Festival Sekolah
FESTIVAL SEKOLAH
suntingArina gugup sekali. Tangannya terasa dingin. Sungguh hari pertama yang panjang di sekolah baru. Arina baru mengenal Jingga. Dia tidak sempat berkenalan dengan yang lainnya. Lalu, tepat sebelum pulang sekolah, guru yang sedang mengajar menjelaskan hal lain yang baru Arina tahu. “Kalian tahu hari apa yang akan kita rayakan dua minggu lagi?” tanya ibu guru, yang kemudian Arina tahu namanya Ibu Exa. Semuanya mengangguk kecuali Arina. “Kalian sudah siap untuk persiapan festival ulang tahun sekolah?” Terdengar sorak sorai mengiyakan. “Kalian sudah menentukan kelompok kalian?” Arina bingung. Kapan ulang tahun sekolah? Apa mereka sudah menentukan kelompok? Lalu, bagaimana dengan Arina? Dia baru masuk sekolah hari ini. Dia tidak tahu apapun tentang festival dan belum mengenal siapapun selain Jingga. Arina akan masuk kelompok siapa? Arina semakin bingung. Jika dia tidak masuk kelompok manapun, apa yang harus dia lakukan? “Bu, saya Arina. Saya murid pindahan dan baru masuk sekolah hari ini. Saya belum mempunyai kelompok,” ucap Arina sambil mengangkat tangan. “Tepat sekali kalau begitu. Hari ini, kita baru akan menentukan kelompok. Sudah siap semuanya? Silahkan maju satu persatu dan mengambil potongan stik ini untuk menentukan kelompok kalian.” Puh, Arina menghela napas. Ternyata kelompok akan ditentukan secara acak. Murid di barisan depan maju pertama, mengambil stik, membacanya dan terdiam. Murid berikutnya juga maju, mengambil stik, membacanya lalu tertawa. Apa yang tertulis di stiknya ya? Mereka yang sudah mengambil stiknya tidak menyebutkan apapun. Giliran Arina yang maju dan mengambil stiknya. Ada tulisan “Ayam” di stik yang diambil Arina. Arina sempat mengintip tulisan di stik lain dan tertulis “kerbau”. “Sudah membaca stik kalian? Sekarang mulailah bersuara seperti nama hewan yang tertulis untuk menemukan rekan satu grup kalian,” terang Ibu Exa. Seisi kelas langsung berisi aneka bunyi. Ada suara kururuyuk ayam, suara melenguh kerbau, suara meow dan suara lainnya. Suara ayam malah ada dua versi. Satu yang berbunyi kukuruyuk, satunya lagi berbunyi petok-petok. Setiap orang meniru suara hewan, mendengarkan siapapun yang bersuara sama dan segera membentuk kelompok. “Semua orang sudah mendapat kelompoknya?” tanya Ibu Exa. Sepertinya begitu. Mereka saling bertanya untuk memastikannya lagi. “Kalau begitu, kumpulkan lagi stiknya,” lanjut Ibu Exa. “Stik tersebut masih akan dipakai untuk membentuk kelompok di lain kesempatan.” Mereka mengumpulkan stik dan mulai duduk sesuai kelompok. “Nah, akan Ibu umumkan sekali lagi kalau pada festival sekolah, setiap kelas akan mendapatkan stan khusus untuk menampilkan keahliannya. Kalian bisa membuat kerajinan tangan, makanan atau stan apapun yang kalian yakin bisa kalian kelolah. Setiap kelas juga akan memilih perwakilan untuk beberapa lomba yang ada seperti lomba memasak, fashion show dan lomba lainnya yang bisa kalian lihat dalam poster. Kita mendapat stan yang besar untuk setiap kelas jadi setiap kelompok harus mengisi stan tersebut dengan idenya. Kalian bisa mulai berdiskusi,” Ibu Exa menjelaskan. Arina setengah mengerti dengan penjelasan tersebut. Intinya, mereka harus membuat sesuatu dan menampilkannya pada hari ulang tahun sekolah.
Hari kedua di sekolah, Arina membawa bekal roti bakar selai strawberry yang dia buat sendiri. Selai strawberry buatannya juga rasanya manis. Sebab, ini strawberry yang ditanamnya sendiri. Arina membuat banyak untuk dirinya sendiri dan teman lain. Jika ada yang meminta, Arina akan memberikan. Lalu mereka bisa menjadi teman, pikir Arina. Mama selalu mengajarkan untuk membawa bekal. Selain sehat, Arina juga bisa menabung uang jajannya. “Namamu Arina, kan?” tanya seorang anak lelaki saat Arina masuk duduk di bangkunya. “Namaku Redo. Kita satu kelompok untuk festival sekolah.” “Halo, Redo. Aku Arina,” Arina mengulurkan tangan. Sepertinya hari kedua akan lebih menyenangkan. Dia sempat khawatir bagaimana cara menemukan kawan kelompok festivalnya tapi sepagi ini, salah satu dari mereka sudah menegur lebih dulu. “Ini Zori,” Redo mengenalkan anak lelaki yang di sebelahnya. “Lalu itu namanya Tenisia,” Redo lanjut mengenalkan teman-temannya. Arina berusaha mengingat wajah mereka. Redo mempunyai rambut ikal. Zori terlihat tinggi. Tenisia memakai pita di rambutnya. “Hei! Biarkan aku berkenalan sendiri,” protes anak yang bernama Tenisia. “Halo, Arina,” Tenisia mengulurkan tangan, “Namaku Tenisia. Panggil Ten aja. Atau Teni. Jangan panggil nis ya. Kayak anak kucing.” Arina tertawa, teringat dia selalu memanggil kucing dengan sebutan manis yang selalu disingkat nis nis. “Halo, Ten,” jawab Arina. “Namaku Arina.” Arina berkenalan dengan teman sekelompoknya. Tak lama, mereka mulai membahas apa yang akan mereka lakukan. Ternyata masing-masing dari mereka sudah memikirkan apa yang akan mereka buat sejak minggu lalu. Jadi, mereka bisa dengan lancar mengutarakan apa yang mereka inginkan. “Aku mau menyanyi selama festival,” ide Tenisia. “Kau bisa menyanyi?” tanya Zori. Tenisia mengangguk mantap. “Kau bisa menyanyi juga bersamaku kalau mau.” “Aku tidak bisa menyanyi.” “Lalu kau bisanya apa?” “Aku bisa menangis,” ejek Zori. Arina dan Tenisia tertawa. Zori lucu sekali! Arina hanya mendengarkan. Bahkan sampai bel istirahat berbunyi... Saat jam istiharat, sebelum istirahat, Arina menyapa Jingga dan menawarkan roti bakar buatannya. Arina membuat cukup banyak jadi Tenisia dan Redo juga mendapatkan roti bakar. Biasanya bekal Arina adalah nasi, ikan dan sambal andaliman buatan Mama. Sambal itu rasanya sedap, sedikit pedas dan sedikit campuran rasa lemon dari andalimannya. Pohon andaliman tumbuh liar di tanah mereka. Meskipun tidak diberikan perawatan khusus, mereka tetap tumbuh subur. Mama suka memetiknya atau menjualnya sebagai rempah yang ditambah ke dalam masakan khususnya sambal. Tapi, ya karena Arina sedang mempunyai selai, Arina membuat roti bakar. “Rasanya enak,” puji Tenisia. “Terima kasih.” “Bagaimana jika menjual roti bakar saja untuk festival?” “Heiiii-----” Tenisia melerai. “Kalian seharusnya bertanya dulu seberapa banyak yang bisa Arina buat untuk dijual. Kalian bahkan tidak bertanya apakah Arina bisa membuatnya?” Redo dan Zori menoleh pada Arina. “Aku tidak yakin bisa membuat banyak roti bakar di rumah untuk dijual. Soalnya roti bakar harus dibuat di hari yang sama. Tapi aku bisa membuat ice cream,” saran Arina. “Ice cream sungguhan?” Arina mengangguk, ”Tentu saja. Memangnya ada ice cream bohongan? Ada sebuah peternakan sapi di dekat rumah lamaku. Aku sering membeli susu di sana dan membuatnya jadi ice cream. Menurutku rasanya enak.” “Aku juga mau ice cream!” Arina tersenyum percaya diri. Tenyata idenya diterima oleh mereka. “Kita juga membuat donut. Kalau kalian membantuku, kita bisa membuatnya banyak untuk dijual,” saran Tenisia. “Menurutku donat juga lebih enak dari roti bakar,” sahut Arina mendukung ide Tenisia. Arina sudah membuat ice cream puluhan kali dengan berbagai varian rasa. “Aku juga bisa makan ice cream dan donut kalau kalian mau tahu rasanya sebelum dijual,” ucap Zori lalu menyengir lebar.
Seperti kesepatakan awal, mereka semua sudah meminta izin pada orangtua mereka dan hari itu, sepulang sekolah, mereka pergi ke rumah Arina untuk praktek membuat kue. Tak lama setelah sampai, mereka bersiap untuk praktek memasak. Bahan-bahan dikeluarkan satu persatu. Ada tepung, telur, mentega, pengembang dan berbagai bahan dan peralatan masak lainnya. Ibu Arina juga memantau kegiataan mereka.
“Tolong buka ragi instan di bungkusan itu,” Tenisia meminta tolong pada Zori. Arina mulai membuat donat dengan temannya.
Krek! Zori membuka ragi instan dengan giginya. Yum, yum, ada serbuk yang termakan olehnya. “Ahh, raginya tertelan olehku!” Zori menjerit panik. Rasa ragi aneh sekali. Semua orang berhenti bekerja ketika mendengar teriakan Zori. Arina dan Tenisia berhenti menguleni adonan mereka. “Itu gawat sekali! Bagaimana ini?” Redo ikutan panik. “Bagaimana bisa gawat. Kan ragi makanan juga. Jadi tidak masalah, kan?” tanya Tenisia tak paham melihat Zori panik. “Kau tahu fungsi ragi?” tanya Redo. “Untuk membuat kue,” jawab Tenisia. “Iya, benar. Tapi ragi berguna untuk membuat adonan mengembang. Jika kita memakan ragi mentahnya, ragi-ragi itu akan membuat tubuh kita mengembang! Seperti balon! Seberapa banyak yang termakan olehmu?” tanya Redo prihatin. Zori menyerahkan bungkusan Redo melihat sisa isinya. “Gawat sekali. Kau menelan terlalu banyak. Kau akan menjadi gembung dalam satu jam. Sebesar ini,” Redo membentuk sebuah balon yang sangat besar dan sengaja menggembungkan pipinya. Arina tertawa dan melerai. “Redo hanya bercanda, Zori. Kau tidak akan mengembang dalam satu jam,” ucap Arina memberikan penjelasan. Zori tampak sedikit lega mendengar penjelasan Arina. Dia berpikir bahwa Arina pastii tidak akan menjahilinya. “Kau akan mengembang dalam lima belas menit!” lanjut Arina kemudian. Ternyata dia menakuti Zori juga. “Hush! Kau tidak akan mengembang. Kau kan bukan bahan adonan,” lerai Tenisia kemudian. Zori menghela napas lega. Untuk kemudian dia cemberut saat melihat Redo dan Arina. Beruntungnya, tidak ada kejadian aneh lagi yang terjadi. Tidak ada tepung yang tumpah, tidak ada telur yang teraduk bersama kulitnya dan tidak ada yang salah menaruh adonan sesuai urutannya.
Kemeriahan festival menjalar ke semua orang. Ada banyak sekali stan yang menjual barang-barang unik, makanan, hingga menjadi panggung pertunjukkan. Arina sempat berkeliling seluruh stan saat waktu istiraharat. Dan yang paling menarik menurutnya adalah stan dengan sebuah panggung dimana ada orang murid kelas enam yang menyanyi. Dia menyanyi sendiri dengan dua suara! Mereka membuat satu panggung dan murid tersebut menyanyi bersama bonekanya. Mereka tidak memungut tiket pertunjukkan di awal. Siapa saja bisa menonton. Tapi, mereka menyediakan sebuah kotak besar di dekat pintu masuk stan mereka. Jadi, siapapun yang menyukai pertunjukkannya bisa memasukkan kupon dengan nominal berapapun di kotak tersebut. “Suara Delya dan Dion selalu saja bagus!” ucap Zori. “Siapa Dion?” tanya Arina. “Boneka itu. Delya adalah ventriloguist. Jadi, dia mengeluarkan suara lain seolah-oleh boneka tersebut yang bersuara. Dan dia memberi nama pada setiap bonekanya.” “Dia bisa bernyanyi dalam dua suara?” tanya Arina penasaran. Ada banyak teman yang memiliki suara bagus yang dia kenal. Tapi Arina belum pernah bertemu seorang seperti Delya. “Aku pernah mendengarnya menyanyi dengan bonekanya yang lain jadi dia bisa tiga suara atau mungkin lebih. Dia sering tampil sejak kelas tiga,” terang Zori. Arina terkesima. Ternyata menyanyi ada banyak sekali jenisnya. Belum lagi ternyata teman-teman di sekolah barunya memiliki banyak sekali bakat unik. Sebagai murid baru, wajar Arina belum mengetahui banyak hal. Tapi, lihat saja, Arina bertekad akan belajar bersungguh-sungguh. Bakat adalah hobi yang diasah dan dia mempunyai hobi yaitu memasak. “Arina, apa donat kita masih ada?” tanya Mika. “Masih banyak. Tapi belum sempat dihias,” jawab Arina. Mika, Arina, Zori, Utik dan beberapa teman lain bertugas menjaga stan pada jam itu. Kebetulan sekali, stan Arina berdekatan dengan stan murid penyanyi Ventrologuist itu. Jadi, Arina dan teman-temannya bisa menjajahkan ice cream dan donut yang mereka buat pada semua orang yang menonton pertunjukkan Delya dan bonekanya. Kelas mereka lebih banyak menampilkan seni pertunjukkan. Arina selalu mencuri waktu untuk memperhatikan pertunjukan itu. Selain menyanyi, mereka juga menampilkan sebuah cerita rakyat Sumatera Utara. Ada beberapa murid yang mementaskannya. Kisahnya berjudul Legenda Bahilang. Dalam pentas ini, seorang anak berpakaian seperti seorang nenek dan memulai monolognya. Dikisahkan bahwa dulu ada seorang nenek dan cucu lelakinya yang tinggal di sekitar sungai Bahilang, Tebing Tinggi. Sang nenek selalu menjaga mata air itu tapi ketika dewasa, cucunya justru merusak area di sekitar sungai dengan terus menebang pohon dan membuat hunian. Karena kecewa, nenek tersebut akhirnya menyumpah bahwa air tersebut kelak akan hilang...
“Aduh, bagaimana ini? Kita tidak punya banyak waktu. Donat kita hampir habis.”
“Aku tidak bisa membantu. Kami sedang sibuk dengan ice cream,” ucap teman Arina yang menjaga ice cream. Arina tidak bisa selalu mendengarkan pertunjukan itu karena dia juga sibuk di stannya. Tapi, itu legenda yang menarik. Legenda itu harusnya menjadi pelajaran kalau kita harus nenanam pohon dan menjaga air. Bukankah itu juga bisa dijelaskan dengan logika? Pohon membantu proses resepan air. Jadi, ketika banyak pohon yang ditebang, air hujan yang deras tidak mampu terserap oleh tanah. Hasilnya antara tanah longsor atau banjir. “Kalau begitu biarkan saja pembeli menghias donat mereka sendiri,” saran Utik sambil mengambil kertas, “Kita bisa tulis sesuatu di sini. Donat Lezat Kreasi Hias sendiri misalnya?” “Aku setuju,” sahut Zori. “Kau bisa menuliskannya sekalian?” Utik mengangguk. Puh, sepertinya masalah akan selesai. Segera mereka kehabisan donut yang sudah dihias dengan glaze. Tapi, tak apa, ternyata ada banyak pembeli yang justru tertarik menghias donut mereka sendiri. Ada pembeli yang mencampurkan glaze berwarna ungu dan biru, ada yang menaburkan sprinkle bahkan ada yang yang menulis nama mereka di donut yang akan mereka makan. Selama festival, Arina belajar bekerja sama dengan teman-temannya dan berimproviasi saat hal yang tidak terduga terjadi. Bagaimana sekolah baru Arina? Pindah sekolah bukan hal yang menyeramkan. Bertemu dengan teman baru artinya belajar banyak hal baru. Yang paling penting adalah menjadi seorang teman yang baik untuk orang lain.