Gara-Gara Angpau

Sunlie Thomas Alexander

Minggu, 22 Februari 2015

KWET Liong ditangkap polisi pada hari ketiga Sin Cia. Hari yang oleh para tetua masih diyakini sebagai hari kurang baik di tengah sukacita pestaa musim semi berlimpah hoki. Ada apa gerangan? Apa yang terjadi?

Ah, sesungguhnya kejadian tak terduga yang membuat para tetangga membelalakkan mata dan mengundang gunjing dari sanak-famili itu bermula dari sebuah keisengan belaka. Keisengan yang membawa celaka dan sungguh tak pernah disangka Kwet Liong! Ia bahkan masih tak percaya saat dua orang polisi menggelandangnya ke mobil tahanan dengan tangan terborgol. Kwet Liong hanya bisa menunduk menghindari tatapan orang-orang yang penuh rasa ingin tahu, terutama tetangga kiri-kanan yang melongokkan kepala di muka pintu, dua sepupu jauh yang sedang bertamu, juga beberapa orang yang kebetulan lewat. Ia sempat tersandung, terhuyung-huyung ketika seorang polisi dengan kasar mendorongnya agar bergegas.

Kedua matanya terasa pedas dan kabur oleh air mata yang tak lagi bisa dibendung. Tatkala kedua polisi itu menaikkannya ke mobil tahanan, masih sempat didengarnya isak-tangis istri dan ibunya yang ditimpali suara bisik-bisik ramai. Tepat saat mobil polisi itu menyala, terdengar rentetan letusan petasan yang membuat Kwet Liong terlonjak kaget. Nyaris terkencing di celana lantaran mengira bunyi petasan mainan anak-anak itu suara tembakan.


SUDAH lima kali Tahun Baru Imlek ia tak pulang. Bahkan dalam kurun waktu tujuh tahun sejak menikah, baru dua kali ia pulang. Pertama, saat ulang tahun ibunya yang keenam puluh tiga. Itu enam tahun silam.Kedua, saat perayaan Chin Min tiga tahun lalu. Itu pun setelah seminggu berturut-turut ia bermimpi didatangi oleh mendiang ayahnya.

“Itu tandanya beliau memintamu berziarah,” ujar ibunya dalam telepon. “Pulanglah. Sudah berapa lama kau tak pernah menyambangi kubur ayahmu?” Ia terdiam, tak ingin mengingat-ingat. Istrinya lantas ikut nimbrung dan membenarkan kata-kata ibunya itu. “Aku masih menyimpan sedikit uang, Ko. Kalau kau mau, kita bisa pulang lewat jalan darat, menyeberang dari Palembang.”

Kwet Liong menghela napas dan akhirnya mengangguk. Sebagai anak bungsu dari empat bersaudara, memang dialah yang paling jarang pulang ketimbang kedua saudaranya yang lain.Sementara kakak pertamanya, Fuk Ko, tidak merantau dan meneruskan usaha toko pakaian mendiang ayah mereka.

Tentu ia bukan tak mau pulang. Bukan tak kangen pada kampung halaman atau berkumpul bersama keluarga saat Tahun Baru Imlek. Bukannya pula tak takut menjadi anak durhaka. Masalahnya, penghasilan dari toko kelontong kecilnya hanya pas-pasan untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari dengan dua orang anak.

“Ia memang kurang beruntung dibanding saudara-saudaranya,” demikian ujar ibunya suatu kali, mahfum. Karena itulah, dulu sang ibulah yang lebih kerap mengunjunginya. Paling tidak, setahun atau setengah tahun sekali sang ibu akan bertandang ditemani Lina, keponakannya yang paling besar. Membawakannya oleh-oleh rusip kesukaannya, juga kemplang tenggiri dan otakotak. Namun sejak dua tahun silam, ibunya yang kini sudah akan memasuki usia 70, mulai sakitsakitan. Rematik, asam urat, dan hipertensi. Ya, dialah yang seharusnya pulang menengok ibunya sekarang.


“SUDAH kuingatkan sejak dulu, lebih baik kita semua berkumpul di Jakarta. Kami punya banyak koneksi di sini. Kau bisa kerja di perusahaan besar begitu tamat, meski kau sarjana sastra! Tapi kau keras kepala!” kata kakak perempuan keduanya yang dipanggilnya Fa Ce.

“Aku tak betah tinggal di Jakarta,” kilahnya selalu.Kalau sudah begitu tak ada yang bisa membantah. Kakaknya hanya bisa bersungut-sungut. Ming, suami sang kakak kemudian menyebutnya sombong. Ia cuma tertawa kala mendengar itu.

Mungkin kakak iparku memang benar. Aku ini angkuh, batinnya. Walau sering kekurangan uang, tak pernah sekalipun ia berkenan menerima uluran tangan saudara-saudaranya. Apalagi dari pihak keluarga istrinya. “Lebih nyaman pinjam dengan teman,” katanya pada sang istri yang merengut masam. “Itu karena kau gengsi!” celetuk Yohanna kesal. Lagi-lagi ia hanya nyengir dan mengangkat bahu dengan cuek.

Ah, jika saja ia mau turuti kakak-kakaknya, mungkin ekonominya akan jauh lebih baik. Paling tidak, ia tak harus ngos-ngosan nyicil rumah, mungkin pula bisa punya mobil bagus seperti kakak-kakaknya. Namun sejak masih SMA, ia tak suka berbisnis. Angka-angka selalu membuat kepalanya pusing. Karena itulah, ia masuk Sastra Indonesia dan tak mau kuliah ekonomi di Jakarta seperti kedua kakaknya.

“Tidak semua orang Tionghoa harus berbisnis,” katanya waktu itu.

“Tapi tidak harus masuk sastra, kan?” tukas kakak ketiganya, Hiung Ko.

“Aku suka membaca seperti Akong. Aku bisa jadi penulis. Atau mungkin jadi dosen,” jawabnya terkenang pada kakek mereka yang kala masih hidup suka berdongeng, mengenalkan padanya dan saudara-saudaranya beragam kisah dari sastra Tiongkok klasik.

“PNS?” Hiung Ko menyeringai sinis. Ia tertawa kecil.

Ia pernah bertekad membuktikan kalau dirinya bisa jadi seorang penulis ternama, tapi teman-temannya menjulukinya penyair gagal. Semasa mahasiswa, sejumlah puisinya memang pernah dimuat oleh surat kabar lokal, namun namanya dengan cepat tenggelam dengan kehadiran adik-adik kelasnya yang tampaknya lebih berbakat. Lantas ia menyerah, cukup jadi pembaca setia. Celakanya, niatnya untuk menjadi dosen juga menguap begitu saja seiring waktu. Ia masih ingat betapa ia sempat merasa malu ketika akhirnya memutuskan membuka sebuah toko kelontong kecil dengan memanfaatkan garasi rumahnya. Dengan modal pinjaman dari ayah mertuanya pula! Ia menikah dengan gadis Tionghoa sekampung. Yohanna, Tionghoa sekampung. Yohanna, sang istri yang lebih sering disapa A Ling, dulu teman sekelasnya waktu SMP. Bertemu lagi setelah sekian lama saat ia pulang kampung tujuh tahun silam, mereka saling jatuh cinta. Tentu, ada sedikit pertentangan, tapi Yohanna keburu hamil.


BUKAN ia tak ingin pulang. Sesungguhnya ia pun merindukan suasana perayaan Sin Cia di kampungnya— yang lantaran didominasi orang-orang Tionghoa puak Hakka—lebih kerap disebut Sin Ngian atau Ko Ngian. Ia merindukan kue-kue kering buatan ibunya yang tertata rapi dalam stoples di atas meja, yakni tapel, sempret, nastar, edung, kue satu... Terlebih kue Mak Suba. Sejak dulu ibunya memang terkenal di lingkungan keluarga sebagai jago bikin kue Mak Suba. Mak Suba buatan Kim Nio, seloroh para tetangga, terbayang-bayang hingga ke dalam mimpi saking lezatnya! “Kita jadi pulang kan, tahun ini?” tanya istrinya dua malam sebelum mereka memesan tiket pesawat. “Kalau tidak, aku akan pulang sendiri bawa anak-anak.”

Kwet Liong mengangguk. Dilihatnya wajah cantik Yohanna seketika berseri-seri. Kevin, anak pertamanya yang sudah kelas satu SD melonjak-lonjak gembira, “Asyik! Ke rumah Pho-Pho! Ke rumah Pho-Pho!” Ia tertawa melihat kebahagiaan orang-orang yang dicintainya itu. Ah, setelah sekian tahun, akhirnya ia bisa membawa seluruh keluarganya merayakan Tahun Baru Imlek di kampung, di rumah orangtuanya. Dan ini tentu berkah yang harus disyukuri.

Masalahnya, uang mereka pas-pasan untuk tiket pesawat bolak-balik dan keperluan sehari-hari selama seminggu di kampung. Batinnya tercenung. Ia sudah tak peduli dengan orang orang—sebagian sanak-famili dan kawan-kawan lamanya—yang pulang membawa mobil mewah dari Jakarta, atau bagaimana istri-istri mereka bertamu dengan badan seperti toko mas berjalan. Tujuh tahun berkeluarga, ia tahu betul watak Yohanna. Istrinya bukan perempuan yang banyak menuntut atau mudah silau dengan penampilan orang lain.

Perkara ruwet yang bakal dihadapinya cuma satu, yakni angpau. Inilah yang sulit dihindari. Dari mana ia dapat uang untuk mengisi amplop-amplop merah itu? Bagaimana cara ia mengelak dari tradisi turun-temurun itu? Tiba-tiba kepalanya jadi pening.

Dapat ia bayangkan bagaimana keponakan-keponakannya yang banyak akan datang mengucapkan gong xi fat cai padanya dan ia mesti membagikan angpau buat mereka satu per satu. Kakak pertamanya punya lima orang anak: yang sulung sudah dewasa dan akan segera menikah, dua beranjak remaja, dan dua lagi masih SD. Sementara kakak keduanya memiliki tiga orang anak dan kakak ketiganya empat orang. Jadi untuk mereka, paling tidak ia harus menyiapkan 11 buah angpau. Ini belum ditambah dengan keponakan dari pihak istrinya. Atau anak para saudara jauh dan tetangga yang sewaktu-waktu bertandang. Tak mungkin ia mengisi angpau-angpau itu dengan uang receh atau lembaran seribuan. Pikirnya kesal.

“Lihat Ma, aku dikasih duit seribu sama Liong Khiu-khiu!” dan bakal ramailah gosip di seluruh kampung.


KWET LIONG menutup wajahnya rapat-rapat dengan tangan dan menangis terisak-isak di atas mobil tahanan yang membawanya ke kantor polsek. Masih terbayang olehnya bagaimana diam-diam ia men-scan lembaran uang kertas lima puluh dan seratus ribuan itu, mencetaknya dengan printer warna lalu memotongnya selembar demi selembar di tengah malam buta.

Barangkali inilah hal terkonyol yang pernah ia lakukan dalam hidupnya selain menulis puisi! Batinnya dengan air mata bercucuran. Hal yang pada mulanya ia anggap sesuatu yang begitu lucu dan iseng belaka. Tentu saja ia tak bermaksud membuat uang palsu! Yogyakarta, 2015

Catatan:

  • Ko : kakak laki-laki.
  • Ce : kakak perempuan.
  • Akong : kakek.
  • Pho-Pho atau A Pho : nenek
  • Sin Ngian/Ko Ngian : Tahun Baru/Lewat Tahun.
  • Khiu-khiu : paman.