebih sehat dari pada gerakannya tuan Yap Sui Tjiang dan Dr. Kwa Tjwan Siu adalah gerakannya tuan Tan Ping Tjiat c.s. di Surabaya, karena mereka ini ada berdiri di atas praktik pengidupan, kendati tidak jarang juga ia orang menyasar atau kabacut lantaran anut atau didorong oleh angin dari pihak social democratie Bumiputra dan Belanda.

Pada suatu hari di tahun 1918 saya lewat Kampong-Baru mampir di kantoornya tuan Lim Sik Bie, yang akan dipili jadi lid gemeenteraad Surabaya.

Itu waktu tuan Tan Ping Tjiat lagi gembira bikin gerakan „sama rasa sama rata“, yang oleh beberapa sobatnya dikliruken jadi „salah rasa“.

Rupanya dalam kasengitan tuan Tan Ping Tjiat sudah mau bertindak terlalu jauh, maka tuan Lim Sik Bie yang biasanya sabar jadi bernafsu dan kata pada saya: — Apa itu, kenapa musti bikin gerakan seperti mau rampok lain orang punya harta.

Ini dua pihak rupanya tidak kenal tiong, tuan Lim Sik Bie di pihak kapitaal dan tuan Tan Ping Tjiat di pihak kaum miskin.

Tuan Lim Sik Bie sebut perkataan perampok, rupanya ia tidak tahu bahwa kaum socialist dengan dikapalaken oleh Proudhon lebih dulu sudah anggap pihak kapitaal pun seperti maling.

Mereka anggap, Allah tidak adaken harta dunia buat dibagi antara beberapa ribu orang hartawan, sedang ratusan milyun orang miskin musti hidup dalam susah dan sangsara. Sasuatu manusia ada hak sama rata atas harta dunia. Ia orang punya itungan kasarnya begini: upama tuan Lim Sik Bie ada punya harta ƒ.500.000. Bagimana ia bisa punya itu uang ƒ.500.000? Tuan Lim Sik Bie anggap itu bukan lain orang punya urusan, tapi kaum socialist anggap ini uang ƒ.500.000 tuan Lim Sik Bie sudah bisa kumpulin lantaran belasting tidak diatur betul hingga luput pungut buat bikin sekolah dan lain kaperluan umum atau ia tidak kasih gaji pada penggawenya berimbang dengan kauntungan yang dibikin. Atawa ia jual barangnya terlalu mahal dan semua itu akhirnya musti dibayar oleh orang miskin. Tuan Lim Sik Bie ada kapitaal, cerdik, rajin dan ada rejeki, tapi ia tidak akan bisa bergerak dan bikin untung begitu besar tanpa penggawe.

Maka si socialist Tan Ping Tjiat pikirin siang-hari-malam bagaimana akalnya buat sebrot kembali itu ƒ.500.000 dari kantongnya tuan Lim Sik Bie buat kaperluan kaum miskin.

Lebih kusut dari ini conto adalah orang yang trima budel atau harta besar tanpa kerja suatu apa, hingga bukan saja kaum miskin yang musti mandi kringet saumur hidup merasa dicurangin, tapi itu orang sendiri dan turunannya nanti jadi rusak lantaran tidak kerja dan jadi teladan jelek.

Si socialist Tan Ping Tjiai kalau dengar alesan begini barangkali mau dansa, tidak dipikir kalau itu ƒ.500.000 dari tuan Lim Sik Bie dirampas, tidak satu manusia mau kerja lagi, orang hartawan akan jadi miskin dan orang miskin akan lapar, hingga urusan jadi lebih kusut.

Juga jangan dilupa, bangsa Tionghoa tidak hidup sendirian di dunia, dalam keadaan begitu nanti mereka semua akan jadi korban dari lain bangsa yang berkapitaal. Lenin mau lawan ini bahaya dengan coba terbitken revolusi-dunia, yang sekarang kelihatan sudah gagal.

Orang di Eropa atau America punya harta bukan ratusan ribu, tapi ratusan milyun, hingga kaum miskin bisa paksa adaken belasting berat atas kapitaal tanpa bahaya buat kaslametan nationaal, sementara bagi bangsa Tionghoa tindakan demikian belum temponya, masih terlalu siang, sebab kalau orang punya harta baru setengah milyun sudah digrecokin begitu rupa, nanti segala kamajuan bangsa yang selalu berdasar atas uang bakal jadi rusak, akan akhirnya toh kembali jatuh di bawa kaki kapitaal asing yang lebih kusut.

Malahan di Jepang pun itu saat buat bertindak begitu jauh masih belum dateng, professor Dr. Kushida dari Tokyo University yang jadi pemimpin kaum socialist di Jepang dan tinggal bersama saya di satu hotel di Belin, pernah mengaku pada saya, kaum socialist di Jepang masih belum dapat pangkalan yang teguh, artinya zaman masih belum mateng.

Maka saya jadi heran bagaimana tuan Mouw bisa kuatir pada „bolsyevisme Tionghoa“ yang dianggep „absurd“ oleh Dr. Lim Boon Keng dan dikatain „luar-urusan“ oleh Sir John Jordan, bekas minister Inggris di Peking, yang saya ketemu pada tahun dulu di London.

Bolsyevisme antara bangsa Tionghoa ada seperti ikan di darat, ia tidak akan bisa hidup, maka saya pun tidak bisa percaya satu prakticus seperti tuan Tan Ping Tjiat bisa setuju pada ini gerakan, saya hanya kira terkadang ia anut angin socialistisch Bumiputra, yang ditiup oleh beberapa socialist Belanda.

Tuan Tan Ping Tjiat mau „sama rasa sama rata“, ini toh tidak benar seanteronya, sebab dalam pengidupan di ini alam tidak ada dua benda yang sama, malahan bersifat bertentangan, im' [yin 阴] dan yang [阳], kaya dan miskin, cerdik dan bodo, cantik dan jelek, cuma saja segala itu ada watesnya dan kudu diambil timbangan tiong. Orang hartawan harus kenal kawajiban social dan national. Pierpont Morgan kata, ia anggap dirinya sebagai kassiernya Allah.

Betul semua kuda ialah kuda, tapi ada kuda kacangan dan ada kuda balap buat Derby, orang pinter toh tidak mau disamaken dengan orang bodo, sementara saya brani bertaro dengan merem bila ada dua nona, A. cantik dan B. gendut-gigu, tuan Tan Ping Tjiat sendiri nanti akan tangkep si A. Kalau diperingetken ia ada pemimpin „sama rasa sama rata“, ia akan majuken alesan „force majeure“.

Perkumpulan Tionghoa yang beres kalau dibandingken dengan yang lain adalah perkumpulan kematian, sebab ini perkumpulan bukan tiruan yang tidak cocok dalam pengidupan Tionghoa, hanya terbit dari kaperluan Tionghoa yang tulen, cuma sayang sedari lama tidak ada dibikin perubahan yang perlu hingga sekarang tidak menyocokin zaman lagi.

Upama pada sepuluh tahun dulu dalam kota Surabaya saja ada 50 songsuhwee. Saya kenal satu orang yang bergaji ƒ.40 musti bayar hampir ƒ.10 hu-gin sabulan pukul-rata. Itulah ada meliwatin wates. T.H.H.K. Betawi sudah bikin sedikit perubahan dalam ini urusan dengan ia punya afdeeling B.

Kalau dibikin peritungan atau statistiek yang lengkap dari kawafatan antara orang Tionghoa, barangkali dengan rapi bisa diatur satu maatschappy atau centrale seperti assurantie buat urus ini semua, hingga tidak usah makan tenaga gerakan begitu banyak, yang bisa digunaken buat lain perkara. Segala karewelan mengubur bisa dibikin lebih ringkes, upama peti tidak usah dibikin begitu tebel dan tidak usah ditahan begitu lama. Ini saja barangkali bisa kurangken ongkos berpulu procent. Buat orang mampu ini perkara semua tidak penting, tapi buat orang miskin besar artinya.

Antara bangsa Tionghoa ada dibicaraken lebih banyak hal song-su dari pada tentang urusan politik atau lain dan dirasa seperti satu pikulan berat, hingga dari situ barangkali telah terbit reactie-hiburan: song-su jadi seperti sport Tionghoa.

Fatsal song-su ada berakar ke segala jurusan dalam pengidupan Tionghoa, hingga menyelak dalam T.H.H.K. dan sering namanya dipake oleh Thian Tee Hwee.

Barangkali karena dulu sudah dibikin banyak pusing oleh kongsi-kongsi gelap di Borneo, maka orang Belanda kerep kata, orang Tionghoa ada dilahirken buat bikin vereeniging. Memang manusia ada satu social animal dan orang Tionghoa bukan satu kecuali, tapi itu nafsu bikin perkumpulan gelap saya kira cuma ada satu buntut dari Hung Sew Chuan punya Thian Tee Hwee di zaman Taiping dan kedua karena mereka hidup di negeri asing yang tidak mempuasken hatinya.

Umumnya nyawanya Thian Tee Hwee yang tulen sudah musnah, hanya tinggal kulitnya saja, lantaran tidak ada raison d'être lagi, hingga sering itu kulit diisi dengan segala hal yang bukan mustinya.

Pada tahun dulu saya sengaja kunjungin London punya East End dekat Lime House, di mana ada tinggal banyak orang Tionghoa. Saya diajak oleh salah satu antaranya masuk di satu rumah perkumpulan gelap, di mana ada beberapa banyak orang Tionghoa lagi berjudi dan isep madat.

Di London, Marseille dan Rotterdam ada beberapa banyak Thian Tee Hwee yang selalu setori satu pada lain dan terkadang saling bunuh anggotanya, seperti belum lama telah terjadi di Amsterdam.

Di Hamburg orang diperingetken akan jangan turut campur pada mereka sebab nanti akan disatru kalau tidak beli barang pakean atau makanan dengan harga extra di toko dari kapalanya.

Pada beberapa tahun dulu tuan Tan Tjun Lee dan tuan Tjoa Bing Liong telah coba bikin satu organisatie Tionghoa di antero Hindia.

Antara lain lain mereka sudah dateng pada tuan Tjoa Sien Tjing di Lawang buat bicaraken itu hal.

Itu semua tidak bisa terjadi, sebagian besar lantaran tuan Tan Tjun Lee bukan ada itu orang buat kerjaken perkara demikian.

Ia punya nafsu bergerak yang jujur, paham „kuntao“, tapi kurang pikiran.

Saya pernah dengerken tuan Tan Tjun Lee berpidato die T.H.H.K. Bogor, ia bicara pasal pelajaran, tapi karena ia ada grootmeester dari Vrymetselary, maka ia sebut juga hal „symboliek“, „ritus“ dan „ceremonie“ berhubung dengan peri kabangsaan, sementara ia anggap bahasa Tionghoa tidak begitu penting bagi Hoa Kiauw.

Ia lupa bahwa „symboliek“, „ritus“ dan „ceremonie“ ada termasuk dalam Bahasa dan tidak sabaliknya.

Sasuda kaributan Kudus beberapa pemimpin Bumiputra dan Tionghoa telah bikin persidangan di Oen Tong Hwee Betawi buat bicaraken itu perkara atau bikin dami.

Di situ tuan Tan Tjun Lee bicara gegaba seperti biasanya, hingga kena dibanggel oleh tuan-tuan Cokroaminoto dan Hasan Jaiadiningrat, yang jawab, mereka tidak dateng hadlir buat masuk sekolah, tuan Tan Tjun Lee boleh simpen segala nasehatnya di kantong sendiri.

Demikian pun ia sudah mau kasih les pasal Khong Tju pada tuan Tjoa Sien Tjing, yang paham segala pojokan dalam literatur Tionghoa. Di rumah mayoor Han Tjiong Khing ia sudah bertengkar juga pada tuan The Kian Sing, maka ini mayoor kuatir kapalanya nanti benjut kaserempet kepelan nyasar.

Su Poo Sah telah didiriken berhubung dengan gerakan Kik Bing, yang sekarang sudah brenti, hingga itu vereeniging cuma akan bisa gembira kembali jika dikasi jurusan baru.

Sedari dua-puluh tahun orang Tionghoa di Hindia telah diriken kira-kira seratus T.H.H.K., yang masing-masing makan ongkos pukul-rata setiap bulan seribu rupia, hingga totaal ongkos yang sudah dikluarken ada ƒ.20.000.000, sementara jumblanya murid ada 7000.

Ini uang umumnya dipungut tidak dengan systeem yang cerdik dan rapi, hanya dibikin urunan sagampangnya saja.

Di tahun 1916 pemerintah Hindia telah iderken circulaire pada officier Tionghoa buat tanya dengan cara bagaimana T.H.H.K. dapat ongkos. H.C.S. yang banyaknya ada 30 bua lebih dan telah didiriken oleh pemerintah Belanda buat imbangin T.H.H.K., pun ada punya murid kira-kira 7000.

Menurut taksiran di Hindia ada 100.000 anak Tionghoa lelaki dan perempuan yang harus dapat sekolah rendah (10% dari jumbla penduduk Tionghoa), hingga sesudah dipotong dua jumbla di atas, masih tinggal jumbla 80.000 anak Tionghoa yang tidak bisa dapat sekolah, salaen beberapa sekolah kampungan yang terlalu kusut.

Menurut statuten yang dikarang oleh almarhum tuan Li Kim Hok, salah-satu maksudnya T.H.H.K. Betawi adalah buat teguken pelajaran Khong Tju antara bangsa Tionghoa, maksud mana pun ada jadi pokonya lain-lain T.H.H.K. Lebih jauh programma T.H.H.K. ada nasionalisisch serta membuntut saja pada cara di Tiongkok, tanpa banyak pusingin pada kaperluan anak Tionghoa di Hindia.

Dr. Lim Boon Keng pernah kata, banyak guru T.H.H.K. di Hindia pantas lekas dikasi pulang.

Kapitein Li Hin Liam telah minta satu guru special dari Tiongkok, oleh Kang Yu Wei sendiri dikirim satu orang setengah idiot.

Pelajaran H.C.S. bukan lebih baik, malahan lebih tidak cocok dan lebih kusut, sebab lain bangsa sedikitnya tidak bisa tahu batin Tionghoa.

Pada hari-besar Tionghoa yang paling suci, H.C.S. terus dibuka, orang Tionghoa minta pelajaran bahasa Tionghoa di H.C.S. seperti orang Kristen minta bybel, oleh minister Pleyte dijawab, tidak perlu, sebab tidak dipake buat dagang.

Di tahun 1916 pemerintah Hindia telah diriken satu kweekschool buat anak Tionghoa di Mr. Cornelis, di mana mereka bisa belajar lamanya 5 tahun buat jadi guru dengan vry ongkos, sekalian tempat mondok dan makan.

Tuan Vandermeulen, secretaris departement onderwys, pernah bilang pada saya: — Gouvernement punya maksud ialah menamba jumblanya guru Tionghoa, ongkos vry sama sekali dan tidak teriket contract. Jumblanya murid baru belasan, tapi diduga dalam sedikit tempo bakal maju keras. Tjuma saya ada kuatiran hal murid perempuan, yang sasudanya tamat belajar nanti menika dan tidak jadi guru, hingga tidak berguna buat orang banyak.

Tuan Vandermeulen punya kuatiran ada benar. Ketika pada beberapa tahun dulu saya kunjungin itu kweekschool bersama satu sudagar dari Semarang, ia ini kata: — Wah, kalau mau cari mantu perempuan, dateng sini saja!

Gouvernement Hindia sudah lakuken politik yang cerdik sekali dengan ini kweekschool, yang barangkali asal dari tuan Ezerman.

Tidak ada satu T.H.H.K. yang beres.

Suda lebih sepuluh tahun kapitein Yap Hong Sing di Jocja setiap kali minta dibikin vergadering buat kasih kalepasan padanya sebagai president T.H.H.K., tapi setiap kali sengaja orang tidak dateng supaya vergadering gagal dan tuan Yap Hong Sing teriket terus, sebab orang merasa dengan lolosnya tuan Yap Hong Sing tentu T.H.H.K. akan kubra. Tuan Yap Hong Sing sendiri tidak mau cacat T.H.H.K. rubuh dalam tangannya.

Orang Jocja tidak brani bikin kritik atas keadaannya T.H.H.K., sebab tidak mau cape hati dan kuatir dipanggil oleh tuan Yap Hong Sing serta dikasi over pangkat president. Penilikan tidak ada sama sekali di T.H.H.K. Jocja, hingga bisa terjadi hoofdonderwyzer ganti Tjing Im dengan Hok Kian lamanya empat tahun tanpa satu manusia dapat tahu.

Dr. Kwee Ping Bun tulis dalam bukunya „The Chinese System of Public Education“, di Tiongkok tidak ada satu sekolah yang beres, salaen sekolah dari kaum pendita American dan Inggris dengan mereka punya 200 000 murid, buat mana orang American derma setiap tahun ƒ. 20.000.000. Itu orang yang telah bikin perampokan di Grissee pada beberapa tahun dulu ada bekas president T.H.H.K. di Tuban. Saya tanya pada orang di Tuban bagaimana bisa terjadi demikian, dijawab, sengaja sudah dipili satu jago sodokan buat jadi president supaya bisa paksa orang derma.

Tuan Tan Kim San, directeur T.H.H.K. Betawi pernah bilang pada saya, beberapa banyak orang turut campur urusan kong-ik perlunya cuma buat dapat hubungan dagang, sementara kapitein Li Hin Liam pernah kasih tahu pada saya, salah-satu antara itu rombongan yang dimaksudken oleh tuan Tan Kim San, tatkala dengar „Hay Kie“ bakal dateng, buru-buru telah atur smokkelan madat dari Singapore, sebab tidak akan dipreksa di Priok.

Orang Tionghoa tidak mau terhina, tapi kapal perangnya dipake buat smokkel madat.

Tuan-tuan Phoa Keng Hek, Yap Hong Sing dan Tan Hian Gwan, president T.H.H.K. Betawi, Jocja dan Surabaya, tidak kirim kaum kaluarganya belajar di T.H.H.K. Ini tiga orang ada terlalu terhormat buat bisa diterka berlaku demikian dengan sengaja, mereka tidak sanggup berdaya dan tidak tahu musti bikin apa buat sampurnaken T.H.H.K. Perkara privé gampang diurusin. Ia orang terlibet dalam karuwetan umum, lagi sebagai orang dagang mereka tidak paham tentang urusan onderwys dengan segala cabang dan hubungannya. Inilah ada samacem abstractie.

Bila diliat kakalutan dalam gerakan onderwys Tionghoa di Hindia, saya kira systeemnya kudu dibongkar, yaitu bukan mulai dari sekolah rendah, tapi dari satu universiteit atau academie buat centralisatie dan kasih pimpinan dalam antero gerakan.

Buat 100 000 anak Tionghoa harus disedia 500 sekolah rendah, beberapa banyak sekolah tengah, sekolah dagang, sekolah guru, sekolah perlayaran, sekolah industrie dan satu midrasa besar buat pimpin ilmu, kasopanan dan politik.

Pertama kudu ada organisatie dan ongkos. Urusan Siang Hwee pun tidak lebih bagus.

Ketika pada beberapa tahun dulu tuan Go Hoo Sui diangkat jadi president Siang Hwee Surabaya dan tuan Tio Tjee An, bekas pemimpin boikot H.V.A., dijadiken vice-president, ia ini bersambat: — Ciaklat, gua dijadiken anak angon.

Ini ucapan pendek ada cukup buat melukisken keadaan.

Satu president Siang Hwee di Preanger dulu sudah gunaken gedong Siang Hwee, yang punya banyak pintu tembusan, buat pangkalan smokkel madat. Ia telah dihukum beberapa tahun penjara dan di hadepan landraad pada akhirnya persidangan ditanya mau majuken alesan apa lagi. Ia jawab: — Saya president Siang Hwee!

Siang Hwee punya kawajiban sabetulnya paling penting, kudu jaga kamajuan dagang dan economisch Tionghoa di Hindia, yang jadi pokonya segala gerakan, sebab tanpa duit orang tidak bisa berdaya.

Pada beberapa tahun dulu saya pernah baca satu karangan dari Mr. Julean Arnold, America punya commercial attaché di Tiongkok, di mana ia bikin perbandingan antara kerjanya Siang Hwee di kota Canton (Tiongkok) dan di lain kota Canton (America).

Siang Hwee di Canton (Tiongkok) ada seperti Siang Hwee di Hindia, sementara American Canton punya Siang Hwee ada urusin segala perkara yang satu pemerintah ada urusin, malahan lebih rapi dan lebih lengkap.

Buat Siang Hwee di Hindia, apa lagi buat bermula, pakerjaan tidak bisa dilengkepin sampai begitu jauh, tapi sedikitnya ada berwajib buat jaga betul kapentingan economisch dan dagang serta segala hubungannya yang direct, upama sekolah dagang dan urusan bank, sekolah perlayaran dan sekolah industrie atau satu fonds buat kirim student ke negeri asing buat belajar itu semua.

Di Hindia ada beberapa banyak cabang industrie yang tidak lama lagi toh bakal musti dikerjaken dan orang Tionghoa harus bersedia buat pegang rol di situ, kalau tidak mau terdesek di pojokan, yaitu terutama dengan kapitaal dan tenaga tekhniek.

Hindia setiap tahun ada pakai barang kain saharga ƒ.150 000000 (25% dari totaal import), pabrik kain di Tiongkok tiap tahun sedikitnya ada bagi dividend 25 %, di waktu perang itu dividend pernah naik sampai beberapa ratus procent.

Tiongkok sekarang ada punya 1½ milyun spindle, Jepang 3 milyun dan sudah bisa export barang kain ke Hindia sampai puluan milyun rupia, sedang Hindia ada punya kapas sendiri, cuma tidak begitu panjang seperti kapas American atau Egypte, tapi bisa dibikin lebih baik kwaliteitnya kalau dapat bibit yang benar dan dirawat betul, seperti pemerintah Hindia kabarnya sudah suruh coba di Celebes.

Industrie kain di Jepang ada paling penting dan ambil bagian 50 % dari totaal industrienya serta baru umur 50 tahun, sementara industrie kain di Manchester baru umur seratus tahun lebih. Pada 150 tahun dulu di Engeland orang yang bikin kain ada terancem dengan hukuman potong kepala sebab merugiken pada tukang wol.

Masin buat pabrik kain compleet yang bisa bikin 1 milyun lbs sataon harga ƒ.500 000, menurut katerangan yang saya dapat dari Plate Brothers di Oldham, fabrikant masin textiel. Tapi ini itungan ada tanggung, kalau mau kreja betul musti punya 20 000 spindle dan harga masin sama sekali ƒ. 2 000 000.

Fabriek baju kaos dan kaos kaki di Tiongkok dan Jepang sering mulai dengan kapitaal ƒ. 30 000, satu masin tricotage yang dalam 10 jam bisa bikin lempengan panjang 250 yard harga ƒ. 5000. Kalau orang punya 6 masin demikian dalam satu hari bisa bikin 600 baju kaos.

Pun ada masin tricotage yang cocok buat huisindustrie bagi nona Tionghoa di Hindia, harga ƒ. 400 compleet. Pakerjaan sulam dari nona Tionghoa di Hindia bisa laku keras di Eropa dan America, asal saja dapat pimpinan yang benar, sabagimana bisa ternyata di tentoonstelling-tentoonstelling sulaman yang saya sudah sengaja kunjungin di Paris, Bruxelles dan Berlin serta London. Nona Tionghoa tidak kerja productief, kalau ini tenaga diorganiseer, bisa terbitken kapital serta teladan bagus.

Baju kaos ada cocok dengan kaperluan di Hindia, orang Bumiputra mau maju, hingga hendak beli banyak barang.

Dua puluh tahun dulu jarang orang Madura pakai baju, sepuluh tahun lagi nanti milyunan orang Bumiputra akan pakai sepatu dan topi serta minum bier.

Fabriek bier dan cigaret sudah maju keras di Jepang dan Tiongkok sedang ini dua macem barang pun ada cocok betul buat kaperluan Hindia, sebab hawa panas dan dengan perlarangan madat nanti orang akan meroko lebih banyak, seperti sudah ternyata di Tiongkok.

Orang Tionghoa di Hindia masih giling cigaret dengan tangan, satu hari bisa bikin 1000 batang, sementara di Eropa sudah ada masin yang bisa bikin 650 cigaret dalam satu menit, yaitu 10 X 60 X 650 cigaret = 390 000 cigaret dalam satu hari, harga compleet ƒ. 20 000.

Saya sudah kunjungin beberapa pabrik geretan di Hiogo, dekat Kobe dan di beberapa negeri di Eropa; satu installatie compleet yang bisa bikin 1 milyun doos sahari harga ƒ. 500 000.

Kongsi kapal Nippon Yushen Kaisha pada 30 tahun dulu mulai dengan kapitaal 20 milyun yen, sekarang hartanya sudah jadi 200 milyun yen, menurut jaarverslag paling blakang.

Menurut gedenkbuk dari Ned. Ind. Handelsbank, ini bank telah didiriken dengan harapan tarik kapitaal Tionghoa yang terlepas dari pacht madat.

Satu sudagar Tionghoa di Surabaya pernah kasih tahu pada saya bagaimana ia punya deposito besarnya satu milyun rupia ditahan oleh satu bank Eropa di waktu perang, buat tunjang mereka punya bangsa, sedang itu sudagar Tionghoa sendiri lagi kapepet. Sedeng perdagangan lain bangsa maju lipet berpulu kali, orang Tionghoa punya perniagaan mundur: Kong Sing brenti, beberapa banyak cabang Kian Gwan ditutup dan Deli Bank dari mayoor Tjiong A Fie hampir bikin liquidatie. Directie dari satu bank Tionghoa di Singapore puter wissel kosong.

Satu professor Belanda dalam ilmu dagang baru ini kata, bila dipadu dengan perdagangan bangsa Eropa, orang Tionghoa masih klontong.

Saya cuma sebut beberapa conto saja di sini.


Dua Kapala Batu sunting

Dr. Yap Hong Tjun sedari di Nederland sudah setuju pada Volksraad, sadatengnya di Hindia ia mulai bergerak, karena ia memang ada niatan buat turut campur dalam urusan kong-ik Tionghoa. Kendati tidak setuju haluannya, atas kisikan satu president dari Chung Wha Hui, saya sudah tulis surat pada tuan Tju Bou San buat kasih longgar dulu pada Dr. Yap supaya ia ini bisa dapat tempo pranti usut keadaan karena barangkali kalau ia sudah tahu sendiri duduknya perkara, ia nanti akan dapat pemandengan yang lebih benar.

Saya telah bikin itu tindakan karena merasa sayang satu orang yang cakep seperti Dr. Yap nanti terlibet dalam karuwetan politik di Hindia tanpa preksa dulu bagaimana duduknya urusan, hingga itu tenaga yang berharga nanti h faedanya bagi bangsa Tionghoa.

Toh saya masih kuatir, karena saya dikasi tahu, Dr. Yap ada satu orang yang berperangi sengit dan urusan politik yang kusut di Hindia tidak bisa diberesken dengan kasengitan. Tidak salah saya punya kuatiran, itu dua pihak mendadak sudah saling betot satu sama lain. Saya ikutin mereka punya perbantahan di Sin Po dan Perniagaan, perkara makin lama tidak jadi tambah beres, malahan jadi lebih tidak urus, verstarring terbit, masing masing dengan penasaran pegang kuku anggepan sendiri, tanpa dicoba timbang alesan dan katerangan tentangannya. Mereka lupa pada tanggungan besar yang ada dalam tangannya dan bikin „Chinese quarrel“.

Dr. Yap ada „murid“ dari Mr. Fromberg, satu orang yang adil dan terpelajar serta sobat tulus dari bangsa Tionghoa, hingga di Nederland ia dinamaken „Engkongnya Chung Wha Hui“, tapi ia bukan ada satu pemikir. Tandanya dalam pidato dan karangannya, beberapa kali tuan Fromberg telah menyataken bahwa (Nederlandsch) ondenrdaanschap ada satu nationaliteit, sebab rupanya ia kuatir orang Tionghoa jiji lantaran itu nama onderdaan yang merendahken. Menurut wet atau yuridisch orang tidak bisa sangkal kabenerannya Mr. Fromberg punya anggepan, karena onderdaan Belanda ada atau akan dapat segala haknya bangsa Belanda, tapi nationaliteit yang berpoko dalam Alam ada ditetapken oleh ras, kasopanan, bahasa, hikayat, tabiat, maka tidak bisa jadi satu orang Tionghoa punya nationaliteit Belanda. Nationaliteit telah terbit justru buat watesin perbedaan ras, kasopanan, bahasa, hikayat, tabiat antara berbagi bangsa manusia, supaya masing masing bisa merdeka dan mekar sebagai bunga, menurut kahendaknya Allah, hingga segala percobaan dari luar akan ilangken itu wates tanpa maunya itu rakyat sen­diri, ada satu tindesan pada kamerdikaan manusia yang suci. Nationaliteit tidak bisa ditetapken oleh wet yang mengasi hak dan kawajiban, tapi oleh batinnya itu rakyat sendiri, hingga nationaliteit demikian dengan sendirinya akan jadi onderdaanschap dalam arti yang merendahken: penalukan. Mr. Fromberg punya „nationaliteit“ bisa „adil“, tapi tidak merdeka, sementara „Keadilan“ tanpa Kamerdikaan bukan Adil. Dan orang Tionghoa mau merdeka seperti burung, menurut pelajarannya satu pengarang di zaman Tong Tiauw.

Dr. Yap belum pernah hidup dalam pergerakan Tionghoa, seperti Paderewsky tinggal di Paris tidak tahu apa yang dialamin oleh rakyat Polen, hingga antara mereka dan masing masing rakyatnya tidak ada hubungan batin yang kekel, tertambah Dr. Yap ada saorang yang tidak sanggup merdikaken diri dari kurungan didikan Belanda yang ia sudah dapat, hingga ia punya pikiran seperti terkena rheumatiek Belanda. Menurut „recht der overwinning“, orang Bumiputra ada onderdaan Belanda, orang Tionghoa terlibet di situ, tapi Dr. Yap tidak sanggup lolosken diri. Kiai Gandhi kata, macan bila dicampur sedari kecil dengan kambing, akhirnya akan anggap dirinya kambing juga.

Dr. Yap anggap orang Tionghoa tidak mau turut campur pada Volksraad, bukan sebab mereka tidak mau jadi onderdaan Belanda, tapi sebab takut militie, seperti orang Belanda anggap klontong Tionghoa lari sipat kuping bila ada soldadu mabok.

Mr. Lenox Simpson alias Putnam Weale, adviseur pemerintah Tiongkok, yang sekarang ada di London buat lawan Anglo-Japanese Alliance, baru ini tulis di Times, orang Tionghoa bukan takut mati atau takut perang, hanya mereka tidak suka setori dan tidak mau rewel.

Tuan The Kian Sing dalam satu pidato sudah menyataken militie „op zich zelf“ ada satu perkara tektekbengek bagi bangsa Tionghoa, seperti juga ada anggepannya Dr. Wu Ting Fang dalam satu percakepan dengan tuan Tan Kim San, sementara dalam perlawanan pada gerakan Indie Weerbaar di pertengahan tahun 1916, Sin Po sendiri malahan anggap militie ada baik bagi bangsa Tionghoa di Hindia supaya kenal discipline dan dapat sifat angku, sabagimana juga ada anggepannya bestuur Budi Utomo bagi rakyat Bumiputra, tapi militie di Hindia bagi orang Tionghoa ada lain perkara. Militie dan militie ada dua rupa.

Militie dan Volksraad bagi Bumiputra ada jurusan dan jalanan ke tempat merdeka, tapi kadudukannya orang Tionghoa di Hindia ada berlaenan, hingga jurusannya pun berbeda.

Tuan Kan Hok Hui dalam conferentie di Semarang sudah coba aduk perkara dengan padu Dr. Lim Boon Keng punya kadudukan di Legislative Council di Singapore pada kadudukannya satu lid Tionghoa di Volksraad Betawi. Pertama tuan Kan Hok Hui rupanya tidak mau ambil tahu tentang perbedaan antara politik di Hindia Inggris dan politik di Straits, kedua tuan Kan Hok Hui mau lupaken juga bahwa penduduk Singapore ada terdiri 95 % dari orang Tionghoa, seperti orang Bumiputra di Hindia Belanda. Perbandingan begini ada berbahaya, apa lagi kalau orang tidak tahu betul libetannya urusan. Engeland punya politik di Singapore dan Hongkong tidak menindes pada peri kabangsaan rakyat, hingga sekarang student Tionghoa tidak bisa masuk Hongkong University bila tidak kenal ilmu surat Tionghoa, tapi di Hindia Belanda peri kabangsaan dan kasopanan Tionghoa ada dalam bahaya. Tuan Han Tiauw Tjong bisa kasih katerangan bagaimana sampai tuan Duivendak, lector dalam ilmu surat Tionghoa pada Leidsche Universiteit, musuin pada bahasa Tjing Im di Hindia, hingga terbit perbantahan keras di Koloniaal Onderwys Congres yang paling blakang.

Ketika ketemu pertama kali di den Haag pada dua tahun dulu tuan Fromberg dengan ketawa sambut pada saya: — Ha, sekarang saya ketemu saya punya musu si imperialist.

Demikian pun Dr. Yap namaken gerakan kabangsaan Tionghoa di Hindia imperialistisch dan dalam karajinannya membela Volksraad ia langka seret Volkerenbond, hingga tidak heran tuan Tju Bou San sudah ketok padanya lantaran ini permaenan dalam politik international. Dulu Duitschland ada imperialistisch-militairistisch, tapi sekarang antero dunia ada demikian. Clemenceau, Lloyd George dan Makino ada anggap Wilson sudah mateng buat masuk rumah sakit.

Nyonya Asquith, istrinya perdana menteri Inggris, telah namaken conferentie perdamian di Versailles „sarangnya maling“, America sampai sekarang tidak mau masuk dalam Volkerenbond sebab Engeland, Frankryk dan Jepang terlalu maen gila di situ, sementara dalam conferentie Pacific di Washington yang akan dibikin, Tiongkok punya nasib akan terancem bahaya lebih besar dari duluan, terutama dari fihaknya kaum kapitalist dan imperialist di New York, Tokyo dan London.

Kalau dunia pegang senapan, bangsa Tionghoa juga harus pegang senapan, upama orang mandi kali musti bisa bernang jika tidak mau kalelep.

Dr. Yap punya amateurisme dalam politik ada ternyata pula dari ia punya daya akan diriken satu kaum minderheid Tionghoa buat kirim satu wakil ke Volksraad. Gouvernement Belanda sudah briken hak kirim wakil dalam Volksraad pada bangsa Tionghoa sebagai satu „unit“, hingga tidak bisa Dr. Yap diriken satu minderheid demikian.

Lagi Dr. Yap sudah majuken alesan, kalau tidak mau ambil bagian dalam Volksraad, orang Tionghoa nanti dibikin susah, seperti caranya satu babu takutin anak ada momok atau jijiboot di bawa kolong. Tarolah orang Tionghoa tidak punya kaberatan principieel, tapi dalam praktik apakah faedanya itu dua wakil antara jumbla beberapa puluh, seperti ternyata dari kadudukannya tuan Kan Hok Hui dan mayoor Khouw Kim An yang bicara tentang autodienst Betawi-Maok?

Satu alesan saja sudah cukup buat tunda dulu ini tindakan yang berbahaya: satu kali terlepas dari Tiongkok, tidak bisa dibetulken kembali, sedang perkara Volksraad masih ada tempo buat ditunda, apa lagi dalam praktik sekarang toh belum berguna suatu apa.

Sebagai „murid“ dan sobat dari tuan Fromberg, Dr. Yap pun ada takut pada nasionalisme, karena kaum nasionalis Belanda tidak mau campur pada lain bangsa. Tapi justru kaum nasionalis yang pegang kendali pemerintah di segala negeri. Buat Dr. Yap nasionalisme ada perkara perang, bunuh dan darah, lain tidak, maka ia merasa jiji pada itu semua, ia hanya kenal nasionalisme dalam keadaannya yang kusut di waktu blakangan di Eropa, ia lupaken bahwa nasionalisme sejati ada poko kamajuan bagi segala negeri, yaitu gerakan buat jaga dan merdikaken nationaliteit = individualiteit dan karakter dari masing-masing bangsa. Fichte pernah bilang: „Character haben und deutsch sein ist ohne Zweifel gleichbedeutend.“ Malahan socialisme sekarang pun ada „verkapte individualisme“.

Demikianlah nasionalisme ada suci seperti haknya manusia akan bernapas, bangsa Tionghoa di Hindia tanpa nasionalisme ada seperti pohon yang dipotong akarnya, mereka akan terpecah dan jadi layu serta rubu, seperti Portugees Tjilingcing.

Nationalisme bagi satu rakyat ada seperti karakter buat satu manusia. Conditie pertama buat jadi satu Kun'cu ialah mempunyain karakter. Menindes nasionalisme Tionghoa ada berarti membikin bangsa Tionghoa jadi satu rombongan siauw-jin. Maka nasionalisme Tionghoa ada cocok dengan pelajaran Khong Tju, seperti Fichte bilang, satu Kristen senjati ialah satu nasionalis Duits yang benar. Solowieff, satu filsuf Rus yang terkenal ada bilang: „Wenn das Christentum nicht Entpersönlichung verlangt, so kann es auch nicht Entnationalisierung verlangen.“ Itulah sebabnya kenapa manusia lebih suka binasa dari pada tidak punya kamerdikaan nationaal, karena tanpa nationaliteit atau karakter, mereka akan jadi rusak dan rubuh. Tagore namaken: dicekek leher.

Kalau nasionalisme benar ada bombastisch dan tidak suci, Foch, Nogi dan Hindenburg tidak lebih dari pada pembunu seperti Gramser Brinkman.

Ku Hung Ming juga ada satu nasionalis, malahan hampir satu chauvinist, dalam ia punya humanisme dan universalisme, tapi ia tidak praktisch, sebab tanpa lindungan politiek dan economisch, cultuur dan karakter tidak bisa dijaga. Maka di hari tuanya, Tio Tji Tong masih bikin itu compromis buat jadi satu Machiavellist bila perlu akan lindungin kasopanan dan karakter Tionghoa.

Orang cuma bisa serang nasionalisme dengan cara negatief, yaitu bisa jadi kabencian pada lain bangsa, tapi karakterlooze kosmopolitisme ada banyak lebih kusut.

Dr. Yap mau jaga kapentingan economisch Tionghoa di Hindia, tapi ia tidak jaga akarnya, hanya ibukin cabangnya, hingga tidak akan berguna suatu apa. Ia punya conception atau anggepan tentang kapentingan economisch Tionghoa di Hindia ialah buat jadi ambtenaar pemerintah Belanda, sabagimana ada diterangken oleh ucapannya salah satu anggota C.W.H. sendiri: „Chung Wha Hui aast op Indische gouvernements­betrekkingen“, artinya, C.W.H. hanya mau caplok pakerjaan pemerintah Hindia. Ini haluan bodo maka berbahaya.

Student Tionghoa dari Nederland umumnya takut menyataken nasionalisme Tionghoa, juga sebab takut bikin kurang seneng pada bangsa Belanda. Bukan saja mereka ini, tapi antero dunia suatu hari nanti akan musti mengaku sah adanya nasionalisme Tionghoa dan mereka punya aspiraties.

Kalau sudah kasep nanti Dr. Yap sendiri akan jadi seperti orang Yahudi diriken satu Zionisme Tionghoa, ia akan meratap cari di mana adanya Yerusalem.

Sebagi tentangan dari Dr. Yap, tuan Tju Bou San ada seperti general Pilsudski, yang mau panggil segala Iblis buat usir bangsa Rus dari Polen: beberapa setan-pembantu „anak Betawi“ enz. telah muncul di halaman Sin Po. Ia punya kadudukan ada suker, kabanyaken lawanannya tidak setimpal, hingga perbantahan di Sin Po jadi kusut seperti orang maen tennis kalau tidak dapat musu yang sabanding, pertandingan jadi rusak. Sabetulnya tanggungan dari hoofdtredacteur Sin Po sekarang ada terlalu besar buat satu manusia, sebab tidak ada imbangan.

Tuan Tju Bou San ada itu „feu sacré“ seperti Prins Tuan, si kapalan Boxer, yang dengan kepelan mau lawan meriamnya Admiral Seymour, tapi apakah faedanya itu semua bagi Tiongkok dan bangsa Tionghoa, kalau tidak dipimpin oleh kacerdikan yang bisa egosin segala bentrokan? Kalau sudah kabentrok, tidak urung nanti musti mengegos juga, sedang urusan sudah kusut. Dulu tuan Yap Sui Tjiang sudah kuatir pada satu isolation bagi bangsa Tionghoa. Memang isolation ada berbahaya, tapi isolation ada beberapa rupa dan kalau dilakuken ati-ati bisa membawa faedah. Bangsa Tionghoa di Hindia sekarang perlu terbitken satu macem isolation bagi dirinya, buat tunggu waktu, buat giliken dan teguken batin sendiri supaya kemudian bisa melawan pada pertandingan yang bakal dateng, seperti Mr. Gandhi punya passive resistance dan non-cooperation akan bisa kuatken hati rakyat Hindia Inggris, hal mana sudah terjadi juga di Duitschland sebelum 1870 (Bismarck bikin pesta ketika dengar bangsa Frans cari kolonie), America punya Monru doctrine dan yang sekarang hendak dilakuken oleh Jepang dalam urusan politik. Tapi itu semua bisa jadi kusut dan berbahaya kalau dijadiken aktiviteit jika belum sampai waktunya dan salah tempat, seperti tuan Tju Bou San dengan ia punya plebesciet, kumpulken surat pernyataan buat jadi rakyat Tiongkok. Blakangan saya tanya pada tuan Tju Bou San dalam satu percakepan di kantoor re­dactie Sin Po, kenapa ia sampai ambil tindakan begitu berbahaya, saya dapat jawaban, lantaran provocatie, karena Perniagaan desek terlalu keras. Inilah saya tidak bisa setuju, apa lagi dalam antero Perniagaan tidak ada satu orang yang cukup cerdik buat sanggup kacao nasionalisme Tionghoa, tuan Gouw Peng Liang incluis. Perniagaan boleh bikin redactie Sin Po mendongkol, tapi itu semua tidak boleh jadi satu sebab akan „mata-gelap“ dan terbitken satu bahaya bagi bangsa Tionghoa.

Sin Po punya gerakan nasionalisme Tionghoa ada teguh sebab berdasar atas Kabeneran, Sin Po bisa menunggu waktu dengan sabar, tidak perlu jadi gugup lantaran kaributan kosong.

Lebih jahat dari ini kakliruan adalah tuan Tju Bon San punya gerakan buat cega Dr. Yap bikin satu conferentie pranti bicaraken perkara Volksraad, seperti ia mau tindes pikiran merdika. Dr. Tsai Yuan Pei, Rector Peking University, yang baru ini saya ketemu di Amsterdam, ada kapalaken gerakan „Pikiran Merdika“ di Tiongkok, dengan terbantu oleh professor Hu Hsu, sebab mereka anggap cuma dengan ini jalan bangsa Tionghoa akan bisa „interpret facts“ dan bikin perubahan serta maju dengan sehat.

Segala kakusutan Tionghoa sebagian besar sudah terbit dan tinggal makmur lantaran pikiran merdeka ditindes, hingga segala urusan tinggal gelap. Sala satu rahasia dari tegunya bangsa Inggris ialah karena mereka kasih merdeka pikiran, buat sapu segala kotoran. Samacem bigotterie tercampur dengan „fantasie Hokkian“ ada membikin orang Tionghoa tidak suka dengar kalau dikasi tahu kapal perang „Hay Kie“ akan ambrek kalau pasang meriamnya sendiri, sebab iganya sudah lama bejat. Di Tiongkok (dan Korea dulu) setiap tahun milyunan orang binasa lantaran lapar, Jepang pegang Korea 10 tahun, tidak ada lapar lagi. Kabanyakan orang Tionghoa tidak tahu di Kyoto ada satu patung, di mana ada ditanem 40.000 kuping Tionghoa, yang sudah dipotong di medan perang. Tuan Tjoa Liang Djien pernah cerita pada saya bagaimana ia dulu di Amoy jadi hampir hilap meliat tingkatnya „hakim-hakim“ yang cari suapan. Itu semua toh harus diubah.

Dr. Yap ada satu orang Tionghoa dan ia pun ada hak penuh seperti tuan Tju Bau San buat pikirken nasibnya bangsa Tionghoa, yang sekarang ada begitu kusut dan gelap, hingga sasuatu katerangan harus dihargaken. Tidak satu manusia sekarang bisa tahu dengan pasti bagaimana bangsa Tionghoa harus berlaku, maka tuan Tju Bou San ada berwajib akan sedikitnya kasih longgar pada Dr. Yap supaya ia ini bisa tuturken pemandengannya di satu conferentie agar bisa ditimbang oleh orang banyak, apa lagi tuan Tju Bou San tahu bagaimana kusut ada caranya itu conferentie di Semarang, yang sudah lewat beberapa tahun. Kalau ternyata Dr. Yap punya katerangan ada begitu lemah seperti tuan Kan Hok Huy punya alesan-alesan, itulah nanti malahan akan membikin lebih teguh Sin Po punya gerakan. Tjuma di sini ada satu ganjelan yang saya percaya Dr. Yap ada bersedia buat kasih lalu bila ia punya hati betul bersi: ia kudu berjanji bagaimana juga tidak nanti mau trima angkatan jadi lid Volksraad atau lain majelis dalam dua puluh tahun pertama, buat buktiken bahwa ia punya motief ada suci, berhubung dengan perlanggaran janji yang sudah dilakuken oleh tuan Kan Hok Hui, sekalian buat gencet segala curiga.

Kalau ia tidak mau bikin itu perjanjian, ternyata tuan Tju Bou San tidak salah, Dr. Yap tidak beda dari tuan Kan Hok Hui dan kaum officier Tionghoa yang mau cari nama dan kahormatan di Volksraad.

Jika benar Dr. Yap mau bekerja guna bangsa Tionghoa, ia bisa kerja lebih banyak di blakang kleer, apa lagi ia bukan satu tukang pidato yang pande buat bisa pengaruin Volksraad.

Di T.H.H.K., Jawa Hak Bu Tjong Hwee dan Siang Hwee masih ada banyak tempat buat Dr. Yap, di mana ia bisa pasang tenaga laluasa guna kamajuan economisch dan onderwys Tionghoa. Itu conferentie akan dibikin buat rundingken perkara Volksraad dengan segala hubungannya bagi bangsa Tionghoa di Hindia, bukan buat bicarakan pasal candidatuur.

Perlu lebih dulu diatur supaya itu conferentie akan jadi effectief dan mengasi katerangan lengkap pada publik Tionghoa, karena kalau tidak dijaga demikian nanti cuma jadi tempat omong-kosong dan pertengkaran saja. Sekalian bisa dirundingken hal centralisatie buat antero gerakan Tionghoa di Hindia.

Satu perkara penting bagi orang Tionghoa di Hindia adalah perkara pilih pemimpin, sebab ada bahaya tukang bertreak nanti mau jadi jago, dengan menjilat bikin senang hatinya publik Tionghoa. Buat pilih pemimpin tidak boleh dipake ukuran pasaran.

Upama orang Jepang paling setuju pada Yuan Shi Kai sebab cerdik dan brani berbuat, sementara Okuma dan Wilson dianggep „osabil“ alias suka mengobrol terlalu banyak.

Kadudukan orang Tionghoa di Hindia ada ruwet dan harus diusut satu-persatu libetannya.

Tidak bisa disangkal gerakan Bumiputra ada nasionalisisch, sabagimana ada ternyata dari sikepnya tuan Dwijosewoyo buat Budi Utomo dan dari caranya S.I., kendati terkadang dicoba buat topengin itu semua, barangkali sebab belum mau bertempur pada nasionalisme Belanda berterang, yang sekarang tidak tahu musti bikin apa, tertambah dengan nasionalisme Hindia yang dipimpin oleh Douwes Dekker dan Tjipto yang cerdik.

Lagi ada libetan international yang musti diperhatiken juga, berhubung dengan pertentangan di sakiternya Lautan Tedu, terutama sikepnya Jepang.

Barangkali dalam itu segala karuwetan dan pertentangan bisa didapet satu jalan buat satu compromis, hingga orang Tionghoa bisa bantu majuken Hindia (upama di buitenbezittingen) dan diri-sendiri tanpa bahayaken peri kabangsaannya, yang buat mereka ada satu kapentingan vital, maka bisa jadi kapentingan kolonial Belanda mau mengala; cuma dengan begini barangkali kemudian bisa terbit satu macem praktische solidariteit. Nederland sendirian toh tidak bisa majuken Hindia, hanya kudu dibantu.

Dalam perkara perbedaan wet bagi orang Tionghoa di Hindia, yang sudah mengusutken batin Tionghoa bukan sedikit, Mr. van Deventer mau suruh bangsa Tionghoa mengala pada kapentingan kolonial Belanda, ia kuatir bila orang Tionghoa dapat geljkstelling, orang Bumiputra nanti tidak mau tinggal diam. Saya majuken ini alesan dalam satu percakepan dengan Dr. Ouw Yang King pada tahun dulu di London dan dapat jawaban: — Urusan antara orang Belanda dan orang Bumiputra bukan kita punya business.

Saya belum bisa percaya pada assimilisatie, yang ditujuh juga oleh Dr. Du Bois, pemimpin-negeri yang tersohor, bagi bangsanya buat menyelak antara bangsa kulit putih.

Pertentangan dari beberapa nasionalisme di Hindia saya kira cuma akan bisa diberesken kalau masing-masing pihak saling mengaku sah, hargaken dan hormatken yang lain punya kadudukan sebagai bangsa dan manusia, tidak seperti satu adviseur pemerintah Hindia yang pernah kata pada saya dengan gampang, bahwa saya bukan orang Tionghoa. Ini appreciation kalau tidak bisa zoologisch, sedikitnya kudu ethisch.

Kalau ini stadium dalam hikayat Hindia sudah diliwatin, blakangan urusan bisa bertindak lebih jauh. Bukan officier Tionghoa atau tuan Kan Hok Hui, tapi nasionalisme Tionghoa yang desek pemerintah Hindia diriken H.C.S. Pun Volksraad sudah terbit bukan lantaran kaum regent, tapi lantaran nasionalisme Bumiputra, yang dipimpin oleh Cokroaminoto dan Tjipto.

Nietzsche anggap, Kabejikan (Tik) terbit lantaran manusia takut binasa saling terkam satu pada lain, maka kalau itu beberapa nasionalisme di Hindia bisa saling paksa yang lain hormatken kadudukannya, nanti bisa terbit satu Kabejikan di Hindia, buat jadi pangkalan kamajuan lebih jauh.

Geledek dan ujan-ribut tidak mengapa, kemudian nanti dateng udara yang bersi, sejuk dan tedu.