Dunia Tanpa Rokok
Cerpen karya Martini Rahman
Namaku Damar. Kalau ada laki-laki yang paling lemah, paling culun, paling tidak diandalkan, mungkin aku orangnya. Lihatlah diriku, aku tidak bisa merokok, tidak seperti teman-teman yang lain. Bahkan, menghirup asap rokok pun sudah membuatku mual dan muntah.
Trauma ini berawal dari aku kecil, aku tidak ingat persisnya, yang aku tahu saat itu kepalaku berputar-putar, hidungku seperti disumbat dengan sesuatu sehingga sulit untuk bernafas, sementara telingaku masih dapat menangkap sayup-sayup suara ibu dan bapak bersahut-sahutan.
“Rokok terus setiap hari, jatah makan tidak dikasih, susu Damar sudah habis dari minggu lalu, aku pontang-panting cari utang, dia enak-enakan ngudud.”
“Lah terserah aku, kan duitku, aku kerja panas-panasan ya wajar lah sesekali mau merokok. Minggu lalu kan sudah dikasih jatah makan, hari ini sudah minta lagi, memang kau sendiri yang tidak bisa atur duit.”
“Astaghfirullah! Pak! Damar, Pak!”
“Kenapa lagi?”
“Damar kejang-kejang. Nyalakan motor Pak, kita ke Puskesmas.”
Sejenak aku kehilangan kesadaran. Saat aku bangun, rupanya aku sudah berada di rumah sakit dan menggunakan sebuah alat yang aneh di hidung. Rasanya udara mengalir deras dan dingin, aku mulai bisa mendengarkan percakapan seseorang di sampingku.
“Untuk saat ini mungkin hanya asma saja, tapi kalau dibiarkan terus-menerus terpapar asap rokok, istilahnya adalah perokok pasif, itu berbahaya buat paru-parunya. Untung Ibu ada BPJS ya, bisa segera dirujuk ke rumah sakit, di Puskesmas belum ada peralatan yang memadai. Mulai sekarang, hindari rokok ya, demi kesehatan anak Ibu.”
Aku rasa, itu adalah suara seorang dokter wanita yang berbicara kepada ibuku. Namun, tak ada lagi suara orang terdengar, semuanya hening.
Sejak insiden itu, aku juga tidak lagi tinggal di rumah. Aku dititipkan di rumah nenek di desa, alasannya sangat tidak masuk akal, karena bapak tidak mau menghentikan kebiasaannya merokok. Sejak kecil, aku sudah menyadari bahwa orang yang paling egois adalah perokok.
Memiliki penyakit asma memang tidak menyenangkan, kapan saja bisa kambuh, bahkan ketika ingin menikmati hobi kita. Dulu, saat masih duduk di bangku SMA, aku dan dua temanku, Genta dan Sabda, ingin menyaksikan langsung Persija Jakarta main di Stadion Patriot Candrabhaga. Kami berangkat menggunakan KRL ke Bekasi, kemudian berjalan kaki menuju stadion.
Sebagai pelajar, tentu saja kami mengincar tiket yang paling murah, tidak apa, duduk di tribun mana pun sama saja, yang penting bisa melihat pemain idolaku secara langsung, Riko Simanjuntak. Aku bersemangat sekali bisa berada di tribun yang penuh dengan Jakmania, sesama suporter Persija Jakarta.
Sampai akhirnya, petaka itu terjadi lagi. Bukan, bukan Persija kalah atau pemain idolaku cedera, tapi pemandanganku yang mendadak gelap.
“Pucat banget kamu Mar, kenapa? Belum makan?” tanya Genta.
“Itu, ada yang merokok,” sahutku pelan, mencoba untuk menahan muntah yang sudah ada di kerongkongan, dan tidak menyinggung orang yang merokok di sampingku.
“Wah, kok bisa? Bukannya rokok, pemantik dan botol minum tadi banyak yang disita petugas di luar stadion, ya?” bisik Sabda.
“Halah, gampang kok kalau mau nyelundupin rokok. Lagian kamu sendiri yang cemen, hari gini masih takut asap rokok,” sahut Genta.
Aku tidak lagi mendengar cemoohan Genta, karena aku sudah berlari ke luar, mencari toilet terdekat. Naas, aku tidak bisa menahan gejolak di perutku. Aku pun muntah di lorong, di tempat orang lalu lalang untuk masuk atau keluar tribun. Aku bahkan tidak bisa melihat pandangan sinis orang-orang, semuanya gelap.
Benar, gara-gara asma dan asap rokok, aku jadi mudah terkena asam lambung. Aku benar-benar tidak bisa menikmati masa muda dengan baik seperti teman-teman yang lain. Sedikit-sedikit pusing, muntah, sesak nafas, minum obat, benar-benar culun.
Syukurlah, berkat kebiasaan menghindari rokok, aku memiliki penampilan yang sedikit rapi, kesehatan gigi dan mulut terawat, sampai akhirnya diterima bekerja sebagai media relations di sebuah perusahaan PR yang cukup besar di Indonesia. Aku senang berjumpa dengan orang-orang baru, menjalin kerja sama, membuat sebuah acara menjadi sukses, dan tidak hanya mendapat bayaran, tapi juga ada kepuasan tersendiri.
Sampai suatu hari, klien yang puas dengan acara yang baru saja aku handle, mereka mendapat exposure yang besar di media nasional, dan langsung mengundangku untuk makan-makan dan perayaan sederhana di kafe. Siapa sih yang menolak undangan makan-makan. Aku langsung merapikan tasku dan berangkat ke kafe yang dimaksud.
“Mas Damar, sini,” kata Pak Alex, klien yang mengundangku makan-makan.
Aku di bawa ke sebuah ruangan yang mereka pesan, isinya petinggi-petinggi yang juga sedang merayakan kesuksesan acara mereka. Aku lihat ruangan ini cukup eksklusif, tidak ada pengunjung lainnya. Aku tidak masalah saat salah satu dari mereka memesan minuman yang tidak familiar, minuman untuk orang-orang yang sedang berpesta.
Namun, yang membuatku risih, mereka mulai menghisap rokok, vape, dan entah apa lagi yang menimbulkan kepulan asap di dalam ruangan tertutup itu. Tidak apa-apa, aku cukup hadir sebentar di sini, sedikit basa-basi, kemudian langsung pergi.
“Luar biasa, Mas Damar. Sampai sekarang, campaign kita masih trending topic di media, hebat sekali kerja Mas Damar ini,” kata Pak Alex sembari menghisap rokoknya. Kalau boleh aku menilai, kemasannya sangat eksklusif, pasti harganya juga mahal, tidak seperti rokok bapak yang kuingat saat kecil.
“Terima kasih banyak, Pak Alex. Senang bisa bekerja sama dengan perusahaan yang sangat kekeluargaan ini. Kalau ada acara lagi, boleh dikontak lagi, saya selalu siap untuk Pak Alex lho,” sahutku dengan senyum terbaik yang aku bisa. Gawat, aku sudah mulai sulit bernafas dengan normal.
“Nah ini yang saya suka, Mas Damar ini kayak on 24 jam, selalu siap, jarang lho ada orang yang begitu. Padahal saya ini tidak mau membebankan karyawan saya di luar jam kerja. Saya tidak mau mereka tertekan bekerja di perusahaan, karena kan konsepnya kekeluargaan ya, mereka harus merasa nyaman agar totalitas juga saat bekerja.”
Sampai di sana, aku sudah tidak mendengarkan lagi basa-basi Pak Alex. Kepalaku sudah tidak bisa mencerna kata-kata beliau, aku bernafas dari mulut, pasti akan terlihat aneh di mata para petinggi-prtinggi perusahaan itu. Bodo amat, aku masih mau hidup.
Belum sempat aku meminta izin untuk keluar dari ruangan, pandanganku sudah gelap gulita.
Selamat Datang di Dunia Tanpa Rokok
sunting“Selamat datang di dunia tanpa rokok.”
Saat aku membuka mata, seorang wanita cantik tersenyum kepadaku. Aku bangkit dari pembaringan, dan melihat sekeliling, aku sedang berada di taman bunga yang lapang, warna-warni bunga menghiasi dataran yang luas, dibatasi dengan pepohonan yang hijau.
Saat aku menarik nafas, sangat nyaman, seolah wewangian bunga langsung masuk ke hidung dan menghangatkan dadaku. Wanita cantik itu masih tersenyum menatapku.
“Maaf, saya di mana ya?” tanyaku.
“Di surga,” sahutnya, masih dengan senyum yang mengembang.
Bak mendengar suara petir, aku pun diam terpaku. Apakah ini benar-benar surga? Mengapa hanya ada aku sendiri, bersama wanita cantik itu? Apakah aku sudah melalui proses kematian, menghadapi pertanyaan dua malaikat, penghitungan amal, dan melewati jembatan shirath yang sangat tipis itu? Apakah mungkin ini bisa terjadi?
“Benarkah? Aku di surga? Lalu bagaimana dengan ibu dan bapakku?”
“Mereka masih di dunia.”
Aku terdiam, melempar pandangan ke arah bunga-bunga yang terhampar. Saat aku coba menarik nafas, semuanya terasa mudah, tidak ada hambatan di hidungku, dan dadaku juga semakin hangat. Namun, kalau boleh aku katakan, rasanya ini bukan surga yang aku harapkan. Aku selalu berharap, aku bisa bersama-sama dengan orang tuaku di akhirat kelak.
“Kalau boleh, apakah aku bisa kembali ke dunia lagi? Aku ingin membahagiakan ibuku, dan aku ingin membantu bapakku berhenti dari kebiasaannya merokok. Cita-citaku yang satu itu belum tercapai, apakah masih ada waktu untukku?”
“Tentu saja,” sahut wanita cantik itu.
Kemudian, semuanya menjadi putih dan menyilaukan mata. Wanita itu, hamparan bunga-bunga itu, semuanya semakin tipis dan hilang.
Gara-gara pemandangan yang menyilaukan itu, aku menutup mata. Saat aku coba membuka mata lagi, aku melihat wajah ibuku yang sayu.
“Alhamdulillah ya Allah. Damar siuman, Pak. Panggilkan dokter, Pak.”
Buru-buru ibu mengusap air matanya, lalu menatapku lagi.
“Ya Allah, panjang umur kamu Nak. Tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain kamu. Ibu akan melakukan apa saja demi kesehatan kamu. Maafkan Ibu selama ini abai dengan Damar ya.”
Nah, ini baru yang namanya surga, melihat wajah ibuku, dielus oleh tangannya yang memiliki gurat-gurat kesungguhan. Dulu aku terlalu asik bekerja dan membangun karir, sehingga belum bisa membahagiakan beliau. Ini saatnya bagiku untuk membalas jasa orang yang telah melahirkanku ke dunia.
Kembali
suntingAku menggandeng tangan ibu dan bapak, kami berjalan beriringan, kemudian aku berhenti di depan rumah mungil berwarna putih, dengan halaman luas yang ditumbuhi bunga warna-warni, rerumputan hijau, dan batu-batu putih. Ada kolam kecil berisi ikan di samping rumah, dan gemericik air memecah keheningan.
“Masya Allah, rumah siapa ini Damar?”
“Rumah Ibu dan Bapak, dong,” sahutku sembari tersenyum.
Aku biarkan kedua orang tuaku melakukan sujud syukur. Saat mereka bangkit dan memelukku hangat, aku memberikan sedikit surprise untuk Bapak.
“Eits, tinggal di sini ada syaratnya, lho. Bapak harus lihat itu tuh,” kataku sambil menunjuk gerbang masuk komplek. Iya, rumah mungil ini berada di dalam komplek di pinggiran kota Jakarta. Ajaib kan, masih ada lingkungan yang hijau dan asri di Ibukota.
‘Kampung Tanpa Rokok’, tertulis membentang di gerbang tersebut.
“Oh, itu sih mudah. Bapak ini lho, sayang duit. Masa kerja keras panas-panasan setiap hari, uangnya dihabiskan buat merokok, mending dikasih ke Ibu, kan bisa makan enak,” kata Bapak sembari tertawa.
Detik itu, kami tertawa bersama-sama. Rasanya hangat, sama seperti saat berada di surga, kalau benar-benar pemandangan saat itu adalah surga. Hari itu, kami menyambut kehidupan baru di ‘Kampung Tanpa Rokok’, kampung yang aku gagas bersama Pak Alex, yang kini akan menjadi tetangga kami.