Gembok

Desi Puspitasari

Minggu, 01 Februari 2015

“FRAU Wiechert?”

“Ja.”

Wiechert terjaga karena suara berisik. Suara langkah kaki tergesa menaiki tangga. Pintu dibuka, pertanyaan-pertanyaan, tetangga sebelah banyak bicara dengan setengah menangis. Perkataannya tidak jelas sehingga polisi mengulang jawaban untuk memastikan kebenaran. Wiechert menggeram, bangkit dari tidur, tersaruk meraih sisa kopi semalam. Ia memperhatikan pekerjaan yang belum rampung. Mesin ketik dengan sehelai kertas berisi separuh tulisan teronggok diam. Semalam otaknya mampat dan punggungnya yang terlalu letih butuh istirahat.

Pintunya diketuk. Hanya mengenakan pakaian dalam putih dan jubah melorot di bagian bahu, Wiechert membuka pintu. Tak jauh dari pemilik gedung yang berdiri gugup menyapa, beberapa polisi keluar-masuk tempat tinggal tetangga sebelah. Mereka akhirnya berpesan; bila menemukan perkembangan informasi atau bahkan pelaku, Otto Baumer akan segera diberi tahu.

“Segera betulkan pintumu. Kau diperkenankan mengganti kunci baru dan menambah gembok.”

Otto Baumer, tetangga sebelah, mengucapkan terima kasih. Saat kembali masuk, ia berkeluh kesah dengan keras; bagaimana ia bisa berangkat kerja sedang rumahnya baru saja dibobol maling.

“Pencurian,” kata pemilik gedung mubazir. Sudah jelas kejadiannya begitu masih dikatakan lagi.

“Ja.”

“Pada pukul lima pagi. Nekat sekali.”

“Ja.”

Wiechert baru saja merebahkan tubuh saat itu. Tak mendengar apa-apa.

“Herr Klaus-Otto Baumer pergi belanja di toko kelontong 24 jam. Membeli teh dan roti. Polisi curiga pelakunya orang dalam. Bagaimana ia bisa hafal kebiasaan Herr Baumer menyimpan kunci? Bagaimana bisa ia tahu sepagi itu Herr Baumer pergi keluar?”

“Aku tidak tahu.”

“Herr Baumer juga tak tahu. Polisi tidak tahu. Aku juga tidak. Peristiwa ini membuat keadaan menjadi rawan.”

“Ja.”

“Puluhan tahun menyewakan apartemen, ini yang pertama.”

“Ach so.”

“Sebaiknya tidak menyimpan kunci di bawah keset di depan pintu.”

Wiechert melongok ke bawah. Tidak ada keset. Menyadari kesalahannya, pemilik gedung buru-buru mengganti. “Hanya pengandaian. Atau di bagian bawah pot tanaman.”

Wiechert menoleh. Pot tanaman mungil yang diletakkan di sisi kiri pintu Otto Baumer terguling.

“Sebaiknya kau memasang gembok tambahan.”

“Ja.”

Pemilik gedung pamit hendak memberi tahu penghuni lain.

Wiechert mengamati bagian dalam pintu rumahnya. Tanpa lubang intip. Sudah terdapat gerendel. Selalu dikait saat hendak tidur. Gembok? Gembok tambahan adalah ide bagus meski hanya sedikit barang berharga. Wiechert hanya tidak ingin saat ia pergi bagian dalam rumahnya diobrak-abrik maling.

Dengan jubah yang sudah dibetulkan letak bahunya, tali di pinggang yang diikat begitu saja, Wiechert pergi ke toko kelontong 24 jam.

“Jangan menyimpan kunci di—” Perempuan itu menirukan gaya bicara pemilik gedung sambil turun tangga. “Aku selalu menyimpan kunci dalam saku.”

Di toko kelontong Wiechert membeli sebungkus roti dan susu kardus dan sebungkus rokok. Ia berdiri di luar, mengunyah sarapan dan minum susu sendirian. Butuh beberapa menit menunggu sarapannya bereaksi dan beberapa kepul rokok untuk menghangatkan tubuh. Dari bayangan kaca perempuan itu memperhatikan rambutnya yang hitam pendek berantakan, matanya berkantung, dan meski sudah ditutupi jubah, bahu kurusnya masih mencuat seperti rangka payung.

Wiechert kembali masuk. “Aku mencari gembok.”

Pelayan memberi tahu supaya ia naik ke lantai dua. Bagian perkakas rumah tangga.

“Aku mencari gembok,” kata Wiechert lagi di lantai dua.

Seorang laki-laki muda, ditindik di antara bibir bagian bawah dan dagu, rambut dicat merah, memberi tanda supaya Wiechert mengikutinya. Ia menunjuk deret bermacam-macam gembok di etalase.

“Aku mencari perlindungan ganda.” Mata Wiechert menelusuri satu demi satu gembok yang ada.

Pemuda itu menunjuk salah satu gembok.

“Bukan yang berwarna kuning. Kurang keamanannya.”

Pelayan itu mengeluarkan sebuah gembok berwarna perak. “H.S.G.. Extra plus.”

Wiechert menimang-nimang. “Apa kepanjangan H.S.G.?”

“Kuncinya tidak bisa dilepas bila tidak dalam posisi menutup.” Itu bukan jawaban atas H.S.G. Pelayan itu hanya menyebutkan kelebihan barang yang dijualnya. Kemudian ia mendemonstrasikan cara membuka dan menutup; memasukkan kunci, memutar, posisi gembok terbuka, kunci ditarik namun tidak bisa, baru ketika posisi gembok kembali ditutup kunci berhasil dicabut.

“Seperti hati dan cinta. Bila ada cinta, hati siap membuka untuk menyambutnya. Bila tidak, hati akan tertutup.” Wiechert tidak tahu mengapa tiba-tiba ia mengucapkan satu kalimat dari naskah yang sedang ditulisnya.

“Ja, ja.” Pelayan itu tiba-tiba menyahut tertarik. “Anda penulis?”

Wiechert menggeleng. “Hanya mengoceh.”

“Tapi kalimat Anda bagus.”

“Berapa harganya?”

“Hanya ada satu kunci untuk satu gembok.” Pelayan itu masih bertahan. “Apa artinya?”

Wiechert memeriksa sisa rokok. Sudah hampir habis. Ia menjatuhkan puntung dan menginjaknya gepeng. “Bila bukan kunci yang tepat, gembok tidak akan mau dibuka. Bila bukan cinta yang tepat, hati tak akan hendak terbuka.”

Mendengar penjelasan Wiechert, mata pelayan itu berbinar-binar.

Wiechert memeriksa tindikan dan warna rambut dan tato yang terlihat sedikit ujungnya dari balik kemeja kerja. “Kau suka membaca cerita cinta.”

“Jörg.” Pelayan itu memperkenalkan diri lalu merendahkan volume suara. “Aku membaca roman popular. Tema cinta-cintaan selalu menarik perhatianku. Penulis favoritku: Helga Brunner, Hilde Anselm, Wiechert Völler—atau Völler Wiechert, aku lupa tepatnya. Seandainya aku bisa bertemu dengan salah satu dari mereka.” Jörg berhenti sebentar. “Tidak ada yang bisa aku ajak bicara mengenai roman cinta-cintaan di sini.”

“Aku kira teman perempuanmu banyak.”

“Tidak dengan penampilan seperti ini.”

“Kau punya dudukan gembok? Apa istilahnya— tempat untuk mengaitkan gembok saat pintu sudah ditutup?”

Jörg bergeser ke samping. Memilih yang sewarna dan menyerahkan pada Wiechert.

“Berapa harganya?”

“Aku senang bertemu Anda. Menemukan teman mengobrol yang tepat seperti gembok dengan kunci yang tepat.”

Wiechert merogoh saku jubah. Saku kanan. Saku kiri. Mencari uang.

Jörg kembali merendahkan suara. “Anda tidak perlu membayar. Anggap ini hadiah dariku.”

“Tidak bisa begitu.”

“Tunggu di sini.” Jörg membawa pergi gembok, kunci, beserta dudukannya. Ia menjelaskan sedikit pada temannya yang bertugas di belakang meja kasir. Wiechert mendengarnya seperti; perempuan itu kakinya terkilir atau apalah, ia tidak boleh banyak bergerak, aku hanya sedang membantu membayar belanjaan. Pelayan laki-laki itu kembali dengan menyerahkan belanjaan Wiechert.

“Kau berlebihan.”

“Aku tidak apa-apa. Sungguh.” Lalu, lanjutnya, “Aku bekerja sif pagi sampai sore. Bila Anda kemari lagi untuk berbelanja, mampir ke lantai dua.”

Wiechert mengucapkan terima kasih. Sampai di rumah ia segera memasang dudukan dan mencoba menutup dan membuka untuk memeriksa apakah sudah terpasang baik. Pintu Otto Baumer sudah dipasangi gembok ukuran sangat besar. Laki-laki tua gemuk itu sekarang sedang jongkok membetulkan engsel yang rusak.

“Mencegah jauh lebih baik ketimbang kemalingan.”

“Ja, Herr.” Suara Wiechert mengandung nada simpati.

“Aku membeli gembok dengan perlindungan ganda dengan gembok yang lebih tebal dan mantap.” Otto Baumer kembali pada pekerjaannya. “Sebaiknya kau membeli yang model begitu.”

Wiechert hendak masuk ketika Otto Baumer menyusulkan kalimat berikutnya dengan buru-buru. “Ini pengalaman kurang menyenangkan untukmu yang baru pindah ke sini. Tapi, seperti kata pemilik gedung; setelah puluhan tahun ini yang pertama.”

“Semoga harimu menyenangkan.”

Wiechert merebus air. Sembari menunggu ia kembali menyulut rokok. Mengingat Jörg. Tidak menyangka pemuda itu akan bersungguh-sungguh mau membayari belanjaan. Lumayan.Uang yang tidak jadi keluar bisa ia belikan setok kopi atau rokok untuk hari berikutnya.

Peluit ceret berbunyi nyaring. Wiechert menyeduh kopi dan membawanya ke ruang kerja.

Teringat Jörg, warna biru seragam, tindikan, rambut dicat merah, obrolan cinta teranalogi kunci dan gembok membuat Wiechert menemukan ide baru. Wiechert akan menjadikan karakter unik Jörg sebagai tokoh utama yang jatuh cinta pada seorang pelanggan bulimia. Ini akan jadi cerita roman yang tidak biasa. Semoga kali ini ia mampu menyelesaikan tulisan. Kalau macet, ia akan kembali ke toko kelontong untuk mengobrol mengorek ide. Wiechert menyedot rokok sekali lagi. Suara mesin ketiknya mulai berdentam-dentam.