Festival Bantengan
Premis
suntingArga ingin ikut menjadi pemain bantengan di acara Festival Bantengan, tetapi Bapaknya tidak mengizinkan karena dianggap belum siap, Arga membuktikan kalau dia sudah siap dengan tetap rajin latihan.
Lakon
sunting- Arga
- Bapak
- Ibu
- Kawa
Lokasi
suntingMojokerto, Jawa Timur
Cerita Pendek
suntingKesal
suntingArga masih belum menerima keputusan Bapak dan Pakde Tok. Di usianya yang sudah sebelas tahun, dia belum diizinkan untuk menari Bantengan di acara Festival Bantengan Kabupaten Mojokerto. Padahal, dia dan sahabatnya Kawa hampir setiap hari berlatih.
“Belum saatnya, Nak. Nanti akan tiba waktunya kamu tampil,” jawab Bapak saat Arga protes lagi.
“Kapan itu, Pak? Percuma latihan terus.” Arga merengut
“Tunggu saja, pasti akan terjadi. Tingkatkan lagi saja waktu latihanmu. Menari sambil memegang kepala banteng itu tidak mudah, apalagi dalam waktu lama.”
“Eh, Ibu dapat pesanan kue onde-onde lumayan banyak untuk festival nanti, Ga. Ibu butuh bantuanmu.” Ibu yang baru masuk dari dapur ikut nimbrung.
Tentu saja Arga makin kesal, Festival Bantengan kali ini sepertinya tak akan ada beda dengan tahun lalu, jual makanan! Dia pun melengos pergi ke kamar.
Keesokan harinya, meski kesal Arga tetap mau mengasuh adiknya yang masih lima tahun. Mereka sedang menonton Bapak berlatih Bantengan bersama teman-teman komunitasnya.
“Hai, Ga!” tiba-tiba Kawa muncul di belakang Arga
“Hai! Ngagetin saja!”
“Makanya jangan melamun. Kamu masih kecewa ya? Harusnya kamu terima peran jadi harimau atau monyet, Ga. Jadi kamu tetap bisa ikutan tampil di Festival,” ujar Kawa.
“Nggak mau! Aku ini banteng bukan harimau apalagi monyet.”
“Lihat itu Bapakmu, Ga! Gagah sekali!” Kawa menunjuk Bapaknya Arga
“Iyalah, siapa dulu dong anaknya!” Arga melirik Kawa dan keduanya tertawa.
Mata Arga tak lepas sedikit pun dari gerakan Bapaknya. Sudah lama dia mengagumi dan bangga pada keahliannya. Dia sangat ingin seperti Bapak.
Tetap Latihan
suntingSetiap hari, Bapaknya Arga latihan. Menjadi pemain Bantengan harus benar-benar kompak, karena dimainkan oleh dua orang yang berbeda. Ayahnya Arga kebagian di depan sebagai kaki depan dengan memegang kepala banteng, sementara temannnya sebagai kaki belakang sekaligus mengendalikan ekor. Pemain bantengan juga harus memiliki stamina yang kuat, karena pertunjukannya lama dan kadang diakhiri dengan iring-iringan mengelilingi kampung.
Arga walau tidak terpilih tetap latihan bersama Kawa. Mereka juga beberapa kali ikut gabung berlatih mengikuti gerakan Bapak dan temannya yang akan tampil. Satu hari menjelang tampil, Arga tidak bisa ikut latihan, karena harus membantu Ibu menyiapkan bahan-bahan kue suntuk dijual besok.
Siang itu, Arga menyiapkan bahan kue onde-onde salah satu jajan kesukaannya.
“Tahun ini pesanan kue onde-ondenya naik dua kali lipat, Ga. Belum lagi untuk jualan di luar pesanan. Untung Ibu dibantu kamu, Nak.”
“Syukurlah, Bu.”
“Wah Arga di sini ternyata. Bapak cari di Sanggar pantesan nggak ada. Sibuk nih?” Bapak yang baru datang menatap Arga yang sedang menimbang kacang hijau untuk isian onde-onde.
“Kenapa Pak nyari Arga?” Arga bertanya tanpa melihat Bapak.
“Kamu masih mau ikut Festival tidak?”
“Emang boleh?” Arga menghentikan kegiatannya. Dia menatap Bapak penuh tanya.
“Pakde Tok memutuskan menambah pemain bantengan dari remaja biar lebih ramai. Dia memilih kamu dan Kawa.”
“Hah! Yang benar, Pak?” Mata Arga membesar.
“Iya. Cepetan ke Sanggar! Biar Bapak yang bantuin Ibumu.”
“Wah, terima kasih, Pak. Tapi, Ibu bagaimana besok?”
“Ayo pergi sana! Besok Ibu dibantu Nenek. Dia pasti senang lihat kamu dan ayahmu tampil bersama.” Ibu menepuk Pundak Arga.
Arga lari ke Sanggar dengan wajah berbinar. Di sana, Kawa menunggunya dengan sukacita. Keduanya langsung latihan mengikuti alunan musik. Karena sudah biasa latihan, tidak sulit bagi keduanya menari sambil memegang kostum bantengan. Walau cuma latihan sebentar, Pakde Tok yakin Arga dan Kawa sudah siap ikut pertunjukkan besok.
Festival Bantengan Pertama Arga
suntingAcara yang dinantikan pun tiba. Festival Bantengan Mojokerto diikuti oleh banyak Komunitas Kesenian Bantengan yang tersebar di beberapa desa. Arga dan Kawa yang sedari subuh mempersiapkan semua, sudah siap di lapangan. Mereka begitu gagah dengan kostum hitam dan ikat kepala merah.
“Semuanya siap! Semua pada posisinya masing-masing!” Pakde Tok yang gagah dengan memakai baju pendekar memberi perintah sambil memegang pecut.
“Pokoknya kamu ikuti banteng Bapak ya. Bapak yakin kamu dan Kawa bisa!” Bapak menoleh ke sebelah dimana Arga dan Kawa siap beraksi.
“Siap, Pak!” Arga menjawab penuh semangat. Ini adalah pertunjukkan pertamanya dan dia ingin mempersembahkan yang terbaik.
Setelah berdoa bersama, pertunjukkan Bantengan pun dimulai. Banteng Bapak dan Arga beraksi bersama diiringi musik. Di dekat mereka juga ada pemain yang memerankan harimau yang berperan mengganggu banteng. Beberapa saat kemudian, Bantengan Bapak mulai mengamuk. Dua orang pemain menarik tali di kiri dan kanannya. Pada bagian ini, Arga dan Kawa tidak mengikuti Bapak. Mereka cukup menari dan mempersembahkan gerakan bela diri yang sudah mereka pelajari.
Setelah cukup lama banteng Bapak Arga dan temannya mengamuk, akhirnya mereka kembali tenang dengan bantuan Pakde Tok.
“Aku capek, Wa!” Arga yang sudah kepayahan berteriak pada Kawa.
“Iya, sama. Tanganku pegal, Ga!”
“Ayo bersiap untuk mengelilingi lapangan!” tba-tiba Pakde Tok berteriak.
Arga dan Kawa berjalan dengan lemas. Mereka bahkan berniat menyerah dan undur diri duluan. Tapi, saat melihat banteng Bapaknya begitu bersemangat, semangat Arga pun jadi naik.
“Ayo Arga semangat!” teriak Nenek Arga yang menonton dengan menggendong adik.
“Ayo Kawa semangat, Nak!” teriak Ibu Kawa yang juga menonton
“Wah, ada suara Ibuku, Ga!” ujar Kawa
“Iya, ada Ibumu dan Nenekku menggendong Arta. Ayo semangat!”
Dengan semangat tersisa, akhirnya Arga dan Kawa berhasil menyelesaikan pertunjukkan pertama mereka dengan baik. Arga akhirnya mengerti apa yang dikhawatirkan Bapak. Memegang kepala bantengan sambil bergerak kompak itu sangat tidak mudah. Padahal kostum dan kepala banteng yang dipegangnya adalah yang paling ringan.
“Bapak bangga padamu, Ga. Suatu hari nanti kamu akan menggantikan Bapak menjadi penari Bantengan yang lebih hebat!” Bapak merangkul Arga.
Acara Festival Bantengan hari itu berakhir dengan meninggalkan kesan yang luar biasa di hati Arga. Dia berjanji akan terus menari Bantengan sampai tua nanti.