Garis Terdepan Literasi Digital

Premis

Premis

sunting

Dunia saat ini dipenuhi dengan gencarnya produksi teknologi canggih. Beberapa orang menyukainya karena dapat membantu aktivitas kesehariannya, memangkas waktunya, dan membuatnya lebih banyak memiliki waktu luang. Teknologi yang berkembang sedemikian pesat juga dirasakan para pengguna layanan pendidikan. Pendidikan yang tadinya hanya ada di dalam kelas, dengan guru yang menjelaskan di depan papan tulis, dan informasi yang di dapatkannya secara terbatas. Namun, saat ini bagi siapapun yang penasaran dengan pertanyaannya semuanya bisa diakses di internet. Hanya perlu hobi membaca agar bisa menyerap semua ilmu yang ada di dalam sana. Internet gudangnya ilmu jika di manfaatkan dengan baik, tetapi akan menjadi bumerang jika tidak pandai memilih informasi yang benar. Hoax yang merajalela juga ikut andil dalam arus informasi saat ini.

  1. Alea Miandra
  2. Daniel
  3. Pak Tomi
  4. Sherin
  5. Robby
  6. Ardan
  7. Liana
  8. Bu Aya

Lokasi

sunting

Sekolah

Cerpen

sunting

Garis Terdepan Literasi Digital

Seorang gadis baru saja keluar dari perpustakaan sekolahnya. Gadis dengan kuncir kuda itu membawa beberapa buku yang telah dia pinjam dari sana. Buku-buku itu diantaranya tentang sains dan teknologi, gadis yang baru-baru ini mendapatkan kesempatan untuk mengikuti ajang lomba debat di sekolahnya itu mulai mempersiapkan diri. Alea Miandra. Gadis berusia sepuluh tahunan itu yang saat ini menginjak kelas empat sekolah dasar. Alea yang awalnya tidak suka kegiatan membaca itu akhirnya mulai percaya bahwa membaca akan membuka pintu masa depan.

“Minggir si kutu buku mau lewat.” Ejek salah seorang temannya, Daniel seorang atlet bulu tangkis yang sedang duduk bersama teman-temannya di depan kelas. Alea melebarkan senyumnya, “Oh si tidak punya pekerjaan?”

“Memang tahu apa sih tentang sains dan teknologi, bukumu terlalu tebal untuk anak mungil sepertimu.” Sambung Daniel, sedangkan Alea dengan percaya dirinya membuka buku itu. Menunjukkan bahwa buku tidak hanya berisi tulisan, buku juga menampilkan gambar yang menarik dan membuatnya lebih bersemangat membacanya.

“Kamu tentu tidak tahu isi buku ini, tapi aku akan tahu setelah membacanya. Tidak semua orang yang membaca buku adalah si kutu buku. Keingintahuan yang besar akan mendorongmu untuk membacanya, tapi bagimu mungkin itu tidak berlaku. Karena itulah kamu hanya tahu tentang orang di sekelilingmu padahal buku akan memberitahumu banyak hal di luar itu.”

“Anak kecil yang berbicara tentang hal-hal di luar nalar, baiklah mari kita lihat apakah si kutu buku ini akan mengalahkan kakak kelasnya untuk mengikuti olimpiade sains tingkat nasional.” Ejek Daniel lagi.

Alea mengangguk menyetujuinya, dia memang baru memulainya dan temannya sudah mematahkan harapannya. Namun, bukan Alea namanya jika dia tidak mampu menujukkan jati dirinya. Ucapan yang mematahkan akan mengalahkan banyaknya dukungan yang mendorongnya untuk menunjukkan bahwa pernyataan itu salah.

“Siapa yang berusaha dia akan menuai hasilnya, yang terpenting usaha dulu urusan lolos atau tidak itu nanti. Mencoba tidak ada salahnya, selagi kita masih mau dan mampu mengusahakannya.” Katanya. Beberapa temannya mengamati adu mulut mereka.

“Aku tahu, dia yang menjatuhkan hanya ingin mematahkan pengharapan. Tapi, semangatku semakin menggelora saat dia meremehkan.” Tambah Alea mantab.

Alea masuk ke kelasnya, duduk di bangkunya dan membuka buku setebal lima puluh halaman itu. Tidak lama gurunya masuk, guru mata pelajaran sains dan teknologi itu sangat dia sukai cara mengajarnya karena sangat modern dari pada guru-gurunya yang lain. Pak Tomi akan menggunakan metode diskusi di dalam pembelajarannya, beliau juga akan mengenalkan banyak teknologi untuk menunjang aktivitas belajar mengajar mereka.

“Selamat pagi calon generasi emas penerus bangsa, apa kalian siap menerima ilmu sains dan teknologi hari ini?” Sapa pria berkacamata itu, guru yang terkenal paling ramah dan disukai murid-muridnya.

“Selamat pagi pak Tomi.”

“Pagi pak Tomi.”

Semua anak bersahut-sahutan menjawab guru itu. Pak Tomi mulai mengeluarkan laptopnya dan memasang kabel yang akan dia gunakan agar tersambung dengan proyektor di atas sana.

“Jadi, setelah dua tahun kita tidak bertemu karena virus covid-19 teknologi berkembang sangat pesat dan tidak menutup kemungkinan pendidikan kita juga harus menyesuaikan. Awalnya belajar online cukup menyusahkan kan? Karena kita tidak mengenal apa itu zoom, google meet, apalagi google yang ternyata berisi hal-hal yang luar biasa. Tapi, pandemi mengajarkan kita bahwa ilmu itu luas dan sepandai-pandainya kita sebagai manusia yang akan menyerap ilmu-ilmu itu.”

“Pak Tomi, izin bertanya.” Sherin mengacungkan tangannya.

“Baik, Sherin mau bertanya apa?”

“Kita masih SD, haruskah ikut berkembang seperti demikian. Bukankah sekarang banyak anak yang dewasa sebelum waktunya?”

Pak Tomi tersenyum, “Pertanyaan yang bagus, memang benar teknologi yang berkembang ini ada sisi negatif dan positifnya. Tidak semua informasi kita serap dengan cuma-cuma ada yang namanya penyaringan. Tidak semua informasi itu benar, maka dari itu kita harus memilih mana yang pantas dan tidak pantas. Kalian juga wajib ikut berkembang, generasi emas yang akan menjadi tokoh di masa depan. Kalianlah si penerus bangsa, maka dari itu mulailah dari diri kalian sendiri bersikap positif dan menjadi teladan bagi semua orang. Nak, di zaman ini generasi kita minim literasi. Padahal literasi bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja. Kalian pasti punya hp kan? Manfaatkan benda itu secara positif, bermain boleh saja namun ada batasannya.”

“Baik terima kasih atas jawabannya pak Tomi.”

Pak Tomi mulai menunjukkan video yang sudah dia kumpulkan sebelum mengajar pagi ini. Dia memutar video tentang literasi digital dengan memanfaatkan teknologi yang sudah berkembang pesat saat ini ditambah dengan ilmu sains yang dia contohkan membuat beberapa siswanya menganga lebar, betapa luar biasanya ilmu yang digabungkan.

“Pak Tomi, izin bertanya.” Alea mengacungkan tangannya.

“Silahkan Alea.”

“Jika literasi digital digalakkan besar-besaran untuk menunjang proses pendidikan, kenapa kami tidak diizinkan menggunakannya di sekolah seperti laptop, hp, maupun tablet?”

“Alasannya mudah, apakah kalian akan berkomitmen fokus belajar saat sekolah melegalkan membawa peralatan digital?”

“Bisa pak.”

“Bisa.”

Mereka bersahut-sahutan sambil merajuk agar pak Tomi mengizinkannya.

“Nak, sekolah ada tempat belajar, menunt ilmu, menyerap pengetahuan, dan di rumah adalah waktunya kalian berselancar mencari tambahan ilmu yang tidak kalian mengerti. Bukankah demikian pembelajaran yang kalian ikuti selama pandemi ini?”

“Pak izin berpendapat, jika literasi digital benar-benar dianggap menjadi tolak ukur modernnya suatu bangsa apakah negara bisa memfasilitasi mereka yang tidak mampu memilikinya? Kami yang difasilitasi orang tua di rumah baik gadget maupun internet, kami bisa memanfaatkannya seperti yang pak Tomi katakan, tapi di luar sana ada banyak anak yang tidak seberuntung kita.”

“Baiklah, apa kalian yang sudah mendapatkan fasilitas demikian sudah memanfaatkannya dengan baik?”

“Sudah.” Jawab mereka serempak.

“Coba sebutkan, apa yang sudah kalian lakukan dengan gadget kalian.” Tambah pak Romi yang disuguhi acungan tangan para siswanya yang sangat aktif itu.

“Mengikuti lomba sesuai dengan bakat.”

“Mengakses materi pembelajaran.”

“Belajar ilmu yang tidak ada di sekolah.” Tambah Robby yang membuat Pak Tomi mengerutkan keningnya, “Apa itu Robby?”

“Bermain game.”

Tawa teman-temannya menggema di kelas. Anak berkacamata itu hanya mengulum senyumnya.

“Robby baru memenangkan lomba mobile legend setingkat anak kuliahan pak.” Sambung Ardan teman sebangkunya itu.

“Oh ya?” Tanya pak Tomi terkejut.

Robby menganggukkan kepalanya, “Mama tidak melarang saya untuk bermain game. Selagi masih mau sekolah dan les. Mama juga memberikan kesempatan mengembangkan hobi saya dan saya memilih mobile legend dan mendalaminya.”

“Apa kamu pernah berpikir untuk mengembangkan sebuah game karyamu sendiri?”

“Saya sudah sampai tahap itu pak, saya ingin melakukannya. Saya sering melihat cara membuat game sederhana di internet di sela kebosanan saya memainkannya.”

“Luar biasa, secara tidak langsung kalian telah menerapkan literasi digital di dalam keseharian kalian.”

Setelah mata pelajaran pak Tomi berakhir, mereka saling berdiskusi tentang teknologi yang akan mereka kembangkan secara berkelompok.

“Alea, semenjak kamu terpilih menjadi peserta yang mewakili kelas kita untuk ikut lomba debat apa hobi barumu membaca?”

“Sebenarnya bukan hobi, tapi aku merasa tertantang dengan kesempatan itu. Menurutmu apa aku bisa memenangkan lomba jika aku tidak memiliki pengetahuan yang cukup?” Tanyanya pada Liana. Temannya itu menggelengkan kepalanya.

“Kamu tidak ingin menerapkan literasi digital yang pak Tomi bicarakan?”

“Akan aku terapkan, aku akan meminta bu Aya mengirimkannya buku digital yang sudah ada melalui email mamaku.”

“Alea sebenarnya aku masih bingung mengenai literasi digital yang pak Tomi bicarakan? Lalu apa hubungannya dengan sains dan teknologi?”

“Literasi digital itu sebuah kemampuan atau pengetahuan kita dalam memanfaatkan teknologi digital. Contohnya apa saja sih? Kamu tahu novel yang kita akses secara online, lalu kelas virtual selama pandemi, WhatsApp, email, dan sebagainya itu contoh literasi digital yang ada di sekitar kita. Hubungannya dengan mata pelajaran kita yaitu dengan sains kita tahu fakta-fakta tentang alam dan dengan teknologi kita bisa mengembangkan ilmu pengetahuan kita.”

“Lalu apa kita juga perlu terjun ke dalamnya?”

Alea tersenyum, “Jika kita tidak menjadi garis terdepan dalam pemanfaatan literasi digital maka kita akan tertinggal. Bukan hanya itu, ilmu kita akan menjadi terbatas. Saat ini kita tidak perlu buku fisik untuk belajar. Kita bisa menemukannya di internet. Asalkan kita pandai mengatur waktu karena tentu saja kalau kita belajar di internet cobaannya sangat banyak tinggal kita yang harus pandai membentengi diri agar tidak salah jalan.”

“Jika sedemikian luar biasanya literasi digital, kenapa langkah kita terbatas di sekolah?”

“Li, internet memang sangat baik jika kita mengaksesnya secara positif. Tapi, bagaimana dengan mereka yang mengaksesnya untuk bermain? Ketika selesai permainan kita hanya menuai kepuasan, lalu apa yang kita dapat agar berguna di kehidupan kita? Mungkin bisa aku jawab tidak ada, ini pandangan pribadiku, dan tidak semua orang setuju dengan pendapatku. Tapi, bagiku bermain boleh saja tapi ada takarannya dan internet adalah gudangnya cobaan penyelewengan, tidak semua orang akan berkomitmen belajar bahkan ada yang bersembunyi untuk bermain jika sudah ketagihan.”

Liana menganggukkan kepalanya beberapa kali, takjub dengan jawaban Alea yang menurutnya sangat bagus dan membuatnya terbuka mengenai budaya literasi digital itu.

“Aku yakin kamu pemenangnya, caramu menyampaikan pendapat sangat baik.”

Bel pulang sekolah berbunyi, Alea tidak langsung pulang melainkan mampir ke perpustakaan sekolahnya dan mengembalikan buku yang dia pinjam tadi pagi. “Kenapa kamu kembalikan cepat sekali Alea?”

“Saya sudah selesai membacanya bu, jika boleh apa saya bisa mendapatkan beberapa buku dengan topik yang sama dan dikirim ke email mama saya. Karena kata pak Tomi barusan, bahwa literasi yang digalakkan di sekolah kita adalah digital jadi untuk segala bentuk buku fisik telah menjadi digital dan sudah bisa kita gunakan.”

Bu Aya tersenyum, “Apa tidak keberatan jika hanya mendapatkan buku berbentuk pdf dari ibu? Bukankah buku fisik yang bisa kamu pegang cukup menarik perhatianmu?”

“Saya ingin berkembang dan membiasakan diri bu, barangkali saya mendapatkan sensasi lebih dengan membaca melalui laptop mama saya, mencoba hal baru mungkin akan menyenangkan juga.”

Hari ini adalah penentuan pemenang dari lomba debat tingkat sekolah beberapa saat lalu, dia yang juara satu yang akan ikut kompetisi tingkat nasional. Alea berada di kursi paling belakang, tentu saja dia tidak cukup percaya diri akan memenangkan kompetisi tingkat sekolahnya itu. Tiba-tiba saja nyalinya menciut melihat betapa luar biasanya pendebat dari kelas-kelas lain dan juga kakak kelasnya.

“Baiklah, ini adalah momen yang paling kalian tunggu para generasi emas kebanggaan sekolah. Menang dan kalah adalah lumrah dalam perlombaan. Kalian sangat luar biasa telah melewati beberapa tahap perlombaan. Hanya akan ada tiga pemenang dan juara pertama yang akan mewakili sekolah ke tingkat nasional. Siapapun yang kalah jangan berkecil hati, mungkin lain kali, ada kesempatan lagi. Jangan merasa putus asa apalagi tidak percaya diri karena sejatinya pembelajar yang baik adalah mereka yang semakin bersemangat untuk menggali potensi diri.”

Alea menghembuskan napasnya perlahan, lalu melebarkan senyumnya. Berusaha menetralisir detak jantungnya yang sedang maraton itu. “Juara ketiga, dimenangkan oleh Syawal Ardiansyah Putra kelas 6A.”

“Juara kedua, Syailendra Ar-Rahman kelas 3B.”

Semua siswa bertepuk tangan sambil melihat ke arah seseorang yang disebut namanya itu dan maju ke depan.

“Juara pertama, Alea Miandra kelas 4A.”

Alea yang sedang disebut namanya itu sedikit melamun hingga teman yang berada di sampingnya itu menyenggol lengannya.

“Alea selamat ya.”

“Alea luar biasa.”

“Wajar dia pemenangnya, sangat inspiratif, membaca memang gudangnya ilmu.”

“Ya, Alea sangat suka bertamu ke perpustakaan menghabiskan waktunya dengan membaca hingga ilmunya di atas rata-rata, gadis mungil yang melejit seperti kilat.”

Alea tersadar, beberapa orang membicarakannya sedangkan dia tidak bisa berkata apa-apa. Cukup terkejut tapi akhirnya dia mengembalikan nyawanya dan maju ke depan.

“Ada pesan dan kesan yang ingin kamu sampaikan Alea?” Bu Raina memberikan microfon di depannya. Dia menerimanya dengan ragu.

“Usaha tidak akan pernah menghianati hasil. Kutu buku itu baik, hasil membacalah yang membuatmu terbuka bahwa dunia itu luar biasa. Terima kasih karena telah mengizinkan saya berdiri di sini, memberi kesempatan luar biasa bagi si pembelajar amatir.”

Riuh tepuk tangan semakin mengisi aula itu. Perjuangannya tidak cukup sampai di sini, si pembelajar akan mengabdikan diri untuk menuntaskan seluruh buku yang ada di perpustakaan itu.