Gadis beraroma Kopi

Gadis Beraroma Kopi

Takk!

Aku meletakkan gelas dengan keras, terhitung ini gelas kopi yang kelima yang kuminum malam ini. Aku bahkan sudah tak bisa mencium bau lain selain aroma kopi yang sepertinya sudah menyeruak di kedai kecil milikku ini. Ah, rasanya kepalaku akan meledak.

Sudah tiga hari aku seperti ini, menutup kedai minumku, tak tidur, lelah, sakit kepala karena konsumsi kafein berlebih, tak jarang emosiku keluar tanpa sebab dan sampai menganjurkan barang-barang di sekitarku.

Aku menggila semenjak berita hilangnya Yuri, pacarku. Tiga hari lalu ibunya sempat meneleponku, menanyakan apa anaknya itu datang ke kedai karena Yuri mengatakan bahwa ia ingin mengunjungi pacarnya. Siapa sebenarnya "pacar" yang gadis itu maksudkan, karena hari itu Yuri sama sekali tidak datang ke sini.

Setelah 2×24 jam aku dan ibunya Yuri akhirnya melapor ke polisi, tapi seperti yang diduga oleh masyarakat pada umumnya, orang-orang itu tidak langsung bergerak dan malah mengatakan alasan-alasan tak masuk akal kenapa Yuri menghilang. Yang membuatku tak bisa tinggal diam adalah, mereka malah mencurigaiku dan mengatakan akan memeriksa kedaiku besok.

"Jika seorang gadis menghilang maka orang pertama yang harus dicurigai adalah pacarnya." Begitu katanya.

Membuatku kesal saja! Memangnya tahu apa mereka?

Berulang kali kulontarkan kalimat makian, kepalaku terasa semakin berat, kutatap terus jarum jam yang entah kenapa terasa bergerak lebih lambat dari biasanya. Saat ini pukul 03.45 dini hari, sunyi, sepi, tenang tanpa suara berisik yang terdengar. Entah karena sudah tiga hari tutup atau memang karena hari ini lebih sepi dari biasanya. Yah, tanpa ocehan Yuri. Gadis itu yang selalu menemaniku dengan topik obrolan yang tak pernah habisnya.

Ah, aku mulai merindukannya.

"Seharusnya kau tidak pergi menemui bajingan itu Yuri."

Kuperhatikan perlahan kedai kecil tempatku menghabiskan malam ini, terlihat tak beraturan dengan benda-benda pecah yang berhamburan di lantai. Gelas kopi yang sudah diisi berulang kali kini tak menarik minatku lagi, rasanya baru kali ini aku muak dengan aroma dari mimuman yang sangat kusukai. Sungguh cepatlah pergi, akan kusingkirkan sebentar lagi.

Lima menit, tiga, dua... Ketukan kakiku semakin cepat melebihi detak jarum jam, meminta waktu untuk bergerak lebih cepat lagi. Hingga jarum panjang itu resmi menegak pada angka 12, jam 4 tepat.

Aku bergerak menuju ruangan di pojok yang sebelum ini kugunakan sebagai tempat penyimpanan. Perlahan aroma itu semakin menyengat, aroma pahit khas kopi hitam. Tepatnya kopi Liberika, kopi khas Kalimantan yang menjadi ciri khas kedaiku ini.

Kutarik napas pelan, mencoba menenangkan diri ketika sudah berdiri di depan ruangan kecil itu, terdengar suara pintu berderet khas film-film horor lalu sunyi setelahnya. Aku kemudian berjalan menuju lemari lalu mengambil karung besar setinggi pinggangku berisi biji kopi yang menjadi sumber bau ini. Kopi beraroma kuat yang sengaja kugunakan untuk menyamarkan bau mayat yang membusuk.

Tak pernah kubayangkan akan menjadikan aroma kopi favoritku ini untuk menutupi perbuatan busukku. Kopi Liberika, memiliki aroma khas yang menyegarkan, tajam dan menyengat yang kini menutupi hampir seluruh tubuh kaku Yuri. Kulihat kini wajahnya semakin memucat, dengan bau busuk yang samar mulai mengalahkan bau kopi. Bagaimanapun aku harus menyelesaikannya segera.

"Maafkan aku sayang."

Tanganku bergetar hebat, saat kulihat tubuh pucat gadis yang sampai sekarang masih kucintai itu. Perlahan kuikat kembali bagian atas karung itu agar nanti tak tumpah dan menampakkan sesosok mayat kaku di dalamnya. Tangis tak dapat kutahan lebih lagi, rasa penyesalan kini tak ada gunanya. Bagaimanapun juga aku harus segera membuang mayatnya sebelum polisi datang. Yuri pasti mengerti. Iya. Pasti.

Jika diingat kembali, ini tak sepenuhnya salahku. Gadis ini, dia yang mulai merusak hubungan kami. Dia memutus kontak denganku tanpa sebab lalu diam-diam berkencan dengan pria lain yang katanya lebih bisa memfasilitasi hidupnya.

Tiga hari lalu aku berhasil memergokinya, saat itu aku baru habis membeli sekarung besar biji kopi Liberika dari Kayong Utara. Sebuah kabupaten yang tidak begitu terkenal, namun memiliki keindahan yang berlimpah, termasuk budidaya kopi liberika ini.

Karena memakan waktu cukup lama dari sana, aku kembali tengah malam, dan dalam perjalanan pulang aku melihat Yuri memasuki gedung hotel bersama pria itu. Di jam yang sama seperti saat ini, dia kemudian keluar sendiri setelahnya. Aku mencoba menelpon, namun dia dengan sengaja mengabaikannya dan malah bergumam sendiri menjelekkan diriku yang dulu pernah ia sebut "pria keren".

Aku tak dapat menahan amarahku lagi, sehingga tanpa sadar menarik tubuhnya ke gang sempit lalu mencekik leher gadis cantik itu sampai tubuhnya tak bergerak lagi.

Rasanya semua itu terjadi begitu saja, aku bahkan tak ingas jelas apa yang terjadi. Saat itu aku hanya bisa terduduk memandangi tubuh yang sudah terbujur kaku itu dengan penuh penyesalan. Untunglah saat itu dini hari, tak terdapat cctv juga di sekitarnya.

Aku mencoba berpikir keras, menyelesaikan apa yang baru saja kulakukan. Hingga pandanganku tertuju pada karung kopi di bak pick up milikku. Tak ada pilihan lain, kutuang semua kopi itu di bak pick up, lalu menggunakan karungnya untuk membawa mayat Yuri, untunglah tubuh gadis itu kecil sehingga memudahkanku membawanya seperti membawa karung kopi biasa. Agar tak terlihat mencurigakan, aku kembali memasukkan setengah biji kopi itu untuk membuatnya lebih berisi.

Bahkan saat sampai di kedai, aku sempat berpas-pasan dengan seorang pria berseragam hijau lengkap dengan truk pengangkut sampah miliknya sedang menjalankan tugas sebelum matahari terbit. Pria itu tak tampak curiga karena memang itu hanya karung biji kopi.

Pria itu mengangkut sampah tiap tiga hari sekali, sekitaran jam 4 subuh saat sampai di kedaiku, seolah hidupnya selalu teratur seperti itu.

Memanfaatkan kondisi, saat ini aku berniat untuk membuang mayat Yuri sesat sebelum pria itu datang, sehingga tak akan ada yang melihat atau curiga karena mayat langsung dibawa ke tempat pembakaran sampah, dan bukti menghilang.

Samar-samar kudengar suara mesin truk yang tak asing lagi mulai mendekat, dengan cepat langsung kuangkat karung besar itu senormal mungkin layaknya membawa karung kopi biasa walau jujur saja ini sedikit lebih berat.

Keringat dingin terus mengucur membasahi tubuhku, tanganku masih tak berhenti bergetar, kini kakiku berhenti tepat di depan bak sampah besar, bersamaan dengan truk pengangkut sampah yang mulai mendekat.

Masih berlagak seperti tak terjadi apa-apa, aku melempar pelan karung itu ke bak sampah. Lalu secepat mungkin pergi dari sana, jangan sampai wajahnya yang sedang ketakutan ini membuat petugas itu curiga.

Ah, tak kusangka bisa semulus ini. Sebentar lagi, setelah ini kehidupanku akan kembali normal, kasus hilangnya Yuri juga sepertinya tak digubris oleh polisi-polisi itu, bisa ditebak sebentar lagi kasusnya akan ditutup dengan "seorang gadis kabur dari rumah bersama pacar barunya".

"Hei, Nak …."

Langkah kakiku seketika terhenti, tubuhku membeku di tempat, padahal hanya berapa langkah lagi aku sudah masuk ke kedaiku. Tenanglah, tak perlu terlalu gugup, mungkin petugas itu hanya ingin menyapa, berlagaklah seperti biasa.

"Kau? Kau yang kemarin itu, ‘kan?"

Tanpa perlu berpikir panjang, aku sudah tahu maksud "kemarin" dari pria itu. Pasti saat aku membawa mayat Yuri ke kedai.

"Ah .., iya, Pak, hehe."

"Padahal baru kau bawa kemarin, tapi kenapa sekarang mau dibuang?" tanya pria itu lagi yang kini membuatku membutuhkan waktu sedikit lama untuk menjawabnya.

"Anu .., Pak, ditipu saya, kopinya gak bagus. Jadi harus saya buang, ehehe."

Gawat, alasan macam apa itu, habis sudah jika pria itu menyadari keanehan dariku.

"Kalau gitu saya masuk dulu, ya, Pak, masih harus beres-beres," ucapku ingin menyelesaikan percakapan ini, sebelum pria itu bertanya lebih lagi.

"Apa dia sudah mati?"

Aku terdiam, napasku tercekat, kali ini aku bahkan tak berani untuk menoleh. Apa maksudnya? Apa akan ketahuan? Apa nasibku sampai di sini saja? Kini kuyakin wajahku benar-benar pucat, keringat bahkan terus bercucuran padahal di luar sini terasa sejuk. Jantungku berdebar cepat, bahkan lebih cepat daripada saat membunuh Yuri.

"Kemarin aku lihat karung itu sempat bergerak-gerak saat masih di bak mobilmu. Aku juga melihat sebuah tangan berusaha keluar dari karung itu, tapi sepertinya sekarang sudah mati."

Pria itu terdiam, tak lama terdengar suara sampah-sampah yang diangkut. Aku yang masih di posisi semula tak tahu harus bersikap seperti apa, apa pria itu akan melaporkannya.

"Lain kali kau harus lebih pandai mencari alasan," ucapnya lagi lalu kemudian pergi bersama truknya begitu saja.

Aku terduduk lemas, kakiku seakan mati rasa, bajuku bahkan sudah basah sepenuhnya, apa yang sebenarnya baru saja terjadi? Kenapa? Satu hal yang membuatku sangat penasaran.

"Siapa dia?"

-Selesai-