Fotosintesis Filosofis
Orang-orang bilang aku biasanya ada di tempat pemakaman umum atau ada di sekitar tempat ibadah umat Hindu. Mereka heran kenapa aku sekarang ada di sekitar gedung kampus. Tepatnya, berada di sebelah kiri gedung kampus, dekat dengan pintu barat, tepat di samping area parkir kendaraan roda dua. Ah, mungkin aku adalah satu dari sedikit yang spesial di antara diriku di semesta yang berbeda.
Bagaimana tidak, bukankah mengerikan tidur, bangun, dan beraktivitas sepanjang hari selama seumur hidup hanya berada di aera pemakaman? Karena yang aku dengar dari cerita mahasiswa dan mahasiswi, pemakaman itu tempat yang menakutkan. Meskipun mereka juga tetap mengunjunginya, setidaknya sekali setahun, untuk sekadar mengirimkan doa kepada keluarga atau orang tua yang telah meninggal dunia.
Aku malah penasaran dengan diriku di semesta yang hidup di area tempat ibadah umat Hindu. Agaknya menyenangkan tinggal di sana, karena pasti akan ada banyak orang yang mendoakan kesejahteraan untukku. Begitu kata bapak dan ibu dosen yang bercerita tentang masjid ataupun gereja. Tapi, apakah di pura juga akan menemukan hal yang sama? Karena selama ini aku belum pernah dengar seperti apa tempat ibadah umat Hindu.
Sial, sepagi ini aku udah overthinking sejauh itu, padahal udah bagus hidupku di sini. Rantingku yang menghalangi pintu masuk kampus selalu dipotong. Meskipun lebih tepatnya dipatahkan, sih. Aku juga bersyukur tinggal di sini, karena setiap sore selalu disiram. Meskipun dengan air bekas cuci piring, sih. Tapi tak apa, mengingat curah hujan yang rendah dan tanah bertekstur karang, air bekas cuci piring tentu tak terasa buruk.
“Lihat-lihat, Ri! Kembang kuburan itu mulai bicara sendiri,” perintah Lili kepada Ari.
“Ah, ngapain juga ngeliatin dia. Toh, hampir setiap pagi dia selalu begitu. Ada saja hal yang dia keluhkan. Mending kita fokus sama embun yang belum mengering ini untuk membersihkan badan kita dari ludah pinang yang dibuang anak-anak jahanam itu.” Ari merespon Lili dengan tidak antusias.
“Selamat pagi Lili dan Ari, udah bangun kalian?” Boja menyapa keduanya.
“Iya, nih. Semalam hujan gak turun jadi harus cepat-cepat mandi sebelum embun pagi pergi,” jawab Lili.
“Beginilah nasib rumput liar, gak ada yang peduli untuk menyiram kami, setidaknya dengan air bekas cucian piring sekalipun,” Ari menyahut. “Yang ada malah jadi sasaran ludah pinang terus!” lanjut Ari kesal.
“Tapi kalian sebaiknya bersyukur karena dikaruniai kekuatan yang luar biasa oleh Tuhan,” Boja menimpali, “karena sebelumnya, di dekat tempat tinggal kalian itu ditanam daun pucuk merah. Hanya saja setelah itu kuliah libur, tidak lama setelahnya dia meninggal dunia dan dibiarkan selama lebih dari satu bulan. Sementara kalian aman-aman saja meski tidak ada yang menyiram,” lanjut Boja.
“Iya, saking kuatnya sampai-sampai tidak ada yang mempedulikan kami saat kami terlindas ban motor atau terinjak standar motor yang sedang parkir,” Lili mengeluh.
“Agaknya lebih baik kalau kita tinggal di rumah Riska, alumni jurusan Sastra Indonesia yang tamannya selalu ia siram dan dijaga setiap hari,” Ari menyahut.
“Tapi siapa yang mau memlihara rumput liar? Yang ada di rumah Riska itu kan rumput gajah dan rumput jepang,” balas Boja singkat.
Percakapan kami pagi itu berhenti sampai di situ. Lili dan Ari melanjutkan mandi pagi, sementara aku mengalihkan perhatian pada mahasiswa dan mahasiswi baru yang mulai berdatangan. Semuanya berpakaian dan berambut rapi, maklum ini adalah pekan pertama perkuliahan mereka. Nanti setelah masuk semester tiga, pakaian mereka mulai bervariasi, gaya rambut mereka mulai berinovasi.
“Ini kampus atau apaan, sih? Masa udah jam setengah delapan pintunya belum dibuka juga,” keluh Alvonsius.
“Iya, nih. Mana jam pertama kita hari ini juga jam setengah delapan,” imbuh Nadia.
“Nah, itu bapak dosen udah datang, Nad.” lanjut Alvonsius.
“Selamat pagi, Pak,” sapa Nadia kepada Bapak Dosen.
“Selamat pagi, Nad. Gedung fakultas masih terkunci, ya?” tanya bapak Dosen.
“Iya, Pak. Kita kuliahnya bagaimana ini, pak?” lanjut Nadia dengan tanya.
“Sabar, saya coba telepon yang pegang kunci dulu,” jawab bapak Dosen.
Ya, begitulah kehidupan pagi hari di kampus ini. Padahal aku udah bilang berkali-kali, biar kunci gedung ini aku yang pegang, karena aku selalu bangun pagi dan tidak akan pernah terlambat. Tapi dari dekan sampai cleaning service tidak ada yang pernah mendengarkan omonganku. Mereka lebih memilih mendengar ocehan burung dan serangga yang sebenarnya mereka juga tidak mengerti apa isi ocehan tersebut. Agaknya manusia memang makhluk yang senang melakukan perbuatan yang sia-sia.
“Cuiiiihhhh……” seorang mahasiswa membuang ludah pinang ke arah Boja.
Ah, sial. Belum juga jam delapan, udah jadi korban ludah pinang. Ini seandainya ada teknologi yang bisa menyulap ludah pinang menjadi air bersih, kayaknya orang-orang gak akan meludah pinang sembarangan lagi, deh. Aku tau, mengunyah pinang dalam dosis dan porsi yang pas itu baik untuk kesehatan gigi. Tapi, kalau meludah pinangnya sembarangan itu sama saja mencemari lingkungan dan itu bukan sesuatu yang sehat.
“Selamat pagi, Boja. Masih pagi kok mukanya udah ditekuk gitu, sih?” Pungky menyapa dari kejauhan.
“Ah, basa-basimu kayak dialog FTV murahan!” Boja makin kesal.
“Loh, kok malah marah ke aku? Hahahahaha” ledek Pungky seraya hinggap di Boja.
“Seandainya aku bisa terbang kaya kamu, pasti aku bisa menghindari ludah pinang anak jahanam itu,” Boja merespon dengan kesal.
“Hahahaha sabar, dong. Kamu ini kayak baru sekali ini aja kena ludah pinang. Lihat tuh Lili sama Ari hampir setiap hari kena ludah pinang,” Pungky membandingkan.
“Justru karena sering makanya aku kesel, Pung!” balas Boja. “Eh, ngomong-ngomong kemarin sore banyak yang sebut-sebut namamu, loh,” lanjut Boja.
“Sebut namaku, gimana?” balas Pungky penasaran.
“Iya, katanya kalau ada capung di suatu wilayah, artinya kualitas udara di wilayah tersebut masih bagus dan segar,” jelas Pungky.
“Oh, iya aku juga denger begitu tapi dari mahasiswa Ilmu Lingkungan di gedung sebelah. Katanya di Jakarta sana kualitas udaranya berbahaya untuk manusia. Kalo begitu gimana manusia di sana bisa bernafas, ya?” Pungky merespon dengan tanya.
“Itu berarti mereka harus lebih banyak menanam pohon dan mengurangi polusi, supaya udara di sana nggak tercemar,” jawab Boja.
“Ah, sok tahu kamu. Kan aku yang jadi parameter kebersihan udara, kenapa jadi pohon yang harus diperbanyak, harusnya kan capung yang diperbanyak,” sahut Pungky.
“Bukannya aku sok tahu, tapi kemarin itu bapak dosen dan mahasiswa yang bilang begitu. Masa kamu gak percaya?” jawab Boja seraya balik bertanya.
“Lah, mereka kan dosen dan mahasiswa sastra, mana ngerti perkara kebersihan udara dan lingkungan,” tegas Pungky.
“Kamu jangan sembarangan ya kalo ngomong. Di bahasa dan sastra ada namanya ekolinguistik dan ekologi sastra. Mereka bilang, dua ilmu itu banyak membahas mengenai lingkungan dari segi kebahasaan dan kesusastraan. Artinya, sah-sah saja dong kalo mereka berdiskusi soal udara dan lingkungan.” Boja tak mau mengalah.
“Gak tahu, ah. Aku mau balik aja, mau cari tahu mana yang harus diperbanyak kalau mau mengurangi polusi udara. Apakah pohon ataukah capung yang harus diperbanyak. Ngomong sama orang sastra suka seenaknya sendiri. Di awal bilang kalo ada capung berarti udaranya sehat, tapi kemudian bilang kalo udara mau sehat harus banyak-banyak pohon. Gak konsisten.” pungkas Pungky sambil berlalu.
Dasar capung tukang judgjing, belum aja nyimak obrolan anak sastra yang bahasanya mendakik-dakik dan pembahasannya yang filosofis betul. Dia datang ke sini terlalu pagi sih, aktivis kampus sini mana pernah datang pagi-pagi. Katanya, malam-malam dihabiskan dengan diskusi soal pemerataan pendidikan dan kesejahteraan sosial. Gak jarang mereka singgung soal dana otonomi khusus yang tidak tepat sasaran.
Gedung telah terbuka, perkuliahan jam pertama telah dimulai, gak ada lagi mahasiswa yang duduk-duduk di dekat parkiran menunggu dosen datang. Ini saat yang pas untuk sunbathing, memanjakan klorofil dan memberi kehidupan bagi seisi alam semesta. Setidaknya, begitu kata Daniel, mahasiswa yang pindah dari jurusan Biologi ke Sastra Indonesia. Dengan begitu aku bisa berfotosintesis dan bermanfaat bagi sesama.
Meski curah hujan rendah dan kesulitan air, aku bersyukur masih bisa memekarkan bunga yang ada di ujung-ujung rantingku. Selain membuatku terlihat cantik, hal itu juga membuat banyak orang memujiku dan membuatku makin bahagia. Meski tak jarang mahasiswa biadab itu memetik bungaku yang belum mekar sempurna bahkan masih kuncup sekalipun. Aku selalu kesal kalau mengingat momen itu.
“Selamat pagi pohon-pohon dan bunga-bunga, juga rumput-rumput!” sapa Tince.
Ah, berarti sekarang waktu tepat menunjukkan pukul sembilan pagi. Waktu di mana Kak Tince datang untuk membuka Kansas alias Kantin Sastra. Aku heran kenapa Kak Tince gak pernah langsung menyebutkan nama kami ketika tiap pagi dia datang menyapa. Padahal aku udah berkali-kali kasih tau dia, bahwa namaku Boja, sementara rumput liar itu Lili dan Ari, sedangkan yang di ujung sana namanya Carson.
“Woi! Masih kesal karena Kak Tince gak nyebut nama?” sapa Carson dari jauh.
“Iya, tau. Padahal Kak Tince kan baik ya sama aku. Tiap sore dia selalu siram aku, tapi kenapa gak pernah nyebut nama kalau menyapa?” jawab Boja kesal.
“Ya, karena Kak Tince mana ngerti bahasa kita, Ja.” Carson menjawab.
“Meski kita ngerti bahasa mereka sekalipun?” Boja masih penasaran.
“Iya, dong. Kak Tince nyapa kita tiap pagi bukan karena tiap pagi kita nyahutin sapaan dia. Juga, Kak Tince nyiram kamu tiap sore bukan karena tiap sore kamu bilang terima kasih ke dia” jelas Carson kepada Boja.
“Kalo begitu, kenapa Kak Tince selalu nyapa kita tiap pagi dan nyiram aku tiap sore?” Boja terus penasaran.
“Mungkin itu cara Kak Tince bersukur pada dunia dan menysukuri nikmat yang dia terima. Dengan begitu, akan bertambah nikmat yang akan dia terima di kemudian hari dan akan begitu seterusnya,” Carson kembali menjelaskan. “Makanya aku merasa senang kalau ada yang memetik buahku sebelum terlalu masak hingga jatuh ke tanah dan terinjak atau bahkan bercampur dengan ludah pinang,” Carson melanjutkan.
“Kenapa kamu merasa begitu?” Boja kembali melontarkan pertanyaan.
“Iya, karena dengan begitu aku merasa berguna dan bermanfaat bagi sesama. Karena tiap makhluk diciptakan berbeda dan punya peran yang berbeda. Kamu dengan bungamu yang indah, aku dengan buahku yang manis, Lili dan Ari yang dapat menangkap debu, Pungky yang menjadi alat ukur kebersihan udara, dan masih banyak lagi yang lainnya,” jelas Carson kepada Boja.
“Wah, kirain cuma mahasiswa sastra aja yang bisa filosofis, ternyata kamu juga bisa. Makasih banyak ya, Son, atas pencerahannya,” Boja merespon.
“San, Son, San, Son, emangnya aku sontoloyo?! Hahahaha” Carson merespon dengan canda. Berchyaaandyaaaa.